Tuesday, 25 October 2016

Hukum Mengucapkan "Sayyidina" Dalam Shalawat (Sebelum Nama Muhammad)

mengucapkan sayyidina sebelum nama nabi
Sepatutnya bagi orang-orang besar, terutama sekali bagi sayyidul anbiya’ wal mursalin yakni Nabi Muhammad Saw. diberikan laqab atau gelar dengan “Sayyidina” yang berarti penghulu atau junjungan kita. Hal ini dikarenakan Nabi kita Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin dan junjungan ummat, melainkan juga sebagai penghulu sekalian nabi.
 
Kalau terhadap Nabiullah Yahya bin Zakaria Al-Qur’an memberikan gelar sayyid sebagaimana tersebut dalam surat Ali lmran ayat 39 :
“Dan beliau adalah sayyid, mampu menahan diri (dari hawa nafsu) dan juga seorang nabi dari keturunan orang-orang saleh”
 
Maka tentulah bahwa gelar itu lebih utama lagi diberikan kepada Rasulullah Saw.
 
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 67 Allah Swt. Berfirman :
“Mereka (para penghuni neraka) berkata Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi para pemimpin dan pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dan jalan yang benar”.
 
Dan dalam surat Yusuf ayat 25 :
“Wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek dan kedua-duanya menjumpai suami wanita itu secara tiba-tiba ada di depan pintu”.
 
Sedangkan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw. Bersabda :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya”.

Dalam tiga penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits diatas diterangkan bahwa pemimpin, suami dan bahkan semua anak Adam (manusia) dapat juga dikatakan sayyid. Kalau demikian keadaannya, maka apakah manusia yang paling tinggi harkat dan martabatnya di sisi Allah Swt. yakni junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. tidak boleh disebut sayyid ? Maha benarlah Allah Swt. yang telah berfirman :
“Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang tersembunyi dalam dada”. (QS.Al-Haj : 46) 

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw. memberitahu para sahabatnya dimana pada hari kiamat nanti Allah Swt. akan menggugat para hamba-Nya dengan ucapan : “alam ukrimka wa usawwidka (Bukankah engkau telah Aku muliakan dan telah Aku jadikan sayyid ?)“ . Makna hadits ini bahwa Allah Swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada setiap manusia. Dan kau kenyataannya memang demikian, maka apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada yang lain ? Kalau manusia biasa saja dapat disebut sayyid, apakah Rasulullah Saw. tidak boleh disebut sayyid.?
 
Demikian juga terhadap ahli baitnya, semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan .bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada puteri beliau Siti Fatimah r.a :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah para wanita ummat ini?”.
 
Dalam shahih Muslim terdapat hadits senada yang berbunyi :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?.

Berdasarkan dua hadits riwayat Bukhari dan Mushm diatas, maka kita terbiasa menyebut puteri Rasulullah Saw., Siti Fatimah az-Zahra dengan sebutan sayyidatuna atau sayyidati yang dalam bahasa Indonesia telah berubah lafaz (diringankan) menjadi “Siti” yang maknanya sama dengan “sayyidati”.
 
Demikian pula halnya terhadap cucu Rasuullah Saw. yaitu Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari dan At Turmuzi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad yang sahih bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. Bersabda :
“Hasan dan Husein adalah dua orang yang akan menjadi sayyid para pemuda ahli surga”.
 
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu‘anhuma, kedua-duanya juga disebut sayyid oleh Rasulullah Saw.
 
Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Abu Bakar dan Umar adalah dua sayyid para sesepuh ahli surga baik dari kalangan terdahulu maupun terkemudian kecuali para Nabi dan Rasul”.

Ketika Sa’ad bin Mu’az diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraizhah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memanggilnya. Sa’ad-pun datang sambil berkendaraan yakni menunggang keledai. Melihat hal itu Rasulullah Saw. berkata kepada orang-orang yang hadir :
“Berdirilah untuk menghormati sayyid kalian atau orang yang terbaik diantara kalian”. 

Setelah dikemukakan sekian banyak hadits Nabi yang mengindikasikan tentang bolehnya menggunakan sayyid ketika menyebut nama Rasulullah Saw., apakah mereka yang tidak setuju masih tetap bersikeras menentang penggunaan sayyidina ketika menyebut nama beliau ? Apakah mereka itu tidak khawatir akan dikesankan sebagai orang yang mengingkari martabat Rasulullah Saw. sebagai Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin (Penghulu sekalian Nabi dan Rasul)? 

Kalau diketengahkan sebuah hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang berkata :
“Pernah Nabi Saw. keluar menuju kami lalu kami berkata ‘‘Sesungguhnya kami telah mengetahui bagaimana mengucap salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami akan menghaturkan shalawat untukmu ? Nabi Saw. menjawab : Ucapkanlah “Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad hingga akhirnya” dimana dalam hadits ini tidak disebutkan lafaz sayyidina, lalu berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa mengucap sayyidina adalah bid’ah dhalalah, maka kesimpulan ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat dan tergesa-gesa. 

Pada hadits tersebut Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya bagaimana cara mengucap shalawat kepada beliau ? Dan karena shalawat yang ditanyakan itu adalah berkenaan dengan diri beliau sendiri, maka sebagai orang yang tawaadhu’ dan tidak suka menyombongkan diri akan terasa berat bagi beliau untuk mencantumkan sayyidina pada nama beliau karena sayyidina itu adalah gelar kebesaran; Oleh karena itu, maka Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan sahabat itu dengan :
Jangankan Nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan penuturan para ulama adalah syadiidal hayaa’ wat tawaadhu’ (sangat pemalu dan suka merendahkan diri), kita saja akan merasa berat dan merasa tidak enak menyebut-nyebut gelar pada nama kita. 

Cobalah kita bertanya pada seseorang siapa namanya ? Walaupun pada hakekatnya dia telah bergelar professor atau doctor tetapi tentu dia tidak akan merasa enak untuk menyebut-nyebut gelarnya itu. Dia pasti hanya mencukupkan diri dengan menyebut namanya saja. 

Tetapi walaupun ia tidak mau menyebutkan gelarnya itu kepada kita, namun apabila kita sendiri yang akan menyebut namanya, maka sebagai tanda kita menghormati dia, tentunya akan lebih baik kalau gelarnya itu kita cantumkan. 

Nah, Begitu jugalah halnya dengan Nabi kita Muhammad Saw., walaupun beliau tidak menyebutkan gelar sayyidina diketika beliau mengajarkan tata-cara bershalawat namun sebagai adab dan penghormatan kita kepada beliau, sepatutnyalah kita cantumkan gelar sayyidina itu apabila kita menyebut-nyebut nama beliau atau mengucapkan shalawat untuk beliau. 

Oleh karena itulah, maka Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan di dalam kitab beliau Hasiyatul Bajuri jilid I/156 :
“Yang lebih utama adalah menyebut sayyidina karena yang afdhal adalah menerapkan sikap adab”.
 
Demikian pula pendapat Syaikh Sihabuddin al-Qalyubi di dalam kitabnya jilid I/167 :
“Bahkan menyebut sayyidina yang afdhal karena di dalamnya terdapat pelaksanaan perintah beserta penerapan adab”.

Dan juga penjelasan Syaikh Ibnu Qasim al-Ubbadi di dalam Hasiyah kitab Tuhfatul Muhtaj jilid I/268:
“Dan telah masyhur fatwa ulama tentang tambahan sayyidina sebelum Muhammad”.
 
Sedangkan dalam kitab Hasiyah Sanusi halaman 8 ditegaskan bahwa fatwa yang rojih (kuat) adalah : “Menjalankan adab didahulukan daripada menjalankan perintah”.

Selanjutnya mari kita perhatikan sebuah penjelasan yang tersebut dalam kitab Nailul Authar oleh Imam Syaukani jilid II/302 :
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Abdissalam bahwa beliau menjadikan penggunaan “sayyidina” itu sebagian daripada bab “Menjalankan Adab” yaitu didasarkan kepada kaidah bahwa menempuh jalan adab lebih disukai daripada menjalankan perintah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Abu Bakar ketika Nabi Saw. memberikan perintah kepada beliau agar tetap ditempatnya (untuk menjadi imam shalat) lalu beliau tidak melaksanakan perintah itu dan berkata : “Tidak sepatutnya bagi anak Abi Quhafah untuk maju dan berdiri dihadapan Rasululah Saw.”. Dan begitu juga keengganan Ali bin Abi Thalib untuk menmghapus nama Nabi Saw. dan surat perjanjian pada perdamaian Hudaibiyah sesudah Nabi memberi perintah untuk melakukannya. Ketika itu Ali berkata “Aku tidak mau meughapus namamu selama-lamanya”. Kedua hadits ini terdapat dalam sahih Bukhari. Maka pengakuan Nabi Saw. terhadap sikap Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib perihal keengganan menjalankan perintah dengan tujuan menjalankan adab adalah menunjukkan keutamaan hal tersebut”.
 
Demikianlah beberapa penjelasan seputar kemusykilan yang diajukan berkaitan dengan sabda Nabi Saw. dalam riwayat Ka’ab bin Ajroh yang hanya memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat dengan menyebut nama beliau tanpa kata “sayyidina”. 

Sebenarnya, meski terdapat riwayat yang tidak menyebutkan kata sayyidina dalam pengajaran beliau tentang tata cara mengucapkan shalawat -dan untuk hal tersebut telah dijelaskan maksud yang terkandung di dalamnya- namun dalam beberapa riwayat lainnya yang bersifat pengkhabaran (informasi) justru terdapat pengakuan yang jelas bahwa Nabi Saw. adalah seorang sayyid. Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam” 

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
 
Dalam hadits riwayat Ahmad, lbnu Majah dan Turmuzi terdapat sebuah hadits dimana Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam di hari kiamat nanti”.
 
Riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Saya adalah sayyid semua manusia di hari kiamat”.
 
Hadits ini oleh Rasulullah Saw. sendiri diberikan makna sebagai berikut : -
“Pada hari kiamat nanti, Adam dan para nabi lainnya akan berada dibawah benderaku”.
 
Riwayat dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalaa’ilun Nubuwwah” menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid kaum mukminin jika mereka telah dibangkitkan nanti”.

Sedangkan hadits riwayat al-Khatib mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah imam kaum muslimin dan sayyid orang-orang yang bertakwa”.

Semua hadits yang tersebut diatas adalah mutawatir dan itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. adalah sayyid. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Saw. adalah satu hal yang tepat dan sangat pantas dilakukan oleh setiap muslim yang mencintai beliau. 

Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan terang menunjukkan bahwa beliau lebih suka dipanggil dengan sayyidina. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad shahih berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah Saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt. beliau bertanya “Siapakah aku ini ?” . Kami menjawab “Rasulullah!”. Beliau berkata : “Ya benar, tetapi siapakah aku ini ?”.Kami menjawab : “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf!”. Beliau kemudian berkata “Aku adalah sayyid anak Adam”.

Ada sementara orang yang tidak setuju penggunaan kata sayyidina diketika menyebut nama Rasulullah Saw. mengajukan sebuah hadits yang berbunyi :
“Jangan kalian menyebutku sayyid di dalam shalat”. 

Tampaknya orang tersebut sudah kepayahan mencari dalil untuk menolak penggunaan kata sayyidina sehingga hadits itulah yang terpaksa diajukannya. Padahal hadits tersebut sudah dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits palsu (maudhu). Dalam kitab Al-Hawi, Jalaluddin as-Suyuthi ketika menjawab pertanyaan tentang hadits itu berkata dengan tegas bahwa hadits itu tidak pernah ada alias batil. Al-Hafiz as-Sakhawi dalam kitab “Al-Maqashidul Hasanah” mengaskan bahwa hadits itu tidak karuan sumbernya. Jalaluddin al-Mahalli, Syamsur Ramli, lbnu Hajar al-Haitsami, Imam al-Qari serta para ahli fiqh madzhab Syafi”i dan Maliki mengatakan bahwa hadits itu sama sekali tidak benar. 

Kecuali itu terdapat indikasi lain yang betul-betul memastikan hahwa hadits itu adalah hadits palsu yakni penggunaan kata tusayyidu. Hal ini karena dalam bahasa arab tidak terdapat kata kerja (fi’il) yang berakar kata “sayyada” kemudian menjadi “yusayyidu”. Yang ada hanyalah "sawwada” menjadi “yusawwidu” yang berarti memuliakan. Tidaklah mungkin sama sekali bahwa Rasulullah Saw, yang digelari oleh para pujangga arab dengan afshahu naathiqin bid dhad yakni orang yang paling fasih mengucapkan kata-kata arab justru malah menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh orang arab sendiri. Karenanya penggunaan kata yang tidak tepat dalam hadits itu termasuk satu indikasi yang menguatkan kepalsuan hadits tersebut.

Monday, 24 October 2016

Apa Hukum Menjawab Salam Dari Televisi Menurut Fikih Islam ?

hukum menjawab salam
Tanya : Ketika menonton televisi seringkali pembawa acara, narasumber dan lainnya mengucapkan salam kepada para pemirsa. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukumnya menjawab salam tersebut ? (Abdul Khaliq, Jepara) 

Jawab : Mengucapkan salam, sebenarnya bukan sekedar salah satu bentuk sopan santun atau tuntutan etika pergaulan saja, juga bukan budaya adat istiadat semata. Lebih dari itu, mengucapkan salam merupakan sunah Nabi Muhammad Saw. yang bernilai ibadah, dalam arti pihak yang mengucapkan dan yang menjawab, memperoleh pahala dan Allah Swt.

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintah umat mengucapkan salam ketika seorang memasuki rumah (An-Nur : 61). Sebaliknya, melarang memasukinya sebelum meminta izin dan memberi salam terlebih dahulu (An-Nur : 27).

Al-Qur’an juga menginformasikan, tradisi salam juga telah berlaku pada zaman Nabi Ibrahim as. yaitu ketika beliau kedatangan tamu (Adz-Dzariyat: 24).

Rasulullah Saw. sendiri dalam banyak hadis memberikan motivasi kepada umatnya agar mengucapkan salam sekaligus membiasakannya sebagai salah satu syiar Islam : Misalnya sebuah hadis yang bersumber dari riwayat Abdullah Ibn Amr ra. Beliau bercerita tentang seorang lelaki bertanya kepada baginda Rasulullah tentang perbuatan/amal yang terbaik dalam agama Islam. Lalu beliau menjawab :
Artinya : “Berikanlah makanan dan ucapan salam kepada orang yang kau kenal dan tidak kau kenal“ (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dalam hadis lain, beliau bersabda : “Wahai manusia, ucapkanlah salam, berilah makanan, sambunglah ikatan kekerabatan (silaturrrahim), salatlah pada saat orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan selamat” (Al-A dzkar: 202).

Berangkat dari dalil-dalil tersebut dan lainnya, para ulama berkesimpulan mengucapkan salam di luar salat hukumnya sunah. Ketetapan itu telah menjadi konsensus (ijma) di antara mereka (Al-Adzkar: 206). Tetapi menjawabnya, justru wajib hukumnya. Meskipun begitu, mengucapkan salam tetap lebih utama daripada menjawabnya. 

Jadi, dalam konteks itu terdapat klausul bahwa perbuatan sunah lebih utama daripada perkara yang berstatus hukum wajib. Hal itu merupakan pengecualian salah satu kaidah dalam fikih yang menyatakan, perkara wajib itu lebih utama daripada sunah. Sebenarnya yang demikian itu adalah sangat logis, mengingat jawaban merupakan akibat dari ucapan salam (Al Asybah wa An-Nazhair: 161-162). 

Seperti saya katakan, menjawab salam hukumnya wajib atau fardhu. Perlu diketahui, fardhu kaitannya dengan menjawab salam adakalanya bersifat fardhu ain dan adakalanya fardhu kifayah. Tergantung pada jumlah pihak yang diberi salam (musallam- alaih). 

Kalau hanya satu orang, menjawab adalah fardlu ain baginya. Tetapi jika jumlahnya banyak, hukumnya fardhu kifayah. Sehingga, kalau salah satu dari kelompok itu telah menjawab salam, maka telah gugur kewajiban yang lain, meskipun yang lebih baik adalah menjawab semuanya (Al-A dzkar.)
Karena itu menjawab Salam yang disampaikan orang lewat televisi hukumnya fardhu kifayah, karena pemirsa jumlahnya banyak, meskipun kedua belah pihak tidak berada dalam satu tempat (Al-Fatwa Al-Kubra: 4/246. Asy-Syarqawi: I/161-162). Jika salah satu pemirsa telah menjawab, maka itu sudah cukup. Tapi kalau semua menjawab, itu lebih baik lagi. Apa bila tidak seorangpun menjawab, maka berdosa semua. 

Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis riwayat dan Ali ra.:
Artinya :“Telah mencukupi bagi sekelompok orang yang lewat, ucapan salam salah satu dari mereka. Dan telah mencukupi bagi orang-orang yang duduk jawaban salah satunya.” (HR. Abu Dawud)

Hadis itu menjelaskan dalam sebuah kelompok, ucapan dan jawaban salam satu orang dari mereka sudah cukup. Ucapan salam sebagai sunah Nabi yang bernilai ibadah tersebut, ternyata membawa pengaruh sosial yang sangat besar, dalam rangka mewujudkan hubungan anggota masyarakat yang penuh kedamaian dan keramahan.

Mengucapkan assalamu’alaikum itu sendiri, pada hakikatnya sebuah upaya menyebarkan keselamatan dan kedamaian lewat doa. Sebab, artinya kurang lebih adalah “semoga keselamatan/kedamaia atas kamu” atau “semoga kamu mendapatka keselamatan dan kedamaian”.

Jika nilai salam itu dihayati betul-betul, pada gilirannya diharapkan segala aktivitasnya juga akan mendatangkan kedamaian dan ketenteraman, paling tidak segala tindakannya tidak merugikan orang lain. Dan itulah salah satu karakteristik muslim yang sejati. 

Dalam hal itu Rasulullah bersabda :
Artinya : “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad) 

Sangatlah naif, bila lisan kita mendoakan orang lain supaya selamat dan damai, sedangkan tangan kita justru melakukan hal-hal yang mengganggu keselamatan dan kedamaiannya. Itu berarti, tidak satunya kata dan perbuatan.

Saturday, 15 October 2016

Hukum Mengucapkan Salam Dan Etika Mengucapkan Salam

cara menjawab salam
Tanya : Bagaimana hukum mengucapkan salam ? Bagaimana caranya ? Kepada siapa salam diucapkan ? (Ibu susilo, Banyumanik, Semarang) 

Jawab : Islam adalah agama yang memerintahkan perdamaian dan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Islam itu sendiri terambil dari kata as-salam, yang berarti keselamatan dan kedamaian. Atau dari kata as-sulam, yang berarti tangga.

Karena itu, sangatlah tepat bila salah satu syiar agama tersebut adalah mengucapkan salam (taslim) ketika bertemu (liqa) atau berpisah (mufaraqah) antara sesama muslim, dengan mengucapkan assalamu’alaikum yang artinya semoga keselamatan/ kedamaian atas kamu. 

Menurut para ulama, hal itu akan lebih baik jika disambung dengan kata warahmatullahi wabarakatuh (dan rahmat serta berkahnya). 

Mengucapkan salam bukan sekedar menjalankan adat atau budaya. Bukan pula ungkapan basa-basi dan bermanis muka. Lebih dari itu, merupakan ibadah dan salah satu syiar agama. Sebagai ibadah, hukumnya sunah, yang sudah barang tentu menjanjikan pahala. Meski demikian menjawab salam, hukumnya wajib. 

Menurut para ulama, orang yang mengucapkan salam dianggap lebih utama daripada yang menjawabnya. Hal itu seperti termaktub dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair, merupakan salah satu masalah yang dikecualikan dari kaidah fikih yang menyatakan perkara wajib lebih utama daripada sunah. 

Anjuran salam didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Quran, di samping hadis dan ijmak. Dalil dari Al-Quran umpamanya ditemukan pada surat An-Nur : 27 dan 61, An-Nisa’: 86. dan Adz-Dzariyat: 24. 

Dasar dari sunah, misalnya sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah Ibn Salam bahwa Rsulullah bersabda :
Artinya : “Wahai sekalian manusia, ucapkan salam, berilah makanan, laksanakan silaturrahim, dirikanlah shalat (malam) ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat. “(HR. Hakim dan Ibn Majah)

Mengucapkan salam bukanlah hal baru dalam Islam, semenjak kerasulan Nabi Muhammad surat Adz-Dzariyat ayat 24 tersebut merupakan salah satu buktinya.

Ayat itu menceritakan kedatangan sekelompok malaikat, yang menyamar seperti manusia ke rumah Nabi Ibrahim as. Ketika masuk, mereka mengucapkan salam kepadanya, dan beliau menjawabnya. 

Bahkan, salam telah dikenal sejak zaman Nabi adam as. Dalam kitab Sahihain Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan sebuah hadis dari Abi Hurairah, yang menceritakan bahwa Adam as. diciptakan Allah, beliau lantas disuruh mengucapkan assalamu’alaikum kepada sekelompok malaikat, dan mereka pun menjawabnya dengan mengucapkan wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh. 

Nabi Adam juga telah diberi tahu Allah Swt. apa yang beliau ucapkan merupakan tahiyah (penghormatan/ucapan selamat) baginya, dan keturunannya kelak. 

Sedangkan taslim (mengucapkan salam) di samping bernilai ibadah, memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu mempererat tali persaudaraan, cinta kasih, dan solidaritas antar sesama. 

Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
Artinya : “Kalian tidak masuk surga sehingga beriman, dan kalian tidak beriman, dalam arti belum sempurna, sehingga saling mengasihi, dan tidaklah saya menunjukkan kepadamu suatu perbuatan yang bila kalian lakukan niscaya akan saling mengasihi. Populerkan ucapan salam antara kamu sekalian.” (HR. Muslim) 

Kita semua tahu, cinta kasih merupakan faktor yang fundamental dalam upaya menciptakan tata hubungan yang harmonis dalam suatu masyarakat. Di kalangan bangsa Arab, terkenal pepatah lau la al-wi’am lahalaka al-anam, jika tiada keharmonisan/kerukunan niscaya umat manusia akan binasa. Karena itu, anjuran mengucapkan salam berlaku atas semua umat Islam. 

Kita tidak perlu memilah-milah, antara yang atasan dan bawahan, orang yang dikenal dan orang asing, teman dan musuh. Semuanya ketika bertemu, atau berpisah dianjurkan mengucapkan salam. 

Misi agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin rahmat alam semesta. Dan muslim yang satu dengan yang lain adalah saudara (almuslimu akhu al-muslim).

Sahabat Abdullah Ibn Amr Ibnu Al-Ash ra. berkata: “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk paling utama dalam agama Islam. Lalu beliau menjawab:
Artinya : “Berikanlah makanan dan ucapan salam kepada orang yang kau kenal dan tidak kaukenali.“ (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dalam kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik Ibn Anas dijelaskan, ada sahabat yang sangat gemar mengucapkan salam, namanya Abdullah Ibn Umar. Setiap pagi, beliau pergi ke pasar dan selalu mengucapkan salam kepada siapa saja yang dijumpainya. Kalau sampai di pasar, beliau tidak pernah melakukan transaksi jual-beli atau menawar barang-barang yang ada di dalamnya. 

Kebiasaan itu diketahui betul oleh salah seorang sahabatnya, Thufail Ibn Ubayy Ibn Ka’b karena didorong rasa ingin tahu, suatu hari ketika Thufail diajak ke pasar olehnya, ia bertanya kepada Abdullah Ibn Umar mengenai maksud kepergiannya ke pasar, lalu dijawab, “Kita ke pasar untuk mengucapkan salam kepada orang-orang yang kita temui”.

Secara umum, salam dianjurkan kapan dan di mana saja. Hanya saja ada beberapa situasi dan kondisi saat mengucapkan salam tidak dianjurkan. Misalnya, orang yang sedang kencing, bersetubuh, tidur, shalat, iqamah, adzan dan makan saat mulutnya ada makanan. Karena mereka dalam keadaan demikian tidak dianjurkan menyalaminya, menjawab pun tidak diwajibkan. 

Selain itu, lelaki sendirian dilarang mengucapkan salam kepada perempuan yang bukan mahram yang juga sendirian, jika perempuan itu cantik. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan dampak negatif lain yang tidak diinginkan, begitu pula sebaliknya.

Thursday, 13 October 2016

Cara Mencuci Pakaian Yang Benar Menurut Fikih Islam

cara mensucikan pakaian yang terkena najis
Tanya : Selama ini saya mencuci pakaian bayi dan pakaian saya menjadi satu (tiga ember sekitar 20 liter secara beruntun, dan membilas pakaian saya dahulu sebelum membilas pakaian bayi yang najis). Apakah cara itu sudah benar untuk menghilangkan najis ? Karena keterbatasan air, bagaimana cara ideal dan praktis untuk mencuci pakaian dan lantai yang najis ? (Nawawi, Kedu, Temanggung)

Jawab : Di antara syarat-syarat sah shalat adalah suci, baik badan, pakaian maupun tempat. Bila salah satu dari ketiga unsur itu tidak suci, akan memberikan konsekuensi ketidaksahan shalat yang dilaksanakan.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah kebersihan. Meski tidak menjadi syarat sah shalat, bersih cukup urgen karena sedikit banyak mencerminkan sikap tata krama kita pada Sang Pencipta. Kalau kita merasa malu saat berhadapan dengan seorang bangsawan atau pejabat dengan berpakaian kotor, seharusnya kita lebih merasa tidak sopan lagi saat menghadap Sang Khaliq dalam keadaan tidak bersih. 

Dalam beribadah, yang lebih diutamakan adalah kesucian, karena ibadah mensyaratkan suci sebagai syarat sah. Asalkan sudah suci, ibadah sudah sah, walaupun secara lahir tidak bersih. Bersih saja belum dianggap cukup, kalau tidak suci. Idealnya bersih dan suci. 

Sebagai ilustrasi, bila lantai terkena najis atau kotoran hewan, kemudian kotoran itu kita hilangkan sampai tidak nampak lagi bekas-bekasnya, mungkin kita akan mengatakan lantai itu sudah suci. Persepsi semacam itu perlu diluruskan, karena lantai itu belum disiram dengan air. Jadi belum suci.
Demikian penting kesucian dan kebersihan dalam beribadah, sehingga sebagai seorang muslim kita harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai membersihkan dan menghilangkan najis, agar tidak hanya bersih tapi juga suci. 

Kali ini saya akan mengemukakan cara membersihkan najis sebagaimana yang ditanyakan saudara Nawawi. 

Mencuci adalah kewajiban yang hams dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan beribadah. Dalam disiplin ilmu usul fiqh dijelaskan, suatu pekerjaan yang kewajibannya tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan wujudnya, pekerjaan itu hukumnya wajib (ma la yathnmu al-wajib illa bihi fahua wajibun). 

Sebagai contoh adalah shalat. Shalat merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukallaf, yang untuk keabsahannya pakaian, badan, atau tempat yang kita gunakan harus suci dari najis. 

Maksudnya, shalat kita tidak akan sah kecuali dengan wujudnya kesucian. Dengan demikian, mencuci pakaian dengan maksud menghilangkan najis untuk beribadah adalah wajib. Dan sudah tentu akan mendapatkan pahala tersendiri. 

Dalam literatur-literatur fikih, cukup banyak keterangan yang mengetengahkan bagaimana cara mensucikan suatu benda yang terkena najis. Salah satunya adalah kitab Al-Bajuri.

Sebagaimana kita ketahui, air adalah satu-satunya alat untuk menghilangkan najis. Tetapi ada yang harus diperhatikan air yang digunakan harus suci dan mensucikan. 

Bila benda yang dimaksud adalah pakaian, caranya sebagai beriküt. Kalau air yang digunakan hanya sedikit, mula-mula kita siapkan ember yang sudah diisi air. 

Pertama, pakaian kita basahi dengan air, boleh disiram, boleh dicelupkan, untuk menghilangkan kotoran, pakaian kita kucek secukupnya dengan deterjen atau yang lain kalau memang diperlukan.

Kedua, setelah semua selesai, kita bilas untuk menghilangkan kotoran dan najis serta busa deterjen pada ember yang kedua. Bila sudah benar-benar bersih, dalam pengertian bau, warna dan rasanya sudah hilang, kita jangan tergesa-gesa menjemurnya. Sebab pakaian itu masih perlu dibilas lagi, karena hukumnya belum suci. 

Untuk mensucikaruiya, siramkan air pada pakaian tersebut atau pakaian kita masukkan dulu pada bak air/ember, baru setelah itu kita tuangkan air ke dalamnya. 

Jangan sebaliknya. Air dimasukkan terlebih dahulu baru kemudian pakaian. Cara itu tidak dapat dibenarkan, karena air bertemu langsung dengan najis.

Adapun untuk mensucikan lantai yang terkena najis, pada prinsipnya sama, yaitu benda yang terkena najis dibuat najis hukmiyah. 

Caranya, menghilangkan bau, warna dan rasa najis itu, sehingga seakan-akan sudah suci walaupun hakikatnya belum, karena belum terkena air. Setelah itu, barulah disiram dengan air hingga merata pada lantai yang terkena najis. Demikian penjelasan dalam kitab Kifayat Al-Akhyar.

Wednesday, 12 October 2016

Kenapa Doa Tidak Kunjung Terkabul ?

doa tak terkabul
Tanya : Saya sudah sering berdoa, namun terasa hingga sekarang belum dikabulkan. Bagaunana menurut Kiyai, apakah ada yang tidak betul dalam doa saya sehingga Allah tidak meluluskannya ?

Jawab : Apa yang penanya keluhkan saya kira banyak juga dirasakan oleh orang lain. Acap kali kita merasa sudah sering berdoa, tetapi setelah sekian lama belum juga terasa hasilnya. Sehingga, orang yang beriman tipis atau kurang mengerti tentang agama dapat mengalami semacam kebosanan, putus asa, bahkan berburuk sangka (su’u azh-zhan) kepada Allah.

Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, harus diyakini Allah Swt. Maha sempurna, seperti ditegaskan dalam Al-Quran :
Artinya : “Allah tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.” (QS. Ali Imran: 9) 

Mengingkari janji tidak sesuai dengan sifat kesempurnaan Allah. Manusia saja enggan berbuat demikian, apalagi Dia. Salah satu janji Allah, Dia akan mengabulkan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Allah adalah Mujib ad-da‘wah atau Dzat yang mengabulkan doa dan permohonan hamba-Nya. 

Pendapat mayoritas ulama, berdoa disunahkan (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah: VII; 213). Berdoa merupakan salah satu upaya manusia mencapai tujuan yang nilainya tidak kalah dengan ikhtiar yang lain. 

Dalam sebuah hadis riwayat dari Ali Ibn Abi Thalib, Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Doa adalah senjata orang mukmin, pilar atau tiang agama, cahaya langit dan bumi.” 

Lebih dari itu, doa adalah inti ibadah. Menurut pakar bahasa, shalat, rukun Islam yang kedua, secara harfiah artinya berdoa. Berdoa di samping diperintahkan oleh Allah, sekaligus menjadi kebutuhan manusia yang tidak lepas dari berbagai kekurangan. Manusia sering merasa tidak berdaya menghadapi bermacam kesulitan dalam hidupnya. Kesadaran itu akan mendorong seseorang memohon bantuan kepada Dzat yang diyakininya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut.

Menurut satu hadis, Allah justru tidak suka kepada hamba yang tidak mau berdoa dan meminta kepada-Nya. Berbeda dari kebanyakan manusia yang kadang marah kalau dimintai bantuan. 

Permasalahannya, jika doa diperintahkan dan Allah berjanji akan mengabulkan serta mengingkari janji sama sekali tidak laik bagi-Nya, lalu kenapa doa kita sering tidak kunjung terkabul ?

Sebelum pertanyaan ini kita bahas lebih lanjut, terlebih dahulu patut dimunculkan sebuah pertanyaan : Dari mana kita tahu doa tidak dikabulkan? Sering manusia tidak mengetahui kebaikan yang diperoleh. Serta kesusahan maupun bencana yang dihindarkan darinya merupakan berkah dari doanya.

Ketika seseorang memanjatkan doa, “Ya Allah, berilah aku rezeki.” Lalu tiba-tiba salah seorang tetangga datang membawa makanan kepadanya. Dia tidak menyadari hal tersebut akibat doa yang dipanjatkan. Begitu juga tatkala dia selamat dan kecelakaan bus yang ditumpangi. Bus tersebut menabrak kereta api dan mengakibatkan sebagian besar penumpangnya meninggal dunia.

Kalau memang demikian faktanya, bukan karena Allah tak mengabulkan doa itu, melainkan kitalah yang tidak mengetahui kapan dan bagaimana cara Allah meluluskan pinta dalam doa-doa kita. 

Bisa jadi doa yang dipanjatkan hari ini baru dikabulkan seminggu, sebulan atau setahun kemudian. Bahkan sebuah doa kadang baru dikabulkan di akhirat kelak. Anugerah yang kita dapatkan di akhirat sebagian merupakan balasan amal, sebagian yang lain berkah doa dan pemberian murni Allah. Itu kemungkinan pertama. 

Kemungkinan kedua, doa kita benar-benar tidak dikabulkan oleh Allah karena tidak memenuhi syarat. Hal ini sering kurang diperhatikan. Berdoa berbeda dan membaca teks doa. Berdoa bukan pula sekedar menyampaikan keinginan, harapan dan cita-cita semata dengan lisan. Sering dikatakan, “doa ini sangat manjur dan mustajab.”. Dan si Fulan telah membuktikannya berulang-ulang. Banyak pula doa yang dinisbatkan kepada nabi tertentu atau salah seorang wali dan oleh karena itu dinyatakan sebagai doa yang mustajab. Tetapi setelah dicoba, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. 

Mengapa doa yang sama terkadang membuahkan hasil yang berbeda ? Hal itu mungkin juga karena perbedaan pelakunya, bukan lantaran Allah Swt. pilih kasih kepada hamba-Nya. Yang terjadi adalah karena cara yang dilakukan juga tidak sama. 

Sebab, ada beberapa persyaratan dan etika yang perlu diperhatikan demi terkabulnya sebuah doa. Di antaranya, memakan makanan halal, bertobat dari kemaksiatan, dipanjatkan dengan penuh kekhusyu’an dan konsentrasi. 

Perhatikan petunjuk dalam ayat Al-Quran berikut :
Artinya : “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al ’raf: 55) 

Dan yang tidak kalah penting adalah yakin bahwa doanya akan terkabul. 

Hal lain yang perlu diperhatikan saat sebelum memanjatkan doa adalah membaca hamdalah dan shalawat pada doa pembuka. Dianjurkan pula mengeluarkan sedekah terlebih dahulu. Demikian pula sebaiknya dipilih saat-saat yang mustajab, yakni sepertiga malam terakhir, ketika adzan dikumandangkan, waktu antara adzan dan iqamat, setelah shalat fardhu, ketika imam naik ke mimbar sampai shalat didirikan pada hari Jumat, dan lain-lain. 

Tentu saja yang diminta berupa hal-hal yang positif dan dapat diraih, dalam artian bukan hal yang mustahil. Di samping hal tersebut doa juga disampaikan secara kontinu. Dari sini menjadi jelas, mengapa doa para nabi, wali, dan orang-orang saleh sangat mustajab. Kemustajaban doa mereka bukan semata-mata karena lafal doanya, melainkan lebih karena kebenaran caranya dan faktor kedekatan mereka dengan Allah (Ad-Da‘wa Ad-Dawa 19, Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah: VII; 243). 

Hati yang lalai, perut yang dipenuhi barang haram, raga atau jiwa yang berlumuran dosa adalah beberapa faktor yang menghalangi terkabulnya doa. Kalaupun doa tidak segera dikabulkan padahal sudah memenuhi syarat dan etikanya, jangan sampai timbul rasa bosan, pesimistis, apalagi putus asa dan berkata, “Aku telah berdoa tapi Allah tak mengabulkan.” 

Sikap demikian dilarang oleh Rasulullah dan justru menjadi sebab doanya tidak terkabul. Kita semestinya tetap bersabar seraya terus menerus berdoa dan berbaik sangka kepada Allah. Allah tidak mengabulkan secara langsung, tentu saja terkandung hikmah besar yang tidak sepenuhnya kita ketahui.

Apa Pengertian Zuhud Dan Bagaimana Aplikasinya ?


Definisi zuhud dalam islam
Tanya : Apakah zuhud itu? Benarkah zuhud identik dengan sikap membenci dunia ? 

Jawab : Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat. Bahkan hanya manusia saja yang mau menerima tugas dan tanggung jawab ini, sedangkan yang lainnya menolak. Dalam Al-Quran ditegaskan bagaimana makhluk-makhluk lain selain manusia tidak sanggup untuk memikul tugas berat tersebut. Perhatikan firman Allah surat A1-Ahzab, 72 berikut ini :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.” (QS. A1-Ahzab: 72)

Oleh karena itu, Allah memberi manusia suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain yaitu kemampuan berpikir (quwah nazhariah) di samping memberi kemampuan fisik (quwah amaliah) seperti yang diberikan kepada makhluk makhluk Allah yang lain. Hal itu dimaksudkan untuk membantu manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya. 

Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Demikian pula dengan anugerah tersebut manusia dalam kesehariannya dapat mengambil susuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain serta mampu mencegah susuatu yang bisa berakibat buruk atau yang memberikan mudharat bagi dirinya dan orang lain. Sedangkan dengan kemampuan fisik yang dimiliki manusia dapat berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tugas manusia sebagai khalifah adalah untuk beribadah, baik itu ibadah yang sifatnya individual maupun sosial. Jadi, semua tindakan yang dilakukan manusia baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun kaitannya dengan orang lain hanya diarahkan untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat, 56 sebagai berikut :
Artinya : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56) 

Selain itu, manusia juga mempunyai tanggung jawab untuk imarah al-ardhi (membangun bumi) bukan sebaliknya, merusaknya hanya untuk kepentingan-kepentingan duniawi atau memenuhi keinginan hawa nafsu. 

Pada sisi lain, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Kenyataan itulah yang menyebabkan manusia mau bekerja dan berikhtiar untuk menutupi kebutuhan hidup.

Bekerja dan berikhtiar mencari biaya untuk hidup bukan berarti mencerminkan sikap senang kepada harta benda (dunia), tetapi hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan aktivitas itu manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk dengan baik yaitu beribadah. 

Dalani konteks seperti ini bekerja dan berikhtiar menjadi sesuatu yang wajib, karena beribadah adalah wajib. Sedangkan tanpa bekerja dan berikhtiar pada umumnya manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqih “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu tersebut maka sesuatu tadi menjadi wajib.

Pengertian zuhud menurut sayid Abu Bakar dalam kitabnya Kifayah Al-Atqiya’ sebenarnya tidak beda jauh dengan gambaran di atas, yaitu :
Artinya : “Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda dan bukan tidak punya harta benda.” 

Sedangkan menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang bisa melupakan kita kepada Allah. (Ar-Risalah A1-Qusyainyah; 117). 

Pendapat lain mengatakan bahwa zuhud adalah “tarku addunya bi al-kuliyah: meninggalkan dunia sepenuhnya. Ada juga yang mengatakan zahid (orang yang zuhud) adalah seseorang yang menyibukkan dirinya dengan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan kesibukannya terhadap selain-Nya. (Al-Mu’jam Al-Falsafi; 142). Bahkan ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia seperti tidak ada dunia. (Risalah Al-Qusyairiyah; 116). 

Perbedaan pengertian zuhud antara seseorang dan lainnya di atas sebenarnya berangkat dari perbedaan maqam atau tingkatan masing-masing dalam tasawuf. Ada yang ketika telah mencapai maqam tertentu seseorang hanya tsiqah bi Allah (percaya kepada Allah) dan berserah diri secara total (tanpa ikhtiar dan tidak mengharap selain Allah). Hal itu tercermin dari tiga definisi akhir tentang zuhud. 

Tapi dilihat dari dua pengertian zuhud sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa zuhud bukanlah berarti benci kepada dunia atau tidak punya harta benda. Tetapi zuhud adalah menghilangkan ketergantungan hati terhadap selain Allah (harta benda dan lain-lain). 

Jadi, zahid sebenarnya bukanlah seseorang itu tidak punya harta benda sama sekali. Meskipun dia punya harta benda banyak tetapi jika hatinya hanya bergantung kepada Allah, tidak kepada yang lain dapat dikategorikan zahid. Dan sebaliknya, walaupun seseorang tidak memiliki harta tetapi jika hatinya tidak bisa lepas dari dunia dan selalu mengharap pemberian orang lain, maka dia bukanlah zahid.

Secara umum kita semua memang membutuhkan harta benda untuk menjaga kelangsungan hidup. Tetapi hal itu jangan dijadikan alasan untuk menghabiskan seluruh waktu hanya untuk bekerja dengan melupakan kewajiban-kewajiban sebagai makhluk hidup.

Tujuan hidup manusia bukan hanya sekedar untuk mencari dan menumpuk harta benda, tetapi mencari kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatu ad-daraini). Dunia hanyalah sebagai tempat menanam (mazra’ah) dengan melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya. 

Harta benda hanyalah bagian dari dunia yang hanya sedikit nilainya dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi (wa al-akhiratu khairun laka min al-ula).

Sunday, 9 October 2016

Apa Hukum Membaca Al-Quran Di Kuburan Menurut Fikih Islam ?

hukum baca al quran dikuburan
Tanya : Apakah membaca Al-Quran dipekuburan dilarang agama Islam. (M. Mas’ud, Semarang) 

Jawab : Sebagai umat islam, saling mendoakan sesama muslim merupakan hal yang sangat dianjurkan. Anjuran mendoakan seseorang yang telah meninggal dunia juga tetap dibebankan kepada orang yang masih hidup.

Itu menunjukkan hubungan persaudaraan antar muslim tidak terputus hanya karena telah meninggal dunia. Persaudaraan akan abadi sampai hari kiamat kelak.

Ulama ahli fikih sepakat, amalan orang yang masih hidup, yang ditujukan kepada orang yang telah meniggal, berpahala sama. Amalan itu tidak hanya sebatas mendoakan, tetapi juga amalan-amalan lain seperti sedekah, membaca Al-Quran dan membayarkan qadha’ puasa untuk mayit. Pelaksanaan semua itu, dianjurkan kepada kita karena memang bermanfaat untuk mayit.

Pertanyaannya, apakah membaca Al-Quran di pekuburan itu dilarang? 

Dalam kitab Hujjah Ahlu As-Sunah wa Al-Jama‘ah dijelaskan, masalah membaca ayat Al-Quran untuk mayit terjadi perbedaan pendapat antara ulama. 

Menurut madzhab Malikiyah, hal itu makruh. Sedangkan mayoritas ulama mutaakhkhirin memperbolehkannya. Dan pendapat itulah yang berlaku di kalangan kaum muslim sekarang. 

Kalau kita mau memperhatikan hadis Nabi yang diriwayatkan dari Sayyidina Ali dari Nabi Muhammad Saw. sesungguhnya beliau telah bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang melewati kuburan dan membaca surat Al-Fatihah sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah mati, maka diberikan kepadanya pahala dengan hitungan orang yang telah meninggal tadi.”

Titik tekan hadis itu lebih meninjau pada boleh atau tidak membaca Al-Quran untuk mayit. Sedangkan tinjauan dari masalah tempat, sebagaimana dalam penjelasan kitab Hujjah Ahlu As-Sunah wa Al-Jama‘ah bisa ditemukan dalam salah satu hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., yang artinya : “Barangsiapa berziarah pada kubur kedua orang tuanya atau salah satunya, kemudian ia membaca Surat Yasin di pekuburan, dia telah diampuni dengan hitungan ayat atau huruf ayat tadi. Dan orang tersebut sudah dianggap berbuat baik kepada orang tuanya.” 

Dalam kitab yang sama dijelasakan, Qodhi Abu Thayyib ketika ditanyai tentang menghatami Al-Quran di maqbarah (kuburan), menjawab bahwa pahalanya bagi orang yang membaca. Sedangkan mayit, seperti orang yang hadir, diharapkan mendapat barokah dan rahmat Allah. 

Jelaslah bahwa membaca Al-Quran di pekuburan tidak dilarang oleh agama Islam. Bahkan, membaca Al-Quran dengan pengertian tersebut disunahkan.

Saturday, 8 October 2016

Bagaimana Tata Cara Berziarah Ke Makam Rasulullah SAW ?

tata cara ber ziarah

Tanya : Saya pernah mendengar informasi pada saat berhaji. sebisa mungkin menyempatkan diri berziarah kemakam Rasulullah. Pertanyaan saya, bagaimanakah caranya dan apa saja yang sebaiknya saya kerjakan pada saat itu ? (Amir, Pati)

Jawab : Sebagai umat Islam, wajib hukumnya mengikuti ajaran Rasulullah Saw. sekaligus menghormati dan mencintainya. Berdasarkan sebuah hadis iman seseorang belum dianggap sempurna sehingga rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap keduà orang tua, anak, istri, dan semua makhluk.

Rasa cinta dan hormat kepada Rasulullah dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Salah satunya ialah berziarah ke makam beliau. Menurut pendapat ulama, berziarah makam tersebut adalah salah satu ibadah yang paling utama, lebih-lebih bagi jamaah haji.

Karena itu, mumpung ada kesempatan, tiap jamaah haji hendaknya menyempatkan diri berziarah ke makam Rasulullah Saw. di Madinah, tepatnya di Masjid Nabawi.

Dalam kitab Al-Futuhat Ar-Rahhaniyah diterangkan. orang yang mau berziarah dijanjikan oleh Rasulullah mendapat syafaat pada hari kemudian. Pada sisi lain, berdasarkan satu hadis, berhaji tanpa berziarah dianggap tidak etis.

Memang, ada pendapat yang melarang brziarah ke makam Rasulullah dengan berpijak pada sebuah hadis, yakni :
Artinya : “Tidak (boleh) diberangkatkan kendaraan kecuali ke tiga masjid-masjidku ini. Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha” 

Tapi oleh ulama, pendapat larangan pergi berziarah ke makam Rasulullah berdasarkan hadis itu dianggap tidak tepat. Menurut pendapat mereka, hadis itu sama sekali tidak menyinggung, baik secara tersurat maupun tersirat tentang larangan dimaksud.

Di samping mengaitkan larangan ziarah dengan hadis tersebut, tidak dapat dibenarkan dari segi tata bahasa, juga bertentangan dengan dalil-dalil lain. Misalnya, Rasulullah bersabda, “Aku pernah melarang kalian semua lberziarah ke kuburan, (tetapi sekarang) berziarahah, karena hal itu bisa mengingatkan pada akhirat”. Hadis itu secara umum menganjurkan berziarah untuk beri’tibar bahwa pada akhirnya semua manusia akan kembali ke tanah dan di bangkitkan lagi di akhirat kelak.

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Barang siapa herziarah ketika aku wafat, maka sama saja berziarah ketika aku masih hidup”. (Manhaj As-Salaf fi Fahm An-Nushus bain An Nadhariyah wa At-Tathbiq, 74).

Lalu bagaimanakah caranya ? Karena pentingnya masalah tersebut, banyak ulama dalam kitab-kitabnya menjelaskan tata cara ziarah ke makam Rasulullah. Salah satunya adalah Imam Nawawi, pengarang kitab Al-Adzkar. Dalam kitab itu, terdapat satu pasal khusus tentang adab berziarah, beserta doa/dzikir yang perlu diucapkan.

Imam Nawawi mengatakan, ketika berziarah di tengah perjalanan, sebaiknya yang bersangkutan membaca shalawat Setelah kota Madinah tampak oleh mata, pembacaan salawat lebih diperbanyak, seraya memohon kepada Allah supaya ziarahnya membawa manfaat pada dirinya dengan berdoa :


Setiba di masjid Nabawi, hendaknya salat sunat tahiyat masjid, kemudian menuju ke makam Rasulullah, lalu duduk/ berdiri membelakangi kiblat menghadap ke makam dalam jarak kurang lebih empat hasta. Selanjutnya, mengucapan salam kepada Rasulullah dengan suara sedang (tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan) serta khusyu’, seakan-akan betul-betul berhadapan dengan beliau secara langsung dengan mengucapkan :


Selanjutnya, menghadap ke kanan untuk mengucapkan salam kepada khalifah pertama SayyidinaAbu Bakar dan disusul khalifah kedua Sayyidina Umar bin Khaththab, karena makam keduanya berdampingan dengan makam Rasulullah.

Jika dirasa terlalu panjang, boleh juga disingkat, misalnya seperti yang dilakukan sahabat Ibnu Umar, yakni :

Setelah mengucapkan kepada dua khalifah, kembali ke posisi semula menghadap makam Rasulullah guna bertawassul, meminta syafaat, dan memperbanyak bacaan shalawat dan dzikir.

Antara makam dan mimbar masjid terletak Raudhah, salah satu tempat yang sangat mustajab untuk berdoa, karena itu sebelum meninggalkan masjid, setelah ziarah sebaiknya berdoa dulu di Raudhah dalam urusan duniawi dan ukhrawi.

Thursday, 6 October 2016

Apa Pengertian, Tujuan Dan Manfaat Tawassul Menurut Fikih islam ?

makna tawassul
Tanya : Menurut tradisi kaum Sunni berdoa dan berziarah kubur harus diawali terlebih dahulu dengan tawassul seperti “Ibadallah, rijalallah aghitsuna liajlillah dan yarabbi bil musthafa baligh maqashidana.”
1. Apa dan bagaimana pengertian, tujuan dan manfaat tawassul ?
2. Bagaimana tawassul yang benar supaya terhindar dari kemusyrikan ?
3. Tawassul tidak sampai pada ahli kubur, benarkah ?
(Hadi Ismanto, Universitas Brawijaya Malang) 

Jawab : Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang, karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah toh tidak ada salahnya mengulang kembali. 

Thwassul berasal dan kata wasala-waslan-wasilatan atau tawassulan yang berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al Maidah : 35) 

Jadi tawassul atau perantara adalah mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam Mufradat Alfazhi Al-Quran, 560, Mu’jam Al-Washit. II, 32)

Bagaimana tawassul yang benar ? Mari kita telusuri. Kita ingat Ayat :
Artinya : “Mereka berkata, “Wahal ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 97)

Inilah salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putera-putera Nabi Ya’qub) datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alasan tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Swt. 

Kita kaji lagi ayat yang lain sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64) 

Dari sini seolah-olah Allah menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan kekasih-kekasih Allah Swt. dalam hal ini Rasul. Demikian pula perwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan memohon agar berkenan berdoa untuk mereka. 

Kedua ayat ini secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup maupun sudah mati yang mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai oleh Allah. Kepada mereka, Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.

Karena posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan kita untuk ta’zhim, hormat dan mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin Sayyidina Umar Ibn Khaththab pernah bertawassul kepada Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian berdoa : 
Artinya : “Wahai Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan. Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman nabi berikanlah kami hujan. Kemudian turunlah hujan.” (Minhaj Al-Yaqin, 19). 

Dengan demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang ditawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan Allah kepada mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di atas Allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikianlah cara tawassul yang benar. 

Sekarang bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan ? Man kita bandingkan.
Saya teringat sebuah ayat berikut ini :
Artinya : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar : 3)

Ayat di atas adalah potongan perkataan orang-orang musyrik yang membolehkan penyembahan herhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya Allah-lah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patut disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah berada di luar koridor tauhid dengan mensejajarkan Allah dan berhala dalam hal ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Makkah memaki berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir, kemudian turun ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. A1-An’am: 108) 

Dari ayat itu bisa dilihat betapa orang kafir menempatkan berhala mereka jauh di atas Allah Rabb A1-’Alamin dan menganggap barhala-berhala itu memberikan manfaat dan madharat. 

Adapun untuk pertanyaan yang ketiga, sampaikah tawassul (dengan bacaan bacaan tahlil atau Al-Quran) kepada ahli kubur ? Imam Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Quran sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’ Li A1-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan Al-Quran kepada ahli kubur boleh dan pahalanva pun sampai kepada mereka. Pahala yang sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang diniatkan untuk mereka.

Jenis Dan Macam Mandi Sunnah Dalam Islam

jenis mandi sunnah
Tanya : Saya punya masalah yakni apa sajakah mandi sunah itu? 

Jawab : Masalah kesehatan dan kebersihan mendapat perhatian besar dari agama Islam. Salah satu ayat yang tergolong turun awal berisi perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mensucikan pakaiannya. Mengenai hal ini perhatikan surat A1-Muddatstsir, 4 berikut ini :
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al Muddatstsir: 4)

Perintah itu kemudian diikuti ayat-ayat serta hadis yang banyak membicarakan masalah tersebut. Maka tidak mengherankan apabila fikih sebagai penjabaran praktis dan Al-Quran dan hadis, menjadikan bersuci (at-thaharah) sebagai salah satu pokok bahasannya. Karena masalah thaharah banyak berkaitan dengan ibadah, maka pembahasannya diletakkan sebelum ibadah. 

Menurut para ulama fikih, bersuci meliputi : wudhu, mandi, tayamum, dan menhilangkan najis. Disamping hal itu, agama juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk bersiwak. 

Pada umumnya pandangan masyarakat tentang mandi terbatas pada mandi wajib, yang dilakukan karena sebab-sebab tertentu, yaitu : mengeluarkan sperma, bersebadan, haid, melahirkan, nifas dan meninggal dunia. Padahal, di samping mandi wajib, terdapat mandi sunah. Meskipun jika ditinggal tidak berdosa, mandi seyogyanya juga dikerjakan karena berpahala. Akibat kurangnya pemahaman terhadap masalah ini, banyak di antara kita kehilangan kesempatan beribadah. 

Mandi yang semestinya dapat dinilai ibadah, akhirnya hanya menjadi kebiasaan semata (al-’adah). Alangkah indahnya jika kita dalam melakukan satu aktivitas memperoleh dua keuntungan sekaligus, duniawi dan ukhrawi.

Untuk itu, ada baiknya dalam kesempatan ini sesuai dengan perintah penanya, saya terangkan kapan dan dalam kondisi apa mandi disunahkan, serta bagaimana pula caranya. 

Mandi sunah jumlahnya banyak, dan dianjurkan dalam situasi dan kondisi khusus. Pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu ibadah yang melibatkan banyak orang. Ketika menunaikan ibadah, sudah semestinya seorang hamba dalam keadaan suci dan bersih lahir batin.

Secara mendetail, Imam Zakaria Al-Anshari menguraikan mandi sunah dalam kitabnya Tahrir. Paling tidak, beliau menyebutkan ada 18 (delapan belas) waktu disunahkannya mandi. Waktu-waktu itu adalah 1). Untuk menghadiri shalat Jumat, 2). shalat istisqa’, 3). shalat gerhana matahari, 4). pada hari raya Idul Fitri, 5). ketika orang kafir masuk Islam dalam keadaan tidak menanggung hadas besar sebelumnya, 6). setelah memandikan mayit, 7). hijamah (membekam), 8). memasuki pemandian, 9). mencukur bulu kemaluan, 10). sembuh dari penyakit ayan (epilepsi), 11). hendak ihram, 12). memasuki tanah haram, 13). memasuki Makkah, 14). wukuf di Arafah, 15). wukuf di Muzdalifah, 16). menginap di Muzdalifah apabila belum mandi sebelumnya di Arafah, 17). Melempar jumrah selama tiga hari di Mina, 18). berubahnya bau badan dan lain sebagainya. 

Sudah barang tentu semua itu mempunyai landasan Al-Quran dan hadis. Yang sangat menarik, dalam kitab Tuhfah Ath-Thullab, Imam Zakaria juga menyatakan hahwasanya mandi juga dianjurkan ketika seseorang hendak menghadiri forum yang diikuti oleh banyak orang (majma’ min an-nas). Seperti rapat dan resepsi. Dalam hal ini beliau memberikan alasan sosial, demi kemaslahatan para hadirin, supaya mereka tidak terganggu oleh bau badan yang kurang sedap. “Fa ruu’iyan mashlahah al-hadhirin bi daff’i ar-raihah al-karihah,” tulis beliau ini artinya, mengganggu orang lain dalam bentuk apapun, tidak dibenarkan oleh agama. Rasulullah bersabda :
Artinya : “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dan dampak negative yang timbul dari lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad) 

Kualitas keberagamaan seseorang, dengan begitu ditentukan oleh kesalehan ritual dan sosialnya.
Alangkah indahnya jika petuah ini kita terapkan dalam kehidupan nyata (Asy-Syarqawi I, 94). 

Adapun cara mandi sunah sepenuhnya disamakan dengan mandi wajib, yaitu dengan meratakan air ke seluruh anggota badan lahir dengan air yang suci dan mensucikan (thahir muthahhir), kecuali dalam hal niat yang disesuaikan dengan maksudnya. Kalau mau melakukan shalat Jumat, maka niat mandinya adalah untuk menghadiri shalat tersebut. Bila hendak melakukan shalat istisqa’, maka niat mandi untuk menunaikan tujuan tersebut. Demikian seterusnya. 

Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah sebenarnya semua aktivitas kita dapat menjadi wahana untuk beribadah. Tidak kurang, makan dan minum jika dilandasi niat supaya mampu menjalankan ibadah atau mencari nafkah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berguna, dapat bernilai ibadah pula. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda :
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan bagi seseoranglah, apa yang ia niatkan.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikmah; 5).

Wednesday, 5 October 2016

Wanita Sedang Haid Apakah Boleh Membawa Al-Quran Menurut Fikih Islam ?

wanita membawa al quran
Tanya : Apakah pada saat sedang menstruasi seorang wanita diperbolehkan memegang Al-Quran, dan terjemahannya ataupun masuk ke dalam masjid ? (Sarah, Semarang) 

Jawab : Dalam kitab-kitab fikih sering disebutkan darah haid atau menstruasi adalah damu jibillatin (darah watak), artinya darah yang akan dikeluarkan oleh seorang wanita pada umumnya ketika sudah sampai masanya. Rasulullah Saw. pernah bersabda berkaitan dengan hal ini :
Artinya : “Ini adalah sesuatu yang telah digariskan Allah kepada anak-anak perempuan Adam.” (HR Bukhari Muslim)

Ketika sedang menstruasi, berarti seseorang dalam keadaan menanggung hadas besar. Oleh karena itu pada waktu seseorang telah selesai keluar darahnya (suci) maka juga diwajibkan untuk mandi besar (Jinabah) untuk menghilangkan hadas tersebut. 

Orang yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan (haram) melakukan beberapa hal, antara lain :
1). shalat, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim berikut :
Artinya : “Jika kamu mengalami haid berhentilah salat, dan apabila haidmu selesai bersihkanlah darahmu (mandilah), lalu salatlah.” (HR. Bukhari)

2). Membaca Al-Quran dengan niat membacanya. Nabi besabda :
Artinya : “Tdak boleh bagi orang junub dan orang haid, membaca sesuatu dari Al-Quran.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah) 

Tetapi apabila orang yang sedang junub atau menstruasi membaca Al-Quran dengan maksud untuk berdzikir dan bukan semata-mata membacanya, maka hukumnya boleh. Seperti misalnya ketika akan naik kendaraan membaca ayat : 


Atau ketika tertimpa musibah membaca :


3). Menyentuh dan membawa Al-Quran. Allah berfirman dalam surat Al-Waqi’ah, 79 sebagai berikut :
Artinya: “Tidak diperbolehkan memegangAl-Quran kecuali bagi mereka yang suci. “(QS. Al-Waqi’ah : 79) 

4). Al-Muktsu (diam) di dalam masjid. Nabi bersabda :
Artinya : “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan tidak pula bagi orang yang sedang junub.” (HR. Abu Dawud) 

Sedangkan apabila hanya lewat di dalam masjid, hukumnya boleh tetapi itu pun kalau haid atau orang yang sedang menstruasi tidak khawatir akan tercecernya darah haid di dalam masjid. Tetapi kalau khawatir akan tercecernya darah, maka hukumnya tidak boleh (haram), karena darah termasuk najis sedangkan mengotori masjid dengan najis adalah haram. 

5). Thawaf dan Puasa, baik itu puasa wajib atau puasa sunnah. Nabi bersabda :
Artinya : “Adakah tidak benar, apabila perempuan haid itu tidak shalat dan tidak puasa.” (HR. Bukhari) 

6). Bersenggama. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah, 222 :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci. maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. “(QS. Al-Baqarah: 222)

Sedangkan untuk terjemahan Al-Quran, dalam kasus ini kitab Nihayatu Az-Zain, karanya Abi Abdi Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin Ali Nawawi menjelaskan bahwasanya terjemahan Al-Quran tidak termasuk tafsir Al-Quran yang diperbolehkan untuk menyentuhhnya. Itu pun jika jumlah tafsirnya lebih banyak daripada Al-Quran. Tetapi apabila tafsir yang ada di dalamnya sama atau bahkan lebih sedikit daripada kandungan Al-Quran maka hukumnya sama dengan Al-Quran. Artinya tetap tidak boleh untuk menyentuhnya. 

Oleh karena itu menyentuh atau membawa terjemahan Al-Quran tetap tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang menstruasi maupun orang yang sedang menanggung hadas.

Tuesday, 4 October 2016

Apakah Membaca Al-Quran Tanpa Mengerti Makna Dan Artinya Akan Mendapat Pahala ?

membaca al quran tanpa mengerti makna
Tanya : Membaca Al-Quran namun tidak mengerti artinya apalagi maksudnya, apakah bisa mendapatkan pahala sebagai ibadah ? (Kurniawan, Magelang)

Jawab : Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad tidak dinamakan Al-Quran. 

Al-Quran diturunkan dengan maksud menyempumakan ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Di dalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, cerita-cerita sejarah, peraturan-peraturan dan tata cara hidup manusia baik dalam kedudukannya sebagai hamba Allah maupun sebagai makhluk sosial dan lain-lain.

Al-Quran juga diturunkan sebagai pedoman dan pegangan hidup bagi umat manusia yang harus dipatuhi dan dilaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebagai wahyu Allah, maka mengikuti apa yang ada di dalamnya bisa membahagiakan manusia saat hidup di dunia maupun nanti pada kehidupan di akhirat yang menjadi tujuan hidup setiap manusia.

Al-Quran berbeda dengan hadis Qudsi. Meskipun sama-sama diturunkan kepada Nabi Muhammad, namun Al-Quran mempunyai kelebihan. Keistimewaan itu setiap orang yang membacanya akan mendapatkan pahala sebagai ibadah. 

Dalam kitabnya Syaikh Zakaria Al-Anshari menjelaskan, Al-Quran adalah almuta‘abbadu bitilawatihi, artinya membaca Al-Quran termasuk sebagai ibadah, yang tentu saja akan mendapat pahala apabila itu dilakukan, meskipun dia tidak tahu maksud dan artinya.

Apa Hukum Membawa Al-Quran Bagi Anak-anak ?

hukum anak kecil membawa al quran
Tanya : Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ) merebak di mana-mana. Peserta didiknya semuanya anak kecil. Apakah mereka boleh memegang atau membawa mushaf tanpa berwudhu dulu ? Soalnya kalau disuruh wudhu terus-menerus agak memberatkan untuk ukuran anak seumur mereka. Solusinya bagaimana? 

Jawab : Dalam agama Islam, Al-Quran jelas memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Quran mempunyai banyak keistimewaan yang tidak terdapat pada kitab suci lain sebelumnya, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.

Apalagi dibandingkan dengan kitab maupun buku-buku yang tidak bersumber dari wahyu. Di antaranya, kita tidak boleh menyentuh atau membawa mushaf dalam keadaan hadas, artinya harus berwudhu lebih dahulu. Hal itu sebagai ungkapan penghormatan (ihtiram) kita terhadap Al-Quran. Tetapi apakah hal itu berlaku untuk semua orang dan dalam setiap kondisi ? Ternyata tidak. 

Keharusan bersuci terlebih dahulu itu tidak berlaku untuk Semua orang dan dalam setiap waktu. Ada beberapa pengecualian seseorang diperbolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan hadas. Pengecualian itu karena mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Imam Nawawi dalam salah satu karyanya, At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, membicarakan masalah tersebut secara agak panjang lebar. Diterangkan bahwa anak kecil yang sudah mumayiz (pandai), yakni sudah bisa makan-minum dan istinja’ sendiri diperbolehkan menyentuh atau membawa mushaf tanpa wudhu untuk kepentingan belajar. 

Melanggengkan status suci dengan berwudhu secara kontinyu bagi anak kecil dipandang bukan perkara mudah. Malah kalau hal ini diterapkan secara ketat dengan tanpa memperhatikan pelakunya dalam hal ini anak-anak yang hendak belajar Al-Quran, bisa-bisa tidak mau mengaji. Dalam hal itu, para fuqaha sangat bijaksana, membedakan anak kecil dan orang dewasa dalam masalah menyentuh mushaf.

Dengan demikian, dia belum saatnya dibebani kewajiban-kewajiban yang berlaku untuk orang dewasa. Pertimbangan mereka adalah li al-masyaqqah, karena memberatkan. Memang ada kaidah, al-masyaqqah tajlib at-taisir, hal-hal yang memberatkan bisa menimbulkan kemudahan. 

Bisa juga kita kaitkan dengan kaidah yang lain, daf’u al mufasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih, menghindari mafshadah lebih diutamakan atau didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Berwudhu ketika hendak menyentuh mushaf adalah mashlahah. Tidak mau mengaji Al-Quran, merupakan mafsadah. Selain anak kecil untuk keperluan belajar, dalam situasi darurat, orang dewasa (mukallaf) juga diperkenankan menyentuh dan membawa mushaf tanpa berwudhu. Misalnya, khawatir mushafnya terbakar, umpamanya terjadi kebakaran rumah, di dalamnya Anda menemukan mushaf yang nyaris terbakar api. Tidak mungkin Anda mengambil air wudhu terlebih dahulu, karena keburu mushafnya habis dilalap api. 

Dalam situasi darurat seperti itu, Anda diperbolehkan mengambil mushaf tersebut meskipun dalam keadaan berhadas. Begitu juga kalau khawatir mushaf yang ada terkena najis, atau tenggelam ke dalam air.

Saturday, 1 October 2016

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab Menurut Fikih Islam ?

hukum berbeda madzhab
Tanya : Dalam hal ibadah saya sering dibuat bingung oleh adanya aturan aturan yang berbeda dan beberapa madzhab. Hal itu terkadang melahirkan keraguan akan keabsahan ibadah saya itu. Katakanlah masalah wudhu, ada yang mengatakan bahwa memegang alat kelamin tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sementara yang lain mengatakan batal apapun alasannya, terus terang saya sering memilih yang ringan. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ? (Tati Nurjannah, Wonokromo) 

Jawab : Dalam kehidupan beragama, masyarakat umumnya memang mengenal dan mengikuti beberapa macam madzhab, setidak-tidaknya 4 (empat) madzhab yang terkenal; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan sebagian besar masyarakat meletakkan salah satu madzhab tersebut sebagai sumber hukum. Hanya kadang-kadang dalam kondisi tertentu untuk tidak melawan budaya konvensional, seseorang harus berpaling ke madzhab lain. Dengan demikian adanya bermacam-macam madzhab itu memungkinkan seseorang untuk beralih madzhab secara total ataupun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan saja.

Dalam konteks ibadah, madzhab-madzhab yang ada itu terkadang mengandung perbedaan hukum atau sering disebut khilafiyah. Hal ini muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap Al-Quran dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kita sebagai orang awam tidak harus tahu semuanya, namun cukup hertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau terbaik daripada yang lain.

Hal mi sebagaimana disampaikan Imarn Zakariya Yahya Al-Anshari dalam kitabnya Lub Al-Ushul. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AI-Mustashfa bahkan mengatakan keharusan bertaqlid bagi orang awam adalah ijma’ sahabat.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, di antaranya tidak diperkenankan tatabu’u ar-rukhash, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda kedalam problema tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat atau qaul bagi dua madzhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudhu; Imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota badan yang dibasuh, sedang Imam Maliki mewajibkannya. Dan dalam hal memegang farji, Imam Syafi’i berpendapat secara mutlak hal itu membatalkan, sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak membatalkan bila tidak dengan syahwat. Nah, bila seseorang berwudhu dan tidak menggosok anggota badan dimaksud karena taqlid Imam Syafi’i, tetapi kemudian meraba farji tanpa syahwat, dilanjutkan melakukan shalat, maka shalat yang dilaksanakan batal dengan kesepakatan kedua Imam. Ini karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- menurut Syafi’i maka wudhunya telah batal. Begitu juga ketika seseorang tidak menggosok anggota badan dimaksud, maka wudhunya juga tidak sah menurut Maliki. 

Jadi sebenamya pertanyaan di atas adalah gambaran adanya khilafah yang sudah diakomodasi oleh madzhah. Bagi mereka yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal sebab memegang alat kelamin tanpa syahwat, sudah benar asalkan anggota badannya yang wajib di basuh harus digosok seluruhnya. Ini adalah cara berwudhu Malikiyah, sedangkan yang mengatakan batal memegang alat kelamin juga tidak salah karena sesuai dengan aturan yang ditetapkan Syafi’i. Dalam hal ini Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota wudhu yang wajib dibasuh. Dengan demikian, seseorang boleh memakai keduanya secara lengkap dan terpisah satu sama lain. Kalau mau pakai cara Syafi’i maka pakai semua aturannya mulai dari syarat rukunnya sampai hal-hal yang membatalkannnya. Begitu pula kalau menginginkan menggunakan madzhab yang 1ain.

Apa Syarat Menjadi Mualaf Menurut Fikih Islam ?

tata cara menjadi muallaf
Tanya : Apakah syarat bagi orang yang baru masuk Islam (muallaf) ? 

Jawab : Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang dipeluk semua nabi sejak Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Setiap manusia harus memeluknya. Hanya saja, untuk menyampaikan risalah agama ini tidak berlaku pemaksaan kepada orang lain. Allah telah menunjukkan jalan lurus dengan mengutus para utusan dan mengaruniai manusia akal pikiran. Dengan keduanya, akhirnya manusia akan mampu mengetahui mana yang hak dan batil.

Syarat menjadi muslim tidaklah rumit. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap muslim. 

Dua kalimat itu adalah kalimat :
“Asyhadu an La Ilaaha illa Allah wa Asyahadu Anna Muhammad Rasululah”, yang artinya, “saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah”. Tidak ada upacara dan prosedur yang macam-macam untuk bisa menjadi seorang muslim. 

Mengucapkan syahadat tidak hanya cukup hanya di bibir saja, melainkan harus disertai keyakinan dan kepercayaan secara mantap dalam hati tentang isi dan muatan dari syahadat itu sendiri.

Sebab, pada dasarnya syahadat adalah ikrar atau ungkapan dari keimanan yang berada dalam hati. Orang yang mengucapkan syahadat tanpa dibarengi pembenaran hati, belum dianggap muslim oleh Allah. Islam menghendaki kesatuan hati dan kata, meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan.
Orang yang baru masuk Islam, dengan demikian diwajibkan melepaskan diri dari berbagai paham dan kepercayaan terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. 

Dua kalimat syahadat memang kelihatan sederhana sekali. Namun makna yang dikandungnya serta konsekuensi yang ditimbulkan sangat dalam dan luas.

Kalimat pertama, berisi pengakuan adanya satu Tuhan, yaitu Allah. Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Bagi-Nya segala sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah semestinya hanya kepada Allah Swt. semata saja manusia menyembah dan bersujud.

Ibadah hanyalah patut dilakukan kepada Dzat yang lebih tinggi. Sesama makhluk, tidak berhak disembah karena setara dalam derajat kemakhlukannya. 

Ibadah hanya kepada sang Khaliq. Sebab tauhid uluhiyah harus diikuti tauhid ubudiyah, dalam artian bahwa bila seseorang telah mengakui Allah sebagai pencipta alam semesta ini, maka sudah selayaknya dia hanya beribadah kepada-Nya.

Kalimat kedua, berisi pengakuan atas kerasulan dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Mengakui beliau sebagai seorang nabi dan rasul, secara implisit membenarkan dan meyakini ajaran yang disampaikan. Sebab semuanya berdasarkan wahyu dari Allah, baik berupa Al-Quran maupun hadis.

Dan sudah barang tentu apa yang beliau sampaikan tidak cukup diimani dan dipercayai, melainkan lebih dari itu harus di patuhi dengan mengerjakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Itulah hakikat takwa, yakni imtitsar al awamil wa ijtinab an-nawahi, yang akhirnya menjadi ukuran derajat kemuliaan manusia.

Dari Nabi Muhammad-lah kita belajar cara beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi pengakuan kepada-Nya sebagai Tuhan pencipta alam.

Ibadah tidak boleh dilakukan dengan cara sendiri-sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt. Hanya Nabi Muhammad yang mengetahui kehendak itu, lewat wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Ajaran Islam secara garis besar terdiri dan 3 (tiga) komponen : Akidah (keyakinan), syariah dan akhlak.

Dalam agama Islam, akidah merupakan asas atau fundamen. Karena tanpa didasari akidah, maka amal ibadah kita tidak diterima. Sebaliknya, akidah tanpa syariah dan akhlak tidak sempurna. Keimanan semata-mata belum cukup menyelamatkan manusia secara total dari ancaman siksa api neraka. 

Menurut ulama, dengan mengucapkan syahadat, mengimani semua perkara yang wajib diimani seraya meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengakibatkan kekufuran, seseorang masih dianggap muslim, meskipun meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan larangan-larangan. Dalam artian, dia tidak akan kekal di neraka meskipun juga tidak terbebas secara total dari siksaan kecuali mendapat ampunan dari Allah.

Iman juga dapat berkurang dan bertambah. Iman akan semakin bertambah dan sempurna jika terjadi peningkatan takwa. Sebaliknya, kadar keimanan seseorang akan berkurang dan terus merosot hingga batas antara iman dan kufur demikian tipis karena menurunnya kadar ketakwaan.

Melihat demikian pentingnya kedudukan takwa, maka sangatlah wajar jika wasiat bertakwa menjadi salah satu hukum khotbah dalam shalat Jumat. Dalam setiap khotbahnya, khatib selalu mengajak dan menghimbau para hadirin untuk senantiasa meningkatkan takwa.

Intinya, keselamatan tergantung pada keimanan. Kesempurnaan iman terletak pada kualitas takwa, yang -seperti tadi saya katakana- tergantung sejauh mana seseorang mematuhi ajaran Islam dalam bentuk perintah dan larangan. Orang tidak mungkin mampu mencapai tingkat ketakwaan yang tinggi, tanpa memiliki pengetahuan. 

Secara logis bagaimana kita dapat melakukan perintah dan menjauhi larangan, sedangkan perintah dan larangan itu sendiri tidak kita mengerti. 

Oleh karenanya, bagi yang baru masuk Islam atau yang masih awam, hendaknya berusaha memahami agama yang dipeluknya secara memadai. Ini merupakan langkah awal menuju muslim bertakwa, yang mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. 

Menyadari akan arti pentingnya belajar, tidak mengherankan jika ayat yang pertama turun berisi perintah membaca, yaitu iqra’.

Membaca wahyu yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis, sekaligus membawa fenomena dari gejala alam sebagai ayat-ayat kauniyah untuk mencapai ridha-Nya.

Agar proses belajar itu berjalan dengan baik, muslim muallaf memerlukan seorang pembimbing yang benar-benar memahami agama Islam supaya tidak terjadi salah paham yang bersumber pada pemahaman yang subyektif dan parsial.

Lebih dari itu, belajar hendaknya dimulai dari masalah-masalah yang pokok, seperti tentang rukun Islam serta ibadah-ibadah yang terpenting seperti shalat.

Tabir Wanita