Thursday, 22 September 2016

Apakah Boleh Umroh Saat Haji Menurut Fikih Islam ?

umrah saat haji
Tanya : Orang yang sudah pernah umrah tetapi belum berhaji. wajibkah mengulangi umrah di kala beribadah haji ? (Abdul Hakim, Punjer, Kebumen) 

Jawab : Haji dan umrah pada dasarnya dua ibadah yang berdiri sendiri, meski dalam banyak hal yang berkaitan dengan kriteria orang yang diwajibkan dan tata cara pelaksanaannya memiliki kesamaan. 

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis, umrah disyariatkan dalam Islam, meskipun status hukumnya diperselisihkan para ulama. 

Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan umrah hukumnya sunah muakkadah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat umrah adalah wajib. 

Terjadinya khilaf itu menurut pengarang kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-’Arba’ah, sebuah kitab fikih perbandingan empat mazdzhab, merupakan salah satu aspek yang membedakan umrah dengan haji. Kalau haji semua sepakat hukumnya wajib bagi yang telah mampu sebagaimana tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajihan manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah, barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. “(QS. Ali Imran: 97) 

Bagi yang berpendapat wajib, umrah cukup dilakukan sekali saja selama hidup (marrah thul al-umr) dan berlaku atas orang orang yang berkewajiban haji. Lebih dari itu hukumnya sunah. Karena haji dan umrah merupakan ibadah yang berdiri sendiri, keduanya dapat dilakukan secara terpisah, tidak dalam satu tahun. Dalam artian boleh saja umrah dilakukan tahun 1995 dan baru tahun berikutnya menunaikan haji, tanpa harus mengulangi umrah untuk kali yang kedua. Seperti yang saya sebutkan di atas, kewajiban umrah hanya satu kali dalam hidup ini. 

Meski demikian untuk menghemat tenaga dan biaya, orang biasanya -terutama yang jauh dari Makkah- mengerjakan umrah dan haji sekaligus. Karena dengan begitu, seseorang yang belum pernah umrah, pada tahun-tahun berikutnya tidak perlu pergi ke Makkah lagi untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang sudah pernah menjalankan umrah ketika haji dimaksudkan sebagai optimalisasi kesempatan yang sangat berharga tersebut -berada di tanah suci- dengan memperbanyak ibadah.

Ibadah haji yang demikian, dalam arti dirangkai dengan umrah, dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, ihram haji terlebih dahulu, setelah selesai kemudian umrah. Kedua, tammattu, kebalikan ifrad. Ketiga, qiran, ihram haji dan umrah secara bersamaan. 

Ketiga cara tersebut, mana yang paling utama termasuk masalah khilafiyah, lantaran ada perbedaan pendapat dalam menentukan cara yang dipilih Rasulullah Saw. saat mengerjakan haji wada (perpisahan) apakah ifrad, tammattu atau qiran. Yang jelas semua boleh dipakai, dan mempunyai pendukung sendiri-sendiri. 

Dalam Madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas kaum muslim Indonesia, yang paling utama adalah ifrad, sebagaimana termaktub dalam kitab Fath Al-Qarib, dan 1ain-lain.

Apa Hukum Wanita Berhaji Tanpa Muhrim ?

haji tanpa muhrim
Tanya : Mengapa perempuan harus disertai muhrim ketika melaksanakan haji. Bagaimana jika tidak disertai muhrim atau suami? 

Jawab : Seperti kemarin telah saya singgung, bahwa berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, haji hanya dapat dilaksanakan di tanah suci Makkah. Thawaf di Ka’bah, sa’i dari Shofa ke Marwah, wukuf di Arafah dan seterusnya. Ibadah haji selain di tempat-tempat tersebut tidak sah. Sebab tempat-tempat tersebut memiliki nilai historis yang tidak dimiliki tempat lain. 

Padahal di sisi lain, kewajiban haji berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, yang memenuhi persyaratan istitha‘ah, yakni mempunyai kemampuan mengerjakan haji. 

Sebelum membicarakan status muhrim bagi perempuan yang berangkat haji, sebaiknya diketahui terlebih dahulu perbedaan 3 (tiga) jenis persyaratan haji, yaitu, syarth al-wujub wa ash-shihhah, syarth al-wujub wa al-ijza’ wa laisa syarth ash-shihhah, dan syarth al-wujub faqath. 

Persyaratan pertama adalah Islam dan berakal. Orang Islam dan berakal saja yang sah dan terkena kewajiban haji. Non muslim atau orang gila tidak wajib dan tidak sah. Kedua, baligh dan merdeka (bukan budak atau hamba). Anak kecil sebelum baligh dan budak, tidak wajib melakukan haji. Kalau pun mengerjakan, hajinya sah. Tetapi setelah baligh atau merdeka wajib mengulangi lagi. Ketiga adalah istitha’ah (memiliki kemampuan menunaikan haji). Orang yang belum atau tidak mampu, misalnya tidak punya perbekalan, tidak wajib berhaji. 

Tetapi kalau memaksakan diri berangkat ke tanah suci, hajinya sah dan sudah mencukupi sebagai haji Islam. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2076). 

Seseorang dianggap mampu dan wajib menunaikan haji apabila sehat, memiliki perbekalan dan biaya transportasi, tersedia alat transportasi, keamanan terjamin dan waktunya masih longgar untuk mengerjakan haji. Khusus bagi istri, persyaratannya adalah adanya suami, muhrim, atau jamaah perempuan yang terpercaya minimal tiga orang yang menyertai. 

Dengan demikian, keberadaan mereka termasuk syarat istitha‘ah. Oleh karena itu, perempuan yang tidak disertai suami, muhrim atau jamaah perempuan tidak wajib mengerjakan haji. Meskipun begitu, hajinya tetap sah. Karena keberadaan suami dan muhrim atau 3 (tiga) perempuan terpercaya, menjadi syarat kewajiban (syarth al-wujub), bukan syarat keabsahan (syarth ash-shihhah) ibadah haji perempuan. 

Kalau kita perhatikan, sebenarnya persyaratan tersebut justru meringankan perempuan. Kondisi tempat haji pada zaman dahulu belum seaman sekarang. Alat transportasi masih menggunakan kuda dan onta. Sehingga ibadah haji sangat melelahkan. Keberadaan suami atau muhrim dalam kondisi demikian sangat dibutuhkan. 

Perempuan diperbolehkan berangkat haji dengan disertai satu perempuan yang terpercaya. Boleh juga berangkat sendirian jika keamanan terjamin. (Mausu‘ah Al-Fiqh Al-Islami. VII, 116). 

Pada zaman sekarang, segala urusan haji sudah ditangani oleh pemerintah. Faktor keamanan juga sangat diperhatikan pemerintah setempat. Jamaah haji tinggal membayar ONH (ongkos naik haji). Oleh sebab itu, boleh-boleh saja perempuar barangkat haji tanpa suami dan muhrim. Toh jamaah haji perempuan jumlahnya sangat banyak.

Pengertian Haji Badal Dan Cara Haji Badal

pengertian badal haji, cara badal haji
Tanya : Saat naik haji beberapa tahun lalu saya dititipi uang badal haji sebanyak 700 riyal oleh kerabat saya untuk ibunya yang sudah meninggal di tanah air. Sampai di Makkah saya minta teman saya yang sudah berhaji untuk menghajikan ibu kerabat saya tadi. Pak Kiai, bolehkah badal haji dengan uang sejumlah itu. Kabarnya itu memang harga umum. Padahal ONH jauh lebih banyak dari itu? Apakah syarat-syarat badal haji? (Toha, Jakarta) 

Jawab :
Pertama saya jelaskan dahulu apa itu haji badal, haji badal, atau badal haji adalah haji yang diwakilkan kepada orang lain karena alasan tertentu, atau singkatnya membayar orang untuk mewakilkan melaksanakan haji.

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di Padang Arafah. 

Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibadah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliah). Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajian haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib A1-Arba’ah. I, 706). 

Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. Dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. 

Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, sebagai ibadah maliyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada orang lain. Begitu pula orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ihadah ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu. Diceritakan dalam sebuah hadis sahih, seorang perempuan dan Khats’am berkata kepada Rasulullah :
Artinya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab, “Ya”. (Muttafaq‘alaih) 

Oleh sebab itu, para fuqaha mengklasifikasikan istitha’ah (kemampuan haji) menjadi dua, istitha’ah bi nafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah bi nafsih artinya, sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika seseorang karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa orang lain melakukan haji atas namanya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2098). 

Seseorang dianggap sudah istitha’ah bi ghairih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar orang lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah al-misl). 

Transaksi antara orang yang mewakilkan dan wakil atau badal termasuk kategori akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai upah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fikihnya disebut ‘an taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu orang. Hal ini sangat mungkin terjadi, bilamana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya. 

Orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh dan berakal), dan mampu melakukannya. Wakil diisyaratkan sudah melaksanakan haji sebelumnya. Yidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.

Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama orang yang mewakilkan. Ihram dilakukan dan miqat orang yang diwakili. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2106)

Wednesday, 21 September 2016

Apa Hukum Berhaji Tanpa Memahami Ilmu Haji

berhaji tanpa ilmu haji, berhaji tanpa bekal ilmu haji
Tanya : Terus terang kami belum mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Namun kesempatan itu tiba- tiba ada. Kami mendapatkan rezeki yang tidak kami duga sebelumnya. Apakah kami memaksakan diri dengan ilmu seadanya ? Padahal kalau ditunda tahun depan kemungkinan besar kesempatan itu tidak ada lagi. Mohon penjelasannya.

Jawab : Haji adalah rukun Islam kelima. Seorang muslim wajib menjalankan ibadah haji kalau ia sudah mampu. Seseorang dikatakan mampu kalau secara fisik ia sehat untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan haji, dan secara materi ia mampu perbekalannya serta adanya jaminan keamanan di perjalanan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”  (Ali Imran: 97) (Al-Fiqhu Al-Islami. III, 2082). 

Ditinjau dari kelengkapannya, pelaksanaan ibadah haji memang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, karena ternyata ia mencakup hal-hal yang ada pada rukun Islam di luar haji. Di antaranya pelaksanaan haji sama dengan shalat dan puasa sebagai ibadah badaniyah yang membutuhkan kekuatan fisik. Haji menyerupai zakat sebagai ibadah maliyah yang sama-sama rnembutuhkan kekuatan materi, dalam hal ini adalah bekal. Haji mencakup jugi jihad fi sabillah karena membutuhkan semangat dan kekutan jiwa-raga (mujahadatu an-nafsi wa al-badan). Kalau dalam shalat, puasa atau zakat itu hanya membutuhkan kekuatan fisik atau materi ansich (badaniyah, maliyah) maka dalam ibadah haji, ketiga-tiganya baik kekuatan fisik, materi dan mujahadatu an-nafsi tidak bisa dipisahkan. Kekuatan fisik tanpa kemampuan materi atau kemampuan fisik dan materi saja tanpa mau mujahadatu an nafsi wa al-badan rasanya sulit bahkan mustahil seseorang dapat menjalankan ibadah haji.

Dalam kasus yang Anda alami nampaknya saat itu sudah mampu secara fisik maupun materi, satu hal yang masih menjadi ganjalan adalah merasa belum cukup ilmu. Sebenarnya perasaan itu adalah hal yang wajar bagi orang yang belum pernah haji. Kekhawatiran akan belum tercukupinya ilmu, tidak hanya dialami oleh seseorang saja, mungkin orang perorang mengalaminya. Tapi bukankah ilmu dapat dipelajari, apalagi sekarang sudah banyak yayasan atau lembaga yang menangani bimbingan bagi para calon jamaah haji. 

Untuk itu masalah penting yang perlu diperhatikan dan difokuskan adalah bagaimana agar bisa menjalankan rukun dan wajib haji secara sempurna. Rukun haji meliputi, ihram dan miqat (batas baik waktu maupun tempat untuk berihram), thawaf(mengitari ka’bah tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil antara bukit Shofa dan Marwah), dan wuquf (bertempat) di Arafah. Sedangkan wajib haji meliputi, ihram dan miqat, melempar jumrah (ramyu al-jimar), memotong rambut (halqu). (Fath Al Qarib, 27-28).

Kesemuanya itu bisa dipelajari oleh setiap orang dalam waktu singkat, tetapi sebaliknya tidak setiap orang mampu mendapatkan materi yang cukup untuk bisa menunaikan ibadah haji. 

Jadi, apa yang Anda dapatkan barupa kemampuan materi dan kekuatan fisik adalah amanat sekaligus anugerah yang patut untuk disyukuri, karena dengan demikian Anda diberi kemampuan untuk menjalankan ibadah haji. Anda wajib untuk menunaikan ihadah haji. Bahwa kemudian seseorang merasa kurang ilmu, itu tidaklah pantas dijadikan alasan untuk menunda ibadah haji, lagipula siapalah kita sehingga yakin betul akan mendapati mentari di hari esok.

Seberapa Penting Menghajikan Orang Tua Yang Sudah Meninggal ?

haji untk orang tua meninggal
Tanya : Mana yang lebih afdhal, mengahajikan orang tua yang telah meninggal, ataukah istri saya ?
 
Jawab : Ibadah haji, rukun Islam ke lima, hanya diwajibkan atas orang-orang yang mampu. Kewajiban haji hanya sekali selama hidup. Oleh karena waktunya sepanjang umur. Orang yang telah mampu menunaikan ibadah haji, tidak harus melakukannya seketika. Jadi, jika pada tahun ini seseorang memperoleh rezeki yang cukup untuk berangkat haji, pelaksanaannya boleh ditunda pada tahun-tahun mendatang. Akan tetapi karena setiap orang tidak tahu berapa umurnya secara pasti, semakin cepat haji selagi mampu semakin baik. Dengan begitu, ia segera terbebas dari kewajiban haji. Lagi pula, tidak sedikit ulama yang berpendapat kewajiban haji adalah secepatnya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2073- 2074).

Karena kewajiban haji tidak seketika (‘ala at-tarakhi), banyak kaum muslimin yang sebenarnya telah mampu berangkat haji, tetapi pelaksanaannya ditunda dengan pelbagai pertimbangan. Penundaan ini apabila berlangsung lama, kadangkala berakhir dengan datangnya ajal sebelum sempat menunaikan haji. 

Orang yang meninggal dalam keadaaan belum berhaji, padahal pada masa hidupnya telah mampu, menurut para ulama dihukumi berdosa. 

Orang demikian hajinya harus diqadha’ dengan cara mengupah orang lain yang telah pergi haji dengan  harta peninggalannya (at-tirkah). Qadha’ dilakukan secepatnya (‘ala al-faur). Kalau tidak mempunyai harta peninggalan, ahli waris tidak berkewajiban menghajikan si mayit. Tetapi dianjurkan, karena hukumnya sunah. (A1-Majmu VII, 109). 

Kewajiban mengqadha’ haji orang meninggal, mengacu pada hadis riwayat Buraidah, beliau mengatakan : Seorang perempuan mendatangi Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya telah meninggal dalam keadaaan belum haji. Rasulullah bersabda :
Artinya: “Berangkatlah haji sebagai ganti ibumu.” (HR. Muslim) 

Ibadah haji adalah ibadah badaniyah dan maaliyah, fisik dan harta. Sehingga dapat diwakilkan kepada orang lain, apabila tidak mampu dikerjakan sendiri karena kematian atau penyakit yang tidak memungkinkan berangkat ke tanah suci. 

Haji adalah hak Allah. Orang yang belum berhaji herarti masih berutang kepada Allah. Seperti halnya utang manusia, utang kepada Allah wajib dilunasi. Pelunasan utang haji, dilakukan dengan haji badal. 

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka meng-qadha‘ haji orang tua dengan harta peninggalannya didahulukan daripada menghajikan istri. Lagi pula, harta tersebut hasil jerih payah orang tua. Sudah sebaiknya jika digunakan untuk kemashlahatannya. Mengqadha’haji orang tua harus seccpatnya. Menghajikan istri boleh ditunda.

Apa Hukum Melempar Jumrah Dengan Sandal ?

melempar jumrah selain dengan batu
Tanya : Saya pernah melihat salah seorang jamaah haji melempar jumrah dengan sandal. Apakah hal itu diperbolehkan ? (Hadi, Banyuwangi) 

Jawab : Pekerjaan ibadah haji dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), rukun, kewajiban dan sunah. Rukun haji adalah sesuatu yang asasi, jika ditinggalkan maka hajinya tidak sah.

Kewajiban haji juga harus dikerjakan, tetapi jika tidak dipenuhi hajinya tetap sah. Cuma harus membayar fidyah. Sedangkan sunah sebaiknya dikerjakan. 

Salah satu kewajiban haji adalah melempar 3 (tiga) jumrah, yakni, jumrah ula, wustha dan kubra atau ‘aqabah. Diceritakan dari Sahabat Jabir, beliau berkata, yang atinya : “Saya melihat Rasulullah melempar jumrah dari atas kendaraannya pada hari raya Idul Adha, dan berkata, “Ambillah manasik kalian dariku. Karena sesungguhnnya aku tidak mengetahui kalau-kalau tidak bisa haji setelah ini.” (Nail Al-Authar. V, 65).
Pelemparan jumrah, di samping karena diperintahkan Rasulullah, juga untuk meneladani tindakan Nabi Ibrahim beserta istri dan anaknya. Nabi Ibrahim mendapat wahyu menyembelih putranya, Nabi Ismail. Mereka bertiga melempar batu ke arah iblis yang berusaha menggagalkan pelaksanaan perintah Allah tersebut. Jadi, melempar jumrah merupakan simbol perlawananan manusia terhadap setan yang selalu berusaha menjerusmuskannya supaya melakukan hal-hal yang tidak baik. Dalam Al-Quran, setan menjadi musuh manusia. (Al-Fiqh Al Islami, 3). 

Pelemparan jumrah dilakukan dengan batu (al-hajar). Dalam hal ini, kita semata-mata mengikuti Rasulullah (ittiba’ as-sunah). Sebab, dalam masalah ibadah, kita harus merujuk pada dalil naqli (Al-Quran atau hadis). Ada kaidah segala bentuk ibadah hukumnya haram kecuali yang diperintahkan. Dalam bidang muamalah berlaku sebaliknya, yaitu segala sesuatu diperbolehkan kecuali yang dilarang. (Nihayah Az Zain, 211, AI-Madzahib A1-Arba’ah. I, 665). 

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan melempar jumrah dengan sandal. Tindakan salah seorang jamaah yang dilihat penanya tidak bisa dibenarkan. Sebab sandal adakalanya terbuat dari kayu, kulit atau karet. Ketiganya jelas bukan batu. 

Setiap jamaah melempar jumrah dengan tangan secara langsung. Diutamakan menggunakan tangan kanan. Karena itu, harus dihindari melempar dengan kaki atau ketapel. 

Karena yang diperintahkan adalah melempar (ar-ramy), belum mencukupi meletakkan batu di marma (tempat pelemparan), seperti memasukkan gula ke dalam gelas. Sebab itu namanya bukan melempar. Batu yang dilempar sudah barang tentu harus masuk marma.

Sunday, 18 September 2016

Bagaimana Pelaksanaan Dan Pendistribusian Daging Dam Menurut Fikih Islam ?

pengertian dam, jenis hewan dam, cara membayar dam, bilik islam
Tanya : (A) Saya naik haji pada tahun 1995. Guna melakukan penghematan, saya dan teman-teman membeli kambing dam sendiri di sebuah pasar di Makkah (atau Mina, saya agak lupa). Kambing-kambing dam kami dipotong oleh pedagangnya sendiri dipasar tersebut. Setelah itu, kambing itu kami serahkan kepada sang pedagang kambing. Sahkah dam kami. Pak Kiai ? Bagaimana pelaksanaan dam yang afdhal. 

(B) Sekarang para jamaah bisa membayar damnya melalul bank Ar-Rajihi. Saya dengar, daging dam dikirim kepada orang-orang Islam di daerah-daerah kritis (Afrika, Bosnia dan lain- lain) seusai musim haji. Alasannya, karena di Saudi sudah tidak ada orang yang berhak menerima daging dam. Kalau memang diperbolehkan, bolehkah kita membeli kambing dam di tanah air dipotong dan dibagikan di sinipula? Apakah syarat-syarat pelaksanaan dam itu? (Naglu Ahmad)

Jawab : Pekerjaan ibadah haji dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), rukun, kewajiban dan sunah. Rukun haji adalah sesuatu yang asasi, jika ditinggalkan hajinya tidak sah. Kewajiban haji juga harus dikerjakan, tetapi jika tidak dipenuhi hajinya tetap sah. Cuma harus membayar fidyah. Sedangkan sunah sebaiknya dikerjakan. Di samping itu, ada perkara yang harus ditinggalkan ketika sedang ihram (muharramat al-ihram).

Barangsiapa meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau melanggar larangan-larangan akan dikenai sanksi (dam atau fidyah), berupa menyembelih kambing (kerbau/sapi/onta), bersedekah, dan puasa. Dam juga berlaku bagi pelaku haji tamattu’dan qiran. Kapan sanksi berupa menyembelih kambing, bersedekah dan berpuasa, memerlukan perincian tersendiri. Sesuai dengan pertanyaan, pembahasan kita terbatas pada tata cara membayar dam dengan menyembelih kambing atau onta.

Hewan yang disembelih sebagai dam, harus memenuhi persyaratan hewan kurban. Artinya, tidak sakit, buta, pincang, dan sangat kurus. Kambing dan kerbau/sapi telah berumur dua tahun, dan onta berumur lima tahun.

Waktu penyembelihan dam akibat melanggar larangan atau meninggalkan kewajiban tidak ditentukan. Adapun tempatnya adalah di tanah haram. Di manapun kita menyembelih, asal masih termasuk kawasan tanah haram sudah cukup. Yang afdhal bagi pelaku haji menyembelih di Mina, dan umrah di Makkah tepatnya di Marwah.

Jamaah haji sebaiknya menyembelih hewan damnya sendiri. Dapat pula diwakilkan kepada orang lain. Kalau diwakilkan, pembayar dam dianjurkan ikut menyaksikan proses penyembelihan. Seperti halnya penyembelihan, pembagian daging dam lebih afdhal dikerjakan sendiri. 

Daging dam menurut Madzhab Syafi’i khusus diberikan kepada fuqara tanah haram, baik penduduk asli atau pendatang (al-mustauthinin atau ath-thari’in). Lebih utama diberikan kepada penduduk asli. Ketentuan ini merujuk pada Al-Quran surat A1-Hajj ayat 33 sebagai berikut :
Artinya: “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itU ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).” (QS. AI-Hajj: 33).

Demikian pula dalam surat A1-Ma’idah, 99. Allah berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah menggan ti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhna, menurut putusan dua orang yang adil diantara  kamu sebagai hadnya yang dibawa sampai ke Ka‘bah, atau (dendanya,) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya niscaya Allah akan menyiksanya. Alah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. A1-Maidah 95) (Kifayah Al-Akhyar.  I, 238, Qalyubi. II, 145-146). 

Lain halnya dengan Madzhab Hanafi. Meskipun penyembelihan harus di tanah haram, daging dam dapat diberikan kepada selain fuqara tanah haram. (Al Fiqh Al-Islami. III, 2371). 

Oleh sebab itu, penyembelihan dam oleh pedagang hukumnya boleh-boleh saja, tapi kurang afdhal, pula pembayaran dam lewat bank, asal disembelih di tanah haram, dan dagingnya diberikan kepada fuqara tanah haram pula. Apabila dagingnya diberikan kepada fuqara selain tanah haram, menurut Madzhab Syafi’i tidak boleh. Hal itu dimungkinkan bila mengikuti Madzhah Hanafi.

Apa Hukum Mandi Ihram, Membaca Talbiyah Dan Haji Tamattu’ ?

hukum mandi ihram, hukum membaca talbiyah, hukum haji tamattu
Tanya : 1. Apa hukumnya mandi ketika akan ihram? 2). Ada pandapat bahwa talbiyah itu hanya boleh dibaca sampai pada saat jumrah al-aqabah, benarkah itu apa dasarnya ? 3. Ada Haji Tamattu’ yang tidak dikenal dam ? Bagaimana caranya ? Mohon penjelasan. (M. Syamsul Arifin, Kalianyar-Bangil) 

Jawab : Beruntunglah mereka yang mendapatkan anugerah menjadi tamu-tamu Allah di Baitullah. Beberapa pekan lagi mereka akan menjalankan rukun Islam yang kelima, berkumpul di tempat yang sama, menjalankan ibadah yang sama, yakni ibadah haji, menghadap Allah dengan pakaian ihram yang putih bersih. 

Ihram merupakan permulaan dari semua amaliyah ibadah haji (fatihah al-‘amal al-hajj) sama halnya dengan takbirah al ihram dalam shalat. Sebelum melakukan ihram para jamaah haji disunatkan menjalankan beberapa amaliyah, sebagian di antaranya, Pertama, Mandi. Oleh imam empat, mandi sebelum ihram ini dihukumi sebagai sunah muakkadah karena di samping untuk kebersihan pribadi juga untuk kebersthan bersama mengingat dalam ibadah haji berkumpul banyak sekah manusia. Kedua, memakai wangi-wangian pada badan (tidak pada pakaian) sebagaimana yang dilakukan sayyidah Aisyah terhadap Nabi dalam sebuah hadis muttafaq alaih :
Artinya: “Saya memakaikan wagi-wangian pada Rasulullah karena maksud ihram-nya sebelum beliau menjalankan ihram.” (Muttafaq ‘alaih) 

Adapun memakai wangi-wangian pada pakaian sebelum ihram hukumnya jaiz atau boleh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Bau yang tersisa dan terbawa dalam menjalankan ihram tidak menjadi masalah, hanya saja apabila pakaian itu lepas atau dilepas maka tidak diperbolehkan untuk kembali memakainya. Jika masih terdapat bau wangi-wangian yang dipakai sebelum ihram tadi kecuali bau itu dihilangkan terlebih dahulu. Ketiga, shalat dua rakaat sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim dan Ibn Umar bahwa Rasulullah shalat dua rakaat sebelum ihram di Dzil Hulaifah yang merupakan salah satu miqat makani (Al-Hajju wa Al-Umrah fi Al-Fiqhi Al-Islami 50-53). 

Kesunatan ihram yang lain adalah membaca talbiyah sejak memulai ihram sampai pada saat melempar jumrah al-aqabah shubuh yaum an-nahr tanggal 10 Dzulhijjah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi. (HR. Syaikhani dari hadisnya Fadhi bin Abbas). Disunatkan lagi bagi kaum laiki-laiki untuk mengeraskan suaranya dalam membaca talbiah dan sebaliknya bagi kaum perempuan untuk menjaga volume suaranya sekiranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. (Al-Fiqh Al-Manhajy. I, 402). 

Dalam menjalankan ibadah haji dan umrah ada 3 (tiga) macam cara yang bisa dilakukan oleh para jamaah, di antara mereka ada yang ifrad, yaitu mendahulukan ihram haji kemudian baru ihram, umrah, ada ada yang qiran, menjalankan haji dan umrah dalam satu ihram sekaligus dan ada yang memakai cara tamattu menjalankan umrah secara sempurna sampai tahallul terlebih dahulu kemudian baru niat ihram haji di Makkah atau dari miqat ketika dia ihram. 

Pelaksanaan haji dengan cara tamattu ‘dikenai dam, apabila dikerjakan oleh selain ahli Makkah pada bulan Dzuthijjah. Apa yang Anda tanyakan memang benar bahwa ada cara tamattu’ yang tidak dikenai dam yaitu, pertama, Ahli Makkah atau seseorang yang tempat tinggalnya tidak melebihi masafah al qasr dari Makkah. Bagi mereka tidak ada tamattu’ sebagaimana ketentuan yang didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganva tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah)” (QS. A1-Baqarah. 196) 

Kedua waktu Pelaksanaan umrah tidak pada asyhur al-hajj (Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) atau dengan kata lain sebelum bulan Syawal, baru kemudian mereka melaksanakan Ihram hajj pada asyhur al-hajj, dan yang ketiga tidak kembali untuk Ihram haji pada miqat di mana ia melakukan ihram, umrah. (Al-Hajju wa Al-Umrah fi Al-Fiqhi Al-Islami. 185-I86).

Apa Hukum Bersentuhan Kulit Laki-Laki Dan Perempuan Ketika Thawaf ?

hukum bersentuhan kulit ketika haji, bilik islam
Tanya : Untuk melaksanakan thawaf saat ibadah haji, sulit kiranya bila tidak bersentuhan dengan perempuan, bagaimana menghadapi situasi thawaf seperti ini, apakah ada madzhab yang memperbolehkan bersentuhan dengan perempuan, dalam arti tidak membataikan wudhu? 

Jawab : Setiap muslim tentu pernah mendengar ibadah yang disebut thawaf. Meski, hanya sebagian saja yang pernah menjalaninya, karena tempatnya terbatas di Bait Al-Haram, dengan jalan mengitari Ka’bah dan cara-cara tertentu. Ibadah ini tak dapat dilepaskan dari rangkaian pelaksanaan rukun Islam kelima, yaitu haji. 

Ada bermacam-macam thawaf. Pertama, thawaf Qudum, yang juga sering disebut thawaf At-Tahiyyah. Thawaf ini merupakan wujud penghormatan terhadap Ka’bah (tahiyyah al-Ka’bah). Dan dikerjakan begitu saja oleh seseorang yang tiba di Makkah. Secara fungsional, thawaf Qudum memiliki persamaan dengan shalat tahiyyah al-masjid. 

Kedua, thawaf Wada kebalikan dan yang pertama dan dilakukan ketika seseorang akan meninggalkan Makkah. Jadi, semacam untuk perpisahan. Al-Wada’itu dari bahasa arab, artinya berpisah. 

Ketiga, thawaf ifadhah, yang juga populer dengan sebutan thawaf rukun, karena termasuk rukun haji yang jumlahnya enam, di samping ihram, wukuf, sa’I, mencukur rambut dan tertib (melakukan semua rukun dengan urutan masing-masing).

Kewajiban thawaf ifadhah telah disepakati seluruh ulama dan termasuk masalah yang mujam’ ‘alaih. Lain halnya dngan kedua thawaf terdahulu, sebagian ulama mengatakan wajib, sebagian lain mengatakan sunah.

Keempat, thawaf at-tathawwu’ atau sunah. Thawaf  ini dapat dilakukan kapan saja, waktunya tidak terbatas. Dan, hukumnya sunah. Kedudukannya seperti salat sunah atau puasa sunah.

Yang melakukan thawaf, apapun jenisnya, diharuskan menyucikan dirinya dari hadas dan najis. Thawaf tidak sah jika dilakukan oleh orang yang menyandang hadas besar atau kecil di badan dan pakaian serta tempatnya terdapat najis. Ketentuan tersebut menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, dan mayoritas ulama (al-jumhur).

Persyaratan tersebut didasarkan atas beberapa hadis, satu di antaranya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda : “Thawaf di al-Bait itu seperti salat, cuma kalian semua (diperkenankan) berbicara”. Hadis lain dikeluarkan oleh dua ulama hadis terkemuka, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Diterangkan bahwa Aisyah ra. Berkata : “Sesungguhnya kali pertama dilakukan Rasulullah Saw. ketika memasuki Makkah, adalah berwudhu kemudian thawaf di al-Bait”.

Pada hadis pertama, Rasulullah menyamakan thawaf dengan salat. Perbedaan keduanya hanya terletak pada diperbolehkannya berbicara di tengah-tengah thawaf. Padahal seperti kita maklumi, pelaksanaan shalat menuntut pelakunya bersih dan bebas dari hadas maupun najis. 

Dengan demikian, dapat diambil saru konklusi atau natijah persyaratan yang sama, yakni suci dari hadas dan najis berlaku untuk thawaf. Kesimpulan tersebut selanjutnya dipertegas oleh hadis kedua, yakni Rasulullah SAW. sebelum berthawaf mengambil air wudhu terlebih dahulu. 

Permasalahan akan timbul ketika persyaratan tersebut dihadapkan pada kenyataan pelaksanaan thawaf di lapangan. Dan sekian ratus ribu, bahkan jutaan jamaah haji dari seluruh dunia, secara bersamaan mereka melaksanakan thawaf mengitari Kabah, tanpa adanya pambatasan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, sangat dimungkinkan akan terjadi gesekan dan persentuhan kulit dengan lain jenis. 

Persentuhan kulit menjadi problem, karena berhubungan lansung dengan keabsahan wudhu seseorang. Dalam madzhah Syafi’i persentuhan kulit secara langsung (Jawa : tanpa aling-aling) antara dua orang yang berlainan jenis yang sudah sama-sama dewasa dan tidak memiliki hubungan mahram, secara mutlak dapat membatalkan wudhu, letak kemutlakannya, baik bersentuhan tadi disengaja atau hanya kebetulan belaka, disertai syahwat (terangsang) atau tidak. 

Terhadap pihak yang menyentuh (al-lamis), semua ulama madzhab Syafi’i bersepakat, wudhunya batal. Sedangkan terhadap pihak yang disentuh (malmus) ada dua pendapat antara yang membatalkan dan tidak. Keterangan secara panjang lebar dengan herbagai metode isthimbath-nya dapat diteruskan pada kitab Syarh Al-Muhadzdzab pada pembahasan nawaqidh al-wudhu (perkara-perkara yang membatalkan wudhu).

Menghadapi problem di atas, ada beberapa cara yang bisa diatasi/ditempuh sebagai alternatif pemecahannya. Yang paling sederhana, sudah barang tentu berhati-hati, sedapat mungkin berkumpul dengan jamaah yang sejenis. Jika memungkinkan hendaknya berthawaf pada waktu yang agak sepi.

Dengan demikian, terjadinya persentuhan lebih mudah dihindari. Dan jika kebetulan Anda jadi pihak yang disentuh, bisa mengikuti pendapat yang tidak membatalkan. Seandainya Semua itu sulit diterapkan, langkah terakhir adalah berpindah madzhah yang tidak menganggap persentuhan kulit termasuk perkara yang membatalkan. 

Dalam hal tersebut, adalah madzhab Hanafi. Namun, konsekuensinya cukup memberatkan, kita harus mengikuti cara-cara berwudhu madzhab Hanafi secara utuh, mulai dari Persyaratan-persyaratannya .

Apa Hukum Haji Selalu Berhadas Dan Bagaimana Solusinya ?

hukum hadas haji, bilik islam
Tanya : Pak Kiai, saya mohon penjelasan. Salah seorang teman saya merasa pesimis hajinya tahun ini diterima oleh Allah. Karena Ia menderita penyakit hernia. Ia selalu kentut. Kadang satu kali salat berwudhu dua sampai tiga kali. Kalau di rumah tidak masalah. Jika di Masjzdil Haram tentu sangat susah. Apakah ada rukhshah (keringanan). Teman-teman menyuruhnya tetap berangkat, dengan mengutip hadis Qudsi “ana ‘indza dhanni a’bdi bi, wa anaa ma’ah idza dzakaranii.” Nah bagaimana pendapat Kiai ? (M. Badiuz Zaman, Kraton Pasuruan)

Jawab : Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Allah tidak menjadikan kesulitan dalam menjalankan agama-Nya.

Oleh karena itu, dalam fikih dikenal adanya rukhshah (dispensasi) dalam kondisi dan situasi tertentu. Akibat dispensasi ini, sesuatu yang semula wajib atau haram menjadi tidak lagi. 

Dari sekian rukun ibadah haji dan imrah, hanya thawaf mengelilingi Ka’bah 7(tujuh) kali mulai dari Hajar Aswad, yang pelaksanaannya menuntut kesucian dari hadas dan najis. Kesucian tidak menjadi syarat keabsahan sa’I, wuquf dan lain-lain. 

Kewajiban bersuci tatkala berthawaf didasarkan pada sebuah hadis yang menyamakan thawaf dengan shalat. Hadis itu bersumber dari riwayat Ibn Abbas. Rasulullah bersabda, yang artinya : “Thawaf di Baitullah itu shalat. Tetapi Allah menghalalkan berbicara ketika berthawaf. Maka barangsiapa berbicara, janganlah berbicara kecuali perkara yang baik “. (HR. Thabrani Hakim, Baihaqi) 

Kesucian menjadi salah satu syarat keabsahan shalat, Karena dianggap sama dengan shalat, thawaf harus dikerjakan dalam keadaaan suci pula. (Al-Fiqh Al Islami. I, 449). 

Dalam kondisi normal, kesucian mudah dipenuhi. Tetapi bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tidak normal, seperti orang yang selalu mengeluarkan urine atau buang air besar secara terus-menerus dalam rentang waktu relatif lama, persyaratan kesucian sulit dipenuhi. Begitu juga orang yang selalu kentut dan penderita istihadhah. Orang-orang demikian, dalam literatur fikih disebut daim al-hadats, artinya orang yang selalu berhadas.

Karena persyaratan kesucian bagi daim al-hadats sulit atau tidak bisa dipenuhi, maka dia diperbolehkan shalat dalam kondisi tidak suci. Lebih baik shalat meskipun tidak suci, daripada tidak melakukan sama sekali. Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya, “ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh” demikian kaidah fikih mengatakan.

Berdasarkan kaidah itu pula, para fuqaha mensyaratkan agar daim al-hadats membalut jalan depan dan atau belakang untuk memperkecil najis yang keluar. Pembalutan ini langsung diikuti dengan wudhu dan shalat secara berkesinambungan, tanpa dipisah dengan hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan shalat. Keluarnya sesuatu dari jalan depan atau belakang di tengah-tengah shalat tidak membatalkannya. 

Oleh karena thawaf sama dengan shalat, maka dispensasi tersebut juga berlaku untuknya. ini artinya, orang yang selalu kentut tidak perlu mengambil air wudhu setiap kentut. Cukup mengambil air wudhu langsung thawaf untuk 7 (tujuh) putaran. Demikian halnya, setiap melakukan shalat. Satu wudhu untuk satu shalat fardhu. Pembalutan tidak perlu dilakukan karena kentut tidak najis. Berbeda dengan urine, darah dan sejenisnya.

Jadi, teman penanya tidak perlu pesimis. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dan memang kita harus selalu berbaik sangka kepada-Nya, sesuai hadis Qudsi yang penanya sampaikan.

Saturday, 17 September 2016

Ihram Yang Benar Menurut Fikih Islam (Kewajiban, Larangan Dan Yang Diharamkan)

larangan ihram, anjuran ihram, yang diharamkan saat ihram
Tanya : Alhamdulillah, musim haji tahun ini saya akan berangkat ke tanah suci memenuhi panggilan Allah Swt. Sudah barang tentu saya ingin ibadah haji itu sesuai dengan aturan dan ketentuan, supaya diterima Allah Swt. dan menjadi maqbul sekaligus mabrur. 

Karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin mendapat penjelasan dari Kiai seputar masalah haji, dalam hal pakaian. Apakah yang dilarang saat ihram? 

Jawab : Sekarang kita berada pada penghujung Syawal. Kurang lebih satu bulan lagi kita memasuki Dzulhijjah, saat umat Islam akan mengerjakan ibadah haji di tanah suci Makkah. Haji dan umrah diwajibkan atas setiap muslim maupun muslimat yang memenuhi kriteria istitha‘ah (mampu berhaji) minimal sekali seumur hidup. 

Bagi yang belum pernah mengerjakan ibadah itu, sangat dianjurkan mempelajari hal-ihwal yang berhubungan dengan rukun Islam kelima tersebut secukupnya. Yaitu meliputi rukun, kewajiban, dan larangan-larangan ketika ihram, dengan harapan akan memperoleh haji yang mabrur.

Akan sangat membantu jika setiap calon haji memiliki gambaran rute perjalanan yang akan dilewati, serta urutan amalan ibadah haji secara kronologis. Karena itu, mengikuti pelatihan manasik secara massal atau konsultasi dengan orang yang pernah haji dan mengetahui seluk-beluk masalah haji sangat penting. 

Di antara masalah-masalah yang perlu diperhatikan oleh setiap calon haji adalah pakaian, mengingat pakaian yang dikenakan berbeda dari yang kita pakai sehari-hari, terutama kaum lelaki. Ada aturan dan ketentuan yang tidak boleh dilanggar. Bahkan terdapat jenis pakaian tertentu yang diharamkan. 

Pakaian yang dikenakan ketika mengerjakan ibadah haji atasanya disebut pakaian ihram. 

Karena itu, kewajiban memakainya akibat melakukan ihram, yakni niat mengerjakan haji atau umrah, atau karena pakaian tersebut dikenakan ketika berstatus muhrim (berihram). 

Pakaian ihram untuk pria dan perempuan tidak sama. Untuk pria, memakai dua helai kain, yang satu disarungkan dan yang lain diselendangkan. Haram memakai pakaian yang berjahit atau bertangkup, seperti baju dan celana (panjang maupun pendek, luar ataupun dalam). Tidak diperkenankan memakai kaus kaki, kaus tangan dan sepatu. Sandal yang tidak menutupi jari kaki, tidak apa-apa. Dilarang menutup kepala dengan topi, kopiah, kain, kertas dan lain-lain. Tapi diperbolehkan bernaung di bawah payung, tumbuh-tumbuhan, atap dan tenda, karena tidak dianggap menutupi kepala. Dengan alasan yang sama, tidak dilarang meletakkan tangan di atas kepala. 

Bagi perempuan, memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan seperti ketika shalat. Karena itu, larangan mengenakan pakaian berjahit dan bertangkup tidak berlaku untuknya. Seperti halnya lelaki, perempuan dilarang berkaus tangan. Jika lelaki dilarang menutup kepalanya, perempuan dilarang menutup mukanya. Pakaian ihram disunahkan yang berwarna putih. 

Selain hal itu, pria dan perempuan selama ihram dilarang melakukan beberapa tindakan, yakni memakai wangi-wangian, memotong kuku, dan mencukur atau mencabut rambut. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat-Nya :
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya. “ (QS. A1-Baqarah: 196) 

Yang juga dilarang adalah berburu atau menganiaya binatang di tanah Haram, kawin maupun mengawinkan, dan bersetubuh. Larangan ini sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas sebagai berikut :
Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka tidak holeh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. “ (QS. Al-Baqarah: 197) 

Selanjutnya juga haram adalah bercumbu, memotong pepohonan di tanah haram. (Sabil Al-Muthadin, Al-Fiqh Al Manhaji. I, 389, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami. III, 281). 

Larangan-larangan tersebut yang di dalam kitab-kitab fikih disebut muharramatal-ihram, tidak berlaku ketika jamaah telah melakukan tahalul. 

Setelah wukuf di Arafah, menginap di Muzdalifah dan berangkat ke Mina, di hadapan jamaah terdapat tiga amalan lagi yang penting yakni melempar jumrah aqabah, mencukur atau memotong rambut (al-halq), dan thawaf.

Barangsiapa telah melakukan dua dari tiga amalan itu berarti telah bertahallul atau tahallul asghar. Selesai tahallul awal, semua muharramatal-ihram diperbolehkan kecuali bersetubuh, bercumbu, dan kawin. Diperkenankan memakai wangi-wangian, baju berbulu dan lain-lain. 

Bersetubuh, bercumbu, dan menikah baru diperbolehkan setelah ber tahallul tsani atau tahallul akbar, yaitu setelah ketiga amalan tersebut dikerjakan secara keseluruhan. 

Semua itu dimaksudkan supaya setiap calon haji terlepas dari kebiasaan hidupnya sehari-hari. Pakaian putih dan tidak berjahit mengingatkan mereka pada sosok jenazah yang telah dikafani. 

Berkumpulnya jutaan manusia di Arafah, membawa imajinasi kita kepada situasi Padang Mahsyar, pada hari kiamat kelak yaitu tempat semua manusia dikumpuikan untuk dihisab amalnya. 

Dengan kata lain, jamaah haji diperlakulan septi orang yang telah meninggal dunia dan berada di akhirat. meskipun dalam kenyataan masih hidup dan berada di dunia ini. 

Segala simbol kemewahan dan kesenangan hidup, ketika ihram disingkirkan. Semua tampak sama. Tiada perbedaan antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat jelata. Dengan begitu, ibadah haji diharapkan mampu membentuk pribadi yang bertakwa dan mengembangkan kehidupan di dunia dan akhirat.

Syarat Miqat Dan Cara Haji Dari Indonesia Yang Benar Menurut Fikih Islam

cara miqat haji dari indonesia, cara haji dari indonesia
Tanya : Saya tahun lalu menunaikan ibadah haji, waktu itu ada kiyai yang menyarankan saya agar mengenakan pakaian ihram sejak di Juanda (Surabaya,). Tujuannya supaya nanti menjelang tiba di Jeddah, kira-kira kalau sudah sampai diatas Yalamlam, saya bisa berniat ihram. Sebab katanya miqat dari Indonesia itu Yalamlam. Jadi tidak sah dari Jeddah. Tetapi ketika akan niat ihram dari Yalamlam, saya dicegah oleh seseorang. Katanya, Jeddah memenuhi syarat sebagai miqat. Sebenarnya, mana yang benar Kiyai? Apa sebenarnva syarat-syarat miqat itu ? (HS. Suwanto, Malang)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, salah satu rukun haji adalali ihram, yakni niat haji dan umrah. Ihram wajib dikerjakan sebelum melewati miqat makani. Kalau ketentuan ihram dan miqat dilanggar, konsekuensinya harus memhayar dam. Dam akibat meninggalkan kewajiban, berupa menyembelih kambing yang bisa dijadikan qurban atau sepertujuh kerbau atau onta. 

Oleh karena itu, setiap jamaah perlu mengetahui miqat makani masing-masing. Supaya tidak melewatinya tanpa ihram. Miqat makani adalah tempat-tempat tertentu yang mengitari Makkah, yang telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri untk melakukan ihram. Berdasarkan sebuah hadis Shahih, riwavat dari Ibn Abbas, Rasulullah telah rnenetapkan DzuI Hulailah untuk penduduk Madinah, Juhfah untuk penduduk Syam (Suriah) Qarn a1-Manazil untuk penduduk Najed, dan Yalamlam untuk penduduk Yaman. Tempat-tempat itu, di samping menjadi miqat penduduk setempat, juga menjadi miqat orang yang melaluinya menuju Makkah.
 
Lalu apakah miqaf jamaah haji Indonesia? Apakah boleh ihram dari Jeddah? 

Nahdlatul Ulama pernah membahas masalah tersebut dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, di Kaliurang, Yogakarta pada tanggal 30 Agustus 1981 M. Pada saat itu, diputuskan bahwa lapangan terbang Jeddah tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat. Oleh sebab itu, para jamaah haji hendaknya melakukan niat ihram pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarn Al-Manazil, Yalamlam atau miqat-miqat yang lain yang dilalui setelah mendapat penjelasan dari petugas pesawat yang bersangkutan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, para jamaah haji dianjurkan sudah memakai baju ihram sejak dari bandara di Indonesia tanpa niat ihram. Niat ihram baru dilakukan ketika memasuki daerah Qarn A1-Manazil atau Yalamlam. Meskipun begitu, boleh-boleh saja niat ihram sejak berangkat dari Indonesia. Kalau alternatif terakhir yang dipilih, sejak niat ihram, hal-hal yang dilarang ketika ihram, telah berlaku. Keputusan Musyawarah Nasional ini berdasarkan keterangan dari kitab Al-Muhadzdzab I, 303 dan A1-Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, VII, 178). 

Miqat adalah tempat di mana orang yang hendak melakukan ibadah haji, tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan sudah niat ihram. Miqat sudah ditetapkan Rasulullah. Jadi, tidak ada syarat miqaf yang khusus, kecuali bahwa ia harus sesuai dengan ketetapan Rasulullah.

Rukun Haji Dan Wajib Haji Yang Benar Menurut Fikih Islam

apa itu rukun hai, apa itu wajib haji
Tanya : Dalam satu kesempatan latihan manasik, pembimbing menjelaskan pekerjaan haji ada yang bernama rukun dan kewajiban. Pertanyaan saya apakah perbedaan antara keduanya? Ataukah keduanya sama? 

Jawab : Pertanyaan saudara penanya meskipun sederhana, tetapi sangat penting dan mendasar sekali, sebab berkaitan secara langsung dengan keabsahan ibadah haji yang hendak dikerjakan. Pembekalan diri calon jamaah haji mengenai tata cara pelaksanaan haji secara memadai, jauh lebih penting daripada persiapan material. Meskipun yang terakhir ini tidak bisa dianggap remeh. 

Tetapi karena niat pergi ke tanah suci Makkah adalah untuk beribadah, maka dengan semestinya hal-hal yang bersangkutan dengannya mendapatkan perhatian tersendiri. Jangan sampai ibadah haji yang memakan banyak tenaga dan biaya tersebut tidak diterima Allah Swt., hanya karena kita kurang memahami aturan dan tata cara pelaksanaannya.

Berkaitan dengan itu, salah satu masalah yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kewajiban dan rukun haji. dalam kitab-kitab fikih, yang pertama disebut wajibat al-hajj. dan yang kedua dinamakan arkan al-hajj.

Sebelum menjelaskan perbedaan keduanya, ada baiknya disinggung sekilas tentang rukun dan kewajiban haji tersebut. Supaya uraian ini lebih mudah dipahami, sekaligus untuk menyegarkan kembali ingatan para calon jamaah haji akan hal itu. 

Rukun haji (arkan al-hajj)) ada 5 (lima) : niat haji, wuquf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i dan mencukur  rambut (al-halq). Kelima rukun ini harus dikerjakan secara berurutan. Yaitu, pertama kali ihram, lalu Wukuf, thawaf dan Sa’i.  Mencukur rambut dapat dikerjakan setelah atau sebelum thawaf. Urutan ini oleh sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun haji. Sehingga rukun haji jumlahnya 6 (enam). 

Sebagian ulama yang lain menganggapnya syarat mengerjakan rukun haji. Baik sebagai rukun maupun syarat, urutan tersebut harus dilaksanakan. Tidak boleh misalnya, mendahulukan wuquf atas ihram. (Nihiyah Az-Zain, 203-206). 

Sedangkan kewajiban-kewajiban haji (wajib al-haji) terdiri dari 5 (lima) hal juga
. Yakni, ihram dan miqat (makani atau zamani), mabit (bermalam atau menginap) di Muzdalifah, melempar jumrah, mabit di Mina, dan thawaf wada ‘ (Nihayah Az-Zain, 208-211). 

Di samping memiliki perbedaan, rukun dan kewajiban haji juga memiliki persamaan. Persamaannya, keduanya wajib dikerjakan. Oleh karena itu, meninggalkannya merupakan perbuatan dosa. 

Adapun segi perbedaannya, rukun haji bila ditinggalkan berakibat pada tidak sahnya haji. Dengan kata lain, ibadah hajinya batal dan tidak dapat diganti dengan membayar denda. Jadi, kalau ada rukun yang ditinggalkan, supaya hajinya sah, mau tidak mau harus melakukan rukun tersebut. Misalnya, kalau seseorang belum thawaf ifadhah, maka wajib mengerjakannya. Begitu juga sa’i, mencukur rambut dan seterusnya.

Yang menjadi masalah, apabila rukun yang ditinggalkan adalah wuquf, Kalau waktunya sudah lewat, yakni mulai masuknya shalat Zhuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai fajar malam hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah, maka harus mengqadha’atau mengulangi lagi pada tahun berikutnya.Sebab dengan habisnya waktu, wuquf tidak mungkin lagi dikerjakan. (A1-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.  I, 418). 

Ketentuan tersebut tidak herlaku untuk hal-hal yang termasuk kategori kewajiban haji (wajibat al-hajj) seperti mabit di Mina dan Muzdalifah. Orang yang meninggalkan salah satunya dapat menggantinya dengan menyembelih kambing, wajb berpuasa 10 (sepuluh) hari, dengan ketentuan 3 (tiga) hari di tempat haji, dan 7 (tujuh) hari setelah pulang. Hal ini seperti firman Allah : 
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu Ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, vaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, makabagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah Ia menyembelih) qurban rang mudah didapat tetapi jika Ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. A1-Baqarah: 196) (Al-Iqna’ fi Al-Fazh Abi Syuja’, I, 227). 

Selain rukun dan kewajiban haji, calon jamaah haji juga harus mengetahui apa saja yang diharamkan di tengah-tengah menunaikan ibadah itu, yang disebut muharramat al-ihram, yakni hal-hal yang diharamkan ketika seseorang berstatus muhrim. Dan seyogyanya demi kesempurnaan ibadah haji, diperhatikan pula perkara-perkara yang disunahkan atau sunah al-hajj. Waktu yang masih tersisa, saya kira sangat baik untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas. Semoga mendapat haji yang mabrur.

Bagaimana Haji Yang Benar Menurut Rasulullah ?

Haji mabrur
Tanya : Kapan Haji disyariatkan, berapa kali Rasulullah melaksanakannya. Bagaimana supaya menjadi Haji mabrur? (Muhammad Firdaus) 

Jawab : Berziarah ke tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan atau disucikan karena mempunyai nilai sejarah, sebagai sebuah ritual, dijumpai dalam banyak agama dan bangsa. (Al-Islam Aqidah wa Syariah, 120). 

Haji, yaitu mengunjungi Ka’bah untuk beribadah dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan sebagainya, sudah disyariatkan sebelum diutusnya Rasulullah Saw. Menurut penuturan Al-Quran, Ka’bah adalah baitullah pertama di dunia, dibangun oleh Nabi Ibrahim as. dibantu putranya Nabi Ismail as. Hal ini sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 

Ibn Ishaq, sejarawan besar muslim, menyatakan setiap nabi yang diutus Allah setelah Ibrahim as. pernah menjalankan haji (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV, 349). 

Ketika Rasulullah memulai misi dakwahnya, masyarakat Arab pra Islam selalu berziarah ke Ka’bah untuk beribadah, meskipun dengan cara yang telah mengalami banyak penyimpangan dari ajaran yang benar.

Kapan haji diwajibkan atas umat Islam terdapat beragam pendapat. Ada yang mengatakan sebelum hijrah dan ada yang menyatakan sebaliknya. Yang berpendapat setelah hijrah, sebagian menunjuk tahun pertama, kedua sampai tahun ke sepuluh hijriah. (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV. 350). 

Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H, dengan merujuk pada waktu turunnya ayat berikut ini :
Artinya : “Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(QS. Ali Imran : 97) 

Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2065). 

Seumur hidupnya, Rasulullah melakukan haji hanya satu kali pada tahun 10 H, dengan diikuti kurang lebih 100.000 sahabat. Haji Rasulullah populer dengan sebutan haji wada’ atau haji perpisahan.

Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna, dan diridhai sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam Al-Quran :
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan Untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al.
Maidah : 3)

Kesempurnaan Islam menandai selesainya misi yang diemban Rasulullah sebagai seorang rasul. Dan memang menut catatan sarah, kira-kira 3 (tiga) bulan setelah haji wada’ Rasul wafat. (Sirah Rasulullah, 311). 

Dalam haji wada’ itulah, Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat yang nenyertainya tentang tata cara beribadah haji, dengan melihat dan mempraktikkan secara langsung. Kisah perjalanan haji Rasulullah ini, banyak diterangkan dalam kitab-kitab hadis secara mendetail, dan dijadikan rujukan utama dalam membahas masalah haji oleh para ulama fikih. 

Setiap orang tentu ingin mendapat haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang bebas dari perbuatan maksiat (alladzi laa yukhalithuh itsm). Beberapa perbuatan yang dilarang saat menjalankan haji diterangkan oleh Al-Quran, di antaranya :
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu mengerjakan haji. maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. “(QS. A1-Baqarah: 197) 

Rafats adalah menggauli istri. Sedangkan tindakan fasik meliputi segala tindakan melampaui batas agama. (Syarah Muslim : V, 119). 

Ini artinya, untuk mendapat haji mabrur yang dijanjikan berpahala surga, setiap jamaah haji harus menjaga seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan maksiat dalam segala bentuknya. Setiap jamaah diharapkan senantiasa ikhlas, tawakkal dan tawadhu’. Haji mabrur sudah barang tentu harus sesuai dengan tata-cara yang diajarkan Rasulullah. Pemahaman tentang masalah haji dalam rangka meraih haji mabrur sangat penting sekali.

Sebagian ulama menyatakan, haji mabrur adalah haji maqbul (diterima Allah). Diterimanya suatu ibadah pada dasarnya menjadi urusan Allah. Tapi kita bisa memperkirakannya dari dampak-dampaknya. Haji yang diterima Allah bercirikan pelakunya menjadi lebih baik setelah kembali dari tanah suci. Lebih tekun beriibadah dan tidak mengulangi kesalahan kesalahan yang sama sebelum berangkat. Semoga kita semua mendapat haji mabrur. Amin.

Friday, 16 September 2016

Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

haji untuk orang mati, bilik islam
Beberapa waktu sebelumnya telah dibahas mengenai amalan yang bermanfaat untuk orang mati yakni : Bersedekah untuk orang mati, Berdoa dan membayar hutang orang mati dan Fidyah atau puasa untuk orang mati, amalan berikutnya yang memberikan manfaat adalah Berhaji untuk orang mati, yang akan penulis bahas sekarang.
 
Kalau seseorang meninggal dalam keadaan menanggung kewajiban haji, maka wajiblah dilakukan inabah yakni penggantian haji untuk si mayyit dengan ongkos perbekalan dari harta peninggalannya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari :

“Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Rasululloh Saw. lalu berkata “Sesungguhnya ibuku bernazar melakukan haji tetapi sampai meninggal belum juga sempat melaksanakannya, apakah boleh saya berhaji untuknya? Nabi menjawab : Ya, berhajilah untuknya. Bagaimana kalau sekiranya ibumu nenanggung hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarlah kepada Allah! Maka sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”. 

Pada hadits ini Nabi memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah meninggal dan hukum asal setiap perintah adalah wajib. Namun bila si mayyit tidak memiliki harta, maka disunnatkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. 

Apabila orang yang meninggal itu lantaran sesuatu dan lain hal tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh dilimpahkan kepada ajnabi (orang lain). Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Daud :

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. pernah mendengar seorang laki-laki berkata : “Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintah-Mu untuk si Syubruinah). Nabi bertanya : Siapa Syubrumah itu? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya : Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab : belum. Nabi bersabda Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah!” 

Disini tampak bahwa pelaksanaan haji untuk orang yang sudah meninggal bukan dilakukan oleh anak untuk bapak atau ibunya melainkan oleh seorang saudara atau sahabat karib dari yang meninggal itu.


Friday, 9 September 2016

Hukum Wanita Muslim Pergi Haji Sendirian (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Wanita Muslim Pergi Haji Sendirian (Dialog Wanita dan Islam)
Wanita bertanya :
Mengingat banyak dalil yang menerangkan bahwa kaum wanita itu dilarang pergi sendirian, kecuali disertai muhrim. Apakah dalam menunaikan ibadah haji mereka juga harus disertai seorang muhrim? 

Islam menjawab : untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua pendapat yang menjelaskannya, yaitu :
1. Dari imam malik dan imam syafi’i
Mereka berpendapat, bahwa seorang wanita yang hendak menunaikan ibadah haji tidak wajib disertai muhrim, tetapi bila ia telah mendapat seorang teman yang bisa dipercaya.

2. Dari pihak Abu Hanifah dan golongan Fuqaha
Dimana mereka berpendapat, bahwa keberadaan muhrim termasuk menjadi syarat wajib untuk kepergian seorang wanita menunaikan ibadah haji.

Adapun perbedaan pendapat itu tidak lain disebabkan adanya perbedaan persepsi antara perintah mengerjakan haji dan larangan berpergian bagi wanita kecuali diikuti seorang muhrim. Kemudian fuqaha ‘ yang berpedoman pada keumuman perintah haji , berpendapat bahwa wanita boleh pergi menunaikan ibadah haji meskipun tidak diikuti oleh seorang muhrim. Lain lagi kalau fuqaha’ yang membatasi keumuman perintah haji, menjadikan hadits yang melarang seorang wanita bepergian kecuali diikuti oleh seorang muhrim, menjadi pembatas yang mengurangi keumuman perintah haji tersebut. atau, menurut pendapat mereka, dan hadits itu termasuk dalam penafsiran kata “kesanggupan”. Jadi bila tidak ada seorang muhrim yang mengikutinya berarti belum terhitung “sanggup”. Maka untuk tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka, kita bebas memilih, mana yang kita anggap baik dan cocok untuk kita ikuti.

Sumber : buku dialog wanita dan islam Imam turmudzi


Tabir Wanita