Tanya : Mengapa perempuan harus disertai muhrim ketika melaksanakan haji. Bagaimana jika tidak disertai muhrim atau suami?
Jawab : Seperti kemarin telah saya singgung, bahwa berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, haji hanya dapat dilaksanakan di tanah suci Makkah. Thawaf di Ka’bah, sa’i dari Shofa ke Marwah, wukuf di Arafah dan seterusnya. Ibadah haji selain di tempat-tempat tersebut tidak sah. Sebab tempat-tempat tersebut memiliki nilai historis yang tidak dimiliki tempat lain.
Padahal di sisi lain, kewajiban haji berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, yang memenuhi persyaratan istitha‘ah, yakni mempunyai kemampuan mengerjakan haji.
Sebelum membicarakan status muhrim bagi perempuan yang berangkat haji, sebaiknya diketahui terlebih dahulu perbedaan 3 (tiga) jenis persyaratan haji, yaitu, syarth al-wujub wa ash-shihhah, syarth al-wujub wa al-ijza’ wa laisa syarth ash-shihhah, dan syarth al-wujub faqath.
Persyaratan pertama adalah Islam dan berakal. Orang Islam dan berakal saja yang sah dan terkena kewajiban haji. Non muslim atau orang gila tidak wajib dan tidak sah. Kedua, baligh dan merdeka (bukan budak atau hamba). Anak kecil sebelum baligh dan budak, tidak wajib melakukan haji. Kalau pun mengerjakan, hajinya sah. Tetapi setelah baligh atau merdeka wajib mengulangi lagi. Ketiga adalah istitha’ah (memiliki kemampuan menunaikan haji). Orang yang belum atau tidak mampu, misalnya tidak punya perbekalan, tidak wajib berhaji.
Tetapi kalau memaksakan diri berangkat ke tanah suci, hajinya sah dan sudah mencukupi sebagai haji Islam. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2076).
Seseorang dianggap mampu dan wajib menunaikan haji apabila sehat, memiliki perbekalan dan biaya transportasi, tersedia alat transportasi, keamanan terjamin dan waktunya masih longgar untuk mengerjakan haji. Khusus bagi istri, persyaratannya adalah adanya suami, muhrim, atau jamaah perempuan yang terpercaya minimal tiga orang yang menyertai.
Dengan demikian, keberadaan mereka termasuk syarat istitha‘ah. Oleh karena itu, perempuan yang tidak disertai suami, muhrim atau jamaah perempuan tidak wajib mengerjakan haji. Meskipun begitu, hajinya tetap sah. Karena keberadaan suami dan muhrim atau 3 (tiga) perempuan terpercaya, menjadi syarat kewajiban (syarth al-wujub), bukan syarat keabsahan (syarth ash-shihhah) ibadah haji perempuan.
Kalau kita perhatikan, sebenarnya persyaratan tersebut justru meringankan perempuan. Kondisi tempat haji pada zaman dahulu belum seaman sekarang. Alat transportasi masih menggunakan kuda dan onta. Sehingga ibadah haji sangat melelahkan. Keberadaan suami atau muhrim dalam kondisi demikian sangat dibutuhkan.
Perempuan diperbolehkan berangkat haji dengan disertai satu perempuan yang terpercaya. Boleh juga berangkat sendirian jika keamanan terjamin. (Mausu‘ah Al-Fiqh Al-Islami. VII, 116).
Pada zaman sekarang, segala urusan haji sudah ditangani oleh pemerintah. Faktor keamanan juga sangat diperhatikan pemerintah setempat. Jamaah haji tinggal membayar ONH (ongkos naik haji). Oleh sebab itu, boleh-boleh saja perempuar barangkat haji tanpa suami dan muhrim. Toh jamaah haji perempuan jumlahnya sangat banyak.
0 komentar:
Post a Comment