Wednesday, 5 October 2016

Wanita Sedang Haid Apakah Boleh Membawa Al-Quran Menurut Fikih Islam ?

wanita membawa al quran
Tanya : Apakah pada saat sedang menstruasi seorang wanita diperbolehkan memegang Al-Quran, dan terjemahannya ataupun masuk ke dalam masjid ? (Sarah, Semarang) 

Jawab : Dalam kitab-kitab fikih sering disebutkan darah haid atau menstruasi adalah damu jibillatin (darah watak), artinya darah yang akan dikeluarkan oleh seorang wanita pada umumnya ketika sudah sampai masanya. Rasulullah Saw. pernah bersabda berkaitan dengan hal ini :
Artinya : “Ini adalah sesuatu yang telah digariskan Allah kepada anak-anak perempuan Adam.” (HR Bukhari Muslim)

Ketika sedang menstruasi, berarti seseorang dalam keadaan menanggung hadas besar. Oleh karena itu pada waktu seseorang telah selesai keluar darahnya (suci) maka juga diwajibkan untuk mandi besar (Jinabah) untuk menghilangkan hadas tersebut. 

Orang yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan (haram) melakukan beberapa hal, antara lain :
1). shalat, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim berikut :
Artinya : “Jika kamu mengalami haid berhentilah salat, dan apabila haidmu selesai bersihkanlah darahmu (mandilah), lalu salatlah.” (HR. Bukhari)

2). Membaca Al-Quran dengan niat membacanya. Nabi besabda :
Artinya : “Tdak boleh bagi orang junub dan orang haid, membaca sesuatu dari Al-Quran.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah) 

Tetapi apabila orang yang sedang junub atau menstruasi membaca Al-Quran dengan maksud untuk berdzikir dan bukan semata-mata membacanya, maka hukumnya boleh. Seperti misalnya ketika akan naik kendaraan membaca ayat : 


Atau ketika tertimpa musibah membaca :


3). Menyentuh dan membawa Al-Quran. Allah berfirman dalam surat Al-Waqi’ah, 79 sebagai berikut :
Artinya: “Tidak diperbolehkan memegangAl-Quran kecuali bagi mereka yang suci. “(QS. Al-Waqi’ah : 79) 

4). Al-Muktsu (diam) di dalam masjid. Nabi bersabda :
Artinya : “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan tidak pula bagi orang yang sedang junub.” (HR. Abu Dawud) 

Sedangkan apabila hanya lewat di dalam masjid, hukumnya boleh tetapi itu pun kalau haid atau orang yang sedang menstruasi tidak khawatir akan tercecernya darah haid di dalam masjid. Tetapi kalau khawatir akan tercecernya darah, maka hukumnya tidak boleh (haram), karena darah termasuk najis sedangkan mengotori masjid dengan najis adalah haram. 

5). Thawaf dan Puasa, baik itu puasa wajib atau puasa sunnah. Nabi bersabda :
Artinya : “Adakah tidak benar, apabila perempuan haid itu tidak shalat dan tidak puasa.” (HR. Bukhari) 

6). Bersenggama. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah, 222 :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci. maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. “(QS. Al-Baqarah: 222)

Sedangkan untuk terjemahan Al-Quran, dalam kasus ini kitab Nihayatu Az-Zain, karanya Abi Abdi Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin Ali Nawawi menjelaskan bahwasanya terjemahan Al-Quran tidak termasuk tafsir Al-Quran yang diperbolehkan untuk menyentuhhnya. Itu pun jika jumlah tafsirnya lebih banyak daripada Al-Quran. Tetapi apabila tafsir yang ada di dalamnya sama atau bahkan lebih sedikit daripada kandungan Al-Quran maka hukumnya sama dengan Al-Quran. Artinya tetap tidak boleh untuk menyentuhnya. 

Oleh karena itu menyentuh atau membawa terjemahan Al-Quran tetap tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang menstruasi maupun orang yang sedang menanggung hadas.

Saturday, 24 September 2016

Apa Hukum Obat Memperlambat Atau Menghentikan Haid Saat Haji ?

hukum obat memperlambat haid, hukum obat menghentikan haid
Tanya : Menggunakan obat untuk mempercepat, menghentikan atau memperlambat datangnya haid untuk kepentingan haji bagi perempuan, bagaimana hukumnya ? 

Jawab : Sebentar lagi musim haji tiba. ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam. Berhaji wajib ditunaikan oleh setiap Muslim lelaki dan perempuan yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu melaksanakan). Seseorang dianggap telah mampu menunaikan haji bila telah memenuhi segala persyaratan kewajibannya. Di antaranya sehat, mempunyai bekal, dan keamanan terjamin. 

Haji memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Haji tidak sah bila salah satu dari rukun itu ditinggalkan. Kelima rukun itu adalah ihram (niat), wuquf di Arafah, thawaf ifadhah, sa’i dan mencukur rambut. Setiap rukun memiliki aturan pelaksanaan. Misalnya thawaf yang harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar. 

Permasalahannya,jika seorang perempuan di tengah-tengah menunaikan ibadah haji menjalani haid. Padahal perempuan haid tidak diperkenankan melakukan thawaf.

Karena itu, timbul pemikiran untuk mempercepat atau memperlambat kedatangan haid supaya tepat selama menunaikan ibadah haji dalam keadaan suci. Atau menghentikannya untuk sementara waktu.
Menurut para ulama, sebagai termaktub dalam kitab-kitab fikih, pada dasarnya menggunakan obat untuk kedatangan menstruasi hukumnya diperbolehkan. Imam Ramli dan kalangan Syafi’iyah menyatakan hal itu dalam kitab Nihayah A1-Muhtaj Syarah Al-Minhaj.

Pendapat ini tidak hanya dijumpai di kalangan Syafi’iyah. Imam Ahmad, pendiri Madzhab Hanbalj, dalam kitab Al Mughni berkata: “Tidak apa-apa seorang perempuan minum obat untuk menghentikan haid.” Demikian halnya dalam Madzhab Maliki. 

Sudah barang tentu dalam rangka pemakaian obat tersebut, penting untuk dipertimbangkan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Untuk itu konsultasi dan rekomendasi dokter ahli diperlukan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dimginkan. 

Sudah barang tentu, haji perempuan pemakai obat tersebut hukumnya sah. Yang penting dia pada saat menjalankan thawaf dalam keadaan suci. Apakah kesuciannya terjadi secara alamiah atau akibat rekayasa dengan meminum obat, tidak dipermasalahkan. 

Di sini perlu juga dicamkan, bahwa thawaf merupakan satu-satunya rukun haji yang menuntut kesucian. Dengan demikian, rukun-rukun selain thawaf bisa dilaksanakan dalam kondisi haid. Sebenarnya ada alternatif lain untuk menghadapi masalah tersebut. Yang sangat sederhana adalah menunda thawaf sampai haid berhenti mengalir. Hal ini sangat dimungkinkan karena thawaf waktunya sangat longgar, tidak seperti wuquf di Arafah. Lagi pula, pada umumnya haid rata-rata berlangsung berkisar 6 (enam) sampai 7 (tujuh) hari. Bahkan ada yang hanya sehari semalam. 

Selain itu kadang-kadang darah haid tidak mengalir terus-menerus. Ada perempuan yang haidnya terputus-putus. Misalnya sehari mengeluarkan lalu sehari berhenti, kemudian keluar lagi. Perempuan yang demikian dapat menjalankan thawaf ketika darahnya berhenti. 

Karena untuk melakukan thawaf tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti dimaklumi, thawaf adalah mengitari Ka’bah 7 (tujuh) kali. Sebab, menurut pendapat Imam Syafi’i, ketika darah tidak mengalir (al-naqa) status perempuan adalah suci. 

Alternatif lain, sebagaimana dikatakan Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq dalam kitab Ahkam As-Syan’ah Al-Islamiyah fi Masail Thibbiyah ‘an Al-Amrad An-Nisafiyah halaman 20. Dengan menunjuk pada kitab Fath Al-Aziz karangan Imam Rafi’i bahwa thawaf perempuan yang haid dapat digantikan orang lain yang telah selesai melakukan thawaf untuk dirinya. ini dilakukan bila tidak dimungkinkan bagi perempuan tersebut berada di Makah sampai haidnya berhenti.

Friday, 9 September 2016

Hukum Wanita Muslim Pergi Haji Sendirian (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Wanita Muslim Pergi Haji Sendirian (Dialog Wanita dan Islam)
Wanita bertanya :
Mengingat banyak dalil yang menerangkan bahwa kaum wanita itu dilarang pergi sendirian, kecuali disertai muhrim. Apakah dalam menunaikan ibadah haji mereka juga harus disertai seorang muhrim? 

Islam menjawab : untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua pendapat yang menjelaskannya, yaitu :
1. Dari imam malik dan imam syafi’i
Mereka berpendapat, bahwa seorang wanita yang hendak menunaikan ibadah haji tidak wajib disertai muhrim, tetapi bila ia telah mendapat seorang teman yang bisa dipercaya.

2. Dari pihak Abu Hanifah dan golongan Fuqaha
Dimana mereka berpendapat, bahwa keberadaan muhrim termasuk menjadi syarat wajib untuk kepergian seorang wanita menunaikan ibadah haji.

Adapun perbedaan pendapat itu tidak lain disebabkan adanya perbedaan persepsi antara perintah mengerjakan haji dan larangan berpergian bagi wanita kecuali diikuti seorang muhrim. Kemudian fuqaha ‘ yang berpedoman pada keumuman perintah haji , berpendapat bahwa wanita boleh pergi menunaikan ibadah haji meskipun tidak diikuti oleh seorang muhrim. Lain lagi kalau fuqaha’ yang membatasi keumuman perintah haji, menjadikan hadits yang melarang seorang wanita bepergian kecuali diikuti oleh seorang muhrim, menjadi pembatas yang mengurangi keumuman perintah haji tersebut. atau, menurut pendapat mereka, dan hadits itu termasuk dalam penafsiran kata “kesanggupan”. Jadi bila tidak ada seorang muhrim yang mengikutinya berarti belum terhitung “sanggup”. Maka untuk tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka, kita bebas memilih, mana yang kita anggap baik dan cocok untuk kita ikuti.

Sumber : buku dialog wanita dan islam Imam turmudzi


Wednesday, 7 September 2016

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah seorang janda yang mempunyai beberapa anak yatim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat? 

Islam menjawab : Pada prinsipnya bila jumlah kekeayaan yang dimiliki sudah mencapai satu hisab dan usia waktunya satu tahun, maka ia berkewajian untuk mengeluarkan zakat. Kemudian didalam syariah islam juga tidak pernah membeda-bedakan, apakah yang memiliki itu orang yang masih bersuami, janda ,anak-anak, remaja atau gadis yang belum menikah. Jadi sekalipun seorang janda dan mempunyai beberapa anak, tetapi bila kekayaannya telah mencapaisatu hisab, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat.

Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat dari Abdullah bin Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menjadi wali seorang anak yatin yang berharta, maka hendaklah memperniagakan kekayaan itu bagi dirinya, jangan membiarkan harta itu hingga terkurangi oleh zakat.” (Riwayat Ad Daruquthni).

Kemudian riwayat yang lain juga menegaskan, bahwa Nabi Saw Bersabda :
“Perniagakanlah Harta anak-anak yatim (dengan mengatasnamakan kepadanya), sehingga tidak hilang atau dihabiskan oleh zakat”. (riwayat Syafi’i) 

Jadi dari uraian diatas jelas,bahwa status harta itu,apakah itu milik yatim ataupun tidak, tergantung suami yang telah meninggalkan istrinya tadi. Apakah sebelum meninggal itu ia telah mewasiatkan kekayaan ataupun belum sama sekali, tetapi meskipun harta kekeayaan itu telah diwasiatkan kepada anaknya (yatim) dan sudah mencapai satu nisab dan lewat setahun, maka ia wajib menzakatinya.

Sumber : Buku Dialog Wanita dan Islam "Imam turmudzi"

Tuesday, 6 September 2016

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah kewajiban zakat itu juga berlaku bagi kaum wanita?

Islam menjawab : Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat yang bersanad dari Abu Bakar ra,yang berbunyi :” inilah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, atas kaum muslimin”(Riwayat Bukhori). Sedangkan yang dimaksud kaum muslimin diatas adalah mencakup lapisan orang islam, baik itu laki-laki ataupun wanita,dewasa atau anak-anak. Jadi kaum wanita itu juga mempunyai kewajiban untuk berzakat ,bila mereka mempunyai kekayaan yang telah mencapai nisab.

Monday, 5 September 2016

Hukum Wanita Memotong Rambut (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum wanita memotong rambut (dialog wanita dan islam)

Wanita bertanya : apakah diperbolehkan seorang wanita memotong rambut?

Islam menjawab : tidak diperbolehkan, kecuali jika dimaksudkan untuk mempercantik dirinya. Sedangkan haram hukumnya, bila memotong rambutnya sampai pendek dan menyerupai laki-laki. Sebagaimana dijelaskan dalam Sabda Nabi saw. Yang berbunyi: “ Allah melaknat lelaki yang meniru (menyerupai) perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki”
Jadi hadits diatas mencakup dalam cara berpakaian, memotong rambut,sikap dan tingkah laku baik itu laki-laki ataupun perempuan.


Sumber : Buku Dialog Wanita dan Islam "Imam turmudzi"

Thursday, 1 September 2016

Hukum Memanjangkan Kuku Bagi Wanita Muslim (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Memanjangkan Kuku Bagi Wanita Muslim (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : apakah hukumnya seorang wanita memlihara kuku sampai panjang?
Islam menjawab :  sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Saw. Yang berbung :”lima sunnah fitrah yang harus dikerjakan , yakni : khitan, mencukur rambut (bawah), menggunting(merapikan) kumis, memotong kuku dan mencabut rambut ketiak” (hadits riwayat muslim,abu daud dan ahmad).

Dijelaskan juga dalam sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim,abu daud , an nasai dan tumudzi yang berbunyi : “ waktu pelaksanaannya tidak lebih dari 40 hari dalam menggunting kumis,memotong kuku, mencabut rambut ketiak, dan mencukur rambut bawah.” 

Memang kalo binatang buas membutuhkan kuku yang panjang untuk menerkam mangsanya, berbeda dengan manusia yang diciptakan sebagai mahluk yang mulia. Oleh sebab itu wanita tidak diperbolehkan memanjangkan kukunya. Selain itu kuku yang panjang aka menghalangi air ketika kita berwudhu (bersuci) sehingga akan mengurangi keabsahan ibadah yang kita lakukan.

Tuesday, 30 August 2016

Hukum Bersedekah Seorang Istri Menurut Islam (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum bersedekah seorang istri menurut islam (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : apakah seorang wanita yang telah bersuami diperbolehkan bersedekah dengan uangnya sendiri tanpa harus izin kepada suaminya? 

Islam menjawab : seorang wanita  yang telah bersuami tidak diperbolehkan bersedekah dengan hartanya, kecuali mendapat izin dari suaminya. Sebagai mana dikisahkan dalam sabda Rosulullah Saw. Pada suatu hari istri Ka’ab bin malik menyerahkan perhiasannya kepada Rosulullah Saw,sebagai sedekah. Namun Rosulullah Saw tidak langsung menerimanya,tetapi berkata : “tidak dibenarkan seorang wanita bersedekah dari hartanya kecuali dengan izin suaminya. Selain itu Rosul juga bertanya : “apakah engkau sudah mendapat izin suamimu ? “ istri Ka’ab bin malik menjawab: “sudah!’. Meskipun istri Ka’ab Bin Malik itu telah menjelaskan , beliau (Rosul) belum puas dengan jawabannya , kemudian  beliau mengutus salah seorang sahabatnya untuk menemui Ka’ab dan menanyakan : “Apakah engkau merestui sedekah istrimu? “Ka’ab menjawab : “ya, benar.” Setelah itu sahabat nabi melaporkan bahwa istri Ka’ab telah direstui oleh Ka’ab. Kemudian beliau baru menerima sedekah tersebut.

Jadi bahwa seorang wanti muslim yang telah bersuami jika ingin bersedekah harus mendapat restu dari suaminya walaupun yang akan disedekahkan adalah harta pribadinya.

Sumber : Buku Imam Turmudzi "Dialog Wanita dan Islam" 


Monday, 29 August 2016

Suara Wanita Menurut Islam (Dialog Wanita dan Islam)

Suara Wanita Menurut Islam (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : suara wanita itu apakah termasuk kedalam aurat?
Islam Menjawab : apabila suara itu terdengar manja atau merayu,mendesah-desah dan sengaja dibuat-buat dengan sikap yang seronok, memancing birahi atau nafsu syahwat laki,laki, maka suara yang denikian itu yang dinamakan aurat. Sebagaimana dalam firman Allah yang berbuny i:
“karena itu janganlah kamu tunduk dalam berbicara,sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, tetapi ucapkanlah perkataan yang baik.”(Q.S Al-Ahzan :32)

Jadi ucapan yang baik dan sopan itu bukan aurat. Tetapi ucapan yang tidak sopan dan tidak baik itu yang termasuk aurat. Kemudian dalam kitab “ Al-fiqih Alal Madzahibil Arba’ah” menjelaskan, bahwa suara wanita buka aurat, sebab istri-istri  Rasulullah Saw, berbicara dengan para sahabat yang bertanya soal hukum hukum agama dan istri beliau itu menjawab. Jadi yang dilarang adalah apabila suara itu dikuatirkan dapat menimbulkan fitnah, meskipun ketika seorang wanita membaca alquran. 

Sumber : Buku Imam Turmudzi "Dialog Wanita dan Islam" 

Tabir Wanita