Tanya : Saya seorang muallaf. Kebetulan saya seorang pecandu rokok yang sangat berat. Tahun lalu saya belum berpuasa karna masih mempelajari Islam. Tahun ini saya harus berpuasa. Yang menjadi masalah, kalau makan dan minum saya bisa menahan, tetapikalau meninggalkan rokok, rasanya tidak mungkin. Barangkali saya akan pusing sepanjanghari apabila tidak merokok Bagaimana jalan keluarnya? Apakah boieh puasa tapi merokok? (Soni Wiryawan, Dukuh Kupang, Surabaya)
Jawab : Satu di antara perkara yang membatalkan puasa adalah masuknya ‘ayn (sesuatu yang kasat mata) ke dalam rongga tubuh (jawi) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, kemaluan, dan dubur. Merokok berarti menghisap asap dengan berbagai kandungannya lewat tenggorokan. Asap rokok (al-dukhan) termasuk kategori ‘ayn. Sehingga menghisapnya, menurut fuqaha (ahli fikih), dapat. membatalkan puasa.
Dalam kondisi normal, setiap muslim tidak dibenarkan melanggar al-mufthirat. Orang boleh berbuka apabila berhalangan, sakit, bepergian, mengandung dan menyusui. Orang usia lanjut yang tidak mampu berpuasa, juga dibebaskan dari rukun Islam keempat ini. Lapar dan dahaga yang tidak tertahankan (dikhawatirkan darinya kematian atau rusaknya organ tubuh) memperbolehkan berbuka pula. Allah melarang manusia mencelakakan dirinya.
Hal ini sebagaimana difirmaflkan Allah sebagai berikut :
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. “(QS. A1-Baqarah: 184)
Ibadah puasa dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, tetapi jika pelaksanaannya justru membawa mafsadah yang berat, maka boleh ditinggalkan.
Bagaimana hal ini ditarik untuk masalah muallaf yang kecanduan rokok. Cukupkah efek negatif meninggalkan merokok (pusing) sebagai alasan berbuka?
Kondisi yang memperbolehkan berbuka adalah jika seseorang tidak makan atau minum akan kehilangan nyawa, mengurangi akal pikiran dan tidak berfungsinya salah satu panca indera. Keadaan darurat seperti inilah yang memungkinkan sebuah larangan ditoleransi untuk dilanggar.
Dengan batasan tersebut, maka. pusing kepala belum bisa dijadikan alasan untuk tidak berpuasa. Karena masih termasuk kategori penyakit ringan yang bisa ditolerir.
Oleh karena itu, saya sarankan pada Anda untuk tetap bersahur dan niat berpuasa. Kalau ternyata siang harinya keselamatan jiwa dan kesehatan saudara benar-benar terancam, maka silakan berbuka. Hanya saja, pada bulan-bulan yang akan datang ketika telah mampu berpuasa, Anda harus men gaqadha’ (mengganti puasa yang batal). Sebaliknya, jika masih mampu usahakanlah tetap bertahan sampai waktu berbuka tiba.
Seperti saudara katakan, bahwa tahun ini adalah untuk pertama kalinya saudara berpuasa, yang sudah barang tentu akan terasa sulit. Segala sesuatu pada mulanya pasti sulit, “Awwal kulli syai’ sha’b”, kata pepatah Arab. Untuk menghadapi kesulitan ini, kita patut mengingat sabda Rasulullah, “Ash shabr ‘inda ash-shadmah al-ula”, kesabaran dibutuhkan kala menghadapi pukulan atau benturan pertama. Jika cobaan pertama dapat diatasi, urusan selanjutnya akan menjadi ringan.
Satu hal lagi, salah satu kaidah fikih menyatakan: ats-tsawab bi qadr at-ta‘ab (besar kecilnya pahala amal ibadah disesuaikan dengan kesulitan melaksanakannya). Artinya, karena berstatus muallaf, kesulitan yang Anda alami dalam berpuasa akan menjadi nilai lebih tersendiri. Allah tidak akan membiarkan perjuangan hamba-Nya sia-sia.
Jawab : Satu di antara perkara yang membatalkan puasa adalah masuknya ‘ayn (sesuatu yang kasat mata) ke dalam rongga tubuh (jawi) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, kemaluan, dan dubur. Merokok berarti menghisap asap dengan berbagai kandungannya lewat tenggorokan. Asap rokok (al-dukhan) termasuk kategori ‘ayn. Sehingga menghisapnya, menurut fuqaha (ahli fikih), dapat. membatalkan puasa.
Dalam kondisi normal, setiap muslim tidak dibenarkan melanggar al-mufthirat. Orang boleh berbuka apabila berhalangan, sakit, bepergian, mengandung dan menyusui. Orang usia lanjut yang tidak mampu berpuasa, juga dibebaskan dari rukun Islam keempat ini. Lapar dan dahaga yang tidak tertahankan (dikhawatirkan darinya kematian atau rusaknya organ tubuh) memperbolehkan berbuka pula. Allah melarang manusia mencelakakan dirinya.
Hal ini sebagaimana difirmaflkan Allah sebagai berikut :
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. “(QS. A1-Baqarah: 184)
Ibadah puasa dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, tetapi jika pelaksanaannya justru membawa mafsadah yang berat, maka boleh ditinggalkan.
Bagaimana hal ini ditarik untuk masalah muallaf yang kecanduan rokok. Cukupkah efek negatif meninggalkan merokok (pusing) sebagai alasan berbuka?
Kondisi yang memperbolehkan berbuka adalah jika seseorang tidak makan atau minum akan kehilangan nyawa, mengurangi akal pikiran dan tidak berfungsinya salah satu panca indera. Keadaan darurat seperti inilah yang memungkinkan sebuah larangan ditoleransi untuk dilanggar.
Dengan batasan tersebut, maka. pusing kepala belum bisa dijadikan alasan untuk tidak berpuasa. Karena masih termasuk kategori penyakit ringan yang bisa ditolerir.
Oleh karena itu, saya sarankan pada Anda untuk tetap bersahur dan niat berpuasa. Kalau ternyata siang harinya keselamatan jiwa dan kesehatan saudara benar-benar terancam, maka silakan berbuka. Hanya saja, pada bulan-bulan yang akan datang ketika telah mampu berpuasa, Anda harus men gaqadha’ (mengganti puasa yang batal). Sebaliknya, jika masih mampu usahakanlah tetap bertahan sampai waktu berbuka tiba.
Seperti saudara katakan, bahwa tahun ini adalah untuk pertama kalinya saudara berpuasa, yang sudah barang tentu akan terasa sulit. Segala sesuatu pada mulanya pasti sulit, “Awwal kulli syai’ sha’b”, kata pepatah Arab. Untuk menghadapi kesulitan ini, kita patut mengingat sabda Rasulullah, “Ash shabr ‘inda ash-shadmah al-ula”, kesabaran dibutuhkan kala menghadapi pukulan atau benturan pertama. Jika cobaan pertama dapat diatasi, urusan selanjutnya akan menjadi ringan.
Satu hal lagi, salah satu kaidah fikih menyatakan: ats-tsawab bi qadr at-ta‘ab (besar kecilnya pahala amal ibadah disesuaikan dengan kesulitan melaksanakannya). Artinya, karena berstatus muallaf, kesulitan yang Anda alami dalam berpuasa akan menjadi nilai lebih tersendiri. Allah tidak akan membiarkan perjuangan hamba-Nya sia-sia.
0 komentar:
Post a Comment