Tanya : Pak Kiai, saya mohon penjelasan. Salah seorang teman saya merasa pesimis hajinya tahun ini diterima oleh Allah. Karena Ia menderita penyakit hernia. Ia selalu kentut. Kadang satu kali salat berwudhu dua sampai tiga kali. Kalau di rumah tidak masalah. Jika di Masjzdil Haram tentu sangat susah. Apakah ada rukhshah (keringanan). Teman-teman menyuruhnya tetap berangkat, dengan mengutip hadis Qudsi “ana ‘indza dhanni a’bdi bi, wa anaa ma’ah idza dzakaranii.” Nah bagaimana pendapat Kiai ? (M. Badiuz Zaman, Kraton Pasuruan)
Jawab : Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Allah tidak menjadikan kesulitan dalam menjalankan agama-Nya.
Jawab : Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Allah tidak menjadikan kesulitan dalam menjalankan agama-Nya.
Oleh karena itu, dalam fikih dikenal adanya rukhshah (dispensasi) dalam kondisi dan situasi tertentu. Akibat dispensasi ini, sesuatu yang semula wajib atau haram menjadi tidak lagi.
Dari sekian rukun ibadah haji dan imrah, hanya thawaf mengelilingi Ka’bah 7(tujuh) kali mulai dari Hajar Aswad, yang pelaksanaannya menuntut kesucian dari hadas dan najis. Kesucian tidak menjadi syarat keabsahan sa’I, wuquf dan lain-lain.
Kewajiban bersuci tatkala berthawaf didasarkan pada sebuah hadis yang menyamakan thawaf dengan shalat. Hadis itu bersumber dari riwayat Ibn Abbas. Rasulullah bersabda, yang artinya : “Thawaf di Baitullah itu shalat. Tetapi Allah menghalalkan berbicara ketika berthawaf. Maka barangsiapa berbicara, janganlah berbicara kecuali perkara yang baik “. (HR. Thabrani Hakim, Baihaqi)
Kesucian menjadi salah satu syarat keabsahan shalat, Karena dianggap sama dengan shalat, thawaf harus dikerjakan dalam keadaaan suci pula. (Al-Fiqh Al Islami. I, 449).
Dalam kondisi normal, kesucian mudah dipenuhi. Tetapi bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tidak normal, seperti orang yang selalu mengeluarkan urine atau buang air besar secara terus-menerus dalam rentang waktu relatif lama, persyaratan kesucian sulit dipenuhi. Begitu juga orang yang selalu kentut dan penderita istihadhah. Orang-orang demikian, dalam literatur fikih disebut daim al-hadats, artinya orang yang selalu berhadas.
Karena persyaratan kesucian bagi daim al-hadats sulit atau tidak bisa dipenuhi, maka dia diperbolehkan shalat dalam kondisi tidak suci. Lebih baik shalat meskipun tidak suci, daripada tidak melakukan sama sekali. Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya, “ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh” demikian kaidah fikih mengatakan.
Berdasarkan kaidah itu pula, para fuqaha mensyaratkan agar daim al-hadats membalut jalan depan dan atau belakang untuk memperkecil najis yang keluar. Pembalutan ini langsung diikuti dengan wudhu dan shalat secara berkesinambungan, tanpa dipisah dengan hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan shalat. Keluarnya sesuatu dari jalan depan atau belakang di tengah-tengah shalat tidak membatalkannya.
Oleh karena thawaf sama dengan shalat, maka dispensasi tersebut juga berlaku untuknya. ini artinya, orang yang selalu kentut tidak perlu mengambil air wudhu setiap kentut. Cukup mengambil air wudhu langsung thawaf untuk 7 (tujuh) putaran. Demikian halnya, setiap melakukan shalat. Satu wudhu untuk satu shalat fardhu. Pembalutan tidak perlu dilakukan karena kentut tidak najis. Berbeda dengan urine, darah dan sejenisnya.
Jadi, teman penanya tidak perlu pesimis. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dan memang kita harus selalu berbaik sangka kepada-Nya, sesuai hadis Qudsi yang penanya sampaikan.
0 komentar:
Post a Comment