Monday, 19 October 2015

Apa Hukum Membayar Utang Puasa Orang Yang Meninggal ?

Tanya : Apa yang perlu dilakukan oleh ahil waris atau keluarga kalau ada orang meninggal dunia yang dalam hidupnya pernah mèninggalkan shalat atau puasa? (Z. Abidin, Juana)

Jawab : Shalat dan puasa termasuk rukun Islam. Kalau kita ibaratkan Islam itu sebuah rumah, shalat adalah tiangnya. Karena itu, siapa yang menunaikan shalat berarti menegakkan Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung telah merobohkan agamanya.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya masih saja dijumpai orang yang menyepelekan dua kewajiban tadi -terutama shalat- dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka hati.

Kalau keluarga kita meninggal dunia, padahal semasa hidupnya pernah meninggalkan puasa dan shalat, walinya atau anggota keluarga yang lain dapat mengqadha atas nama si mayit.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’atas namanya.

Akhirnya beliau menjawab, “berpuasalah sebagai ganti ibumu (suumiy ‘an ummiki)”. Dalam hadis lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasul juga bersabda, “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa, maka walinya berpuasa atas namanya”.

Kedua hadis ini jelas memperbolehkan orang yang masih hidup mengqadha puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini shalat disamakan dengan puasa dengan jalan qiyas (analogi).

Selain mengqadha dapat pula dengan membayar fidyah, yakni satu mud (sekitar enam ons) beras yang diambil dari harta peninggalan si mayit itu lalu disedekahkan kepada fakir/miskin (I’anah Ath-Tholibin, Juz II, h. 244, Asy-Syaiwani Juz III. h.439).

Dengan diperbolehkan mengqadha dan membayar fidyah, bukan berarti lantas kita bisa dengan enteng meninggalkan shalat dan puasa, toh nanti kalau meninggal dunia ada yang mengganti. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai bukti betapa tingginya kedudukan/nilai shalat dan puasa dalam Islam.

Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apalagi yang berhubungan dengan urusan agama yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal di akhirat, sudah barang tentu tindakan yang sembrono dan berbahaya sekali. Lagi pula, kalau si mayit meninggalkan shalat atau puasa tanpa uzur, meskipun pada akhirnya ada wali/keluarga yang mengqadba’ atas namanya, ia tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah Swt. Sebab, meninggalkan shalat tanpa uzur di samping mengqadha yang bersangkutan harus bertobat. Padahal dengan datangnya ajal, kesempatan tobat telah tertutup (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 491)

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita