Tanya : Saat siang hari bulan Ramadhan adalah kondisi dimana tubuh dalam keadaan lemas. Bolehkan dalam keadaan seperti itu melakukan mandi keramas agar badan kembali segar?
Jawab : Dalam kitab Nihayah Az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa‘ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua di antara beberapa hal yang membatalkan puasa (mubthilat ash-shaum).
Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan berbagai perkecualian, termasuk di antaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.
Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan mandi wajib (bik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunah (karena mau shalat Jumat, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-I ridha bi ma yatawalladu minhu” menerima atau membenarkan sesuatu berarti menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunan adalah tuntutan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensi wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.
Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi untuk menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas). Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.
Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.
Jawab : Dalam kitab Nihayah Az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa‘ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua di antara beberapa hal yang membatalkan puasa (mubthilat ash-shaum).
Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan berbagai perkecualian, termasuk di antaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.
Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan mandi wajib (bik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunah (karena mau shalat Jumat, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-I ridha bi ma yatawalladu minhu” menerima atau membenarkan sesuatu berarti menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunan adalah tuntutan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensi wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.
Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi untuk menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas). Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.
Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
Assalamualikum mas, maaf mau nanya ada kah doa selain yang pengucapannya pake "nawaitu..."
ReplyDeleteBukannya dalam hadits jelas ya, semua amal perbuatan tergantung niat, nah itu penjabarannya gmna ya mas? tks
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
DeleteImam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sangatlah penting. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah.
Imam An Nawawi (dalam Syarah Arbai’n oleh Imam An Nawwawi hal 8) menjelaskan,”Niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut :
Pertama : untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk dimasjid, ada yang berniat istirahat, ada juga yang berniat i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan tubuh. yang membedakan diantara ibadah dan kebiasaan adalah niat.
Kedua : Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Misalnya seorang mengerjakan sholat empat rakaat. Apakah diniatkan sholat dhuhur ataukan sholat sunnat yang membedakan adalah niatnya. Demikian pula orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan) ataukah ia niatkan untuk nadzar atau lainnya. inilah pentingnya niat.
Terkait Melafalkan Niat, Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan; dalam semua ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti.
Adapun secara bahasa, Niat bisa diucapkan dengan segala bahasa (baik niat dalam hati maupun diucapkan)
Semoga dapat menjawab maksud dari Mas Sadam. Terimakasih
Wassalamu'alaikum Wr. W.