Thursday, 22 October 2015

Apa Sebab Adanya Perbedaan Menentukan Awal Dan Akhir Ramadhan ?

Tanya : Terus terang saya ini orang awam, saya sering dibingungkan oleh awal dan akhir Ramadhan yang berbeda. Untuk menghindari kesalahan, saya merniih awal puasa rnengikuti pendapat yang akhir, dan untuk Idul Fitri saya ikut yang awal (mana yang lebih dulu Idul Fitri). Saya tidak memilih jamaah atau golongan, tetapi semata-mata ingin selamat saja. Sebab pernah saya dengar, puasa di hari Id adaiah dosa. Apakah sikap saya ini bisa dibenarkan? (Sriyanto, Boja Semarang)

Jawab : Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.

Hisab adalah menghitung berdasrkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoretik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.

Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidak samaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.

Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?

Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.

Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari. “(HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Hanya saja, kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.

Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?

Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru‘yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.

Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. Rasulullah saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. -Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam-.

Jadi, yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.

Sebagai catatan, hasil ru‘yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-Fiqh A1-Manhajy, I, 336).

Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.

Wednesday, 21 October 2015

Apa Hukum Puasa Saat Sakit ?

Tanya : Apakah orang sakit itu wajib tidak berpuasa? Misalnya, saya sakit cukup serius dan dokter menyarankan saya tidak berpuasa, lalu saya memaksakan diri berpuasa karena tidak ingin ketinggalan pahala puasa di bulan Ramadhan. Apa hukumnya puasa saya ini ? Haram, makruh atau apa?

Jawab :
Kewajiban melakukan ibadah berlaku bagi setiap mukallaf; yaitu muslim/muslimah yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (‘aqil). Ketentuan ini berlaku umum dalam segala jenis ibadah.

Khusus untuk puasa Ramadhan, ditambahkan ketentuan lain, yaitu orang tersebut harus dalam keadaan suci dari haid atau nifas, dan memiliki kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa.

Semua ketentuan tersebut dalam istilah fikih disebut sebagai syuruth al-wujub (syarat kewajiban). Apabila salah satu dari ketentuan-ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah itu tidak lagi bersifat wajib bagi yang bersangkutan.

Dalam kitab A-Fiqh Al-Islami dijelaskan beberapa hal yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah sakit (al-maradh) berdasar pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebànyak hari yang ditinggalkan, pada hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dalam konteks pertanyaan ini, ayat tersebut kurang lebih berarti mereka yang sakit mendapatkan dispensasi (rukhshah) untuk tidak berpuasa, dengan catatan bahwa orang tersebut harus mengganti puasa yang ditinggalkannya pada kesempatan lain. Mekanisme ini dalam fikih dikenal sebagai qadha.

Masalahnya kemudian, sakit yang bagaimanakah yang bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rukhshah?

Para ulama ahli fikih (fuqaha) memberikan batasan bahwa sakit ini adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu secara fisik untuk melakukan puasa. Pengertian ini mencakup sakit yang jika penderitanya melakukan puasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau paling tidak memperlambat masa penyembuhan.

Secara spesifik, kitab Al-Fiqh Al-Manhajy menyebutkan jika puasa mengakibatkan al-halak (kerusakan fungsi organ tubuh, cacat, atau meninggal) pada seseorang, maka wajib bagi orang tersebut untuk tidak berpuasa. Dus, puasa dalam kasus tersebut haram hukumnya. Tentu dibutuhkan pendapat dokter atau ahli kesehatan terpercaya untuk menentukan apakah puasa seseorang berbahaya bagi kesehatannya atau tidak.

Ketentuan di atas sesuai dengan kaidah fikih “al-dharurah tubihu al-mahdhurah” (keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang semestinya dilarang). Satu contoh, Rasulullah memperbolehkan seorang laki-laki memakai sutera (yang dalam keadaan normal haram) karena yang bersangkutan menderita penyakit kulit.

Kaidah ini berlaku karena salah satu tujuan pokok syariat (maqashid asy-syani’ah) adalah hifzh an-nafs (menjaga keselamatan diri), oleh karenanya orang dilarang menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Lain dari pada itu, salah satu ciri ajaran Islam adalah memberikan kemudahan terhadap umatnya.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Allah tidak pernah menjadikan dalam agama suatu kesulitan bagi kalian. “(QS. A1-Hajj: 78).

Tuesday, 20 October 2015

Apa Hukum Terburu-Buru Berbuka Puasa ?

Tanya : Suatu ketika saya menyetir mobil keluar kota. Di tengah perjalanan saya mendengar suara adzan. Kebetulan saya tidak membawa arloji, sedangkan cuaca mendung. Sambil menyetir saya langsung berbuka dengan minum air mineral. Beberapa menit kemudian, saya sampai di tujuan. Ternyata bedug Maghrib baru ditabuh. Rupanya suara adzan yang saya dengar dari siaran radio daerah lain. Lantas bagaimana dengan puasa saya? (Usman Chan Buduran, Sidoarjo)

Jawab :
Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua : muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa. Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthlaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.

Puasa temasul jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. A1-Baqarah: 187)

Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (tajil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (ta’khir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.

Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.

Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah menyakini atau menduga dengan kuat waktu Zhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu Zhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “la ibrah biazh-zhann ai-bayyin khatha uhu” tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah.

Shalat Zhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan di atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.

Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.

Meskipun tentu saja ketidak tahuan itu membebaskan Anda dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan Anda dari kewajiban qadha’. Anda wajib mengganti puasa yang batal ini nanti setelah Ramadhan berakhir.

Monday, 19 October 2015

Apa Hukum Membayar Utang Puasa Orang Yang Meninggal ?

Tanya : Apa yang perlu dilakukan oleh ahil waris atau keluarga kalau ada orang meninggal dunia yang dalam hidupnya pernah mèninggalkan shalat atau puasa? (Z. Abidin, Juana)

Jawab : Shalat dan puasa termasuk rukun Islam. Kalau kita ibaratkan Islam itu sebuah rumah, shalat adalah tiangnya. Karena itu, siapa yang menunaikan shalat berarti menegakkan Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung telah merobohkan agamanya.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya masih saja dijumpai orang yang menyepelekan dua kewajiban tadi -terutama shalat- dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka hati.

Kalau keluarga kita meninggal dunia, padahal semasa hidupnya pernah meninggalkan puasa dan shalat, walinya atau anggota keluarga yang lain dapat mengqadha atas nama si mayit.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’atas namanya.

Akhirnya beliau menjawab, “berpuasalah sebagai ganti ibumu (suumiy ‘an ummiki)”. Dalam hadis lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasul juga bersabda, “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa, maka walinya berpuasa atas namanya”.

Kedua hadis ini jelas memperbolehkan orang yang masih hidup mengqadha puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini shalat disamakan dengan puasa dengan jalan qiyas (analogi).

Selain mengqadha dapat pula dengan membayar fidyah, yakni satu mud (sekitar enam ons) beras yang diambil dari harta peninggalan si mayit itu lalu disedekahkan kepada fakir/miskin (I’anah Ath-Tholibin, Juz II, h. 244, Asy-Syaiwani Juz III. h.439).

Dengan diperbolehkan mengqadha dan membayar fidyah, bukan berarti lantas kita bisa dengan enteng meninggalkan shalat dan puasa, toh nanti kalau meninggal dunia ada yang mengganti. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai bukti betapa tingginya kedudukan/nilai shalat dan puasa dalam Islam.

Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apalagi yang berhubungan dengan urusan agama yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal di akhirat, sudah barang tentu tindakan yang sembrono dan berbahaya sekali. Lagi pula, kalau si mayit meninggalkan shalat atau puasa tanpa uzur, meskipun pada akhirnya ada wali/keluarga yang mengqadba’ atas namanya, ia tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah Swt. Sebab, meninggalkan shalat tanpa uzur di samping mengqadha yang bersangkutan harus bertobat. Padahal dengan datangnya ajal, kesempatan tobat telah tertutup (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 491)

Saturday, 17 October 2015

Apa Hukum Muallaf Pecandu Rokok ?

Tanya : Saya seorang muallaf. Kebetulan saya seorang pecandu rokok yang sangat berat. Tahun lalu saya belum berpuasa karna masih mempelajari Islam. Tahun ini saya harus berpuasa. Yang menjadi masalah, kalau makan dan minum saya bisa menahan, tetapikalau meninggalkan rokok, rasanya tidak mungkin. Barangkali saya akan pusing sepanjanghari apabila tidak merokok Bagaimana jalan keluarnya? Apakah boieh puasa tapi merokok? (Soni Wiryawan, Dukuh Kupang, Surabaya)

Jawab : Satu di antara perkara yang membatalkan puasa adalah masuknya ‘ayn (sesuatu yang kasat mata) ke dalam rongga tubuh (jawi) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, kemaluan, dan dubur. Merokok berarti menghisap asap dengan berbagai kandungannya lewat tenggorokan. Asap rokok (al-dukhan) termasuk kategori ‘ayn. Sehingga menghisapnya, menurut fuqaha (ahli fikih), dapat. membatalkan puasa.

Dalam kondisi normal, setiap muslim tidak dibenarkan melanggar al-mufthirat. Orang boleh berbuka apabila berhalangan, sakit, bepergian, mengandung dan menyusui. Orang usia lanjut yang tidak mampu berpuasa, juga dibebaskan dari rukun Islam keempat ini. Lapar dan dahaga yang tidak tertahankan (dikhawatirkan darinya kematian atau rusaknya organ tubuh) memperbolehkan berbuka pula. Allah melarang manusia mencelakakan dirinya.

Hal ini sebagaimana difirmaflkan Allah sebagai berikut :
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. “(QS. A1-Baqarah: 184)

Ibadah puasa dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, tetapi jika pelaksanaannya justru membawa mafsadah yang berat, maka boleh ditinggalkan.

Bagaimana hal ini ditarik untuk masalah muallaf yang kecanduan rokok. Cukupkah efek negatif meninggalkan merokok (pusing) sebagai alasan berbuka?

Kondisi yang memperbolehkan berbuka adalah jika seseorang tidak makan atau minum akan kehilangan nyawa, mengurangi akal pikiran dan tidak berfungsinya salah satu panca indera. Keadaan darurat seperti inilah yang memungkinkan sebuah larangan ditoleransi untuk dilanggar.
Dengan batasan tersebut, maka. pusing kepala belum bisa dijadikan alasan untuk tidak berpuasa. Karena masih termasuk kategori penyakit ringan yang bisa ditolerir.

Oleh karena itu, saya sarankan pada Anda untuk tetap bersahur dan niat berpuasa. Kalau ternyata siang harinya keselamatan jiwa dan kesehatan saudara benar-benar terancam, maka silakan berbuka. Hanya saja, pada bulan-bulan yang akan datang ketika telah mampu berpuasa, Anda harus men gaqadha’ (mengganti puasa yang batal). Sebaliknya, jika masih mampu usahakanlah tetap bertahan sampai waktu berbuka tiba.

Seperti saudara katakan, bahwa tahun ini adalah untuk pertama kalinya saudara berpuasa, yang sudah barang tentu akan terasa sulit. Segala sesuatu pada mulanya pasti sulit, “Awwal kulli syai’ sha’b”, kata pepatah Arab. Untuk menghadapi kesulitan ini, kita patut mengingat sabda Rasulullah, “Ash shabr ‘inda ash-shadmah al-ula”, kesabaran dibutuhkan kala menghadapi pukulan atau benturan pertama. Jika cobaan pertama dapat diatasi, urusan selanjutnya akan menjadi ringan.

Satu hal lagi, salah satu kaidah fikih menyatakan: ats-tsawab bi qadr at-ta‘ab (besar kecilnya pahala amal ibadah disesuaikan dengan kesulitan melaksanakannya). Artinya, karena berstatus muallaf, kesulitan yang Anda alami dalam berpuasa akan menjadi nilai lebih tersendiri. Allah tidak akan membiarkan perjuangan hamba-Nya sia-sia.

Friday, 16 October 2015

Bagaimanakah Cara Qadha Puasa Perempuan Hamil dan Menyusui ?

Tanya : Bagaimana cara mengqadha’ puasa bagi orang yang hamil dan menyusui?

Jawab : Berpuasa hukumnya wajib bagi semua orang Islam yang telah baligh, berakal, sehat, suci, dan tidak bepergian. Orang yang belum baligh karena belum mukallaf tidak wajib berpuasa. Orang sakit atau bepergian boleh berbuka sebab ada udzur. Perempuan yang haid atau nifas boleh berbuka. Bahkan jika berpuasa hukumnya haram dan tidak sah.

Perempuan menyusui (murdhi’) dan hamil, disamakan dengan orang sakit, dalam arti boleh berbuka. Karena bila terus berpuasa malah membahayakan diri sendiri atau anaknya. Perempuan yang sedang menyusui dan mengandung, membutuhkan gizi cukup. Kekurangan makanan dan minuman selama berpuasa dapat mengurangi kadar gizi atau air susu ibu (ASI) yang dibutuhkan dan itu pada gilirannya akan membawa akibat kurang baik pada janin dan anaknya. Berpuasa pada hakikatnya baik. Tetapi karena di balik sisi positifnya itu bagi perempuan hamil dan menyusui bisa berakibat negatif, maka boleh ditinggalkan.

Hal tersebut sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi “daf’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih” bahwa menghindari mafsadah itu didahulukan daripada mendapat mashlahah. Boleh berbuka bukan berarti bebas selamanya. Puasa sangat penting dan mengandung hikmah yang besar : meningkatkan ketakwaan, memperkuat solidaritas sosial, baik untuk kesehatan maupun yang lain. Karena itu, semua orang harus mengalaminya. Dengan demikian perempuan hamil dan menyusui harus mengqadha’nya sehingga janin atau anak tetap selamat, dan dia sendiri tetap sehat, serta merasakan manfaat dan faedah puasa. Bagaimana solusi yang sangat bijak? Kalau berbukanya karena mengkhawatirkan janin atau anaknya saja, selain mengqadha dia juga harus membayar fidyah (denda satu mud per hari). Sedangkan mengqadha’puasa dapat dilakukan kapan saja sebelum datangnya Ramadhan tahun berikutnya.

Jika sampai Ramadhan berikutnya belum mengqadha selain masih mengqadha harus juga membayar kafarah berupa makanan pokok (beras) sebanyak satu mud (sekitar 6 ons) per harinya. Jika Ramadhan berikutnya lagi masih belum, ditambah satu mud lagi, begitu seterusnya. Demikian keterangan dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin dan kitab-kitab fikih yang 1ain.

Thursday, 15 October 2015

Apa Hukum Puasa Weton Hari Sabtu ?

Tanya : Bolehkah puasa weton (hari kelahiran) pada hari Sabtu? Saya pernah mendengar, puasa pada hari itu dilarang. Bagaimana bila weton itu bukan Sabtu?

Jawab : Puasa dalam ajaran Islam merupakan salah satu ibadah. Puasa hukumnya bermacam-macam. Ada yang wajib, termasuk rukun Islam, yaitu puasa Ramadhan. Selain Ramadhan, sebagian dianjurkan dan sebagian lagi dilarang.

Puasa weton atau puasa pada hari kelahiran, dalam kenyataannya kurang populer di kalangan kaum muslimin. Terbukti sangat jarang yang menjalankanny. Mereka lebih suka memperingati hari kelahiran dengan bersedekah, seperti mengadakan manakiban, tahlil atau pesta bersama kerabat, teman dekat dan tetangga sekitar.

Ketidak populeran itu kemungkinan besar akibat ketidak jelasan hukumnya. Dalam kitab fiqih, puasa weton tidak atau jarang sekali disinggung. Berbeda dan puasa Senin dan Kamis, misalnya.
Barangkali satu-satunya rujukan dalam masalah ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yang bersumber dari sahabat Abi Qatadah. Sesungguhnya Rasulullah Saw. ditanya, mengapa beliau berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab, pada hari itu aku dilahirkan, dan hari itu juga wahyu diturunkan kepadaku.

Autentitas hadis tersebut bisa dipertanggug jawabkan, sebab terdapat dalam kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim yang terkenal sangat teliti dan ketat dalam menyeleksi hadis. Hadis itu menginformasikan soal Rasulullah Saw. memperingati hari kelahiran dengan berpuasa.

Kelahiran atau kehidupan merupakan karunia Allah Swt. yang harus disyukuri. Bagi Rasulullah, puasa hari Senin merupakan salah satu ekspresi rasa syukur.

Karena tidak ada perintah dan larangan yang tegas, berdasarkan hadis di atas paling tidak dapat diambil satu kesimpulan, puasa weton boleh-boleh saja dilakukan. Sebab Rasulullah Saw. berpredikat ma‘shum, terjaga dari segala dosa. Kalau beliau pernah melakukan berarti hal itu (puasa weton) tidak dilarang, bisa mubah atau sunah.

Terlepas dari cara yang dipilih, memperingati hari kelahiran mengandung beberapa hal yang positif. Paling tidak, kita diingatkan berapa umur kita. Kesadaran waktu sangat penting untuk merencanakan sebuah kehidupan. Peringatan hari ulang tahun dapat juga menjadi momentum yang tepat untuk melakukan instropeksi (al-muhasabah ‘ala an-nafs) yang diperintahkan agama, kita isi dengan amal apa umur selama ini. Sebetulnya di sinilah nilai pringatan ulang tahun itu. Bukan sekedar hura-hura tanpa arti, apalagi hanya ajang untuk gengsi. Lebih fatal lagi jika dalam pelaksanaannya, larangan dari norma agama diterjang, seperti mengonsumsi minuman keras.

Bagaimana jika puasa weton pada hari Sabtu?
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum puasa hari Sabtu semata, tanpa disambung dengan hari sebeluin atau sesudahnya. Dalam satu hadis Rasulullah Saw. melarangnya, kecuali puasa Ramadhan. Tapi pada hadis lain ditegaskan, beliau sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad yang merupakan hari raya kaum musyrikin. Dengan berpuasa, beliau ingin membedakan diri (mukhalafah) dari mereka, sekaligus untuk memperkuat identitas kaum muslimin. Kedua hadis itu dapat ditemukan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram.

Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan ini, sikap ulama berbeda-beda. Sebagian mengatakan hadis pertama dinasakh (dirombak) oleh keberadaan hadis kedua. Konsekuensinya, puasa hari Sabtu dan Ahad tidak dilarang malah dianjurkan dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.

Sebagian yang lain berpendapat, yang dilarang (makruh) adalah puasa pada hari Sabtu atau Ahad semata. Kalau disambung dengan hari sebelum atau sesudahnya tidak dilarang, seperti halnya Jumat. Demikian keterangan yang diperoleh dan kitab Subul As-Salam.

Kalau kita mengikuti pendapat pertama, puasa weton hari Sabtu boleh-boleh saja dilakukan. Sebaliknya, menurut pendapat kedua harus disambung dengan hari Jumat atau Ahad. Ketentuan tersebut menyambung dengan hari sebelum atau sesudahnya, juga berlaku untuk hari Jumat dan Ahad.

Imam Nawawi telah membicarakan masalah itu secara panjang lebar dari perspektif berbagai madzhab dalam kitabnya, A1-Majmu’ pada pembahasan puasa. Dalam menyikapi pendapat yang kontradiktif seperti itu, langkah yang terbaik adalah melakukan puasa weton pada hari Sabtu disambung dengan puasa hari Jumat dan Ahad.

Sudah barang tentu puasa weton tidak diperkenankan pada hari-hari yang dtharam-kan yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan hari Tasyriq tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam fikih ada kaidah, bila ada pertentangan antara perkara halal dan haram, maka diutamakan yang haram. Menghindari larangan lebih diutamakan daripada melaksanakan perintah. Dengan kata lain, kalau sesuatu perbuatan membawa dampak positif dan negatif, sebaiknya tidak usah dikhawatirkan, kecuali lebih banyak positifnya.

Tuesday, 13 October 2015

Apa Hukum Puasa Sambil Menggunjing Dan Berdusta ?

Tanya : Bagaimana hukumnya melaksanakan ibadah puasa, namun dengan tidak bisa meninggalkan perkataan dusta dan menggunjing kesalahan orang lain. Batalkah puasa yang dilakukan oleh orang dengan aktivitas itu? Mohon penjelasan.

Jawab :
Menggunjing adalah membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan orang lain yang tidak disukai oleh orang tersebut untuk dibicarakan, pada saat yang bersangkutan tidak berada di tempat (dzikruka akhaka bi ma fihi min ma yakrah/ dzikruka akhaka bima yakrah fighaybatihi) atau lazim disebut ngrasain atau rasan-rasan dalam bahasa Jawa. Adapun berdusta adalah mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, berbohong. Kedua tindakan ini termasuk maksiat lisan yang dilarang oleh agama.

Al-Quran menggambarkan perbuatan menggunjing sebagai memakan ‘bangkai saudara. Perhatikan firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taobat lagi Maha Penyayang. “(QS. Al-Hujurat: 12)

Dr Wahbah Az-Zuhaily, memberikan komentar dalam tafsirnya Al- Wajiz halaman 518 sebagai berikut:
“Ini merupakan penggambaran perbuatan penggunjing dengan gambaran yang paling buruk menurut watak dan akal. Memakan daging anak Adam adalah haram, demikian juga menggunjing.”

Menggunjing merupakan tindakan pengecut karena bersifat menyerang orang lain tanpa sepengetahuan dan karena itu juga tidak memberikan kesempatan untuk membela diri. Sedangkan berdusta, menurut sebuah hadis, termasuk tanda kemunafikan. Dan pelakunya akan mendapat siksa yang pedih. Dalam Surat Al-Baqarah : 10 dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10)

Idealnya, selama menjalankan ibadah puasa, kita tidak hanya meninggalkan makan/minum dan hal-hal fisik lainnya yang membatalkan puasa, tetapi juga mencegah seluruh anggota badan, hati dan pikiran dari hal-hal yang terlarang, termasuk di dalamnya berdusta dan menggunjing.

Para ulama bersepakat bahwa dusta dan menggunjing adalah haram, tetapi larangan untuk melakukan kedua hal itu pada saat berpuasa lebih ditekankan daripada ketika tidak berpuasa.

Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam menjawab pertanyaan : apakah kedua perbuatan itu membatalkan puasa?

Mayoritas fuqaha menyatakan, berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Pendapat sebaliknya (menurut Al-Auza’iy, Al-Tsauriy dan lain-lain) menyatakan bahwa keduanya membatatkan puasa, dan oleh karenanya wajib diganti dengan mekanisme qadha.

Perbedaan pendapat ini muncul dari perbedaan dalam memahami dan menilai beberapa hadis yang dijadikan sumber untuk menetapkan hukum kasus ini. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah:
Artinya: “Puasa itu tidak hanya meninggalkan makan dan minum, (tetapi juga) meninggalkan al-laghw dan ar-rafats.” (HR-Baihaqi)

Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith diterangkan ar-rafats adalah perkataan buruk, dan al-laghw adalah perbuataan yang sia-sia, tidak berguna. Hadis lainnya diriwayatkan Al-Laits dan Mujahid, yang artinya: “Ada dua perkara yang membatalkan puasa, yaitu menggunjing dan berdusta.”

Kedua hadis di atas mi scara lahiriah, sebagaimana pendapat Al-Auza’iy, memberikan pengertian batalnya puasa akibat berdusta dan menggunjing. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadis lain tentang orang yang berpuasa tanpa mendapatkan pahala. Perhatikan hadis berikut ini:
Artinya: “Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar.” (HR Nasai dan Ibn Majah)

Hal mi masih dipertegas lagi dengan hadis lain:
Artinya: “Ada lima perkara yang membataikan puasa : dusta, menggunjing, mengadu-domba bersumpah palsu, dan melepaskan pandangan terhadap sesuatu yang tidak dibenarkan syara’.”(HR. Nasai)

Meskipun demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Kelompok ini menolak validitas hadis terakhir (tentang lima perkara yang membatalkan puasa), dan memahami tiga hadis lainnya dengan pengertian bahwa kesempurnaan puasa tidak dapat dicapai tanpa meninggalkan ar-ra fats dan al-laghw.

Mirip dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Al-Mawardi dan A1-Mutawalli yang menyatakan bahwa hal yang batal bukanlah pekerjaan puasanya tetapi pahalanya. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab VI, 356, Umdah Al-Qari: X, 276).

Monday, 12 October 2015

Apakah Menelan Ludah, Menyedot Ingus Dan Sengaja Muntah Membatalkan Puasa ?

Tanya : Apakah menelan ludah atau menyedot kembali ingus yang hendak keluar itu membatalkan puasa? Saya pernah dengar “bersengaja muntah” itu membatalkan puasa. Saya sering merasa mual baik karena sakit maupun karena kebanyakan makan, tapi makanan itu tak juga mau keluar meski sudah terasa dekat di tenggorokan. Biasanya saya lalu berusaha mendorongnya keluar. Apakah itu tergolong sengaja muntah tadi?

Jawab : Menelan ludah tidak membatalkan puasa, sama halnya dengan menyedot kembali ingus yang masih ada dalam hidung dengan catatan ludah atau ingus itu tidak bercampur atau membawa apapun, seperti sisa makanan atau ‘ayn lain yang terkadang tertinggal dalam mulut atau terdapat dalam hidung. Apabila ada ‘ayn yang ikut tertelan atau masuk, maka batallah puasa Anda.

Sedang sengaja muntah batasannya sangat jelas : muntah itu disengaja atau tidak?

Jika seseorang sengaja (menghendaki, bermaksud, dan melakukan upaya untuk) muntah, maka muntah yang terjadi membatalkan puasa. Dan sejauh saya tangkap dari pertanyaan Anda, yang Anda lakukan itu sudah termasuk istiqa‘ah atau sengaja muntah, sama dengan menekan otot perut atau leher sebagaimana lazim dilakukan untuk tujuan yang sama.

Bahwa Anda melakukan itu karena “terganggu” oleh rasa mual akibat sakit atau kebanyakan makan tidak cukup dapat dijadikan alasan atau pembenar untuk sengaja atau berusaha muntah.

Friday, 9 October 2015

Bagimana Hukum Puasa Dengan Memperlambat Haid ?

Tanya : Bagaimana hukumnya perempuan meminum obat untuk memperlambat haid supaya dapat berpuasa sebulan penuh?

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, kewajiban puasa Ramadhan tidak berlaku atas perempuan yang mengalami haid. Berpuasa baginya tidak sah, dan hukumnya justru haram. (Mughni Al-Muhtaj I, 423).

Pemberian dispensasi (keringanan hukum) tersebut bisa dirmaklumi. Perempuan pada waktu haid atau menstruasi, secara fisik dan psikis tengah mengalami gangguan. Fisiknya cenderung lemah, dan pikirannya kurang konsentrasi. Tidak jarang, datangnya menstruasi disertai keluhan berupa rasa sakit dan mual.

Di samping puasa, shalat juga tidak diwajibkan kepada perempuan saat haid. Bedanya, puasa harus diqadha sementara shalat tidak perlu.

Keringanan tersebut pada umumnya disambut dengan gembira oleh kaum Hawa. Bagaimanapun, berpuasa pada saat haid tentu akan terasa lebih berat. Tetapi bagi perempuan tertentu, hal itu justru disesali, sebab menghalangi puasa, yang berarti kehilangan kesempatan untuk beribadah. Meskipun kalau dipikir secara mendalam, meninggalkan puasa karena haid, juga merupakan ibadah tersendiri, kalau diniati menjalankan perintah Allah (yang dalam kasus ini berupa larangan). Bukankah definisi larangan (haram) adalah sesuatu yang berdosa jika dilakukan, dan berpahala jika ditinggalkan?

Berkat kemajuan ilmu farmasi, sekarang telah ditemukan obat untuk memperlambat haid. Dengan meminum obat ini, dimungkinkan seorang perempuan tidak mengalami haid dalam jangka waktu tertentu. Dan sini lalu muncul gagasan memperlambat haid dengan harapan dapat berpuasa sebulan penuh.

Meminum obat memperlambat haid, sejauh tidak membawa akibat negatif (diperlukan pendapat ahli dalam hal ini), tidak dipermasalahkan. Dan kalau obat itu terbukti efektif mencegah haid, puasanya juga sah. Prinsipnya, perempuan berpuasa dalam keadaan suci. Terlepas, apakah kondisi suci itu terjadi secara alamiah atau karena pengaruh obat tertentu. Kesimpulan ini, merujuk pada kaidah ushul fiqth, “ashl al-madhan at-tahrim wa al-manafi al-hill” artinya: Sesuatu yang tidak dijelaskan status hukumnya oleh dalil agama, apabila bermanfaat hukumnya diperbolehkan, jika membawa madharat dilarang. (Qurrah Al‘Ain bi Syarh Waraqat Al-Haramain, 55).

Meskipun demikian, membiarkan sikius haid secara alami saya kira lebih baik karena lebih aman. Pada galibnya, melawan fitrah atau peristiwa alamiah akan menimbulkan dampak negatif, sekecil apapun dampak itu. Lagi pula, jika seorang perempuan berniat berpuasa jika tidak terhalang haid, insya Allah niat baik itu akan dicatat juga. Bukankah Rasulullah bersabda:
Artinya: “Keabsahan amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari).

Wednesday, 7 October 2015

Apakah Pekerja Berat Tidak Wajib Berpuasa?

Tanya : Saya adalah pekerja berat, pekerjaan saya menuntut suplai energi yang sangat besar, sehingga tidak mungkin dicukupi dengan makan sahur saja. Kalau harus meneruskan puasa, pekerjaan saya tidak mungkin selesai, padahal saya harus melaksanakan pekerjaan itu untuk memberi nafkah keluarga saya. Apakah kondisi itu memperbolehkan saya untuk tidak berpuasa? (Muhyiddin, Wedung Demak)

Jawab : Bagi orang Islam yang mempunyai keyakinan akan adanya kehidupan di akhirat, maka kehidupan di dunia ini, bukanlah tujuan akhir dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, tetapi lebih sebagai wahana untuk mencari bekal bagi kehidupan selanjutnya yaitu akhirat. Dunia, dalam sebuah hadis, diistilahkan sebagai mazra‘ah al-akhirait, sawah ladang, atau tempat penanaman bekal untuk di akhirat. Dalam menanam bekal inilah manusia membutuhkan makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, sebagai sumber energi untuk menjalankan amal ibadah sesuai tuitunan-Nya.

Dengan demikian sebenarnya bekerja adalah amal ibadah. Jika bekerja dimaksudkan sebagai pelaksanaan tanggungjawab nafkah (kepada keluarga), maka ia menjadi ibadah yang wajib. Masalahnya, bagaimana jika keharusan bekerja sebagai ibadah wajib tidak bisa ditunaikan bersama dengan ibadah lain yang juga wajib, dalam hal ini puasa?

Dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (III, 1702) dijelaskan bahwa seorang pekerja diperbolehkan meninggalkan puasa dengan beberapa catatan.

Pertama, apa yang dilakukan adalah kerja sangat berat, sehingga puasa akan mengancam kelangsungan fungsi-fungsi anggota badan (talaf). Atau kerja berat itu diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya pada hari itu. Dengan kata lain, pekerjaan itu tidak bisa ditinggalkan sama sekali sehingga menjadi sesuatu yang dharurat karena telah menjadi kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya saat itu. Dalam situasi semacam ini, orang bukan hanya boleh berbuka tetapi wajib berbuka.

Kedua, pekerjaan itu tidak bisa dilakukan di luar waktu puasa (malam hari atau hari-hari di luar bulan Ramadhan). Apabila masih mungkin ditunda, maka penundaan itu wajib dilakukan untuk melaksanakan kewajiban berpuasa, yang nota bene sudah ditentukan waktunya.

Jika kenyataannya pekerjaan Anda memenuhi kedua kriteria di atas, tentu Anda boleh berbuka. Toh, Allah tidak menghendaki suatu kesulitan dalam agama. Hal ini seperti dalam ayat berikut ini:
Artinya: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. A1-Hajj: 78)

Tetapi keringanan untuk berbuka dalam kasus ini berbeda dengan dalam kasus musafir (orang bepergian), misalnya. Selama masa perjalanan, seorang musafir boleh tidak berpuasa meskipun sebenarnya ia mampu berpuasa dalam perjalanannya itu. Dalam kasus pekerja berat, kewajiban berpuasa itu tetap ada, hanya saja ia boleh dibatalkan jika memang kondisinya mengharuskan demikian. Artinya, setiap hari Anda harus niat dan melakukan puasa sampai kondisi menuntut Anda makan atau minum. Jika misalnya sehari itu tidak ada pekerjaan berat yang menuntut suplai energi baru, maka puasa Anda harus jalan terus.

Terhadap puasa yang batal seperti ini diberlakukan kewajiban menggantinya pada hari lain atau qadha’. Segala kewajiban harus dilaksanakan jika waktunya telah tiba, begitu juga qadha’puasa ini. Secara praktis, waktu qadba’ dalam kasus Anda adalah jika Anda tidak sedang bekerja (libur atau nganggur), atau tidak harus bekerja. Maksudnya tidak harus bekerja adalah kebutuhan nafkah Anda sekeluarga untuk hari itu sudah tercukupi tanpa harus bekerja pada hari itu. Misalnya, jika hari ini Anda mendapat rezeki lumayan besar, maka besok Anda harus libur untuk melaksanakan kewajib puasa Anda.

Tuesday, 6 October 2015

Apa Hukum Lupa Niat Saat Puasa ?

Tanya : Dalam puasa sering saya lupa niat, tidak niat malam harinya, tetapi saya makan sahur. Lha, yang namanya orang sahur itu pasti karena mau puasa, begitu saya berpikir. Sahkah puasa saya itu?

Jawab : Niat adalah i’tikad tanpa ragu untuk melaksanakan amal. Dalam hal puasa Ramadhan, kapan saja terbersit dalam hati di waktu malam bahwa besok adalah Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat. (Al-Fiqh A1-Islami III, 1670).

Kasus di atas sering terjadi sehingga sering pula menimbulkan keraguan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (Al-Fiqh Al-Manhajy III, 1678).

Di luar kalangan Syafi’iyah yang dianggap mencukupi adalah makan dan minum di luar waktu sahur (sebelum tengah malam) yang disertai dengan niat puasa, atau makan pada waktu sahur (setelah tengah malam) meskipun tanpa niat.

Berangkat dari pendapat-pendapat di atas, maka makan sahur yang dimaksudkan untuk puasa, dapat dianggap sudah mencukupi sebagai niat meskipun tidak diucapkan secara verbal pada waktu tertentu. Namun perlu diperhatikan, ada juga orang yang makan sahur dalam keadaan belum sadar sepenuhnya karena baru saja dibangunkan sehingga tidak terbersit dalam hatinya maksud untuk berpuasa. Yang semacam ini tidak bisa dianggap cukup sebagai pengganti niat.

Niat adalah ruh amal. Suatu amal akan dicatat sebagai amal saleh, sia-sia, atau buruk tergantung pada niatnya, sebagaimana dimaksudkan dalam hadis yang sangat populer:
Artinya: “Sahnya suatu amal bergantung pada niat, setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari)

Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati dan memperhatikan bagaimana agar niat kita sah. Untuk keabsahan niat menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

Fertama, niat dilakukan pada waktunya, yaitu antara Maghrib sampai menjelang Shubuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. Dalam kitab-kitab fikih, ini lazim disebut tabyit an-niyyah atau menginapkan niat.

Kedua, menentukan niat tersebut untuk puasa wajib, bukan sunah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib.

Ketiga, memastikan niat (al-jazm bi an-ni)’yah) untuk satu jenis puasa saja. Sebagai contoh, jika pada tanggal 29 Sya’ban seseorang berniat untuk berpuasa besok, dengan catatan jika besok sudah masuk bulan Ramadhan maka puasanya karena Ramadhan. Dan jika belum, maka puasanya dimaksudkan sebagai puasa sunah. Maka niat semacam itu tidak cukup memenuhi syarat puasa yang mana pun. Artinya, niat semacam itu tidak sah, baik bagi puasa Ramadhan maupun sunah.

Keempat, niat dilakukan setiap hari sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta’addud an-niyyah bi ta’addud al-ayyam). Satu kali niat hanya berlaku untuk satu hari puasa, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa yang lain, seperti juga satu shalat (Shubuh, misalnya) adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat yang lain (misalnya Zhuhur) Buktinya, sah atau tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya puasa di hari yang lain.

Ringkasnya, cukup sebagai niat jika setiap hari antara Maghrib sampai menjelang Shubuh terdapat kesadaran dan maksud untuk melakukan puasa Ramadhan besok.

Friday, 2 October 2015

Bagaimana Cara Mengqadha Puasa Ramadhan Yang Benar ?

www.bilikislam.blogspot.com
Tanya : Saya seorang gadis. Sebagaimana kodratnya, setiap gadis tidak mungkin puasa genap sebulan. Setiap tahun saya selalu mengqadha’, tetapi tahun ini .saya lupa berapa hari harus membayar sehingga setelah Ramadhan kembali datang, ternyata ada dua hari yang belum terbayar. Bagaimana saya harus membayar utang puasa tersebut? Apakah setelah selesai Ramadhan ini (gabung dengan utang berikutnya) atau hanya perlu membayar fidyah? (Khusnul Mar’iyyah, Paciran, Lamongan)

Jawab : Qadha’ adalah mekanisme syariah untuk melaksanakan suatu ibadah yang karena satu dan lain hal tidak dilaksanakan tepat pada waktunya. Setiap ibadah yang wajib, wajib pula qadhanya, termasuk di dalamnya puasa Ramadhan, meskipun sebab tidak terlaksananya ibadah itu pada waktunya sama sekali di luar kehendak dan kendali orangnya seperti karena haid, sakit, dan lain sebagainya.

Kewajiban qadha berlaku bagi mereka yang masih memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melaksanakannya. Dalam konteks puasa Ramadhan, maka waktu qadha terbentang panjang selama sebelas bulan, terhitung mulai bulan Syawal hingga Sya’ban. Tapi keleluasaan waktu ini hanya berlaku bagi orang yang meninggalkan puasa dengan alasan yang dibenarkan syariah. Atas mereka yang begitu saja meninggalkan puasa (karena malas, tidak mampu menahan godaan, dan lain sebagainya) berlaku kewajiban untuk menunaikan qadha sesegera mungkin (mubadarah) dan berturut-turut hingga tunai segala “utang” kewajibannya. ( Qurdy Syarh Minhaj Al-Qawim).

Bagaimana kalau kesempatan yang panjang itu hilang.juga, yang bersangkutan belum juga menunaikan qadha’ sampai datangnya Ramadhan lain?


Para ulama sepakat bahwa orang macam ini benar-benar keterlaluan (dan dihukumi berdosa) karena berlaku teledor (tasahul) terhadap waktu kesempatan panjang yang disediakan. Atas keteledoran itu ditambahkan sanksi baru yaitu membayar fidyah (denda) berupaya penyerahan bahan makanan pokok sebanyak 1 (satu) mud (satuan tradisional Arab, kira-kira sama dengan 6 ons dalam satuan metrik). Adapun kewajiban untuk mengganti puasanya dengan puasa juga masih berlaku seperti semula.

Membayar fidyah saja (tanpa qadha ) tidak cukup untuk pelanggaran suatu kewajiban. Seperti diterangkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajy, mekanisme fidyah dalam konteks puasa tidak berlaku bagi mereka yang mampu menjalaninya melainkan hanya untuk orang-orang sangat tua yang karena keterbatasan fisiknya, tidak lagi punya kemampuan untuk menjalankan puasa. Dalam contoh lain, fidyah puasa juga berlaku pada mereka yang menderita sakit sedemikian rupa sehingga tak mungkin lagi diharapkan kesembuhannya. Bagi kedua jenis orang ini, sepanjang apapun kesempatan dibentangkan, tidak mungkin bagi mereka untuk menunaikan qadha, dan dicukupkan bagi mereka pembayaran fidyah.

Adapun waktu pelaksanaannya tentu saja harus menunggu Sampai Ramadhan ini selesai, karena bulan ini khusus diperuntukkan bagi pelaksanaan puasa tahun ini saja.

Jadi, dalam kasus Anda yang masih punya “utang” dua hari dari tahun kemarin, dan tujuh hari (misalnya) dari Ramadhan ini, maka kewajiban Anda adalah qadha atas sembilan hari puasa plus dua paket fidyah untuk diserahkan kepada fakir-miskin.

Friday, 18 September 2015

Apa Hukum Suntik Dan Infus Saat Puasa ?

Tanya : Apa hukumnya disuntik atau diinfus kala berpuasa?

Jawab : Suntik dan infus, sama-sama memasukkan cairan ke dalam tubuh dengan alat bantu jarum. Bedanya, suntik berisi cairan obat-obatan, sedangkan infus biasanya berupa nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan, atau karena pertimbangan tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut cara normal. Di sini, infus menjadi sebuah solusi.

Karena perbedaan zat yang dikandung, suntik dan infus memiliki efek yang tidak sama. Setelah diinfus, tubuh akan terasa relatif segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara suntik murni obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan mmuman.

Suntik dan infus dengan fungsi yang berbeda, pada hakikatnya saling melengkapi. Penyakit susah disembuhkan jika tubuh kekurangan vitamin dan zat-zat lain yang sangat dibutuhkan. Sementara terpenuhinya kebutuhan gizi, tidak secara otomatis melenyapkan penyakit, tanpa ditunjang obat-obatan.

Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan makan/minum dan berhubungan s*ksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung.

Melihat ketentuan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suntik tidak membatalkan puasa. Sebab proses masuknya obat tidak melalui organ berlubang terbuka, tetapi jarum khusus yang ditancapkan ke dalam tubuh. Lagi pula, suntik tidak menghilangkan lapar dan dahaga sama sekali.

Adapun infus, menurut penuturan Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatawi Mu’ashirah, 324, merupakan penemuan baru, sehingga tidak diketemukan keterangan hukumnya dari hadis, shahabat, tabiin dan para ulama terdahulu. Oleh karena itu, ulama kontemporer berbeda pendapat, antara membatalkan dan tidak. Dr. Yusuf Qardhawi, meskipun cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan, menyarankan agar penggunaan infus dihindari pada saat berpuasa. Alasannya, meskipun infus tidak mengenyangkan, tetapi cukup menjadikan tubuh terasa relatif segar.

Intinya, infus dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk dan efek yang ditimbulkan. Ditinjau dari sisi pertama, infus tidak membatalkan puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui organ tubuh yang berlubang terbuka. Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan infus tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai wahana latihan mengendalikan nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadh‘afin?

Untuk menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya). ini artinya, pendapat infus membatalkan puasa lebih mencerminkan sikap berhati-hati (al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi berbuka pada bulan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bagaimana Puasa Ramadhan Bagi Pengantin Baru ?

Tanya : Sebagai pengantin buru, datangnya bulan puasa bagi kami merupakan siksaan tersendiri. Kalau kami berdua tidak mampu lagi menahàn nafsu, apakah boleh kami mokel (berbuka) lalu berkumpul? Bagaimana cara yang benar agar teihindar dari ancaman puasa dua bulan berturut-turut? (NN Arjasa, Jember)

Jawab : Ada macam-macam hal yang membatalkan puasa Ramadhan dan beragam pula konsekuensinya. Ada yang sekedar harus meng-qadha’(mengganti di hari lain), tetapi ada pula yang mengakibatkan sanksi berat. Terhitung yang berat adalah hubungan s*ks (Jima).

Dasar hukum sanksi ini hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang lelaki yang mengaku telah melakukan pelanggaran ini. Rasulullah lalu mengurutkan tiga sanksi untuk menjadi kaffarah (penebus): pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin.

Tiga kaffarah itu tidak dapat dipilih begitu saja, tetapi berlaku urut. Karena di zaman ini sanksi pertama tidak berlaku lagi, dengan sendirinya pelakunya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika karena sebab yang dibenarkan syariat hukuman itu tidak mungkin dilakukan, baru dapat ditempuh sanksi terakhir berupa pemberian paket kepada 60 fakir-miskin, masing-masing 1 mud (± 6 ons) bahan makanan pokok.

Kaffarah ini berlaku antara lain jika hubungan s*ks itulah yang mengakibatkan batalnya puasa. Jika sebelumnya puasanya sudah batal atau dibatalkan, maka kaffarah di atas tidak berlaku.

Tetapi itu tidak berarti sanksinya menjadi lebih ringan. Meninggalkan atau membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah sebuah dosa yang sangat besar. Diriwayatkan At-Turmudzi, Rasulullah bersabda, yang artmya:
“Barangsiapa meninggalkan/membatalkan sehari puasa Ramadhan tanpa alasan yang meringankan dan tidak pula karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup sebagai gantinya.”

Membatalkan puasa sebelum berhubungan s*ks bukan hanya berarti memangkas sanksi. Setidaknya ada dua alasan moral untuk tidak melakukannya.

Pertama, puasa dua bulan berturut-turut adalah hukum yang secara spesifik telah ditetapkan Allah. Apakah Anda ingin lari dari hukum-Nya?

Kedua, dengan membatalkan puasa untuk menghindarkan kaffarah, maka sesungguhnya seseorang telah melakukan akal-akalan, bermain siasat atas hukum Allah. Pertanyaannya, secerdik itukah Anda?

Bagaimanapun beratnya, begitulah hukum telah ditetapkan. Jika tidak ingin tertimpa beratnya hukum, sebaiknya Anda berhati-hati. Tidak ada salahnya untuk mengurangi tindakan-tindakan lahiriah yang lazim digunakan untuk mengekspresikan rasa sayang, cinta, dan kemesraan suami-istri. Jika dianggap perlu, ciptakan jarak (sementara). Ikuti kegiatan-kegiatan kerohanian yang banyak diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Prinsipnya, hindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan Anda jatuh dalam pelanggaran ini.

Inilah sesungguhnya makna puasa : menahan diri dari godaan nafsu, tidak untuk menghancurkannya tetapi untuk mampu mengendalikannya. Bukankah akan sampai juga waktu di mana dorongan nafsu itu dapat dipenuhi tanpa ancaman murka Tuhan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mencium Istri Membatalkan Puasa ?

Tanya : Selama bulan Ramadhan tepatnya di siang hari. apakah kami sebagai pasangan suami-istri tidak diperkenankan berciuman seperti biasa kami lakukan saat pergi kerja misalnya. Apakah ketika terlanjur berciuman kemudian dapat membatalkan puasa?

Jawab : Puasa itu menghindari segala hal yang membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ej*kulasi (inzal) akibat persentuhan kulit, dan bersenggama walaupun tanpa ej*kulasi.
Pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, dapat mengakibatkan ej*kulasi, dan menyeret seseorang menuju interaksi s*ksual, maka pembahasan hukumnya tidak bisa sesederhana itu lagi.

Para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam berpuasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak menimbulkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. VI, 354, Mughni Al-Muhtaj. I, 431-436). Tentu hukum ini berlaku untuk ciuman kepada istri. Selain istri, jelas hukuninya haram.

Menurut pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku atas mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun makruh (yang definisi dasarnya adalah tak mengapa jika dilakukan) jika dilakukan juga maka si pelaku mendapat dosa. Untuk sekedar diketahui, selain makruh tahrim terdapat juga kategori hukum makruh tanzih, di mana melakukannya tidak mengkonsekuensikan apa pun (baik dosa atau pahala). Seperti halnya haram, hal-hal yang berhukum makruh tahrim harus dihindari. Sementara pada makruh tanzih, penghindaran itu hanya bersifat anjuran.

Hukum tersebut di-istinbath-kan para ulama dari hadis riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melarang kaum muda mencium (pada saat berpuasa), dan memperbolehkan itu pada orang yang telah berusia lanjut (tua).

Mengapa Rasulullah membedakan orang tua dan pemuda? Para ulama merasionalisasi pembedaan ini dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan s*ksualnya. Sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi s*ksualnya telah banyak menurun. Secara praktis, ciuman pada usia muda dikhawatirkan mengakibatkan ej*kulasi, atau menggoda pelakunya untuk menindaklanjutinya dengan interaksi s*ksual langsung karena kekurangmarnpuan orang muda untuk mengendalikan nafsu.

Dalam pengertian itu, maka batasan tua atau muda hanya merujuk pada kondisi umum saja. Jika ada pemuda yang sepenuhnya mampu mengendalikan diri atau orang tua yang masih sangat tinggi hasrat dan kemampuan s*ksualnya, maka hukum yang berlaku bagi keduanya berbanding terbalik dengan keterangan di atas. Ini karena masalah utamanya memang bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak.

Hukum ini sesuai dengan kaidah fikih “li al-wasa-il hukm al-ma qashid”, terhadap hal-hal yang mendukung atau mendorong atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama dengan hasil akhirnya. Ketika ditentukan bahwa interaksi s*ksual langsung dan ej*kulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada keduanya harus pula dihindari jauh-jauh.

Pelukan, genggaman, dan yang sejenisnya, dengan nalar dan pertimbangan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.

Tetapi hukum ini tidak serta-merta mempengaruhi sah tidaknya puasa. Jika Anda suatu saat di siang hari bulan Ramadhan mencium istri, dan tak terjadi suatu akibat atau tindak lanjut apa-apa, maka puasa Anda tetap sah, tidak batal tetapi tingkat kesempurnaannya berkurang. (Al-Majmu’ Syarh A1-Muhadzdzah VI, 355).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mandi Keramas Boleh Saat Puasa ?

Tanya : Saat siang hari bulan Ramadhan adalah kondisi dimana tubuh dalam keadaan lemas. Bolehkan dalam keadaan seperti itu melakukan mandi keramas agar badan kembali segar?

Jawab : Dalam kitab Nihayah Az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa‘ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua di antara beberapa hal yang membatalkan puasa (mubthilat ash-shaum).

Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan berbagai perkecualian, termasuk di antaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.

Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan mandi wajib (bik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunah (karena mau shalat Jumat, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-I ridha bi ma yatawalladu minhu” menerima atau membenarkan sesuatu berarti menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunan adalah tuntutan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensi wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.

Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi untuk menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas). Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.

Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Ej*kulasi Karena Film Porno Batal Puasa ?

Tanya : Menonton film porno sehingga mengeluarkan mani (ej*kulasi) apakah bisa membatalkan puasa?

Jawab : Puasa sah jika telah memenuhi syarat dan rukunnya serta meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkannya (mubthilat. Di antara yang membatalkan puasa adalah inzal (ej*kulasi, keluar mani), dengan catatan hal itu terjadi ‘an mubasyarah atau akibat persentuhan fisik, seperti mencium, saling menggenggam tangan, dan lain-lain. Jika ej*kulasi terjadi bukan karena persentuhan (‘an ghair mubasyarah) semisal karena pandangan atau lamunan, maka hal itu tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga jika ejakulasi diperoleh sebagai akibat mimpi basah (ihtilam).

Dan keterangan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa puasa tidak batal karena menonton film porno meskipun sampai terjadi ej*kulasi. Tetapi batalnya puasa hanyalah satu aspek saja dari pertanyaan ini. Dua aspek lainnya, yaitu menonton film porno dan puasa, memiliki aspek hukum dan moral yang terpisah dari masalah sah-tidaknya puasa.

Pornografi tidak mungkin dilepaskan dari perzinaan, baik dalam proses produksinya, maupun sebagai akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan zina itu sendiri adalah perbuatan yang sangat dikutuk dan dilarang oleh agama. Sedemikian terlarangnya zina, sehingga Allah tidak hanya melarang melakukannya, tetapi bahkan melarang mendekatinya. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Itupun masih ditambah dengan keterangan, “sungguh, zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” Maka sempurnalah keharaman perbuatan nista ini.

Termasuk dalam larangan ini adalah pornografi, karena pornografi adalah titik potensial yang menghubungkan seseorang dengan perzinaan. Ini mengikuti kaidah “ma adda ila al-haram fa huwa haram” (segala sesuatu yang bisa mengantar kepada hal yang haram maka hukumnya juga haram) dan kaidah lain yang bermakna serupa yaitu: “li al-wasa-il hukm al-maqashid” (terhadap pendukung, pendorong, penyebab suatu perkara diberlakukan hukum yang sama dengan perkara yang dihasilkannya). Tetapi, tidakkah berlebihan kalau menganggap pornografi sebagai pendorong perzinaan.

Tentu saja tidak semua perzinaan diakibatkan oleh pornografi sebagaimana tidak semua pornografi mengakibatkan (secara langsung) perzinaan. Tetapi barangkali kita dapat mengambil kasus-kasus kejahatan s*ksual sebagai indikator. Sepuluh tahun lalu, misalnya, pornografi tentu telah ada tetapi tidak semudah, sebebas dan seluas peredaraannya saat ini. Sejalan dengan itu, dalam waktu yang sama kejahatan s*ksual juga sangat meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di sisi lain, tidak pantas rasanya berpuasa tetapi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, apalagi hal itu juga mempunyai potensi mer*ngsang serta membangkitkan gairah s*ksual. Sedangkan gairah s*ksual tu sendiri adalah perwakilan absolut nafsu, sesuatu yang seharusnya justru menjadi sasaran ibadah puasa untuk ditaklukkan dan dikendalikan.

Lagi pula, ada sebagian ulama yang menganggap puasa tidak hanya sekedar pengekangan diri terhadap hal-hal fisik/ biologis (makan, minum, s*ks) semata. Lebih daripada itu, dalam berpuasa seseorang dituntut untuk bisa menjaga pancaindera serta segenap anggota badan lainnya untuk tidak terjatuh dalam segala bentuk maksiat dan perbuatan rendah.

Kita tentu,tidak ingin seperti orang-oiang yang digambarkan Rasulullah dalam hadisnya tentang mereka yang melakukan puasa tetapi tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan puasa kecuali dalam hal tidak makan dan minum.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Monday, 14 September 2015

Apa Hukum Puasa Dalam Keadaan Junub ?

Tanya : Saya seorang suamii. Seringkali dalam bulan Ramadhari saya berpuasa masih dalam kondisi junub setelah malamnya kami berkumpul. Karena lupa, rasa malas dan udara dingin saya tidak segera mandi sebelum fajar. Bagaimanakah puasa saya itu? (Toni, Wonokromo, Surabaya)

Jawab : Seseorang dikatakan junub apabila mengalamii dua hal: berhubungan s*ks (meski tidak sampai ej*kulasi), dan atau mengeluarkan sperma (karena mimpi basah, on*ni, melihat gambar erotis, dan lain-lain).

Setiap ibadah memiliki syarat-rukun sendiri-sendiri. Syarat rukun suatu ibadah bisa tidak sama dengan ibadah lain. misalnya shalat dan puasa. Dalam shalat, seseorang disyaratkan suci dari hadas kecil dan besar, serta haid dan nifas. Melakukan shalat dalam keadaan junub tidak sah, dan hukumnya haram. Dengan demikian, orang yang akan melakukan shalat apabila berstatus junub harus mandi terlebih dulu, sebagaimana diwajibkan wudhu bagi penyandang hadas kecil.

Dalam ibadah puasa, tidak terdapat persyaratan pelakunya harus suci dari hadas besar atau kecil. Menjalankan puasa dalam kondisi junub, sehabis berkumpul dengan istri atau mimpi basah pada malam harinya tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar, sah-sah saja. Yang tidak dibenarkan adalah melakukan hubungan suami-istri pada siang hari, sejak fajar sampai matahari terbenam. Karena Jima’ termasuk perkara yang membatalkan puasa dengan sanksi sangat berat, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, di samping kewajiban mengqadha.

Demikian halnya, sah puasa perempuan yang telah berhenti darah haid atau nifasnya pada malam hari tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar.

Meskipun begitu, syariat menganjurkan agar seseorang berpuasa dalam keadaan suci. Oleh karena itu, orang yang berstatus Junub, disunahkan mandi sebelum terbitnya fajar. hariya sebatas anjuran, bukan kewajiban. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu III, 1.686).

Keabsah dari puasa dalam keadaan junub merupakan hasil pemahaman terhadap firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Dihalaikan bagi kalian pada malam hari bulan puasa untuk berkumpul jima’ dengan istri-istrimu. “(QS. A1-Baqarah: 187)

Malam hari bulan puasa (lailah asy-shiam) adalah rentang waktu mulai Maghrib sampai detik-detik terakhir sebelum Shubuh. Berangkat dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa puasa dalam keadaan junub diperbolehkan. Sebab dengan diperbolehkannya Jima ‘semalam suntuk, secara otomatis diperkenankan puasa dalam keadaan junub sebagai konsekuensi logisnya. Karena tidak mungkin orang yang Jima’ satu detik sebelum fajar memiliki kesempatan untuk mandi sebelum fajar tiba.

Ayat tersebut, meskipun pada mulanya hanya dimaksudkan untuk menjelaskan bolehnya Jima’ pada malam bulan Ramadhan, tetapi lalu menimbulkan hukum lain, yaitu sahnya puasa dalam kedaan Junub, sebagai akibatnya. Proses penyimpulan hukum semacam ini dalam ushul fikih disebut dengan dilaiah isyarah. (Ghayah Al-Wushul, 37).

Persoalan puasa orang Junub, pada masa Rasulullah juga pernah ditanyakan oleh sahabat, dan beliau menjawab sah. Bahkan menurut hadis riwayat Aisyah dan Umini Salamah:
Artinya: “Nabi Saw. pernah memasuki waktu Shubuh dalam kondisi junub karena jima’ kemudian dia mandi dan tetap berpuasa.” (Mukhtashar Shahih Muslim, 158, Subul As-Salam: II, 165).

Memang ada hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Apabila adzan Shubuh telah dikumandangkan dan kalian dalam keadaan junub, maka jangan berpuasa pada hari itu.”

Hadis ini memberikan pengertian bahwa puasa dalam keadaan junub tidak sah. Tetapi menurut jumhur al-ulama (mayoritas ulama), hadis tersebut telah di-nasakh (direvisi) oleh hadis riwayat Aisyah di atas. Lagi pula, dari segi sanad, hadis riwayat Aisyah dianggap lebih kuát daripada riwayat Abu Hurairah, sehingga jika terjadi pertentangan, maka riwayat Aisyah yang lebih layak dijadikan dasar hukum. (Subul As-Salam II, 165).

Tabir Wanita