Wednesday, 21 October 2015

Apa Hukum Puasa Saat Sakit ?

Tanya : Apakah orang sakit itu wajib tidak berpuasa? Misalnya, saya sakit cukup serius dan dokter menyarankan saya tidak berpuasa, lalu saya memaksakan diri berpuasa karena tidak ingin ketinggalan pahala puasa di bulan Ramadhan. Apa hukumnya puasa saya ini ? Haram, makruh atau apa?

Jawab :
Kewajiban melakukan ibadah berlaku bagi setiap mukallaf; yaitu muslim/muslimah yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (‘aqil). Ketentuan ini berlaku umum dalam segala jenis ibadah.

Khusus untuk puasa Ramadhan, ditambahkan ketentuan lain, yaitu orang tersebut harus dalam keadaan suci dari haid atau nifas, dan memiliki kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa.

Semua ketentuan tersebut dalam istilah fikih disebut sebagai syuruth al-wujub (syarat kewajiban). Apabila salah satu dari ketentuan-ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah itu tidak lagi bersifat wajib bagi yang bersangkutan.

Dalam kitab A-Fiqh Al-Islami dijelaskan beberapa hal yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah sakit (al-maradh) berdasar pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebĂ nyak hari yang ditinggalkan, pada hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dalam konteks pertanyaan ini, ayat tersebut kurang lebih berarti mereka yang sakit mendapatkan dispensasi (rukhshah) untuk tidak berpuasa, dengan catatan bahwa orang tersebut harus mengganti puasa yang ditinggalkannya pada kesempatan lain. Mekanisme ini dalam fikih dikenal sebagai qadha.

Masalahnya kemudian, sakit yang bagaimanakah yang bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rukhshah?

Para ulama ahli fikih (fuqaha) memberikan batasan bahwa sakit ini adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu secara fisik untuk melakukan puasa. Pengertian ini mencakup sakit yang jika penderitanya melakukan puasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau paling tidak memperlambat masa penyembuhan.

Secara spesifik, kitab Al-Fiqh Al-Manhajy menyebutkan jika puasa mengakibatkan al-halak (kerusakan fungsi organ tubuh, cacat, atau meninggal) pada seseorang, maka wajib bagi orang tersebut untuk tidak berpuasa. Dus, puasa dalam kasus tersebut haram hukumnya. Tentu dibutuhkan pendapat dokter atau ahli kesehatan terpercaya untuk menentukan apakah puasa seseorang berbahaya bagi kesehatannya atau tidak.

Ketentuan di atas sesuai dengan kaidah fikih “al-dharurah tubihu al-mahdhurah” (keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang semestinya dilarang). Satu contoh, Rasulullah memperbolehkan seorang laki-laki memakai sutera (yang dalam keadaan normal haram) karena yang bersangkutan menderita penyakit kulit.

Kaidah ini berlaku karena salah satu tujuan pokok syariat (maqashid asy-syani’ah) adalah hifzh an-nafs (menjaga keselamatan diri), oleh karenanya orang dilarang menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Lain dari pada itu, salah satu ciri ajaran Islam adalah memberikan kemudahan terhadap umatnya.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Allah tidak pernah menjadikan dalam agama suatu kesulitan bagi kalian. “(QS. A1-Hajj: 78).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita