Saturday, 17 September 2016

Bagaimana Haji Yang Benar Menurut Rasulullah ?

Haji mabrur
Tanya : Kapan Haji disyariatkan, berapa kali Rasulullah melaksanakannya. Bagaimana supaya menjadi Haji mabrur? (Muhammad Firdaus) 

Jawab : Berziarah ke tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan atau disucikan karena mempunyai nilai sejarah, sebagai sebuah ritual, dijumpai dalam banyak agama dan bangsa. (Al-Islam Aqidah wa Syariah, 120). 

Haji, yaitu mengunjungi Ka’bah untuk beribadah dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan sebagainya, sudah disyariatkan sebelum diutusnya Rasulullah Saw. Menurut penuturan Al-Quran, Ka’bah adalah baitullah pertama di dunia, dibangun oleh Nabi Ibrahim as. dibantu putranya Nabi Ismail as. Hal ini sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 

Ibn Ishaq, sejarawan besar muslim, menyatakan setiap nabi yang diutus Allah setelah Ibrahim as. pernah menjalankan haji (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV, 349). 

Ketika Rasulullah memulai misi dakwahnya, masyarakat Arab pra Islam selalu berziarah ke Ka’bah untuk beribadah, meskipun dengan cara yang telah mengalami banyak penyimpangan dari ajaran yang benar.

Kapan haji diwajibkan atas umat Islam terdapat beragam pendapat. Ada yang mengatakan sebelum hijrah dan ada yang menyatakan sebaliknya. Yang berpendapat setelah hijrah, sebagian menunjuk tahun pertama, kedua sampai tahun ke sepuluh hijriah. (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV. 350). 

Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H, dengan merujuk pada waktu turunnya ayat berikut ini :
Artinya : “Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(QS. Ali Imran : 97) 

Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2065). 

Seumur hidupnya, Rasulullah melakukan haji hanya satu kali pada tahun 10 H, dengan diikuti kurang lebih 100.000 sahabat. Haji Rasulullah populer dengan sebutan haji wada’ atau haji perpisahan.

Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna, dan diridhai sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam Al-Quran :
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan Untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al.
Maidah : 3)

Kesempurnaan Islam menandai selesainya misi yang diemban Rasulullah sebagai seorang rasul. Dan memang menut catatan sarah, kira-kira 3 (tiga) bulan setelah haji wada’ Rasul wafat. (Sirah Rasulullah, 311). 

Dalam haji wada’ itulah, Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat yang nenyertainya tentang tata cara beribadah haji, dengan melihat dan mempraktikkan secara langsung. Kisah perjalanan haji Rasulullah ini, banyak diterangkan dalam kitab-kitab hadis secara mendetail, dan dijadikan rujukan utama dalam membahas masalah haji oleh para ulama fikih. 

Setiap orang tentu ingin mendapat haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang bebas dari perbuatan maksiat (alladzi laa yukhalithuh itsm). Beberapa perbuatan yang dilarang saat menjalankan haji diterangkan oleh Al-Quran, di antaranya :
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu mengerjakan haji. maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. “(QS. A1-Baqarah: 197) 

Rafats adalah menggauli istri. Sedangkan tindakan fasik meliputi segala tindakan melampaui batas agama. (Syarah Muslim : V, 119). 

Ini artinya, untuk mendapat haji mabrur yang dijanjikan berpahala surga, setiap jamaah haji harus menjaga seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan maksiat dalam segala bentuknya. Setiap jamaah diharapkan senantiasa ikhlas, tawakkal dan tawadhu’. Haji mabrur sudah barang tentu harus sesuai dengan tata-cara yang diajarkan Rasulullah. Pemahaman tentang masalah haji dalam rangka meraih haji mabrur sangat penting sekali.

Sebagian ulama menyatakan, haji mabrur adalah haji maqbul (diterima Allah). Diterimanya suatu ibadah pada dasarnya menjadi urusan Allah. Tapi kita bisa memperkirakannya dari dampak-dampaknya. Haji yang diterima Allah bercirikan pelakunya menjadi lebih baik setelah kembali dari tanah suci. Lebih tekun beriibadah dan tidak mengulangi kesalahan kesalahan yang sama sebelum berangkat. Semoga kita semua mendapat haji mabrur. Amin.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita