Tanya : Terus terang saya ini orang awam, saya sering dibingungkan oleh awal dan akhir Ramadhan yang berbeda. Untuk menghindari kesalahan, saya merniih awal puasa rnengikuti pendapat yang akhir, dan untuk Idul Fitri saya ikut yang awal (mana yang lebih dulu Idul Fitri). Saya tidak memilih jamaah atau golongan, tetapi semata-mata ingin selamat saja. Sebab pernah saya dengar, puasa di hari Id adaiah dosa. Apakah sikap saya ini bisa dibenarkan? (Sriyanto, Boja Semarang)
Jawab : Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.
Hisab adalah menghitung berdasrkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoretik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidak samaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.
Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?
Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.
Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari. “(HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Hanya saja, kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.
Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?
Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru‘yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.
Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. Rasulullah saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. -Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam-.
Jadi, yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.
Sebagai catatan, hasil ru‘yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-Fiqh A1-Manhajy, I, 336).
Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.
Jawab : Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.
Hisab adalah menghitung berdasrkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoretik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidak samaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.
Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?
Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.
Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari. “(HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Hanya saja, kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.
Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?
Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru‘yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.
Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. Rasulullah saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. -Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam-.
Jadi, yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.
Sebagai catatan, hasil ru‘yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-Fiqh A1-Manhajy, I, 336).
Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.
0 komentar:
Post a Comment