Wednesday, 7 September 2016

Prioritas Hak Mengasuh Anak Menurut Fikih Islam

mengasuh anak, cara mengasuh anak
Tanya : Siapakah yang lebih berhak mengasuh anak apabila sepasang suami istri bercerai dan menghasilkan anak dari perkawinannya. Apakah ibu atau ayah ? 

Jawab : Setiap pasangan tentu mengharapkan perkawinannya abadi, yang pertama sekaligus yang terakhir. Tetapi karena berbagai faktor, ikatan perkawinan dapat putus di tengah jalan akibat terjadinya perceraian atau kematian. Kalau perkawinan telah berlangsung cukup lama, dan menghasilkan keturunan, maka timbul permasalahan, siapakah yang lebih berhak mengurusnya antara ayah dan ibu. 

Sering terjadi kasus perebutan hak mengasuh anak pasca perceraian oleh kedua orang tua. Masing-masing merasa lebih berhak, layak dan mampu mengasuh anak. Keinginan untuk mengasuh anak tenu saja merupakan hal yang sangat positif. Hal ini menunjukkan rasa mahabbah mereka terhadap anaknya. Tetapi kalau tidak diatur, dikhawatirkan justru akan menimbulkan dampak kurang baik bagi anak. 

Oleh karena itu, masalah hak mengasuh anak pasca perceraian mendapat perhatian dari agama Islam, dan termasuk dalam paket hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah). Dalam kitab-kitab fikih, pemeliharaan anak ini disebut hadhanah, yang dibicarakan setelah perkawinan. 

Pemeliharaan anak atau hadhanah, sebagai dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu mandiri. 

Dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakuk hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan, minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur 7 (tujuh) tahun. Pada tahap perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau baligh) menjadi terbiasa dan terlatih.

Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyzz berhak mendapatkn hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, 6) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 

Mengingat pengaruh pengasuh sangat besar terhadap jasmani dan rohani anak, maka KHI pasal 156, menegaskan, apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dari hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah. 

Secara lebih detail, kitab A1-Fiqh Al-Manhaji, II, 186-187 menerangkan, pemegang hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu, 1) Beragama Islam bila mana anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4) tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli. 

Berdasarkan keterangan di atas, hak asuh ibu didahulukan atas ayah. Hal ini di samping bersandar pada dalil naqil juga didukung dalil aqli. Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku.” Mendengar pengaduan itu Rasulullah memberi keputusan seraya berkata, “Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi.” (Al-Fiqh A1-Manhaji II, 182). 

Di samping hadis tersebut, ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu (‘athifah al-umumah) pada umumnya lebih besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.

Apabila anak sudah mumayyiz maka dia berhak memilih ikut ayah dan ibunya. Setelah mumayyiz anak relatif lebih mandiri, dan ketergantungannya kepada ibu lebih berkurang. Pada saat yang sama, dia telah mampu membuat penilaian dan keputusan mengenai apa yang terbaik buat dirinya dalam batas-batas tertentu. Dia sudah bisa memilih mana yang lebih baik antara hidup bersama ayah dan ibu. Kelihatannya, hak memilih antara ayah dan ibu ini sederhana. Tetapi sebenarnya menjadi pendidikan demokrasi yang luar biasa. 

Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya (KHI pasal 156). Jadi tidak dibenarkan, apabila ayah secara tidak bertanggungjawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya semua biaya perawatan atau nafkah ditanggung oleh ibu.

Monday, 5 September 2016

Apa Hukum Nikah Lewat Telepon Menurut Fikih Islam ?

Apa Hukum Nikah Lewat Telepon Menurut Fikih Islam ?
Tanya : Bagaimana hukumnya melangsungkan akad pernikahan lewat telepon? (Abdullah, Jepara)
Jawab : Pada zaman ini, alat ukur sudah berteknologi canggth, termasuk di bidang komunikasi. Alat-alat itu sudah sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. 

Handphone canggih (samrtphone) tumbuh bagaikan jamur di musim labuh. Kenyataan tersebut mengilhami sebagian orang untuk melangsungkan pernikahan lewat telepon, karena dipandang lebih praktis apalagi bagi orang yang sangat sibuk. Namun, memutuskan hukum, tidaklah cukup hanya didasarkan atas pertimbangan kepraktisan semata. Perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang lain. Sebab menurut ajaran Islam, pernikahan sangat sakral. 

Pernikahan merupakan mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kokoh), yang bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Dilihat dan segi fungsinya, pernikahan merupakan satu-satunya cara yang sah untuk menyalurkan kebutuhan biologs dan mendapatkan keturunan, di samping meningkatkan ketakwaan seseorang. 

Melihat kedudukannya yang demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda dengan akad jual beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tan wir Al Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyar, akad pernikahan hanya dianggap sah jika dihadiri mempelai laki-laki, seorang wali ditambah minimal dua orang saksi yang adil. 

Pengertian “dihadiri” di sini, mengharuskan mereka secara fisik (jasadnya) berada dalam satu majelis. Hal itu mempermudah tugas saksi dan pencatatan. Sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak mempunyai peluang untuk mengingkarinya. 

Karenanya, akad nikah lewat telepon tidak mendapat pembenaran dari fikih. Sebab tidak dalam satu majelis dan sangat sulit dibuktikan.

Sunday, 4 September 2016

Siapa Yang Lebih Berhak Nafkahi Anak Usai Cerai ?

nafkah anak usai cerai, hukm islam, bilik islam
Tanya : Begini Kiyai, kami telah cerai dan mempunyai empat orang anak, yang dua di antaranya ikut bersama ayahnya sedang yang dua lagi ikut bersama saya. Yang ingin saya tanyakan, menurut pandangan agama dan hukum, masih berhakkah anak-anak yang ikut saya mendapatkan nafkah dari ayahnya ?Jika berhak sampai kapan batas waktunya ? (Sugorini, Semarang)

Jawab : Pada dasarnya, setiap pasangan suami istri menginginkan hubungan mereka bertahan selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah membina keluarga yang utuh agar tercipta kehidupan yang tenteram serta bahagia. Tetapi, ketika hubungan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi.

Bagaimanapun, perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu.

Karena hal-hal seperti itulah, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah meskipun diperbolehkan (halal). Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian’ (HR. Abu Dawud,Ibnu Majah dan Hakim) 

Halal karena dalam situasi dan kondisi tertentu dibutuhkan. Dibenci karena membawa akibat-akibat buruk.
Perceraian menjadi musibah atau rahmah tergantung pada bagaimana dan kapan kita melakukannya, dengan mempertimb angkan keuntungan dan risiko yang akan muncul. 

Sebagaimana saya katakan di atas bahwa anak adalah pihak yang paling dirugikan akibat perceraian orang tuanya. Maka pertanyaaan yang layak dikedepankan adalah apakah akibat perceraian, anak-anak masih berhak mendapatkan nafkah dan ayahnya? 

Hal ini sangat penting karena pada satu sisi masalah pangan menduduki urutan teratas kebutuhan manusia, sementara anak belum mampu bekerja. Pada sisi lain, kebanyakan laki-laki yang menceraikan istrinya tidak memperhatikan nafkah anaknya lagi. Apalagi jika telah menikah lagi dengan perempuan lain. 

Menurut para ulama, nafkah yang didefinisikan sebagai : “kullu ma yahtajuh al-insan min tha‘am wa syarab wa kiswah wa maskan” (segala sesuatu yang dibutuhkan manusia berupa makanan minuman pakaian dan tempat), tetap wajib diberikan orang tua (bapak) kepada anaknya, meskipun ibunya telah dicerai. 

Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah berikut :
Artinya : “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya “(QS. Ath-Thalaq: 6)

Perceraian hanya memutus tali perkawinan antara suami-istri (az-zaujiyah). Tetapi tidak memutus hubungan nasab orang tua dan anak (al-ubuwwah wa al-bunuwwah). Sampai kapanpun, status anak yang dihasilkan dalam perkawinan yang sah tetap berlaku. Jika kita mengenal ungkapan “bekas istri atau mantan istri” maka tidak dikenal istilah “bekas anak atau mantan anak.” 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 diterangkan : Akibat perceraian, semua biaya hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Pasal ini secara eksplisit membebankan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian. 

Anak adalah amanat Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Barangsiapa menelantarkan anak, maka akan memperoleh balasan yang setimpal di akhirat kelak.
 
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiyanati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhiyanati amanat-amanat ,yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Secara sosiologis, pengabaian nafkah anak pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal sang suami.

Apa Hukum Menikahi Perempuan Akibat Perkosaan ?

menikahi wanita karena perkosaan
Tanya : Saya telah membaca berita. Di situ saya membaca ada paman memperkosa keponakannya. Kalau dilihat itu kan mahramnya atau muhrimnya. Sedangkan paman menurut pengakuannya akan menikahinya. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum pernikahan tersebut beserta penjelasannya. (M. Zuhdi)

Jawab : Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis (s*ks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya.

Pemenuhan kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang dilarang dan sangat dikutuk oleh agama, baik dia dilakukan dengan suka sama suka atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas :
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekti zina, sesungguhnva zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) 

Agama Islam sebenarnya telah mengatur serta menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan. 

Pernikahan adalah : "aqdun yatadammanu istibahata istimtai’ kullin mina azzaujaini bi al-akhar ‘ala al wajhi al masyru’i" sebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat. 

Lebih dari itu pernikahan merupakan sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunnah Rasul tersebut. 

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin). 

Senada dengan pertanyaan di atas bolehkah pernikahan dilakukan dengan mahramnya sendiri (bukan muhrim, karena muhrim adalah orang yang ihram). 

Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). 

Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan Susuan. 

Perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan kekerabatan ada 7 (tujuh), ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dan ayah, dan yang terakhir bibi dan ibu.
Dalam Al-Quran disebutkan :
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dan saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnva Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23) 

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki. Dan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya. 

Selanjutnya, perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri).

Kemudian yang haram dinikahi dengan sebab susuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan (saudara susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri). 

Apabila pernikahan dengan perempuan yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan yang lebih berat.

Apakah Boleh Istri Menikah Lagi Karena Ditinggal Suami ?

hukum istri menikah lagi, bilik islam
Tanya : Saya ditinggal suami selama 3 (tiga) tahun, tidak pernah diberi nafkah. Katanya dia sudah menikah lagi. Apa pernikahan saya bisa rusak. Bolehkan saya cerai ? Bagaimana jika proses perceraian itu dipersulit pihak suami ?

Jawab : Pernikahan adalah akad yang sangat kuat (al-mitsaq al-ghalizh) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai tujuan itu, hubungan suami istri diatur oleh hak dan kewajiban. Keharmonisan sebuah keluarga sangat ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. 

Pengetahuan suami istri akan kewajibannya dengan demikian menjadi hal yang sangat penting. Pemahaman dan kesadaran terhadap kewajiban akan mendorong kepada pengamalan. Apabila kewajiban telah dilaksanakan, dengan sendirinya hak telah terpenuhi. 

Akan tetapi, dalam kenyataannya, kadangkala salah satu pihak dari suami istri tidak menunaikan kewajibannya, sehingga berdampak negatif terhadap pasangannya. Tidak jarang pula, dalam kehidupan rumah tangga karena faktor-faktor tertentu tidak lagi ditemukan perasaan sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Dalam kondisi demikian, perceraian menjadi alternatif pemecahan yang tidak terhindarkan. Perceraian bagaikan obat, rasanya pahit tetapi dibutuhkan. Menurut sebuah hadis, perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pada pasal 116 menetapkan 8 (delapan) alasan perceraian. Di antaranya : 1) bila salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, 2) bila salah satu pihak (suami maupun istri) dipenjara selama 5 (lima) tahun, 3) bila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dan lain-lain. 

Dalam literatur-literatur fikih, misalnya dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami juz 9, diterangkan bahwasanya pengadilan (qadhi) dapat menceraikan sebuah pernikahan karena: suami tidak memberi nafkah (‘adam al-infaq), penyakit atau cacat (al-’uyub wa al-’ila]), perselisthan dan kekerasan (al-syiqaq wa adh-dharar), pergi (al-ghaibah), dan dikenai hukuman penjara (al-habs). Sudah barang tentu, masing-masing sebab memiliki aturan sendiri-sendiri. 

Dalam hal tidak memberi nafkah, mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali memperbolehkan istri menuntut perceraian. Menurut madzhab Hanafi solusinya lain lagi. Jika suami mampu memberi nafkah tetapi tidak mau, maka dia dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. 

Hak menuntut perceraian akibat ditinggalkan salah satu pasangan adalah pendapat ulama Malikiah dan Hanabilah. Malikiah menetapkan masa selama satu tahun. Sedangkan Hanabilah hanya 6 (enam) bulan. Ulama Hanafiah dan Syafi’iah tidak mengakuinya.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia temyata lebih memiliki pendapat Malikiah dan Hanabilah, dengan batasan waktu yang berbeda, yaitu 2 (dua) tahun. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kepergian pasangan hidup dalam waktu yang lama sangat merugikan secara jasmani dan rohani pihak yang ditinggalkan. Padahal menurut salah satu kaidah fikih, adh-dhararu yuzal yang bersumber dari hadis ‘la dharara wa la dhirara”, hal-hal yang merugikan harus dihilangkan. Pemberian hak menuntut perceraian kepada istri yang diperlakukan demikian oleh suami sejalan pula dengan Al Quran, tepatnya surat Al-Baqarah, ayat 232, sebagai berikut :
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali,) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‘ruf itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu iebih baik bagimu dan lebih suci. Alah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. A1-Baqarah: 232) 

Suami hanya diberikan dua pilihan, mempertahkan istri seraya memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan baik pula. 

Oleh karena suami saudari penanya pergi selama 3 (tiga) tahun, apalagi tanpa memberikan nafkah, maka ia berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Selama pengadilan belum memutuskan perceraian, ikatan perkawinan masih utuh. 

Perceraian tidak dengan sendirinya terjadi dengan adanya alasan-alasan tersebut di atas. Tetapi harus lewat putusan pengadilan setelah pihak yang dirugikan menyampaikan gugatan kepada pengadilan. 

Pihak suami tidak boleh mempersulit gugatan perceraian karena hal itu menjadi hak istri. Kita tidak boleh menghalangi seseorang meraih hak-hanya. Adapun lddah dimulai sejak pangadilan memutuskan perceraian.

Friday, 2 September 2016

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang, hukum meminang menurut islam, hukum melamar menurut islam, status hkum wanita yang sudah dilamar, status lamaran, status dilamar, hukum meminang, hukum dipinang, syarat meminang.
Tanya : Bagaimanakah status perempuan yang telah dipinang dengan pria yang meminangnya? Apakah sudah seperti suami istri ataukah masih seperti orang biasa ? Mohon penjelasan Pak Kiai. Soalnya, saya pernah lihat sebagian dari mereka melakukan tindakan yang menurut saya tidak patut. 

Jawab : Dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak pernah dijumpai pernikahan tanpa didahului peminangan calon mempelai pria terhadap calon mempelai perempuan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil. 

Hal ini menunjukkan besar kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan dalam rangka membentuk keluarga ideal yang penuh sakinah, mawaddah dan rahmah lewat pernikahan. 

Peminangan dalam literatur fikih disebut khithbah. Secara harfiah, khithbah adalah thalab ar-rajul al-mar’ah li az-zawaf permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk melakukan pernikahan. 

Pengertian istilah itu tidak jauh berbeda dalam arti harfiahnya. Kompilasi Hukum Islam Indonesia mendefinisikan peminangan sebagai upaya ke arah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dan perempuan. 

Peminangan hukumnya sunah, diperintahkan, tetapi tidak sampai pada tingkat kewajiban. Tanpa peminangan, akad pernikahan tetap sah karena tidak termasuk rukun dan syarat. 

Toh demikian, seperti telah saya kemukakan, masyarakat pada umumnya tidak meninggalkan peminangan sebagai mukaddimah (pendahuluan) menuju perkawinan. 

Hal ini barangkali disebabkan banyak manfaat yang diperoleh. Lewat peminangan seorang pria mengetahui kesediaan makhthubah (perempuan yang dipinang) untuk dinikahi. Kesediaan ini sangat penting dikaitkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 16 yang menyatakan perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Lalu diperkuat oleh pasal 17, yang berbunyi : “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. 

Peminangan juga memungkinkan kedua calon mempelai saling mengenal, paling tidak secara fisik, dengan melihat secara langsung (mu‘ayanah). 

Rasulullah pernah menyuruh Al-Mughirah Ibn Syu’bah ketika meminang seorang perempuan agar melihatnya. Beliau bersabda, “Pandanglah dia, karena hal itu lebih bisa menciptakan keharmonisan antara kalian berdua.” (Al-Halal wa Al-Haram Fi Al-Islam, 170) 

Informasi yang lebih mendetail tentang kepribadian masing-masing dapat diperoleh melalui konsultasi dengan kawan atau kerabat. 

Dengan begitu, kekecewaan di kemudian hari akibat salah pilih dapat diantisipasi. Setelah memahami kekurangan dan kelebihan pasangannya, kedua pihak dapat memperkirakan risiko yang mungkin terjadi, sekaligus mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapinya dengan penuh kedewasaan.
 
Status Hukum 
Kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan hagi perkawinan ternyata belum diimbangi pengetahuan secara memadai tentang akibat hukum yang ditimbulkan. Bagaimanakah status hukum makhthubah dalam hubungannya dengan laki-laik yang telah meminangnya?

Apakah ia sama persis atau hanya dalam beberapa aspek dengan istri ataukah statusnya masih seperti ketika ia belum dipinang? 

Pada dasarnya antara peminangan dan pernikahan terdapat perbedaan yang sangat fundamental. Peminangan tidak lebih dari mukaddimah pernikahan. Dalam peminangan, laki-laki baru pada tahap mengungkapkan perasaan atau keinginan mengajukan penawaran kepada pihak perempuan untuk menikah. 

Sebuah penawaran tentu saja dapat diterima dan ditolak. Sedangkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Karena itu, setelah peminangan, status khatib dan makhthubah belum terjalin hubungan yang spesial. Mereka berdua masih dianggap seperti orang lain. Status suami istri lengkap dengan hak dan kewajibannya baru diperoleh setelah keduanya menikah. 

Ketentuan ini membawa konsekuensi, dalam masa tunggu antara peminangan sampai pernikahan, mereka berdua tidak dibenarkan mengerjakan hal-hal yang hanya diperkenankan dilakukan suami istri. Seperti berduaan di tempat sepi (al-khalwah), tidur bersama, apalagi melakukan hubungan s*ksual dan atau mukaddimahnya.

Akibat hukum peminangan terbatas pada pelarangan meminang perempuan yang telah dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan. Putusnya pinangan dapat diketahui lewat pernyataan secara lisan atau berdasarkan indikator-indikator yang lain. Rasulullah Saw. Bersabda : “Janganlah salah seorang dari kamu sekalian meminang (perempua) yang telah dipinang saudaranya, hingga ia (peminang sebelumnya) meninggalkannya atau mengizinkannya.” (Subul As-Salam: III, 113). 

Dengan demikian, para orang tua seyogyanya mengarahkan putra-putrinya agar tidak terlibat dalam huhungan terlalu jauh dengan calon pasangannya. Siapa tahu setelah salah satunya “mencicipi” yang lain, pernikahan batal dilangsungkan. Mengingat kemungkinan putusnya peminangan selama belum menikah masih terbuka. Di samping itu, perbuatan tersebut dilarang agama. Lagi pula status anak akibat “kecelakaan” sebelum pernikahan dalam masalah warisan dan lain-lain berbeda dengan anak yang sah. 

Satu hal yang jelas, memelihara kesehatan jauh lebih baik daripada mengobati penyakit. Apalagi jika penyakit itu tidak memiliki obat penawar.

Wednesday, 24 August 2016

Apa Hukum Menikah Dilarang Orang Tua Menurut Fikih Islam

Apa Hukum Menikah Dilarang Orang Tua Menurut Fikih Islam, hukum menikah, hukum menikah dilarang orang tua, pandangan islam tentang pernikahan yang dilarang, pernikahan dilarang orang tua, bilik islam
Tanya : Saya seorangpemuda, ingin menikahi seorang gadis yang saya cintai dan mencintai saya. Kehidupan kami sepadan, saya pun mampu memberikan maskawin dan nafkah, tetapi orang tua gadis menangguhkannya beberapa tahun lagi karena alasan masih kuliah. Padahal kami benar-benar ingin menikah dari pada pacaran terus. Kami takut fitnah dan khawatir terjerumus dalam jurang dosa. Bagaimana baiknya hubungan kami Kiai? (Fadli, Manado) 

Jawab : Manusia oleh Allah dalam hidup dan kehidupannya dibekali nafsu di samping akal dan intuisi atau perasaan. Dengan nafsu manusia punya syahwat, kecenderungan, dorongan, semangat dan kemauan. Salah satu dorongan nafsu yang dimiliki manusia adalah pemenuhan kebutuhan biologis, yang menurut A1-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin disebut sebagai satu satunya nikmat surga yang diturunkan Allah di dunia. Dalam kehidupan manusia, nafsu jugalah yang menimbulkan inspirasi fujur (penyimpangan) dan inspirasi takwa (ketakwaan dan kebenaran). Dan oleh karenanya ia harus dikendalikan oleh syariat, akal dan perasaan, agar dorongan takwanya dapat mengalahkan dorongan fujurnya. Meskipun dalam Al-Quran ditegaskan bahwa sesungguhnya nafsu itu banyak dan sering mengajak kepada kejelekan kecuali yang mendapat rahmat Allah. Dan satu-satunya tuntunan untuk memenuhi kebutuhan biologis adalah pernikahan. 

Dalam pandangan Islam, menikah bukan sekedar cara untuk pemenuhan kebutuhan biologis, tapi lebih dari itu adalah sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu. Begitu juga menyetubuhi istri. Barangkali persetubuhan semacam itulah satu-satunya ibadah yang sesuai dengan tuntutan hawa nafsu manusia, karena selain itu semua ibadah betapapun ringannya selalu berhadapan dengan nafsu. Hal ini perlu dipahami oleh siapa saja yang berhubungan langsung dengan pernikahan terutama calon mempelai dan orang tua sebagai walinya.

Pada dasarnya menikah untuk mencari kenikmatan adalah mubah. Tak bisa menjadi kesunahan apabila diniatkan untuk mendapatkan anak atau mengikuti sunah Rasul. Bahkan menikah menjadi wajib bagi orang yang mampu, yang khawatir terjerembab dalam lubang dosa (perzinaan) karena dorongan nafsu yang tak terkendalikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba‘ah: I 7, Nizham AJ-Usrah)

Dalam sebuah pernikahan tidak bisa tidak harus ada calon mempelai pria dan perempuan yang berlainan mahram, ada akad yang dilakukan wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada maskawin atau mahar.
Namun dalam realitas, tidak semua persyaratan itu saling mendukung. Yang sering terjadi adalah ketidaksesuaian antara anak dan walinya dalam menentukan pilihan pasangan. Kadang wali bersikeras dengan pilihannya, dan sebaliknya pula dengan si anak yang bersikukuh dengan pilihannya sendiri. Atau ketidak sesuaian itu hanya masalah waktu saja, anak ingin cepat-cepat menikah sementara wali ingin lebih lama karena alasan-alasan tertentu.

Wali nikah itu ada dua macam. Pertama, wali mujbir (ayah dan kakek), keduanya berhak memaksa anaknya menikah. Kedua, bukan mujbir, yaitu semua wali selain ayah dan kakek. Mereka tidak berhak memaksakan pernikahan. Baik wali mujbir atau bukan mujbir, menikahkan anak gadis yang sudah cukup umur dan berkeinginan menikah adalah wajib hukumnya. Apabila wali enggan atau menolak tanpa alasan-alasan syari’i untuk menikahkan anak gadisnya, maka wali hakimlah sebagai walinya. Jika ayah dan anak gadis sama-sama memiliki pilihan yang sama-sama sepadan (kufu), maka ayah boleh memaksakan pilihannya pada anaknya dan wali hakim tidak boleh menikahkannya dengan pria pilihan si gadis karena itu bukan termasuk penolakan wali. ( Al-Fiqh Al-Manhajr  II, 64-65, I’anah Ath-Thalibin, 3).

Adapun jika perselisihan itu terjadi dalam hal penentuan waktu seperti yang penanya ajukan, maka perlu diperhatikan bahwa waktu menikah adalah ketika seseorang sudah baligh, berakal dan berkeingman untuk menikah. Dan bagi laki-laki, sudah mampu memberikan nafkah dan maskawin. Saat itu tak ada lagi alasan lain untuk menunda pernikahan termasuk alasan kuliah apalagi dengan sederetan kekhawatiran fitnah dan terjerumus ke lembah dosa. Dalam keadaan seperti ini jika wali menolak, boleh dengan wali hakim. (Al-Fiqh Al-Manhajr II, 64). 

Di satu sisi belajar adalah penting, tapi di sisi yang lain di tengah masa belajar yang panjang, dorongan nafsu semakin kuat, itu tidak bisa kita ingkari. Apalagi di sekitarnya terdapat tampilan yang mengusik nafsu seperti p*rn*grafi, p*rn*aksi dan pengawasan orang tua yang tidak bisa menjangkau pergaulan putra putrinya. OIeh karena itu bagi orang tua yang memandang penting kuliah hendaknya juga tidak menafikan kepentingan anaknya untuk menikah sehingga dapatlah diambil jalan tengah. Bagi orang tua dengan menikahkan anaknya, dan bagi anak kuliah jalan terus. Toh dalam perkuliahan tidak diharuskan lajang. Atau altematif lain si anak ikut orang tua untuk tidak menikah saat kuliah dengan syarat ia mampu mengendalikan nafsunya. Kalau tidak bisa maka masing masing pihak perlu menyadari akan adanya kebutuhan biologis. Pernikahan adalah fitrah manusia sebagaimana Adam dan Hawa.

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?, cerai karena aids, hukum cerai, alasan cerai, faktor yang diperbolehkan bercerai
Tanya : Apakah AIDS dapat dijadikan alasan perceraian menurut perspektif atau pandangan hukum Islam ? (Putra Semarang)

Jawab : Pada dasamya syariat islamiyah mulai dari shalat, zakat, puasa, haji, muamalat, jinayat, sampai munakayat atau pernikahan bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia baik sebagai makhluk individual, maupun makhluk sosial dalam hubungannya dengan Allah, antara sesama manusia (lingkungan sosial) dan alam yang muara akhirnya adalah sa’adatu ad-daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat). 

Dalam konteks pertanyaan di atas, perlu disinggung terlebih dahulu makna apakah yang terkandung pada syariat penikahan. 

Secara etimologi pernikahan adalah mengumpulkan, sedangkan menutut syara’ mempunyai arti akad yang membolehkan istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis) di antara pasangan suami-istri menurut aturan syara’pula (Al Fiqhu Al-Manhajy).

Kebutuhan bergaul dengan manusia lain dan pemenuhan kebutuhan biologis bagi manusia bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna. Karena manusia hidup secara totalitas sebagai makhluk individu maupun sosial yang diciptakan oleh Allah lebih sempurna dan mulia. Oleh karena itu untuk menjaga kesempurnaan dan kemuliaannya, Islam memberikan jalan salah satunya berupa syariat pernikahan.

Namun demikian, kita sadar bahwa manusia memiliki kelemahan fisik maupun batin yang dalam pernikahan dapat menjadi cacat bagi pasangan suami istri sehingga berakibat tidak dapat melaksanakan dan menjalankan fungsi-fungsi atau kewajibannya masing-masing.

Menurut ajaran Islam (fikih) ada tujuh macam cacat yang diidentifikasj sebagai cacat penikahan (‘uyubu an-nikah) yang dapat membolehkan suami istri membatalkan pernikahannya atau cerai (fasakh), tiga di antaranya terdapat pada suami dan istri yaitu, sakit jiwa atau gila, barash atau penyakit kulit (belang-belang), judzam (lepra), dan empat cacat yang lain masing-masing dua cacat hanya terdapat pada suami yaitu, ‘unnaji (tidak dapat ereksi), majbub (terpotongnya penis) dan dua cacat yang lain sebaliknya hanya terdapat pada istri yaitu, qarn (tertutupnya alat senggama atau v*g*na) oleh tulang dan rataq (tertutupnya alat senggama oleh daging tumbuh). (Al-Majmu XVII, 435)

Kalau dikaji lebih dalam tujuh cacat di atas, dapat disederhanakan menjadi dua sebab, pertama, cacat yang dapat menjadikan orang lain menghindar (tanfir) karena membahayakan (adh-dharar) atau merasa risih sehingga mengganggu eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam terminologi fikih disebutkan tiga cacat (sakit jiwa, barash, judzam) yang kedua, cacat yang dapat menghalangi pemenuhan kebutithan biologis yang menjadi tujuan utama (maqasid al-a’zham) dari perkawinan itu sendini yaitu jima’(istimta) atau hubungan s*ks*al. Ini berarti mengurangi fitrah manusia sebagai mahluk individu yang membutuhkan kepuasan s*ks. Dalam hal ini fikih menyebutkan empat cacat (‘unnah, majbub pada suami, rataq, qarn pada istri). (Kifayah A1-Akhyar II, 59-60, Syarqawi; 235) 

Seirama dengan perubahan zaman, fenomena rumah tanggapun semakin berkembang seperti terjadi pada kasus-kasus yang baru “bagaimana kalau salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit AIDS”. Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu apa dan bagaimanakah sifat-sifat AIDS itu. 

AIDS (Acquired Immujiuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang menurut analisa medis akan menghilangakan sistem kekebalan tubuh penderitanya sehingga sangat memudahkan penyakit-penyakit lain menyerang. 

Penyakit-penyakit lain yang timbul setelah serangan AIDS menjadi susah atau tidak dapat disembuhkan karena dengan hilangnya sistem kekebalan tubuh. Semua injeksi obat-obatan menjadi tidak berarti, sementara AIDS itu sendiri sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Oleh karena itu pada batas tertentu umumnya AIDS akan merenggut nyawa penderitanya. 

Menurut ilmu medis, AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Di antara media penularanya melalui cairan-cairan tubuh yang aktif (transfusi darah, sperma atau hubungan s*ks*al). Berdasarkan analisa medis pula, hubungan s*ks dengan penderita AIDS sangat berbahaya karena dapat terinfeksi virus HIV (AIDS) yang sewaktu-waktu dapat merenggut jiwa. Padahal dalam ajaran agama, menjaga diri, kehormatan dan harta benda adalah kewajiban.

Dengan demikian AIDS telah menghilangkan atau setidaknya mengurangi arti penting sebuah perkawinan yang memiliki nuansa sosial dan individual. Pertama, menghalangi inaqshud al-a‘zham dan perkawinan yaitu Jima’ (istimta’) atau hubungan s*ks*al. Yang kedua, manjadikan orang menghindar (tanfir) karena ada adh-dharar (bahaya) maupun karena risih.

Dalam kondisi semacam itu dimana salah satu pihak dari pasangan suami-istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami-istri, maka agama membolehkan adanya perceraian. (Al Majmu XVII, 435, KHI Pasal 166 E).

Apa Hukum ‘Menyelidiki’ Perselingkuhan Dengan Istikharah ?

Hukum shalat istikharah untuk menyelidiki istri selingkuh
Tanya : Bagaimana hukum shalat istikharah untuk mengetahui istri betul-betul menyeleweng?

Jawab : Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak lepas dari berbagai persoalan yang mendorongnya memmih. Ketepatan memilih sangat penting artinya dalam rangka mencapai tujuan hidup, yakni sa’adah ad-darain, kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Untuk memperoleh pilihan atau keputusan yang tepat, Islam telah mensyariatkan: syura atau musyawarah. Sejauh mana pentingnya prinsip syura dalam Islam nampak jelas pada dijadikannya syura sebagai salah satu nama surat Al-Quran. Sebab musyawarah tidak hanya penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi juga diperlukan untuk menemukan solusi masalah-masalah pribadi, yang tergolong penting dan sensitif, seperti menentukan pasangan hidup.

Selain musyawarah atau konsultasi ada cara lain, yakni shalat lstikharah, kita minta petunjuk langsung dari Allah SWT. Dengan demikian secara terang-terangan, Islam menutup rapat-rapat pintu segala jenis perdukunan. Tidak dibenarkan seorang muslim mendatangi paranormal dan mempercayai ramalan-ramalannya. Pada dasarnya seorang paranormal adalah manusia biasa yang tidak mengetahui perkara gaib. Banyak hadis yang mengecam tindakan demikian.

Sebagaimana termaktub dalam Kamus Lisan Al-Arab, istikharah secara lughawi (bahasa) artinya thalab aI-khiyara, mencari atau meminta pilihan. Selanjutnya dijadikan nama shalat tertentu, yang dirangkai dengan doa tertentu pula untuk meminta pilihan kepada Allah SWT., ketika seseorang akan melakukan suatu pekerjaan. Seperti istisqa‘ yang artinya thalab al-suqya (meminta hujan) yang selanjutnya menjadi nama shalat untuk meminta hujan kepada Allah SWT., dalam kitab Mausu‘ah Al-Fiqh A1-Islami. Ensikiopedi Fikih Islam: VI, 17 diterangkan, shalat istikharah hukumnya sunah. Dalilnya sebuah hadis riwayat dari Jabir Ibn Abdillah ra., beliau berkata “Rasulullah SAW. pernah mengajari kami melakukan istikharah dalam segala hal, sebagimana beliau mengajarkan surat A1-Quran.

Saturday, 24 October 2015

Apa Hukum Menggunakan Pembersih Wajah Ketika Masa Berkabung ?

Sungguh kasihan nasib tante Erna, walaupun terbilang masih muda, ia harus rela menyandang status janda, karena telah ditinggal mati oleh sang suami tercinta. Meskipun dalam masa berkabung, dia tidak lupa untuk selalu tampil bugar di depan para keluarganya, walaupun hati kecilnya masih terasa amat sedih. Untuk menunjang semua itu, dia tidak lupa selalu menggunakan pembersih wajah, seperti; pond’s, supaya wajahnya kelihatan cerah, berseri dan tidak pucat. Apakah penggunaan pembersih wajah dalam kasus di atas dipebolehkan bagi tante Erna?

Jawab :
Tidak boleh. sebab hal itu rermasuk berhias.

Referensi :


 

Tuesday, 20 October 2015

Apa Hukum Menafkahi Istri Di Penjara ?


Beberapa waktu yang lalu telah dikabarkan, bahwa ada salah satu seorang istri dari artis yang tertangkap basah sedang pesta sabu-sabu. Sehingga sekarang dia harus mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Apakah masih wajib bagi seorang suami untuk menafkahi sang istri dalam kasus di atas?

Jawab : Tidak wajib.

Referensi : 
 
 
 

Monday, 19 October 2015

Apa Hukum Istri Minta Nafkah Saat Suami Mau Pergi ?


Sungguh keterlaluan…!!, sudah ditinggal sendirian, tidak diberi nafkah lagi, itulah yang dialami oleh neng Nita. Padahal sebelum suaminya pergi keluar kota, dia sudah minta jatah, tapi suaminya tidak menghiraukannya. Apakah bagi suami wajib memenuhi permintaan sang istri sebagaimana dalam kasus di atas.

Jawab : Wajib.

Referensi :

 

Sunday, 18 October 2015

Wajib Apa Tidak Memenuhi Permintaan Istri Ngidam Saat Hamil ?

Bagi para penganten baru, jangan kaget ketika sang istri yang sedang hamil ngidam minta sesuatu yang aneh-aneh. Sebab dalam keadaan seperti ini, kadang permintaan sang istri tidak lumrah. Banyangkan saja, belum musimnya mangga dia minta mangga. Yang lebih parah lagi, sudah mencarinya sulit, ternyata setelah mcndapatkan dengan susah payah, dia kadang tidak mau, malah minta yang lain. Apakah wajib bagi seorang suami memenuhi permintaan sang Istri ketika hamil muda (baca; ngidam)?

Jawab : Wajib, jika hal tersebut sudah mentradisi.

Referensi : 

 

Friday, 16 October 2015

Siapakah Yang Berkewajiban Mencuci Dan Memasak Menurut Islam ?

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak ragam suku bangsa, tradisi dan bahasa. Sebagaimana sudah mentradisi di sejumlah daerah, banyak sang istri yang diperlakukan oleh suaminya layaknya sebagai “pembantu”. Dan masalah mencuci pakaian, memasak, mengasuh anak, mernbersihkan rumah dan lain sebagainya. Belum lagi, ia harus melayani sang suami di malam harinya. Tradisi ini belangsung secara turun-temurun, hingga memunculkan anggapan di kalangan masyarakat. bahwa hal ini menjadi tugas dan kewajiban seorang istri. Sehingga seorang istri merasa tertuntut melakukan tugas-tugas tersebut, terlebih bila suaminya menyuruh melakukannya.

Pertanyaan :
a. Bagairnana hukumnya suami membiarkan atau menyuruh istrinva melakukan tugas-tugas, seperti; mencuci, memasak, mengasuh anak dll. Sementara istri melakukannya, karena beranggapan hal itu memang menjadi kewajibannya? 

b. Apakah istri boleh meminta upah atas pekerjaan rumah yang ia lakukan, karena hal itu bukan sebagai kewajibannya?

Jawab :
a. Memasak, mencuci dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya menurut madzhab Syifi’i bukan kewajiban istri. Oleh karenanva, suami wajib memberikan penjelasan kepada istrinya, tentang hukum siapa sebenarnva yang berkewajiban melakukan semua itu. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, pekerjan rumah tangga, meliputi memasak, mencuci dan menyapu rumah, termasuk pelayanan yang wajib diberikan istri pada suaminya.

b. Istri tidak berhak mendapat upah atas pekerjan rumah yang telah ia lakukan.

Referensi : 
 
 
 
 
 

Thursday, 15 October 2015

Kapan Waktu Wajibnya Memberi Nafkah Istri ?

Tidak sedikit dikalangan masyarakat yang belurn mengetahui secara konkrit, tentang masalah menafkahi keluarga. terutama nafkah pada sang istri. Seperti; nafkah dhahir yang melipun kebutuhan pokok, pakaian dan lain sebagainya. Selama ini yang menjadi acuan mereka adalah budaya setempat yang terlaku, mereka tidak tahu, apakah hal itu sudah sesuai dengan syara’ atau belum.

Pertanyaan :
a. Sebenarnyn kapan sang suami wajib memberi nafkah pada istrinya?
b. Apakah memberi pakaian juga termasuk nafkah yang wajib dipenuhi dan berapakali sang suami barus memberi pakaian tersebut?

Jawab :
a. Kevajiban nafkah pada istri dimulai pada saat waktu fajar pada setiap hari.
b. Ia, wajib dipenuhi. Sedangkan kewajibannya suami harus membelikan baju untuk istrinva adalah setengah tahun sekali. Untuk setandar kwalitas bajunya, disesuaikan dengan kemampuan sang suami.

Referensi :

Apakah Wajib Nafkahi Anak Saat Libur Panjang ?

Dalam leteratur klasik dipaparkan, bahwa memberi nafkah bagi orang tua kepada anaknya adalah sebuah kewajiban. Bahkan ketika sang anak sudah baligh pun orang tua tetap berkewajiban memberi nafkah, asalkan dalam tahap mencari ilmu dan bisa diharapkan keberhasilannya.

Petanyaan :
a. Wajibkah bagi orang tua memberi nafkah, ketika anaknya libur panjang?
b. Wajibkah bagi orang tua membelikan buku atau kitab?

Jawab :
a. Tidak wajib, kecuali jika anak itu bekerja akan mengangggu konsentrasi dan kesuksesan belajarnya.
b. Wajib.

Catatan: Menurut Imam Al-’Adzro’i dan Ar-Rofi’i, jika kebiasaan anak tersebut tidak bekerja, maka orang tua tetap wajib menafkahi.

Referensi : 
 
 

Tuesday, 13 October 2015

Bagimana Maksud Menyayangi Dalam Konteks Pernikahan ?

Ritual nikah dalam Islam, merupakan peristiwa sakral, yang mempertemukan dua karakter yang berbeda dalam mengarungi kehidupan ini.

Sehingga bagi keduanya harus saling menyayangi dan memahami satu sama lainnya, demi tercapainya tujuan yang mulia tersebut. Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah ayat yang berbunyi; “Wa ‘Asyiru hunna bil ma’rufi“. Sejauh mana kandungan yang dimaksud dalam ayat tersebut?

Jawab : Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah memberikan haknya istri tanpa menunda-nunda. tidak menyakitinya dan mencukupi segala kebutuhan kehidupannya menurut kemampuan suami.

Referensi : 

 

Monday, 12 October 2015

Apa Hukum Bervariasi Dalam Hubungan Intim ?

Sejak dini Islam telah mengajarkan juga dalam melakukan hubungan intim yang benar. Namun ketika getaran hasrat seorang pria mulai memuncak dan tidak dapat dikendalikan lagi, semuanya akan terlupakan. Sehingga dalam memenuhi hasratnya, terkadang sang suami meminta pasangannya untuk bervariasi ketika bersetubuh. Seperti; (maaf) bersetubuh sambil berdiri, jurus cakar elang dan sesamanya. Haruskah sang istri memenuhi permintaan sang suami dalam kasus di atas?

Jawab : Tidak harus. Artinya, dengan menolak hal tersebut, sang istri tidak termasuk tidak taat sama suami (tidak berdosa), kecuali dengan tanpa variasi s*x, sang suami tidak bisa mengeluarkan sperma.

Referensi : 
 
 

Friday, 9 October 2015

Apa Hukum Mencari Hari Baik ?

Merupakan hal yang lumrah dimasyakat, bahwa setiap akan mengadakan resepsi pernikahan, biasanya shahib al-hajat menanyakan bulan, tanggal dan hari yang baik pada seorang kyai, dukun dan lain sebagainya.

Pertanyaan :
a. Adakah menurut Islam anjuran resepsi pernikahan harus dilakukan dalam waktu tertentu?
b. Bagimana hukumnya bagi seorang yang mempercayai hari-hari tersebut dapat berpengaruh?

Jawab :
a.Secara terpcrinci tidak ada, namun hanya ada ketentuan secara umum, yakni; disunahkan nikah pada bulan Syawal.

b.Menurut Ibnu Farkhan, hukumnya tidak apa-apa jika meyakini bahwa terjadinya hal-hal tersebut karena kehendak Allah SWT.

Referensi :
 
 
 

Wednesday, 7 October 2015

Apa Hukum Nikah Atas Perintah Orang Tua ?


Malang sekali nasib Neng Erhta. Bagaimana tidak, dia yang dikenal dengan sosok gadis yang lugu dan ta’at pada agama, dipaksa oleh keluarganya untuk menikah dengan preman kaya di desanya. Karena takut, akhirnya dengan sangat terpaksa, dia mau menikah dengan preman tersebut. Sahkah nikah dalam kasus di atas?

Jawab : Nikahnya tidak sah, karena tidak sepadan (sekufu’).

Referensi : 


Tabir Wanita