Thursday, 13 October 2016

Cara Mencuci Pakaian Yang Benar Menurut Fikih Islam

cara mensucikan pakaian yang terkena najis
Tanya : Selama ini saya mencuci pakaian bayi dan pakaian saya menjadi satu (tiga ember sekitar 20 liter secara beruntun, dan membilas pakaian saya dahulu sebelum membilas pakaian bayi yang najis). Apakah cara itu sudah benar untuk menghilangkan najis ? Karena keterbatasan air, bagaimana cara ideal dan praktis untuk mencuci pakaian dan lantai yang najis ? (Nawawi, Kedu, Temanggung)

Jawab : Di antara syarat-syarat sah shalat adalah suci, baik badan, pakaian maupun tempat. Bila salah satu dari ketiga unsur itu tidak suci, akan memberikan konsekuensi ketidaksahan shalat yang dilaksanakan.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah kebersihan. Meski tidak menjadi syarat sah shalat, bersih cukup urgen karena sedikit banyak mencerminkan sikap tata krama kita pada Sang Pencipta. Kalau kita merasa malu saat berhadapan dengan seorang bangsawan atau pejabat dengan berpakaian kotor, seharusnya kita lebih merasa tidak sopan lagi saat menghadap Sang Khaliq dalam keadaan tidak bersih. 

Dalam beribadah, yang lebih diutamakan adalah kesucian, karena ibadah mensyaratkan suci sebagai syarat sah. Asalkan sudah suci, ibadah sudah sah, walaupun secara lahir tidak bersih. Bersih saja belum dianggap cukup, kalau tidak suci. Idealnya bersih dan suci. 

Sebagai ilustrasi, bila lantai terkena najis atau kotoran hewan, kemudian kotoran itu kita hilangkan sampai tidak nampak lagi bekas-bekasnya, mungkin kita akan mengatakan lantai itu sudah suci. Persepsi semacam itu perlu diluruskan, karena lantai itu belum disiram dengan air. Jadi belum suci.
Demikian penting kesucian dan kebersihan dalam beribadah, sehingga sebagai seorang muslim kita harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai membersihkan dan menghilangkan najis, agar tidak hanya bersih tapi juga suci. 

Kali ini saya akan mengemukakan cara membersihkan najis sebagaimana yang ditanyakan saudara Nawawi. 

Mencuci adalah kewajiban yang hams dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan beribadah. Dalam disiplin ilmu usul fiqh dijelaskan, suatu pekerjaan yang kewajibannya tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan wujudnya, pekerjaan itu hukumnya wajib (ma la yathnmu al-wajib illa bihi fahua wajibun). 

Sebagai contoh adalah shalat. Shalat merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukallaf, yang untuk keabsahannya pakaian, badan, atau tempat yang kita gunakan harus suci dari najis. 

Maksudnya, shalat kita tidak akan sah kecuali dengan wujudnya kesucian. Dengan demikian, mencuci pakaian dengan maksud menghilangkan najis untuk beribadah adalah wajib. Dan sudah tentu akan mendapatkan pahala tersendiri. 

Dalam literatur-literatur fikih, cukup banyak keterangan yang mengetengahkan bagaimana cara mensucikan suatu benda yang terkena najis. Salah satunya adalah kitab Al-Bajuri.

Sebagaimana kita ketahui, air adalah satu-satunya alat untuk menghilangkan najis. Tetapi ada yang harus diperhatikan air yang digunakan harus suci dan mensucikan. 

Bila benda yang dimaksud adalah pakaian, caranya sebagai beriküt. Kalau air yang digunakan hanya sedikit, mula-mula kita siapkan ember yang sudah diisi air. 

Pertama, pakaian kita basahi dengan air, boleh disiram, boleh dicelupkan, untuk menghilangkan kotoran, pakaian kita kucek secukupnya dengan deterjen atau yang lain kalau memang diperlukan.

Kedua, setelah semua selesai, kita bilas untuk menghilangkan kotoran dan najis serta busa deterjen pada ember yang kedua. Bila sudah benar-benar bersih, dalam pengertian bau, warna dan rasanya sudah hilang, kita jangan tergesa-gesa menjemurnya. Sebab pakaian itu masih perlu dibilas lagi, karena hukumnya belum suci. 

Untuk mensucikaruiya, siramkan air pada pakaian tersebut atau pakaian kita masukkan dulu pada bak air/ember, baru setelah itu kita tuangkan air ke dalamnya. 

Jangan sebaliknya. Air dimasukkan terlebih dahulu baru kemudian pakaian. Cara itu tidak dapat dibenarkan, karena air bertemu langsung dengan najis.

Adapun untuk mensucikan lantai yang terkena najis, pada prinsipnya sama, yaitu benda yang terkena najis dibuat najis hukmiyah. 

Caranya, menghilangkan bau, warna dan rasa najis itu, sehingga seakan-akan sudah suci walaupun hakikatnya belum, karena belum terkena air. Setelah itu, barulah disiram dengan air hingga merata pada lantai yang terkena najis. Demikian penjelasan dalam kitab Kifayat Al-Akhyar.

Thursday, 6 October 2016

Jenis Dan Macam Mandi Sunnah Dalam Islam

jenis mandi sunnah
Tanya : Saya punya masalah yakni apa sajakah mandi sunah itu? 

Jawab : Masalah kesehatan dan kebersihan mendapat perhatian besar dari agama Islam. Salah satu ayat yang tergolong turun awal berisi perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mensucikan pakaiannya. Mengenai hal ini perhatikan surat A1-Muddatstsir, 4 berikut ini :
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al Muddatstsir: 4)

Perintah itu kemudian diikuti ayat-ayat serta hadis yang banyak membicarakan masalah tersebut. Maka tidak mengherankan apabila fikih sebagai penjabaran praktis dan Al-Quran dan hadis, menjadikan bersuci (at-thaharah) sebagai salah satu pokok bahasannya. Karena masalah thaharah banyak berkaitan dengan ibadah, maka pembahasannya diletakkan sebelum ibadah. 

Menurut para ulama fikih, bersuci meliputi : wudhu, mandi, tayamum, dan menhilangkan najis. Disamping hal itu, agama juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk bersiwak. 

Pada umumnya pandangan masyarakat tentang mandi terbatas pada mandi wajib, yang dilakukan karena sebab-sebab tertentu, yaitu : mengeluarkan sperma, bersebadan, haid, melahirkan, nifas dan meninggal dunia. Padahal, di samping mandi wajib, terdapat mandi sunah. Meskipun jika ditinggal tidak berdosa, mandi seyogyanya juga dikerjakan karena berpahala. Akibat kurangnya pemahaman terhadap masalah ini, banyak di antara kita kehilangan kesempatan beribadah. 

Mandi yang semestinya dapat dinilai ibadah, akhirnya hanya menjadi kebiasaan semata (al-’adah). Alangkah indahnya jika kita dalam melakukan satu aktivitas memperoleh dua keuntungan sekaligus, duniawi dan ukhrawi.

Untuk itu, ada baiknya dalam kesempatan ini sesuai dengan perintah penanya, saya terangkan kapan dan dalam kondisi apa mandi disunahkan, serta bagaimana pula caranya. 

Mandi sunah jumlahnya banyak, dan dianjurkan dalam situasi dan kondisi khusus. Pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu ibadah yang melibatkan banyak orang. Ketika menunaikan ibadah, sudah semestinya seorang hamba dalam keadaan suci dan bersih lahir batin.

Secara mendetail, Imam Zakaria Al-Anshari menguraikan mandi sunah dalam kitabnya Tahrir. Paling tidak, beliau menyebutkan ada 18 (delapan belas) waktu disunahkannya mandi. Waktu-waktu itu adalah 1). Untuk menghadiri shalat Jumat, 2). shalat istisqa’, 3). shalat gerhana matahari, 4). pada hari raya Idul Fitri, 5). ketika orang kafir masuk Islam dalam keadaan tidak menanggung hadas besar sebelumnya, 6). setelah memandikan mayit, 7). hijamah (membekam), 8). memasuki pemandian, 9). mencukur bulu kemaluan, 10). sembuh dari penyakit ayan (epilepsi), 11). hendak ihram, 12). memasuki tanah haram, 13). memasuki Makkah, 14). wukuf di Arafah, 15). wukuf di Muzdalifah, 16). menginap di Muzdalifah apabila belum mandi sebelumnya di Arafah, 17). Melempar jumrah selama tiga hari di Mina, 18). berubahnya bau badan dan lain sebagainya. 

Sudah barang tentu semua itu mempunyai landasan Al-Quran dan hadis. Yang sangat menarik, dalam kitab Tuhfah Ath-Thullab, Imam Zakaria juga menyatakan hahwasanya mandi juga dianjurkan ketika seseorang hendak menghadiri forum yang diikuti oleh banyak orang (majma’ min an-nas). Seperti rapat dan resepsi. Dalam hal ini beliau memberikan alasan sosial, demi kemaslahatan para hadirin, supaya mereka tidak terganggu oleh bau badan yang kurang sedap. “Fa ruu’iyan mashlahah al-hadhirin bi daff’i ar-raihah al-karihah,” tulis beliau ini artinya, mengganggu orang lain dalam bentuk apapun, tidak dibenarkan oleh agama. Rasulullah bersabda :
Artinya : “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dan dampak negative yang timbul dari lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad) 

Kualitas keberagamaan seseorang, dengan begitu ditentukan oleh kesalehan ritual dan sosialnya.
Alangkah indahnya jika petuah ini kita terapkan dalam kehidupan nyata (Asy-Syarqawi I, 94). 

Adapun cara mandi sunah sepenuhnya disamakan dengan mandi wajib, yaitu dengan meratakan air ke seluruh anggota badan lahir dengan air yang suci dan mensucikan (thahir muthahhir), kecuali dalam hal niat yang disesuaikan dengan maksudnya. Kalau mau melakukan shalat Jumat, maka niat mandinya adalah untuk menghadiri shalat tersebut. Bila hendak melakukan shalat istisqa’, maka niat mandi untuk menunaikan tujuan tersebut. Demikian seterusnya. 

Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah sebenarnya semua aktivitas kita dapat menjadi wahana untuk beribadah. Tidak kurang, makan dan minum jika dilandasi niat supaya mampu menjalankan ibadah atau mencari nafkah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berguna, dapat bernilai ibadah pula. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda :
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan bagi seseoranglah, apa yang ia niatkan.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikmah; 5).

Sunday, 25 September 2016

Apa Hukum Air PDAM Yang Berbau Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum air berbau obat
Tanya : Air PDAM yang asalnya keruh lalu menjadi bening karena obat, apakah suci dan mensucikan ?Air tersebut berbau obat, apakah dapat untuk bersuci ?

Jawab : Sering saya kemukakan, hanya air yang suci dan mensucikan (thahir muthahir) yang dapat (sah) digunakan untuk bersuci, wudhu, mandi atau menghilangkan najis. Air thahir muthahir disebut juga air mutlaq.

Air yang dapat digunakan bersuci ada enam, yaitu air sumur, mata air, sungai, laut, hujan dan embun. Intinya, air yang keluar/ memancar dari bumi atau jatuh dari langit (ma naba-a min al ardh au nazala min as-sama). 

Selain air mutlaq adalah air thahir ghair muthahir dan najis. Air thahir ghair muthahir hukumnya suci, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci. Sedangkan air najis selain tidak bisa untuk bersuci, juga tidak boleh dikonsumsi. 

Air thahir ghair muthahir adalah air yang telah banyak mengalami perubahan rasa, warna maupun bau dari keadaannya semula, karena bercampur benda-benda suci. Sedangkan air najis adalah air yang kurang dari dua kulah (sekitar 193 kg) yang terkena najis, baik berubah maupun tidak, atau mencapai dua kulah dan berubah (Al-Fiqh Al-Manhajy bab thaharah).

Air yang telah berubah dapat menjadi air muthlaq bila perubahannya hilang dengan sendirinya atau karena jumlahnya diperbanyak (At-Tanbih pada pembahasan tentang air). 

Selanjutnya bagaimana dengan air PDAM yang berbau kaporit ? Bagaimana pula perubahan dari keruh menjadi bening karena pengaruh bahan kimia tertentu?

Untuk menilai apakah air seperti itu layak digunakan bersuci, tidak terlepas dari kondisi aslinya. Artinya, kalau diambil dari sumber air yang suci dan mensucikan, maka layak digunakan untuk bersuci. Perubahan bau akibat dicampur bahan kimia tidak bermasalah. Karena kadar perubahan itu sedikit.

Lain hal jika berasal dari air thahir ghair muthahir atau najis. Pemberian obat tidak bisa mengubah statusnya menjadi air muthlaq. Sebab, air yang najis atau thahir ghair muthahir hanya dapat menjadi air mutlaq jika perubahannya menjadi jernih kembali terjadi dengan sendirinya atau airnya diperbanyak. Bukan karena pengaruh bahan kimia atau benda lain. 

Intinya, bahan kimia yang dicampurkan tidak mempengaruhi status air yang semula.

Saturday, 24 September 2016

Apa Hukum Istinja' Dengan Tisu (Hukum Cebok Dengan Tisu) Menurut Fikih Islam ?

hukum cebok dengan tisu, hukum istinja dengan tisu
Tanya : Kiai Sahal, kami ingin tanya masalah najis. Kalau saya pergi ke kota-kota besar, terus terang saya yang santri ini jadi repot. Seperti di Tunjungan Plaza, kalau kita pergi ke toilet,. di WC-nya tidak disediakan air untuk cebok. Hanya ada tissue. Bisakah tissue yang memang kasar itu, diqiyaskan dengan batu ? (Munir, Pasuruan). 

Jawab : Seperti sering saya ungkapkan pada edisi-edisi dialog sebelumnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan pernyataan an-nazhafatu min al-iman, kebersihan merupakan bagian dari iman, atau ath-thuhuru syatr al-Iman, kesucian merupakan separuh dari keimanan. Namun demikian, sering kali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian mereka. 

Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja‘ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja‘ terlebih dahulu, selain wudhu kalau sedang dalam keadaan hadas kecil, dan mandi jika dalam kondisi berhadas besar. 

Meski istinja’ pada hakikatnya adalah menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak. 

Berbeda pula dari wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan nyaman dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah (‘ibadatullah) dalam hal ini shalat.

Seperti saya sebut di atas, shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini, menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan, kurang lebih 85% dan sisanya daratan. 

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dapat dikerjakan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus. 

Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus. 

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar dan kulit hewan. Semua  itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam ilat (alasan terjadinya hukum). 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinjaa’.

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak menggunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air di toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering. 

Orang yang kesadaran agamanya tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar jika kemudian bertanya apakah tissue memang telah mencukupi untuk istinja’ ? 

Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan buang air dan batu, baik hakiki maupun syar‘i. Tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat untuk istinja’ ? 

Jawabannya, mesti dicari pada pertanyaan : apakah tissue termasuk hajar syar’I ? Merujuk pada bagian literatur fikih Madzhab Syafi’i, seperti Al-Majmu syarah A1-Muhadzdzab, Syarqawi syarah Tuhfah Ath- Thullab, Bujairami syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan sebagai berikut :
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta muhtaram. Namun jika kita amati, tissue sering digunakan. 

Akan kita jumpai kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis dan tidak muhtaram.
 
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’. Alasannya bukan karena buku tersebut terbuat dari kertas, melainkan lebih dilandasi pertimbangan kemuliaannya, yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas itu. 

Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu, boleh-boleh saja dipakai istinja’ Dalam kitab Bughyah Al- Mustarsyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri. 

Satu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i diisyaratkan 3 (tiga) kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap 3 (tiga) kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Friday, 4 September 2015

Sunnah Tayamum Dan Yang Membatalkan Tayamum

Tayamum seperti yang sudah dijelaskan dlam postingan sebelumnya adalah cara bersuci pngganti air wudlu untuk melaksanakan sholat. Berikut adalah sunnah-sunnah dalam tayamum. (baca juga syarat dan rukun tayamum)

Sunah Dalam Ttayamum
1. Membaca bismillah. Dalilnya adalah hadis sunat wudu, sebab tayamum merupakan pengganti wudu. 

2. Mengembus tanah dari dua tapak tangan supaya tanah yang di atas tangan itu menjadi tipis.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya cukuplah bagimu apabila kau pukulkan kedua tapak tanganmu ke tanah, kemudian engkau hembus kedua tanganmu itu, lalu engkau usapkan kedua tanganmu itu ke muka dan tapak tanganmu. (RIWAYAT DARUQUTNI)

Wakaffaika di akhir hadis menjadi alasan bagi orang yang benpendapat bahwa yang wajib disapu dari tangan ketika tayamum hanya kedua tapak tangan saja, tidak usah sampal ke siku.

3. Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai tayamum, sebagaimana sesudah selesai berwudu.

Hal-hal yang membatalkan tayamum

1. Tiap-tiap hal yang membatalkan wudu juga membatalkan tayamum.
2. Ada air. Mendapatkan air sebelum salat, batallah tayamum bagi orang yang tayamum karena ketiadaan air, bukan karena sakit.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Zar. Rasulullah Saw. telah berkata, “Tanah itu cukup bagimu untuk bersuci walau engkau tidak mendapat air sampai sepuluh tahun. Tetapi apabila engkau memperoleh air, hendaklah engkau sentuhkan air itu ke kulitmu.” (RIWAYAT TIRMIZI)

“Dari Ata’ bin Yasar, dari Abu Said Al-Khudri. Ia berkata, ada dua orang laki-laki dalam perjalanan, lalu datang waktu salat, sedangkan air tidak ada, lantas keduanya bertayamum dengan debu yang suci lalu salat. Kemudian keduanya memperoleh air, dan waktu salat masih ada. Salah seorang diantara keduanya lantas berwudu dan mengulangi salatnya, sedangkan yang lain tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah Saw, dan diterangkannyalah kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu berkata kepada orang yang tidak mengulangi salatnya, ‘Engkau telah mengerjakan sunnah, dan salatmu sah. Dan kepada orang yang mengulangi salatnya dengan wudu beliau berkata pula, ‘Bagimu ganjarannya dua kali lipat’.” (RIWAYAT NASAI DAN ABU DAWUD).

Memahami Tayamum, Syarat Dan Rukun Tayamum

Tayamum ialah mengusapkan tanah ke muka dari kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudu atau mandi, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur), yaitu:
  1. Uzur karena sakit. Kalau ia memakai air, bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya, menurut keterangan dokter atau dukun yang telah berpengalaman tentang penyakit serupa itu.
  2. Karena dalam perjalanan.
  3. Karena tidak ada air.
Firman Allah Swt.
“Dan apabila kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (wc), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu’ (AL-MAIDAH: 6)

(Baca juga : Sunnah Tayamun Dan Yang Membatalkan Tayamum)

Syarat tayamum
1. Sudah masuk waktu salat. Tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum masuk waktu salat ia belum terpaksa, sebab salat belum wajib atasnya ketika itu. 

2. Sudah diusahakan mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sudah masuk. Alasannya adalah ayat tersebut di atas. Kita disuruh bertayamum bila tidak ada air sesudah dicari dan kita yakin tidak ada; kecuali orang sakit yang tidak diperbolehkan memakai air, atau ia yakin tidak ada air di sekitar tempat itu, maka mencari air tidak menjadi syarat baginya. 

3. Dengan tanah yang suci dan berdebu. Menurut pendapat Imam Syafii, tidak sah tayamum selain dengan tanah. Menurut pendapat imam yang lain, boleh (sah) tayamum dengan tanah, pasir, atau batu. Dalil pendapat yang kedua ini adalah sabda RasuluIlah Saw.:
“Telah dijadikan bagiku bumi yang baik, menyucikan, dan tempat sujud.” (SEPAKAT AHLI HADIS)

Perkataan “bumi” termasuk juga tanah, pasir, dan batu. 

4. Menghilangkan najis. Berarti sebelum melakukan tayamum itu hendaklah ia bersih dari najis, menurut pendapat sebagian ulama; tetapi menurut pendapat yang lain tidak.

Fardu (rukun) tayamum.
1. Niat. Orang yang akan melakukan tayamum hendaklah berniat karena hendak mengerjakan salat dan sebagainya, bukan semata-mata untuk menghilangkan hadas saja, sebab sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadas, hanya diperbolehkan untuk melakukan salat karena darurat.
Keterangan bahwa niat tayamum hukumnya wajib ialah hadis yang mewajibkan niat wudu yang lalu. 

2. Mengusap muka dengan tanah. 

3. Mengusap kedua tangan sampai ke siku dengan tanah. Keterangannya ialah ayat di atas. 

4. Menertibkan rukun-rukun. Artinya mendahulukan muka dan tangan. Alasannya sebagaimana keterangan menertibkan rukun wudu yang telah lalu. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa tidak wajib menertibkan rukun tayamum.

Beberapa masalah yang bersangkutan dengan tayamum

1. Orang yang tayamum karena tidak ada air, tidak wajib méngulangi salatnya apabila mendapat air. Alasannya ialah ayat tayamum di atas. Tetapi orang yang tayamum karena junub, apabila mendapat air maka ia wajib mandi bila ia hendak mengerjakan salat berikutn ya, sebab tayamum itu tidak menghilangkan hadas, melainkan hanya boleh untuk keadaan darurat. 

2. Satu kali tayamum boleh dipakai untuk beberapa kali salat, baik salat fardu ataupun salat sunat. Kekuatannya sama dengan wudu, karena tayamum itu adalah pengganti wudu bagi orang yang tidak dapat memakai air. Jadi, hukumnya sama dengan wudu. Demikian pendapat sebagian ulama. Yang lain berpendapat bahwa satu kali tayamum hanya sah untuk satu kali salat fardu dan beberapa salat sunat, tetapi golongan ini tidak dapat memberikan dalil yang kuat atas pendapat mereka. 

3. Boleh tayamum apabila luka atau karena hari sangat dingin, sebab luka itu termasuk dalam pengertian sakit. Demikian juga bila memakai air ketika hari sangat dingin, dikhawatirkan akan menjadi sakit.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Jabir. Ia berkata, “Kami telah keluar pada satu perjalanan, kemudian seorang teman kanmi tertimpa batu sampai luka kepalanya, kemudian ia bermimpi, lantas ia bertanya kepada teman-temannya, Adakah kamu peroleh jalan yang memberi kelonggaran bagiku untuk tayamum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mengetahui jalan yang memberi kelonggaran bagimu, sedangkan engkau masih kuasa memakai air.’ Kemudian orgng itu mandi, sehingga menyebabkan dia mati. Kemudian ketika kami sampai kepada Rasulullah Saw. diceritakanlah hal itu kepada beliau. Nabi berkata, “Mereka telah membunuhnya. Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya kala tidak mengetahui? Sesungguhnya obat keraguan ialah bertanya. Sebenarnya ia cukup tayamum saja dan dibalut lukanya, kernudian di atas balutannya itu disapu dengan air, dan sekalian membasuh badannya yang lain.” (RJWAYAT ABU DAWUD DAN DARUQUTNI)

“ Dar Amr bin As. Sewaktu ia diutus ke peperangan Zatissalasil, ia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin saya bermimpi. Saya takut akan berbahaya jika saya mandi, maka saya tayamum, kemudian salat bersama teman-teman, yaitu salat subuh. Tatkala kami datang kepada Rasulullah Saw, mereka ceritakan kejadian itu kepada beliau. Nabi berkata, “Ya Amr, engkau salat dengan teman-temanmu, padahal engkau junub?” Saya menjawab, “Saya sebutkan firman Allah (Janganlah kamu membunuh dirimu), maka karena ayat itu saya tayamum, kemudian saya salat.” Mendengar jawaban Amr itu Rasulullah Saw tertawa, dan beliau tidak mengatakan apa pun sesudah itu. (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD)

Sunnah-Sunnah Dalam Mandi Serta Jenis Mandi Sunnah

Pada postingan sebelumnya telah dibahas kondisi yang mewajibkan mandi serta syarat rukunnya, dan pada kesempatan kali ini akan membahas sunnah-sunnah dalam mandi dan beberapa mandi yang disunnahkan untuk dilakukan. (Baca Kondisi Yang Mengharuskan Mandi Wajib)

Sunat-sunat mandi
1. Membaca “bismillah” pada permulaan mandi.
2. Berwudu sebelum mandi.
3. Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan.
4. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri.
5. Berturut-turut.

Mandi-mandi sunat
1. Mandi hari Jumat disunatkan bagi orang yang bermaksud akan mengerjakan salat Jumat, agar baunya yang busuk tidak mengganggu orang di sekitar tempat duduknya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah bersabda, apabila salah seorang hendak pergi salat Jumat, hendaklah ia mandi.”(RIWAYAT MUSLIM)

2. Mandi Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Kurban.

“Dari Fakih bin Sa’di. Sesungguhnya Nabi Saw. mandi pada han Jumat, hari Arafah, Hari Raya Fitri, dan pada Hari Raya Haji. (RIWAYAT ABDULLAH BIN AHMAD)

3. Mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya, karena ada sangkaan (kemungkinan) ia keluar mani.
4. Mandi tatkala hendak ihram haji atau umrah.
“Dari Zaid bin Sabit. Sesungguhnya Rasulullah Saw. membuka pakaian beliau ketika bendak ihram, dan beliau mandi. (RIWAYAT T1RMIZI)

5. Mandi sehabis memandikan mayat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa memandikan mayat, hendaklah ia mandi; dan barang siapa membawa mayat, hendaklah ia berwudu.” (RIWAYAT TIRMIIZI, DIKATAKAN HADIS HASAN)

6. Mandi seorang kafir setelah memeluk agama Islam, sebab ketika beberapa orang sahabat masuk Islam, mereka disuruh Nabi mandi. Menurut hadis:
“Dari Qais bin Asim. Ketika ia masuk Islam, Rasulullah Saw. menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara. (RIWAYAT LIMA AHLI HADIS SELAIN IBNU MAJAH)

Perintah mandi diatas menjadi sunat hukumnya (bukan wajib), karena ada karinah (tanda) yang menunjukkan bukan wajib, yaitu beberapa orang sahabat ketika mereka masuk Islam tidak disuruh mandi oleh Nabi.

Jadi jika para pembaca sedang dalam kondisi diatas, sebaiknya para pembaca melakukan sunnah tersebut, selain membersihkan diri juga sekaligus mendapat pahala sunnah, ini salah satu ibadah yang menyenangkan.

Kondisi Dan Keadaan Yang Mengharuskan Wajib Mandi Dan Rukun Mandi

Yang dimaksud dengan “mandi” di sini ialah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat.
Firman Allah Swt.:
“Dan jika kamu junub, maka mandilah. “(AL-MAIDAH: 6)

Sebab-sebab yang mengharuskan wajib mandi 

(baca juga hal yang disunnahkan dalam mandi dan mandi sunnah)
Sebab-sebab wajib mandi ada enam, tiga di antaranya biasa terjadj pada laki-laki dan perempuan, dan tiga lagi tertentu (khusus) pada perempuan saja. 

1. Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila dua yang dikhitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun tidak keluar mani.” (RIWAYAT MUSLIM)

2. Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan. Sabda Rasulultah Saw.:
“Dari Ummi Salamah. Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu memperkatakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi apabila bermimpi? Jawab beliau, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air (artinya keluar mani)’ (SEPAKAT AHLI HADIS)

“Dari Khaulah, sesungguhnya ia telah bertanya kepada Nabi Saw. Mengenai perempuan yang bermimpi seperti laki-laki bermimpi. Jawab Nabi, “Ia tidak wajib mandi sehingga keluar maninya, sebagaimana laki-laki tidak wajib mandi apabila tidak keluar maui.” (RIWAYAT AHMAD DAN NASAl)


3. Mati. Orang Islam yang mati, fardu kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya, kecuali orang yang mati syahid.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Abbas. sesungguhnya Rasulullah Saw telah berkata tentang orang berihram yang terlempar dari punggung untanya hingga ia meninggal. Beliau berkata, “Mandikanlah dia olehmu dengan air dari daun sidr (sabun)’ (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Beliau berkata tentang orang yang mati dalam peperangan Uhud, “Jangan kamu mandikan mereka.” (RIWAYAT AHMAD)

4. Haid. Apabila seorang perempuan telah berhenti dari haid, ia wajib mandi agar ia dapat salat dan dapat bercampur dengan suaminya. Dengan mandi itu badannya pun menjadi segar dan sehat kembali.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Beliau berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, Apabila datang haid itu, hendaklah engkau tinggalkan salat, dan apabila habis haid itu, hendaklah engkau mandi dan salat.” (RIWAYAT BUKHARI)

5. Nifas. Yang dinamakan nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan anak. Darah itu merupakan darah haid yang berkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu mengandung.

6. Melahirkan, baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.

Fardu (rukun) mandi

1. Niat. Orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas junubnya, perempuan yang baru habis (selesai) haid atau nifas hendaklah berniat menghilangkan hadaskotorannya. 

2. Mengahrkan air ke seluruh badan.

Hal-Hal Yang Dapat Membatalkan Wudhu

Hal-hal yang membatalkan wudu adalah sebagai berikut:
(Baca juga rukun dan syarat wudhu)

1. Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya, baik berupa zat ataupun angin, yang biasa ataupun tidak biasa, seperti darah; baik yang keluar itu najis ataupun suci, seperti ulat.
Firma,, Allah Swt.:
“Atau kembali dan tempat buang air.” (AN-NIsA’: 43)

Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa orang yang datang dari wc kalau tidak ada air hendaklah ia tayamum. Berarti buang air itu membatalkan wudu.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Allah tidak menerima salat seseorang apabila ia berhadas (keluar sesuatu dari salah satu kedua lubang) sebelum ia berwudu.” (SEPAKAT AHLI HADIS)

Menurut tafsiran Abu Hurairah, “ahdasa” itu artinya keluar angin. Tetapi menurut Syaukani artinya segala yang keluar dan kedua lubang.

Sabda Rasulullah Saw. (bab benda-benda yang termasuk najis”) yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau menyuruh orang yang keluar madi supaya berwudu. Kecuali sesuatu yang keluar dari pintu-pintu yang lain atau keluar dari anggota yang lain, semua itu tidak membatalkan wudu.

2. Hilang akal. Hilang akal karena mabuk atau gila. Demikian pula karena tidur dengan tempat keluar angin yang tidak tertutup. Sedangkan tidur dengan pintu keluar angin yang tertutup, seperti orang tidur dengan duduk yang tetap, tidaklah batal wudunya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Kedua mata itu tali yang mengikat pintu dubur. Apabila kedua mata tidur, terbukalah ikatan pintu itu. Maka barang siapa yang tidur, hendaklah ia berwudu.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Adapun tidur dengan duduk yang tetap keadaan badannya, tidak membatalkan wudu karena tiada timbul sangkaan bahwa ada sesuatu yang keluar darinya. Ada pula hadis riwayat Muslim, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. pernah tertidur, kemudian mereka salat tanpa berwudu lagi.

3. Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan. Dengan bersentuhan itu batal wudu yang menyentuh dan yang disentuh, dengan syarat bahwa keduanya sudah sampai umur atau dewasa, dan antara keduanya bukan “mahram’ baik mahram turunan, pertalian persusuan, ataupun mahram perkawinan.
Firman Allah Swt.:
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.” (AN-NISA’: 43) 

Pendapat tersebut menurut mazhab Syafii, sedangkan mazhab lain ada pula yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan itu tidak membatalkan wudu, yang membatalk an wudu ialah bersetubuh. Pendapat itu berdasarkan pula pada ayat tersebut, mereka menafsirkan kata-kata “la mastum” sebagai “bersetubuh”. 

4. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan, baik kemaluan sendiri ataupun kemaluan orang lain, baik kemaluan orang dewasa ataupun kemaluan kanak-kanak. Menyentuh ini hanya membatalkan wudu yang menyentuh saja.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ummi Habibah. Ia berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, Barang siapa menyentuh kemaluannya, hendaklah berwudu’.” (RIWAYAT IBNU MAJAH DAN DISAHKAN OLEH AHMAD)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Busrah binti afwan. Sesungguhnya Nabi Saw pernah berkata, “Laki-laki yang menyentuh zakarnya (kemaluannya) janganlah salat sebelum ia berwudu.” (RIWAYAT LIMA ORANG AHLI HADIS. KATA BUKHARI HADIS INI PALING SAH DALAM HAL INI).

Dalam hadis tersebut jelaslah bahwa wudu batal karena menyentuh kemaluan sendiri, apalagi menyentuh kemaluan orang lain, sebab keadaannya lebih keji dan lebih melanggar kesopanan.

Ulama yang lain ada yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudu. Mereka mengambil alasan dengan hadis Talaq bin Ali.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Seorang laki-laki menyentuh kemaluannya, (lalu ditanyakan) apakah ia wajib berwudu? Jawab Rasulullah Saw “Zakar itu hanya sepotong daging dari tubuhmu.” (RIWAYAT ABU DAWUD, TIRMIZI, NASAl, DAN LAIN-LAINNYA).

Wednesday, 2 September 2015

Sunnah-Sunnah Dalam Wudhu


1. Membaca “bismillah” pada permulaan wudu. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Berwudulah kamu dengan menyebut nama Allah.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Pada permulaan setiap pekerjaan yang penting, baik ibadat ataupun Iainnya, disunatkan membaca “bismillah".’ 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Tiap-tiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka pekerjaan itu terputus (kurang berkah)” (RIWAYAT ABU DAWUD)

2. Membasuh kedua telapak tangan sampai pada pergelangan, sebelum berkumur-kumur. Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 

3. Berkumur-kumur; keterangannya juga perbuatan Rasulullah sendiri yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 

4 Memasukkan air ke hidung; juga beralasan pada amal Rasulultah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 

5. Menyapu seluruh kepala; beralasan pula pada amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
“DariAbdullah bin Zaid. Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengusap kepalanya dengan kedua belah tangannya yang dibolak-balikannya dimulainya dari sebelah atas kepala, kemudian disapukannya ke kuduk-nya, kemudian dikembalikannya ke tempat semula. (RIWAYAT JAMAAH)

“Dari Al-Miqdarn. Ia berkata, “Rasulullab Saw. telah diberi air untuk berwudu, lantas beliau berwudu, maka dibasuhnya kedua tapak tangannya tiga kali dan mukanya tiga kali, kemudian mernbasuh kedua hastanya tiga kali, lalu berkumur dan dimasukkannya air ke hidung tiga kali, kemudian disapunya kepala dan kedua telinganya bagian luar dan dalam.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN AHMAD)

6. Menyapu kedua telinga luar dan dalam. Keterangannya amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Tirmizi. 

7. Menyilang-nyilangi jari kedua tangan dengan cara berpanca dan menyilang-nyilangi jari kaki dengan kelingking tangan kiri, dimulai dari kelingking kaki kanan, disudahi pada kelingking kaki kiri. Sunat menyilangi jari, kalau air dapat sampai di antara jari dengan tidak disilangi. Tetapi apabila air tidak sampai di antaranya kecuali dengan disilangi, maka menyilangi jari ketika itu menjadi wajib, bukan sunat. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila engkau berwudu, hendaklah engkau silangi jari kedua tanganmu dan jari kedua kakirnu.” (RIWAYAT TIRMIZI DAN DIKATAKAN HADIS HASAN)

8. Mendahulukan anggota kanan daripada kiri. Rasulullah Saw. suka memulai dengan anggota yang kanan daripada anggota yang kiri dalam beberapa pekerjaan beliau. Nawawi berkata, “Tiap pekerjaan yang mulia dimulai dari kanan. Sebaliknya pekerjaan yang hina, seperti masuk wc, hendaklah dimulai dari kiri:’ 

“Dari Aisyah r.a. Ia berkata, “Rasulullah Saw. suka rnendahulukin anggota kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci, dan dalam segala halnya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

9. Membasuh setiap anggota tiga kali, berarti membasuh muka tiga kali, tangan tiga kali, dan seterusnya -keterangannya adalah amal Rasulullah Saw.- kecuali apabila waktu salat hampir habis, apabila dikerjakan tiga kali, niscaya habislah waktu. Dalam keadaan seperti ini haram membasuh tiga kali, tetapi wajib satu kali saja. Demikian pula apabila air itu benar-benar diperlukan untuk minum, sedangkan air yang ada tidak mencukupi, maka wajib satu kali saja, dan haram tiga kali.

10. Berturut-turut antara anggota. Yang dimaksudkan dengan berturut-turut di sini ialah sebelum kering anggota pertama, anggota kedua sudah dibasuh, dan sebelum kering anggota kedua, anggota ketiga sudah dibasuh pula, dan seterusnya. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Umar bin Khattab, “Sesungguhnya seorang laki-laki telah berwudu, maka ketinggalan (tidak terbasuh) seluas kuku di atas kakinya. Bagian yang ketinggalan itu kelihatan oleh Nabi, lalu beliau berkata, ‘Kembalilah, dan perbaikilah wudumu” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

Perkataan Rasulullah Saw. “perbaikilah wudumu” dan tidak disuruh mengulangi wudu berarti cukuplah dengan membasuh yang  ketinggalan itu saja.

Sebagian ulama berpendapat bahwa melakukan wudu menurut urutannya itu wajib, beralasan hadis:
“Dari Khalid, dari salah seorang istri Nabi Saw., “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah melihat seorang laki-laki salat, diatas tumitnya ada seluas dirham yang tidak kena air sewaktu Ia berwudu, maka Rasulullah Saw. menyuruh orang itu mengulangi wudunya.” (RIWAYAT
AHMAD DAN ABU DAWUD)


11. Jangan meminta pertolongan kepada orang lain kecuali jika terpaksa karena berhalangan, misalnya sakit. 

12. Tidak diseka, kecuali apabila ada hajat, umpamanya sangat dingin. 

13. Menggosok anggota wudu agar menjadi lebih bersih. 

14. Menjaga supaya percikan air itu jangan kembali ke badan. 

I 5. Jangan bercakap-cakap sewaktu berwudu, kecuali apabila ada hajat. 

16. Bersiwak (bersugi atau menggosok gigi) dengan benda yang kesat, selain bagi orang yang berpuasa sesudah tergelincir matahari. Lebih afdal bersugi dengan kayu arak (siwak). Disunatkan juga bersugi pada tiap-tiap keadaan yang lebih diingini daripada segala pekerjaan lain, yaitu.
  1. Tatkala bau mulut berubah karena lapar atau lama diam dan sebagainya.
  2. Tatkala bangun dan tidur, sebab orang yang bangun dari tidur itu biasanya berubah bau mulutnya.
  3. Tatkala akan salat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Aisyah. Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Sugi itu membersihkan mulut, meridakan Tuhan. “(RIWAYAT BAIHAQI DAN NASAI)


Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Beliau bersabda, “Kalau tidaklah akan menyusahkan umatku, pasti aku suruh mereka bersugi (menggosok gigi) pada tiap-tiap wudu. (RIWAYAT AHMAD)

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu pada sisi Allah lebih harum daripada bau kasturi.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

17. Membaca dua kalimat syahadat dan menghadap kiblat ketika wudu. 

18. Berdoa sesudah selesai wudu. 

19. Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai wudu.

“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah saya orang yang tobat dan orang yang suci.” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, DAN TIRMIZI).

Baca juga hal-hal yang membatalkan wudhu

Hal-hal Yang Dilarang Karena Hadas Haid Atau Nifas

Artikel ini lanjutan dari artikel sebelumnya tentang Hal-hal yang dilarang ketika memiliki hadas. 

C. Hal-hal yang dilarang karena hadas, haid, atau nifas. 

1. Mengerjakan salat, baik salat fardu ataupun salat sunat.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila datang haid, hendaklah engkau tinggalkan salat.” (RIWAYAT BUKHARI)

2. Mengerjakan tawaf, baik awaf fardu ataupun awaf sunat. 

3. Menyentuh atau membawa Al-Qur’an. 

4. Diam di dalam masjid. Adapun melewatinya boleh apabila ia tidak takut akan mengotori masjid. Tetapi kalau ia khawatir kotorannya akan jatuh di masjid, maka lewat ke dalam masjid ketika itu haram. Keterangannya ialah beberapa hadis yang tersebut di atas. 

5. Puasa, baik puasa fardu maupun puasa sunat. Perempuan yang meninggalkan puasa karena haid atau nifas wajib mengqada puasa yang ditinggalkannya itu. Adapun salat yang ditinggalkannya sewaktu haid atau nifas, tidak wajib diqadanya. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Nabi Saw. berkata kepada beberapa perempuan, ‘Bukankah perempuan haid itu tidak salat dan tidak puasa?”Jawab perempuan-perempuan yang hadir itu, “Ya, benar.” Kata Rasulullah, “Itulah kekurangan agama perempuan.” (RIWAYAT BUKHARI)

Menurut Hadist :
“Dari Mu’azah. Ia berkata, “Saya telah bertanya kepada Aisyah, ‘Bagaimanakah caranya orang haid mengqada puasanya, sedangkan salatnya tidak?’ Jawab Aisyah, “Telah terjadi pada kami haid di masa Rasulullah Saw., maka kami disuruh mengqada puasa dan kami tidak disuruh mengqada salat.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS)

6. Suami haram menalak istrinya yang sedang haid atau nifas. lbnu Umar telah menalak istrinya yang sedang haid, maka Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Beliau berkata kepada Umar, “Suruhlah anakmu itu supaya rujuk kepada istrinya, kemudian hendaklah ia tahan dahulu sarnpai perempuan itu suci, kemudian ia haid lagi, kemudian ia suci lagi, sesudah itu kalau ia (Ibnu Umar) menghendaki, teruskan perkawinan itu, dan itulah yang baik. Jika ia menghendaki, boleh ditalaknya sebelum dicampurinya. Dernikianlah iddah yang diperintahkan Allah Swt. yang boleh padanya perempuan ditalak.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

7. Suami istri haram bersetubuh ketika istri dalam haid atau nifas sampai ia suci dari haid atau nifasnya dan sesudah ia mandi. 

Firman Allah Swt.:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” AL-BAQOROH: 222)

Apakah yang wajib dihindari oleh suami ketika istrinya sedang haid? 

Dalam soal ini ada beberapa pendapat: 
1. Yang wajib dihindari ialah semua badan istri karena dalam ayat tersebut diperintahkan menjauhi perempuan dengan tidak ditentukan apanya yang harus dijauhi itu. 

2. Yang wajib dihindari hanya tempat keluar darah itu saja karena ayat tersebut membicarakan tentang darah. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Perbuatlah sekehendakmu, kecuali bersetubuh.” (RIWAYAT MUSLIM)

Asal hadis ini ialah berhubungan dengan orang-orang Yahudi di masa Rasulullah Saw. Apabila istri mereka haid, mereka tidak memberinya makan dan tidak mereka campuri. Sahabat-sahabat bertanya kepada Rasulullah, apakah perbuatan orang Yahudi itu sesuai dengan hukum. Rasulullah Saw. menjawab dengan hadis di atas. 

3. Yang wajib dihindari adalah bagian antara pusar dan lutut perempuan karena dikhawatirkan tidak sabar. 

Dan ayat tersebut timbul pula perbedaan paham antara ulama. Apabila haid sudah berhenti sebelum perempuan itu mandi, sudah bolehkah suami mendekatinya, atau mesti menunggunya mandi dahului?

Pendapat pertama mengatakan sudah boleh, tidak usah menunggu mandi lebih dahulu, karena la sudah suci.

Pendapat kedua mengatakan belum boleh sebelum ia mandi, sebab sucinya belum sempurna.

Hal yang harus diperhatikan berhubungan dengan darah 

Di antara beberpa kewajiban kaum perempuan. ialah mempelajari hal-hal dan hukum-hukum yang berhubungan dengan darah haid, darah nifas, dan darah penyakit, sebab hal yang demikian amat banyak sangkut-pautnya dengan amal ibadat dan pergaulan antara suami istri. Kalau suami pandai, wajiblah mengajar istrinya, dan sang istri wajib belajar. Akan tetapi kalau suami tidak pandai, sang istri wajib belajar pada orang lain yang dipercayainya.

Hal-hal Yang Dilarang Karena Mempunyai Hadas

A. Hal-hal yang dilarang karena hadas kecil 

1. Mengerjakan salat, baik salat fardu ataupun salat sunat. Begitu juga sujud tilawah, sujud syukur, dan khotbah jumat. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Allah tidak menerima salat salah seorang kamu apabila ia berhadas, hingga ía berwudu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

2. Tawaf; baik tawaf fardu ataupun tawaf sunat.

Sabda RasuluNah Saw.:
“Tawaf itu salat. Hanya, Allah Swt. halalkan sewaktu tawaf bercakap-cakap. Maka barang siapa berkata-kata, hendaklah ia tidak berkata melainkan dengan perkataan yang baik.” (RIWAYAT HAKIM)

3. Menyentuh, membawa, atau mengangkat Muhaf (Qur’an) kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak, jangan terbakar atau tenggelam. Dalam keadaan demikian mengambil Qur’an menjadi wajib, untuk menjaga kehormatannya.
Sabda Rasutullah Saw.: 

“Dari Abu Bakri bin Muhammad. Sesungguhnya Nabi besar Saw telah berkirim surat kepada penduduk Yaman. Dalam surat itu beliau menyebutkan kalimat: “Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang suci.” (RIWAYAT DARUQUTNI)

Sebagian utama berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi orang yang berhadas kecil untuk menyentuh Qur’an, sebab tidak ada dalil yang kuat, sedangkan hadis di atas tidak sah menurut penyelidikan mereka, atau makna tahir dalam hadis tersebut mereka tafsirkan dengan suci dari hadas besar, begitu juga ayat Qur’an yang serupa itu, mereka takwilkan.

B. Hal-hal yang dilarang karena hadas junub
1. Salat, baik salat fardu ataupun salat sunat.
2. Tawaf, baik tawaf fardu ataupun tawaf sunat.
3. Menyentuh, membawa, atau mengangkat Mushaf (Qur’an).
Keterangan ketiga larangan ini ialah beberapa hadis yang telah tercantum dalam larangan hadas kecil. 

4. Membaca AI-Qur’an. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak boleh bagi orang junub dan orang haid membaca sesuatu dari Al-Qur’an.” (RIWAYAT TIRMIZI, ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH)

Adapun membaca zikir-zikir yang tersebut dalam Al-Qur’an diperbolehkan, asal tidak berniat untuk membaca Al-Qur’an.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang junub tidak dilarang (tidak haram) membaca Al-Qur’an, sebab tidak ada dalil yang kuat, sedangkan hadis tersebut menurut penyelidikan mereka tidak sah. 

5. Berhenti dalam masjid. 

Firman Allah Swt.:
“Hal orang-orang yang beniman, janganlah kamu salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan; (jangan pula hampiri masjid), sedangkan kamu dalarn keadaanjunub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (AN-NISA: 43)

Yang dimaksud dengan salat dalam ayat itu ialah termpat salat yang dengan qarinah abiri sabil, karena yang dapat dilalui hanya tempat salat itu.

Yang diperbolehkan dalam ayat tersebut hanya melalui ternpat salat. Yang dimaksud dengan tempat salat dalam ayat ini ialah masjid. Jadi, berhenti atau duduk dalam masjid tidak diperbolehkan. 

Sabda Rosulullah SAW.
 “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid, dan tidak pula bagi orang yang sedang junub.”(RIWAYAT ABU DAWUD)

C. Hal-hal yang dilarang karena hadas, haid, atau nifas. 

Jenis Darah Yang Keluar Dari Rahim Perempuan Menurut Fiqih Islam

Karena beberapa hukum yang penting bersangkut-paut dengan beberapa macam darah yang keluar dari rahim perempuan, maka disini perlu diterangkan satu-persatu agar dapat diketahui perbedaannya. Dengan perbedaan itu dapatlah disesuaikan hukum yang bersangkutan dengan keadaan masing-masing. 

1. Darah haid (kotoran)
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah sampai umur (balig) dengan tidak ada penyebabnya, melainkan memang sudah menjadi kebiasaan perempuan. Sekecil-kecilnya perempuan, mulai haid umur sembilan tahun. Biasanya pada perempuan yang telah berumur 60 tahun ke atas haid itu akan berhenti dengan sendirinya. Lamanya haid paling sedikit sehari semalam, paling lama 15 hari 15 malam. Kebiasaannya enam hari enam malam atau tujuh hari tujuh malam. Suci antara dua haid paling sedikit 15 hari 15 malam, sebanyak-banyaknya tidak ada batas karena ada sebagian perempuan yang hanya satu kali haid selama hidupnya. Menurut pemeniksaan ulama-ulama masa dahulu, hal ini dinamakan “istisqa.” 

2. Darah nifas
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan sesudah ia melahirkan anak. Masa nifas sedikitnya sekejap, kebiasaannya (kebanyakan perempuan) keluar darah nifas selama 40 hari, dan selama-lamanya 60 hari.

3. Darah penyakit
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan karena sesuatu penyakit bukan di waktu haid atau nifas. Perempuan yang sedang berdarah penyakit itu wajib salat, dan tetap pula mengerjakan ibadat yang lain, sebagaimana yang diwajibkan bagi orang berpenyakit lainnya. Maka dari itu hendaklah ia dapat membedakan darah penyakit dengan darah haid, sebab kalau darah itu darah haid, ia tidak boleh salat atau berpuasa serta mengerjakan ibadat lain. Tetapi kalau darah itu darah penyakit wajiblah ia salat dan mengerjakan ibadat lain. Maka perempuan yang berdarah periyakit hendaklah mengerjakan sebagal berikut: 

a. Kalau ia dapat membedakan antara dua jenis darah itu dengan sifat-sifat darah, hendaklah ia jalankan kewajibannya menurut keadaan sifat-sifat itu. Berarti kalau kelihatan sifat darah haid, hendaklah ia berhenti salat. Sebaliknya jika kelihatan sifat-sifat darah penyakit, hendaklah ia mengerjakan salat dan ibadat lain.
“Dan Aisyah. Sesungguhnya Fatimah binti Abi Hubaisy telah berdarah penyakit. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Sesungguhnya darah haid itu berwarna hitam, dikenal oleh kaum perempuan. Maka apabila ada darah semacam itu, hendaklah engkau tinggalkan salat; apabila keadaan darah tidak seperti itu, hendaklah engkau berwudu dan salat (RIWAYAT ABU DAWUD DAN NASAI) 

b. Kalau darah haidnya keluar sebelum ia mengeluarkan darah penyakit tetap waktunya, umpamanya selalu diawal bulan atau diakhir bulan, maka hendaklah ia mempergunakan ketentuan itu. Artinya, waktu haidnya yang dahulu itu ditetapkan pula sekarang menjadi waktu haid yang biasa. Ia tidak boleh salat selain pada waktu yang dipandang sebagai waktu suci. Selama waktu yang demikian itu Ia wajib salat, puasa, dan mengerjakan ibadat wajib lainnya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Aisyah, bahwa Ummu Habibah binti Jahsy telah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hukum darah. Beliau berkata kepada Ummu Habibah, “Diamlah engkau selama masa haidmu yang biasa kemudian hendaklah engkau mandi dan berwudu untuk tiap-tiap salat.”RIWAYAT BUKHAR1 DAN MUSLIM) 

c. Kalau ia tidak dapat membedakan darah haid dan darah penyakit dari waktu haidnya yang biasa tidak menurut waktu yang tertentu, atau ia lupa waktunya, hendaknya masa haidnya dijadikannya sebagai kebiasaan kebanyakan perempuan dalam hal yang semacam itu (yaitu enam atau tujuh hari). Hendaklah ia meninggalkan salat dan ibadat yang lain dalam masa tujuh atau enam hari tiap-tiap bulan. Selain dari waktu yang ditentukan itu dirinya dipandang suci, maka ia wajib salat dan melakukan ibadat yang lain selama 23 atau 24 hari tiap-tiap bulan. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Hamnah binti Jahsy. Ia berkata, “Saya pernah haid yang sangat banyak (lama), maka saya datang kepada Nabi Saw. untuk menanyakannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya itu tipu daya (godaan) dari setan. Oleh karenanya jadikanlah haidmu enam atau tujuh hari, sesudah itu hendaklah engkau mandi. Apabila telah cukup bilangan hari haidmu (yaitu enam atau tujuh hari), hendaklah engkau salat 24 atau 23 hari, lalu puasa dan salatlah. Sesungguhnya yang demikian sah untukmu, dan juga hendaklah engkau lakukan tiap-tiap bulan sebagaimana haid perempuan yang lain’” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM).

Syarat-Syarat Dan Rukun Dalam Wudhu

Perintah wajib wudu bersamaan dengan perintah wajib salat lima waktu, yaitu satu tahun setengah sebelum tahun Hijriah.
Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (AL-MA’IDAH: 6)

Syarat-syarat Wudu
  1. Islam.
  2. Mumayiz, karena wudu itu merupakan ibadat yang wajib diniati, sedangkan orang yang tidak beragama Islam dan orang yang belum mumayiz tidak diberi hak untuk berniat.
  3. Tidak berhadas besar.
  4. Dengan air yang suci dan menyucikan.
  5. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit, seperti getah dan sebagainya yang melekat di atas kulit anggota wudu. 

1. Niat. Hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas atau menyengaja berwudu.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Yang dimaksud dengan nat menurut syara yaitu kehendak sengaja melakukan pekerjaan atau amal karena tunduk kepada hukum Allah SM. Firman Allah Swt.: 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (AL-BAYYINAH: 5)

2. Membasuh muka, berdasarkan ayat di atas (Al-Ma’idah: 6). Batas muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu sebelah bawah; lintangnya, dari telinga ke telinga; seluruh bagian muka yang tersebut tadi wajib dibasuh, tidak boleh tertinggal sedikit pun, bahkan wajib dilebihkan sedikit agar kita yakin terbasuh semuanya. Menurut kaidah ahli fiqh,”Sesuatu yang hanya dengan dia dapat disempurnakan yang wajib, maka hukumnya juga wajib.” 

3. Membasuh dua tangan sampai ke siku. Maksudnya, siku juga wajib dibasuh. Keterangannya pun adalah ayat tersebut di atas. (Al-Ma’idah: 6) 

4. Menyapu sebagian kepala, walaupun hanya sebagian kecil, sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun, baik yang disapu itu kulit kepala ataupun rambut. Alasannya juga ayat tersebut.

5. Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki. Maksudnya, dua mata kaki wajib juga dibasuh. Keterangannya juga ayat tersebut di atas. 

6. Menertibkan rukun-rukun di atas. Selain dari niat dan membasuh muka, keduanya wajib dilakukan bersama-sama dan didahulukan dari yang lain.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Mulailah pekerjaanrnu dengan apa yang dimulai oleh Allah Swt.” (RIWAYAT NASAI).

Friday, 28 August 2015

Cara Istinja’ (Cebok) Dan Adab Buang Air Besar Menurut Ilmu Fiqih

Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu tempat keluar kotoran, wajib istinja’dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang lebih baik, mula-mula dengan batu atau lainnya, kemudian dengan air.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Beliau telah melewati dua buah kuburan, ketika itu beliau bersabda, “Kedua orang yang ada dalam kubur ini disiksa. Seorang disiksa karena mengadu domba orang, dan yang seorang lagi karena tidak mengistinja’ kencingnya. (SEPAKAT AHLI HADIS)

“Apabila salah seorang dari kamu beristinja’ dengan batu, hendaklah ganjil” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Sulaiman berkata, “Rasulullah Saw. telah melarang kita beristinja’ dengan batu kurang dari tiga.” (RIWAYAT MUSLIM)


Dalam hadis ini disebutkan tiga batu, berarti tiga buah batu atau satu batu bersegi tiga. Yang dimaksud dengan batu disini ialah setiap benda yang keras, suci, dan kesat, seperti kayu, tembikar, dan sebagainya. Adapun benda yang licin (seperti kaca) tidak sah dipakai istinja’ karena tidak dapat menghilangkan najis. Demikian pula benda yang dihormati, seperti makanan dan sebagainya, karena mubazir.

Syarat istinja’ dengan batu dan yang sejenisnya hendaklah dilakukan sebelum kotoran kering, dan kotoran itu tidak mengenal tempat lain selain tempat keluarnya. Jika kotoran itu sudah kering atau mengenai tempat lain selain dari tempatnya,maka tidak sah lagi istinja’ dengan batu, tetapi wajib dengan air.

Adab buang air kecil dan besar
  1. Sunat mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC, dan mendahulukan kaki kanan tatkala keluar,  sebab sesuatu yang mulia hendaklah dimulai dengan kanan, dan sebaliknya setiap yang hina dimulai dengan kiri.
  2. Janganlah berkata-kata selama di dalam WC itu, kecuali berdoa dikala masuk wc, sebab apabila Rasulullah Saw. masuk wc, beliau mencabut cincin beliau yang berukir Muhammad Rasulullah. (Riwayat lbnu Hibban)
  3. Hendaklah memakai sepatu, terompah, atau sejenisnya, karena Rasulullah Saw. apabila masuk kakus, beliau memakai sepatu. (Riwayat Baihaqi)
  4. Hendaklah jauh dari orang sehingga bau kotoran tidak sampai kepadanya, supaya jangan mengganggu orang lain.
  5. Jangan berkata-kata selama di dalam kakus, kecuali apabila ada keperluan yang sangat penting yang tidak dapat ditangguhkan sebab Rasulullah Saw. melarang yang demikian. (Riwayat Hakim)
  6. Jangan buang air kecil atau besar di air yang tenang, kecuali apabila air tenang itu banyak menggenangnya, seperti tebat, sebab Rasulullah Saw. melarang kencing di air tenang. (Riwayat Muslim)
  7. Jangan buang air kecil (kencing) di lubang-lubang tanah karena kemungkinan ada binatang yang akan tersakiti dalam lubang itu, dan Rasulullah Saw. melarang yang demikian. (Riwayat Abu Dawud)
  8. Jangan buang air kecil dan besar di tempat pemberhentian karena mengganggu orang yang berhenti.

Jenis Najis Dan Cara (Kaifiat) Mencuci Benda Yang Terkena Najis

Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian:

1. Najis mugaladah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali di antaranya hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur dengan tanah.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (RIWAYAT MUSLiM)

2. Najis mukhaffafah (ringan),
misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci benda yang terkena najis ini sudah memadai dengan memercikkan air pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.  Hadist Nabi :

“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah Saw. beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI. Sesampainya di depan Rasulullah, beliau dudukkan anak itu di pangkuan beliau, kemudian beliau dikencinginya, lalu beliau merninta air, lantas beliau percikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak rnembasuh kencing itu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Kencing kanak-kanak perempuan dibasuh, dan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki.” (RIWAYAT TIRM1DI)

3. Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang tersebut di atas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian:
  • Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang kena itu.
  • Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna átau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini cara mencuci najiis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.

Benda Dan Barang Yang Termasuk Najis

Suatu barang (benda) menurut hukum aslinya adalah suci selama tak ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak di antaranya:

1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia Adapun bangkai binatang laut -seperti ikan- dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya -seperti belalang- serta mayat manusia, semuanya suci.

Firman Allah SM.:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (AL-MA’IDAH: 3)

Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum dalam ayat tersebut karena ada keterangan lain. Bagian bangkai, seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu, dan lemaknya, semuanya itu najis menurut mazhab Syafil. Menurut mazhab Hanafi, yang najis hanya bagian-bagian yang mengandung roh (bagian-bagian yang bernyawa) saja, seperti daging dan kulit. Bagian-bagian yang tidak bernyawa, seperti kuku, tulang, tanduk, dan bulu, semuanya itu suci. Bagian-bagian yang tak bernyawa dari anjing dan babi tidak termasuk najis.

Dalil kedua mazhab tersebut adalah: Mazhab pertama mengambil dalil dari makna umum bangkai dalam ayat tersebut, karena bangkai itu sesuatu yang tersusun dan bagian-bagian tersebut. Mazhab kedua beralasan dengan hadis Maimunah.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya yang haram ialah memakannya.” Pada riwayat lain ditegaskan bahwa yang haram ialah “dagingnya” (RIWAYAT JAMAAH AHLI HADIS)

Berdasarkan hadis ini mereka berpendapat bahwa menurut pengertian hadis tersebut selain dari daging tidaklah haram. Lagi pula mazhab kedua ini berpendapat bahwa yang dinamakan bangkai itu adalah bagian-bagian yang tadinya mengandung roh; bagian-bagian yang tadinya tidak bernyawa tidak dinamakan bangkai.

Adapun dalil bahwa mayat manusia itu suci adalah firman Allah Swt.:
“Dan sesungguhnya telab Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)” (AL-ISRA: 70)

Arti dimuliakan itu hendaknya jangan dianggap sebagal kotoran (najis). Lagi pula seandainya mayat manusia itu najis, tentunya kita tidak disuruh memandikannya, karena kita tidaklah disuruh mencuci najis-najis ‘ain lainnya, bahkan najis-najis ‘ain lainnya itu tidak dapat dicuci. Maka suruhan terhadap kita untuk memandikan mayat itu adalah suatu tanda bahwa mayat manusia bukan najis, hanya ada kemungkinan terkena najis sehingga kita disuruh memandikannya.

2. Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa.
Firman Allah Swt.:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi”  (AL-MA’IDAH: 3)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah : ikan dan belalang, hati dan limpa.” (RIWAYAT IBNU MAJAH)

Dikecualikan juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya diperbolehkan atau dihalalkan.

3. Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.

4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu (Dua pintu tempat buang air kecil dan air besar)
Semua itu najis selain air mani, baik yang biasa -seperti tinja, air kencing- ataupun yang tidak biasa, seperti madi (Cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki ketika ada syahwat yang sedikit), baik dari hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.

Sabda Rasulullah Saw.:
Sesungguhnya Rasulullah Saw diberi dua biji batu dan sebuah tinja keras untuk dipakai istinja Beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tinja, beliau kembalikan dan berkata, “Tinja ini najis.” (RIWAYAT BUKHARI)

“Ketika orang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid, beliau bersabda, “Tuangilah olehmu tempat kencing itu dengan setimba air.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSliM)

“Dan Ali (khalifah keempat). Ia berkata, “Saya sering keluar mazi, sedangkan saya malu menanyakannya kepada Rasulullah Saw Maka saya suruh Miqdad menanyakannya. Miqdad lalu bertanya kepada beliau. Jawab beliau, “Hendaklah ia basuh kemaluannya dan berwudu.” (RIWAYAT MUSLIM)


5. Arak, setiap minuman keras yang memabukkan

Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan.” (AL-M’IDAH: 90)

6. Anjing dan babi
Semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Cara men cuci bejana seseorang dan kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (RIWAYAT MUSLIM)

Cara mengambil dalil dengan hadis tersebut ialah, dalam hadis in kita disuruh mencuci bejana yang dijilat anjing. Mencuci sesuatu disebabkan tiga perkara: (1) karena hadas, (2) karena najis, dan (3) karena kehormatannya. Di mulut anjing sudah tentu tidak ada hadas, tidak pula kehormatan. Oleh sebab itu, pencuciannya hanya karena najis. Babi dikiaskan (disamakan) dengan anjing karena keadaannya lebih buruk daripada anjing.

Sebagian ulama berpendapat bahwa anjing itu suci, mereka beralasan dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan lbnu Umar, bahwa di zaman Rasulullah Saw. anjing-anjing banyak keluar masuk masjid dan tidak pernah dibasuh. Selain dari itu beralasan dengan firman Allah Swt.:
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.” (A1-MA’IDAH: 4)

Dalam ayat ini kita diperbolehkan memakan binatang yang ditangkap anjing dan tidak disuruh mencucinya lebih dahulu, sedangkan binatang itu sudah tentu bergelimang dengan air liur anjing yang menangkapnya itu.

Pendapat pertama menjawab bahwa keluar masuknya anjing ke masjid tidak menunjukkan sucinya. Begitu juga ayat tersebut tak dapat menjadi dalil atas sucinya, sebab memperbolehkan memakan binatang itu tidaklah berarti tidak wajib mencucinya, hanya tidak diterangkan dalam ayat karena dalil wajib mencuci najis itu sudah cukup diterangkan pada tempat yang lain.

7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup,
Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti babi atau kambing. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal dimakan, hukumnya suci.

Firman Allah Swt.:
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga.” (AN-NAHL 80)

Semua najis tidak dapat suci, kecuali arak. Jika ia sudah menjadi cuka dengan sendirinya, maka Ia menjadi suci apabila cukup syarat-syaratn ya, seperti yang akan diterangkan nanti. Begitu juga kulit bangkai, dapat menjadi suci dengan cara disamak.

Pembagian Jenis Dan Macam Air Untuk Bersuci

Dalam hukum Islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan salat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.
Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (AL-BAObRAH: 222)

Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:
a. Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.
b. Kaifiat (cara) bersuci.
c. Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d. Benda yang wajib disucikan.
e. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

Bersuci ada dua bagian

1. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudu, dan tayamum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

Macam-macam air dan pembagiannya

1. Air yang suci dan menyucikan

Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air.
Firman Allah Swt.:
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (AL-ANFAL: 11)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah r.a. Telah bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw. Kata laki-laki itu, “Ya Rasulullah, kami berlayar di taut dan kami hanya membawa air sedikit, jika kami pakai air itu untuk berwudu, maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudu dengan air taut?” Jawab Rasulullah Saw., “Air laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (RIWAYAT LIMA AHLI HADIS MENURUT KETERANGAN TIRMIDI, HADIS INI SAHLH)

“Tatkala Nabi Saw. ditanya bagaimana hukumnya sumur buda’ah beliau berkata, ‘Airnya tidak dinajisi suatu apa pun.” (RIWAYAT TIRMIDI DAN KATANYA HADIS HASAN)


Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci menyucikan” -walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa, dan baunya)- adalah sebagai berikut:
  • Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
  • Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
  • Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau kiambang. d. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dan pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.
2. Air suci, tetapi tidak menyucikan
Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakal untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam bagian ini ada tiga macam air, yaitu:
  • Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi, teh, dan sebagainya.
  • Air sedikit, kurang dari dua kulah (Banyaknya air dua kulah adalah: kalau tempatnya empat persegi panjang, maka panjangnya 1.1/4 hasta, lebar 1.1/4 hasta, dan dalam 1.1/4 hasta. Kalau tempatnya bundar, maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2.1/4 hasta, dan keliling 3.1/7 hasta), sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
  • Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dan tekukan pohon kayu (air nina), air kelapa, dan sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
  1. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis.
  2. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit -berarti kurang dari dua kulah- tidak boleh dipakal lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis.

Kalau air itu banyak, berarti dua kulah atau Iebih, hukumnya tetap suci dan menyucikan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau baunya.” (RIWAYAT IBNU MAJAH DAN BAIHAQI)
 
"Apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh suatu apa pun."
(RIWAYAT LIMA AHLI HADIS)


4. Air yang makruh
Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.

Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka Rasulullah Saw. berkata kepadanya, janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak “(RIWAYAT BAIHAQI).

Tabir Wanita