Monday, 14 September 2015

Apa Hukum Puasa Dalam Keadaan Junub ?

Tanya : Saya seorang suamii. Seringkali dalam bulan Ramadhari saya berpuasa masih dalam kondisi junub setelah malamnya kami berkumpul. Karena lupa, rasa malas dan udara dingin saya tidak segera mandi sebelum fajar. Bagaimanakah puasa saya itu? (Toni, Wonokromo, Surabaya)

Jawab : Seseorang dikatakan junub apabila mengalamii dua hal: berhubungan s*ks (meski tidak sampai ej*kulasi), dan atau mengeluarkan sperma (karena mimpi basah, on*ni, melihat gambar erotis, dan lain-lain).

Setiap ibadah memiliki syarat-rukun sendiri-sendiri. Syarat rukun suatu ibadah bisa tidak sama dengan ibadah lain. misalnya shalat dan puasa. Dalam shalat, seseorang disyaratkan suci dari hadas kecil dan besar, serta haid dan nifas. Melakukan shalat dalam keadaan junub tidak sah, dan hukumnya haram. Dengan demikian, orang yang akan melakukan shalat apabila berstatus junub harus mandi terlebih dulu, sebagaimana diwajibkan wudhu bagi penyandang hadas kecil.

Dalam ibadah puasa, tidak terdapat persyaratan pelakunya harus suci dari hadas besar atau kecil. Menjalankan puasa dalam kondisi junub, sehabis berkumpul dengan istri atau mimpi basah pada malam harinya tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar, sah-sah saja. Yang tidak dibenarkan adalah melakukan hubungan suami-istri pada siang hari, sejak fajar sampai matahari terbenam. Karena Jima’ termasuk perkara yang membatalkan puasa dengan sanksi sangat berat, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, di samping kewajiban mengqadha.

Demikian halnya, sah puasa perempuan yang telah berhenti darah haid atau nifasnya pada malam hari tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar.

Meskipun begitu, syariat menganjurkan agar seseorang berpuasa dalam keadaan suci. Oleh karena itu, orang yang berstatus Junub, disunahkan mandi sebelum terbitnya fajar. hariya sebatas anjuran, bukan kewajiban. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu III, 1.686).

Keabsah dari puasa dalam keadaan junub merupakan hasil pemahaman terhadap firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Dihalaikan bagi kalian pada malam hari bulan puasa untuk berkumpul jima’ dengan istri-istrimu. “(QS. A1-Baqarah: 187)

Malam hari bulan puasa (lailah asy-shiam) adalah rentang waktu mulai Maghrib sampai detik-detik terakhir sebelum Shubuh. Berangkat dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa puasa dalam keadaan junub diperbolehkan. Sebab dengan diperbolehkannya Jima ‘semalam suntuk, secara otomatis diperkenankan puasa dalam keadaan junub sebagai konsekuensi logisnya. Karena tidak mungkin orang yang Jima’ satu detik sebelum fajar memiliki kesempatan untuk mandi sebelum fajar tiba.

Ayat tersebut, meskipun pada mulanya hanya dimaksudkan untuk menjelaskan bolehnya Jima’ pada malam bulan Ramadhan, tetapi lalu menimbulkan hukum lain, yaitu sahnya puasa dalam kedaan Junub, sebagai akibatnya. Proses penyimpulan hukum semacam ini dalam ushul fikih disebut dengan dilaiah isyarah. (Ghayah Al-Wushul, 37).

Persoalan puasa orang Junub, pada masa Rasulullah juga pernah ditanyakan oleh sahabat, dan beliau menjawab sah. Bahkan menurut hadis riwayat Aisyah dan Umini Salamah:
Artinya: “Nabi Saw. pernah memasuki waktu Shubuh dalam kondisi junub karena jima’ kemudian dia mandi dan tetap berpuasa.” (Mukhtashar Shahih Muslim, 158, Subul As-Salam: II, 165).

Memang ada hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Apabila adzan Shubuh telah dikumandangkan dan kalian dalam keadaan junub, maka jangan berpuasa pada hari itu.”

Hadis ini memberikan pengertian bahwa puasa dalam keadaan junub tidak sah. Tetapi menurut jumhur al-ulama (mayoritas ulama), hadis tersebut telah di-nasakh (direvisi) oleh hadis riwayat Aisyah di atas. Lagi pula, dari segi sanad, hadis riwayat Aisyah dianggap lebih kuát daripada riwayat Abu Hurairah, sehingga jika terjadi pertentangan, maka riwayat Aisyah yang lebih layak dijadikan dasar hukum. (Subul As-Salam II, 165).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita