Tanya : Apakah suami jika menyentuh istrinya dapat membatalkan wudhu? Saya pernah melihat seorang suami menyentuli istrinya, lalu shalat tanpa berwudhu lebth dahulu. (Ny. Tin Farina)
Jawab : Seperti kita makiumi bersama bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas dan najis. Untuk menghilangkan hadas kecil, kita diwajibkan berwudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas besar kita diharuskan mandi.
(baca juga postingan Hal Yang Membatalkan Wudhu)
Ketika kita menanggung hadas kecil dan hendak mengerjakan shalat diharuskan berwudhu terlebih dahulu. Sebaliknya dalam keadaan suci yang perlu kita perhatikan adalah mempertahankan atau menjaga status kesucian itu dengan cara menghindari semua perkara yang dapat membatalkan wudhu. Atau hal ini secara populer dinamakan mubthilatal-wudhu atau asbab al-hadats.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu? Permasalahan ini diajukan penanya setelah dalam satu kesempatan melihat seorang lelaki menyentuh istrinya langsung shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
Kebimbangan penanya sangat wajar sekali karena dalam banyak hal istri itu secara hukum dibedakan dari perempuan lain. Perlu kita ketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu akibat persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan secara umum.
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: II, 30 menjelaskan paling tidak ada 7 pendapat dalam masalah tersebut.
Pertama, persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) dapat membatalkan wudhu baik dengan atau tanpa sengaja disertai atau tanpa sahwat.
Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Umar demikian halnya Makhul Asy-Sya’bi, Al-Nakhai dan lain-lain.
Kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Pendapat ini kebalikan dari pendapat pertama. Para pelopornya antara lain lbn Abbas, Atho, Masruq, dan Abu Hanifah termasuk beberapa tokoh yang mendukung pendapat kedua ini.
Ketiga, persentuhan tersebut membatalkan bila disertai sahwat. Dengan demikian, persentuhan itu tidak batal kalau terjadi tanpa dengan sahwat.
Keempat, membatalkan jika dilakukan dengan sengaja.
Kelima, membatalkan kalau menyentuhnya dengan anggota wudhu.
Keenam, membatalkan jika disertai sahwat walaupun terdapat penghalang yang tipis.
Ketujuh, kalau menyentuh perempuan yang halal (istri) tidak batal. (Lihat pula Al-nzan Al-Kubra: I, 120).
Dan keterangan Imam Nawawi tampak jelas bahwa menurut madzhab Syafi’i yang selama ini kita amalkan menyentuh perempuan membatalkan wudhu. Tentu saja yang dimaskud di sini adalah perempuan yang sudah cukup dewasa dalam arti sudah dapat menarik lawan jenisnya, secara tidak tergolong mahram, yakni perempuan yang haram dinikah akibat hubungan nasab, hubungan perkawinan dan susuan.
Adapun istri, karena tidak termasuk mahram, menyentuhnya tetap membatalkan wudhu.
Kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab timbul perbedaan di atas adalah ketidaksamaan dalam memakai kata lamastun pada ayat 43 surat An-Nisa’sebagai berikut:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berialu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.“ (QS. An-Nisa’: 43)
Terhadap ayat ini, sebagian ulama mengartikannya dengan “menyentuh”. Sedangkan sebagian yang lain menginterpretasikannya dengan “bersetubuh”. Keduanya dari segi bahasa memang dimungkinkan. Keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada kitab Rawa’i A1-Bayan I, 477-490.
Dengan denkian, kalau penanya pernah melihat suami menyentuh istrinya langsung shalat ada beberapa kemungkinan untuk menjelaskannya.
Fertama, persentuhan tersebut tidak secara langsung, dalam arti terdapat penghalang antara kulit suam dan istri berupa kain, plastik, dan lain sebagainya.
Kedua, dia mengikuti madzhab yang tidak menganggap kejadian tersebut membatalkan wudhu, misalnya pendapat kedua.
Ketiga, orang tersebut lupa bahwa dia menyentuh istrinya.
Keempat, suami tersebut tidak mengetahui tindakannya dapat membatalkan wudhu.
Kalau dirasa sulit menghindari persentuhan kulit dengan istri khususnya atau perempuan pada umumnya, dapat saja kita berpindah madzhab dengan mengikuti madzhab Hanafi yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.
Sudah barang tentu mengikutinya harus secara total dalam satu qadhiyah, dalam hal in meliputi tata cara berwudhu dan hal-hal yang bersangkutan dengannya secara komplit, yang meliputi rukun, syarat, dan perkara yang membatalkan.
Rukun wudhu menurut Mazhab Hanafi ada empat, yakni membasuh muka, kedua tangan dan kaki, dan mengusap seperempat kepala. Sedangkan perkara yang membatalkan meliputi keluarnya sesuatu dari jalan depan dan belakang, hilangnya kesadaran, tertawanya orang shalat dengan terbahak-bahak, bersetubuh, mengalirnya najis seperti darah dan nanah dari badan, muntah-muntah sampai memenuhi mulut. (Khulashah Al-Kalam fi Arkan Al-Islam, 33-34).
Jawab : Seperti kita makiumi bersama bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas dan najis. Untuk menghilangkan hadas kecil, kita diwajibkan berwudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas besar kita diharuskan mandi.
(baca juga postingan Hal Yang Membatalkan Wudhu)
Ketika kita menanggung hadas kecil dan hendak mengerjakan shalat diharuskan berwudhu terlebih dahulu. Sebaliknya dalam keadaan suci yang perlu kita perhatikan adalah mempertahankan atau menjaga status kesucian itu dengan cara menghindari semua perkara yang dapat membatalkan wudhu. Atau hal ini secara populer dinamakan mubthilatal-wudhu atau asbab al-hadats.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu? Permasalahan ini diajukan penanya setelah dalam satu kesempatan melihat seorang lelaki menyentuh istrinya langsung shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
Kebimbangan penanya sangat wajar sekali karena dalam banyak hal istri itu secara hukum dibedakan dari perempuan lain. Perlu kita ketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu akibat persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan secara umum.
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: II, 30 menjelaskan paling tidak ada 7 pendapat dalam masalah tersebut.
Pertama, persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) dapat membatalkan wudhu baik dengan atau tanpa sengaja disertai atau tanpa sahwat.
Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Umar demikian halnya Makhul Asy-Sya’bi, Al-Nakhai dan lain-lain.
Kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Pendapat ini kebalikan dari pendapat pertama. Para pelopornya antara lain lbn Abbas, Atho, Masruq, dan Abu Hanifah termasuk beberapa tokoh yang mendukung pendapat kedua ini.
Ketiga, persentuhan tersebut membatalkan bila disertai sahwat. Dengan demikian, persentuhan itu tidak batal kalau terjadi tanpa dengan sahwat.
Keempat, membatalkan jika dilakukan dengan sengaja.
Kelima, membatalkan kalau menyentuhnya dengan anggota wudhu.
Keenam, membatalkan jika disertai sahwat walaupun terdapat penghalang yang tipis.
Ketujuh, kalau menyentuh perempuan yang halal (istri) tidak batal. (Lihat pula Al-nzan Al-Kubra: I, 120).
Dan keterangan Imam Nawawi tampak jelas bahwa menurut madzhab Syafi’i yang selama ini kita amalkan menyentuh perempuan membatalkan wudhu. Tentu saja yang dimaskud di sini adalah perempuan yang sudah cukup dewasa dalam arti sudah dapat menarik lawan jenisnya, secara tidak tergolong mahram, yakni perempuan yang haram dinikah akibat hubungan nasab, hubungan perkawinan dan susuan.
Adapun istri, karena tidak termasuk mahram, menyentuhnya tetap membatalkan wudhu.
Kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab timbul perbedaan di atas adalah ketidaksamaan dalam memakai kata lamastun pada ayat 43 surat An-Nisa’sebagai berikut:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berialu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.“ (QS. An-Nisa’: 43)
Terhadap ayat ini, sebagian ulama mengartikannya dengan “menyentuh”. Sedangkan sebagian yang lain menginterpretasikannya dengan “bersetubuh”. Keduanya dari segi bahasa memang dimungkinkan. Keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada kitab Rawa’i A1-Bayan I, 477-490.
Dengan denkian, kalau penanya pernah melihat suami menyentuh istrinya langsung shalat ada beberapa kemungkinan untuk menjelaskannya.
Fertama, persentuhan tersebut tidak secara langsung, dalam arti terdapat penghalang antara kulit suam dan istri berupa kain, plastik, dan lain sebagainya.
Kedua, dia mengikuti madzhab yang tidak menganggap kejadian tersebut membatalkan wudhu, misalnya pendapat kedua.
Ketiga, orang tersebut lupa bahwa dia menyentuh istrinya.
Keempat, suami tersebut tidak mengetahui tindakannya dapat membatalkan wudhu.
Kalau dirasa sulit menghindari persentuhan kulit dengan istri khususnya atau perempuan pada umumnya, dapat saja kita berpindah madzhab dengan mengikuti madzhab Hanafi yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.
Sudah barang tentu mengikutinya harus secara total dalam satu qadhiyah, dalam hal in meliputi tata cara berwudhu dan hal-hal yang bersangkutan dengannya secara komplit, yang meliputi rukun, syarat, dan perkara yang membatalkan.
Rukun wudhu menurut Mazhab Hanafi ada empat, yakni membasuh muka, kedua tangan dan kaki, dan mengusap seperempat kepala. Sedangkan perkara yang membatalkan meliputi keluarnya sesuatu dari jalan depan dan belakang, hilangnya kesadaran, tertawanya orang shalat dengan terbahak-bahak, bersetubuh, mengalirnya najis seperti darah dan nanah dari badan, muntah-muntah sampai memenuhi mulut. (Khulashah Al-Kalam fi Arkan Al-Islam, 33-34).