Tanya : Bolehkah puasa weton (hari kelahiran) pada hari Sabtu? Saya pernah mendengar, puasa pada hari itu dilarang. Bagaimana bila weton itu bukan Sabtu?
Jawab : Puasa dalam ajaran Islam merupakan salah satu ibadah. Puasa hukumnya bermacam-macam. Ada yang wajib, termasuk rukun Islam, yaitu puasa Ramadhan. Selain Ramadhan, sebagian dianjurkan dan sebagian lagi dilarang.
Puasa weton atau puasa pada hari kelahiran, dalam kenyataannya kurang populer di kalangan kaum muslimin. Terbukti sangat jarang yang menjalankanny. Mereka lebih suka memperingati hari kelahiran dengan bersedekah, seperti mengadakan manakiban, tahlil atau pesta bersama kerabat, teman dekat dan tetangga sekitar.
Ketidak populeran itu kemungkinan besar akibat ketidak jelasan hukumnya. Dalam kitab fiqih, puasa weton tidak atau jarang sekali disinggung. Berbeda dan puasa Senin dan Kamis, misalnya.
Barangkali satu-satunya rujukan dalam masalah ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yang bersumber dari sahabat Abi Qatadah. Sesungguhnya Rasulullah Saw. ditanya, mengapa beliau berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab, pada hari itu aku dilahirkan, dan hari itu juga wahyu diturunkan kepadaku.
Autentitas hadis tersebut bisa dipertanggug jawabkan, sebab terdapat dalam kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim yang terkenal sangat teliti dan ketat dalam menyeleksi hadis. Hadis itu menginformasikan soal Rasulullah Saw. memperingati hari kelahiran dengan berpuasa.
Kelahiran atau kehidupan merupakan karunia Allah Swt. yang harus disyukuri. Bagi Rasulullah, puasa hari Senin merupakan salah satu ekspresi rasa syukur.
Karena tidak ada perintah dan larangan yang tegas, berdasarkan hadis di atas paling tidak dapat diambil satu kesimpulan, puasa weton boleh-boleh saja dilakukan. Sebab Rasulullah Saw. berpredikat ma‘shum, terjaga dari segala dosa. Kalau beliau pernah melakukan berarti hal itu (puasa weton) tidak dilarang, bisa mubah atau sunah.
Terlepas dari cara yang dipilih, memperingati hari kelahiran mengandung beberapa hal yang positif. Paling tidak, kita diingatkan berapa umur kita. Kesadaran waktu sangat penting untuk merencanakan sebuah kehidupan. Peringatan hari ulang tahun dapat juga menjadi momentum yang tepat untuk melakukan instropeksi (al-muhasabah ‘ala an-nafs) yang diperintahkan agama, kita isi dengan amal apa umur selama ini. Sebetulnya di sinilah nilai pringatan ulang tahun itu. Bukan sekedar hura-hura tanpa arti, apalagi hanya ajang untuk gengsi. Lebih fatal lagi jika dalam pelaksanaannya, larangan dari norma agama diterjang, seperti mengonsumsi minuman keras.
Bagaimana jika puasa weton pada hari Sabtu?
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum puasa hari Sabtu semata, tanpa disambung dengan hari sebeluin atau sesudahnya. Dalam satu hadis Rasulullah Saw. melarangnya, kecuali puasa Ramadhan. Tapi pada hadis lain ditegaskan, beliau sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad yang merupakan hari raya kaum musyrikin. Dengan berpuasa, beliau ingin membedakan diri (mukhalafah) dari mereka, sekaligus untuk memperkuat identitas kaum muslimin. Kedua hadis itu dapat ditemukan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram.
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan ini, sikap ulama berbeda-beda. Sebagian mengatakan hadis pertama dinasakh (dirombak) oleh keberadaan hadis kedua. Konsekuensinya, puasa hari Sabtu dan Ahad tidak dilarang malah dianjurkan dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.
Sebagian yang lain berpendapat, yang dilarang (makruh) adalah puasa pada hari Sabtu atau Ahad semata. Kalau disambung dengan hari sebelum atau sesudahnya tidak dilarang, seperti halnya Jumat. Demikian keterangan yang diperoleh dan kitab Subul As-Salam.
Kalau kita mengikuti pendapat pertama, puasa weton hari Sabtu boleh-boleh saja dilakukan. Sebaliknya, menurut pendapat kedua harus disambung dengan hari Jumat atau Ahad. Ketentuan tersebut menyambung dengan hari sebelum atau sesudahnya, juga berlaku untuk hari Jumat dan Ahad.
Imam Nawawi telah membicarakan masalah itu secara panjang lebar dari perspektif berbagai madzhab dalam kitabnya, A1-Majmu’ pada pembahasan puasa. Dalam menyikapi pendapat yang kontradiktif seperti itu, langkah yang terbaik adalah melakukan puasa weton pada hari Sabtu disambung dengan puasa hari Jumat dan Ahad.
Sudah barang tentu puasa weton tidak diperkenankan pada hari-hari yang dtharam-kan yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan hari Tasyriq tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam fikih ada kaidah, bila ada pertentangan antara perkara halal dan haram, maka diutamakan yang haram. Menghindari larangan lebih diutamakan daripada melaksanakan perintah. Dengan kata lain, kalau sesuatu perbuatan membawa dampak positif dan negatif, sebaiknya tidak usah dikhawatirkan, kecuali lebih banyak positifnya.
Jawab : Puasa dalam ajaran Islam merupakan salah satu ibadah. Puasa hukumnya bermacam-macam. Ada yang wajib, termasuk rukun Islam, yaitu puasa Ramadhan. Selain Ramadhan, sebagian dianjurkan dan sebagian lagi dilarang.
Puasa weton atau puasa pada hari kelahiran, dalam kenyataannya kurang populer di kalangan kaum muslimin. Terbukti sangat jarang yang menjalankanny. Mereka lebih suka memperingati hari kelahiran dengan bersedekah, seperti mengadakan manakiban, tahlil atau pesta bersama kerabat, teman dekat dan tetangga sekitar.
Ketidak populeran itu kemungkinan besar akibat ketidak jelasan hukumnya. Dalam kitab fiqih, puasa weton tidak atau jarang sekali disinggung. Berbeda dan puasa Senin dan Kamis, misalnya.
Barangkali satu-satunya rujukan dalam masalah ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yang bersumber dari sahabat Abi Qatadah. Sesungguhnya Rasulullah Saw. ditanya, mengapa beliau berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab, pada hari itu aku dilahirkan, dan hari itu juga wahyu diturunkan kepadaku.
Autentitas hadis tersebut bisa dipertanggug jawabkan, sebab terdapat dalam kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim yang terkenal sangat teliti dan ketat dalam menyeleksi hadis. Hadis itu menginformasikan soal Rasulullah Saw. memperingati hari kelahiran dengan berpuasa.
Kelahiran atau kehidupan merupakan karunia Allah Swt. yang harus disyukuri. Bagi Rasulullah, puasa hari Senin merupakan salah satu ekspresi rasa syukur.
Karena tidak ada perintah dan larangan yang tegas, berdasarkan hadis di atas paling tidak dapat diambil satu kesimpulan, puasa weton boleh-boleh saja dilakukan. Sebab Rasulullah Saw. berpredikat ma‘shum, terjaga dari segala dosa. Kalau beliau pernah melakukan berarti hal itu (puasa weton) tidak dilarang, bisa mubah atau sunah.
Terlepas dari cara yang dipilih, memperingati hari kelahiran mengandung beberapa hal yang positif. Paling tidak, kita diingatkan berapa umur kita. Kesadaran waktu sangat penting untuk merencanakan sebuah kehidupan. Peringatan hari ulang tahun dapat juga menjadi momentum yang tepat untuk melakukan instropeksi (al-muhasabah ‘ala an-nafs) yang diperintahkan agama, kita isi dengan amal apa umur selama ini. Sebetulnya di sinilah nilai pringatan ulang tahun itu. Bukan sekedar hura-hura tanpa arti, apalagi hanya ajang untuk gengsi. Lebih fatal lagi jika dalam pelaksanaannya, larangan dari norma agama diterjang, seperti mengonsumsi minuman keras.
Bagaimana jika puasa weton pada hari Sabtu?
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum puasa hari Sabtu semata, tanpa disambung dengan hari sebeluin atau sesudahnya. Dalam satu hadis Rasulullah Saw. melarangnya, kecuali puasa Ramadhan. Tapi pada hadis lain ditegaskan, beliau sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad yang merupakan hari raya kaum musyrikin. Dengan berpuasa, beliau ingin membedakan diri (mukhalafah) dari mereka, sekaligus untuk memperkuat identitas kaum muslimin. Kedua hadis itu dapat ditemukan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram.
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan ini, sikap ulama berbeda-beda. Sebagian mengatakan hadis pertama dinasakh (dirombak) oleh keberadaan hadis kedua. Konsekuensinya, puasa hari Sabtu dan Ahad tidak dilarang malah dianjurkan dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.
Sebagian yang lain berpendapat, yang dilarang (makruh) adalah puasa pada hari Sabtu atau Ahad semata. Kalau disambung dengan hari sebelum atau sesudahnya tidak dilarang, seperti halnya Jumat. Demikian keterangan yang diperoleh dan kitab Subul As-Salam.
Kalau kita mengikuti pendapat pertama, puasa weton hari Sabtu boleh-boleh saja dilakukan. Sebaliknya, menurut pendapat kedua harus disambung dengan hari Jumat atau Ahad. Ketentuan tersebut menyambung dengan hari sebelum atau sesudahnya, juga berlaku untuk hari Jumat dan Ahad.
Imam Nawawi telah membicarakan masalah itu secara panjang lebar dari perspektif berbagai madzhab dalam kitabnya, A1-Majmu’ pada pembahasan puasa. Dalam menyikapi pendapat yang kontradiktif seperti itu, langkah yang terbaik adalah melakukan puasa weton pada hari Sabtu disambung dengan puasa hari Jumat dan Ahad.
Sudah barang tentu puasa weton tidak diperkenankan pada hari-hari yang dtharam-kan yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan hari Tasyriq tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam fikih ada kaidah, bila ada pertentangan antara perkara halal dan haram, maka diutamakan yang haram. Menghindari larangan lebih diutamakan daripada melaksanakan perintah. Dengan kata lain, kalau sesuatu perbuatan membawa dampak positif dan negatif, sebaiknya tidak usah dikhawatirkan, kecuali lebih banyak positifnya.
0 komentar:
Post a Comment