Tanya : Untuk melaksanakan thawaf saat ibadah haji, sulit kiranya bila tidak bersentuhan dengan perempuan, bagaimana menghadapi situasi thawaf seperti ini, apakah ada madzhab yang memperbolehkan bersentuhan dengan perempuan, dalam arti tidak membataikan wudhu?
Jawab : Setiap muslim tentu pernah mendengar ibadah yang disebut thawaf. Meski, hanya sebagian saja yang pernah menjalaninya, karena tempatnya terbatas di Bait Al-Haram, dengan jalan mengitari Ka’bah dan cara-cara tertentu. Ibadah ini tak dapat dilepaskan dari rangkaian pelaksanaan rukun Islam kelima, yaitu haji.
Ada bermacam-macam thawaf. Pertama, thawaf Qudum, yang juga sering disebut thawaf At-Tahiyyah. Thawaf ini merupakan wujud penghormatan terhadap Ka’bah (tahiyyah al-Ka’bah). Dan dikerjakan begitu saja oleh seseorang yang tiba di Makkah. Secara fungsional, thawaf Qudum memiliki persamaan dengan shalat tahiyyah al-masjid.
Kedua, thawaf Wada kebalikan dan yang pertama dan dilakukan ketika seseorang akan meninggalkan Makkah. Jadi, semacam untuk perpisahan. Al-Wada’itu dari bahasa arab, artinya berpisah.
Ketiga, thawaf ifadhah, yang juga populer dengan sebutan thawaf rukun, karena termasuk rukun haji yang jumlahnya enam, di samping ihram, wukuf, sa’I, mencukur rambut dan tertib (melakukan semua rukun dengan urutan masing-masing).
Kewajiban thawaf ifadhah telah disepakati seluruh ulama dan termasuk masalah yang mujam’ ‘alaih. Lain halnya dngan kedua thawaf terdahulu, sebagian ulama mengatakan wajib, sebagian lain mengatakan sunah.
Keempat, thawaf at-tathawwu’ atau sunah. Thawaf ini dapat dilakukan kapan saja, waktunya tidak terbatas. Dan, hukumnya sunah. Kedudukannya seperti salat sunah atau puasa sunah.
Yang melakukan thawaf, apapun jenisnya, diharuskan menyucikan dirinya dari hadas dan najis. Thawaf tidak sah jika dilakukan oleh orang yang menyandang hadas besar atau kecil di badan dan pakaian serta tempatnya terdapat najis. Ketentuan tersebut menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, dan mayoritas ulama (al-jumhur).
Persyaratan tersebut didasarkan atas beberapa hadis, satu di antaranya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda : “Thawaf di al-Bait itu seperti salat, cuma kalian semua (diperkenankan) berbicara”. Hadis lain dikeluarkan oleh dua ulama hadis terkemuka, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Diterangkan bahwa Aisyah ra. Berkata : “Sesungguhnya kali pertama dilakukan Rasulullah Saw. ketika memasuki Makkah, adalah berwudhu kemudian thawaf di al-Bait”.
Pada hadis pertama, Rasulullah menyamakan thawaf dengan salat. Perbedaan keduanya hanya terletak pada diperbolehkannya berbicara di tengah-tengah thawaf. Padahal seperti kita maklumi, pelaksanaan shalat menuntut pelakunya bersih dan bebas dari hadas maupun najis.
Dengan demikian, dapat diambil saru konklusi atau natijah persyaratan yang sama, yakni suci dari hadas dan najis berlaku untuk thawaf. Kesimpulan tersebut selanjutnya dipertegas oleh hadis kedua, yakni Rasulullah SAW. sebelum berthawaf mengambil air wudhu terlebih dahulu.
Permasalahan akan timbul ketika persyaratan tersebut dihadapkan pada kenyataan pelaksanaan thawaf di lapangan. Dan sekian ratus ribu, bahkan jutaan jamaah haji dari seluruh dunia, secara bersamaan mereka melaksanakan thawaf mengitari Kabah, tanpa adanya pambatasan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, sangat dimungkinkan akan terjadi gesekan dan persentuhan kulit dengan lain jenis.
Persentuhan kulit menjadi problem, karena berhubungan lansung dengan keabsahan wudhu seseorang. Dalam madzhah Syafi’i persentuhan kulit secara langsung (Jawa : tanpa aling-aling) antara dua orang yang berlainan jenis yang sudah sama-sama dewasa dan tidak memiliki hubungan mahram, secara mutlak dapat membatalkan wudhu, letak kemutlakannya, baik bersentuhan tadi disengaja atau hanya kebetulan belaka, disertai syahwat (terangsang) atau tidak.
Terhadap pihak yang menyentuh (al-lamis), semua ulama madzhab Syafi’i bersepakat, wudhunya batal. Sedangkan terhadap pihak yang disentuh (malmus) ada dua pendapat antara yang membatalkan dan tidak. Keterangan secara panjang lebar dengan herbagai metode isthimbath-nya dapat diteruskan pada kitab Syarh Al-Muhadzdzab pada pembahasan nawaqidh al-wudhu (perkara-perkara yang membatalkan wudhu).
Menghadapi problem di atas, ada beberapa cara yang bisa diatasi/ditempuh sebagai alternatif pemecahannya. Yang paling sederhana, sudah barang tentu berhati-hati, sedapat mungkin berkumpul dengan jamaah yang sejenis. Jika memungkinkan hendaknya berthawaf pada waktu yang agak sepi.
Dengan demikian, terjadinya persentuhan lebih mudah dihindari. Dan jika kebetulan Anda jadi pihak yang disentuh, bisa mengikuti pendapat yang tidak membatalkan. Seandainya Semua itu sulit diterapkan, langkah terakhir adalah berpindah madzhah yang tidak menganggap persentuhan kulit termasuk perkara yang membatalkan.
Dalam hal tersebut, adalah madzhab Hanafi. Namun, konsekuensinya cukup memberatkan, kita harus mengikuti cara-cara berwudhu madzhab Hanafi secara utuh, mulai dari Persyaratan-persyaratannya .
0 komentar:
Post a Comment