Wednesday, 26 October 2016

Mimpi Sang Raja (Kisah Dalam Al-Quran)

Kisah Dalam Al-Quran

Mimpi Sang Raja
QS. Yusuf; 43-49

Suatu hari, Raja Mesir, penasihat, para arif bijaksana, dan para pembesar berkumpul di istana. Mereka sengaja diundang oleh raja Mesir untuk mengartikan mimpi sang raja. Mimpi itu datang dalam beberapa malam tidurnya sehingga meresahkan sang raja. 

Raja bermimpi seakan-akan melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Di samping itu. raja juga bermimpi melihat tujuh butir gandum hijau di samping tujuh butir lainnya yang kering. 

Tidak ada seorang pun di antara para pembesar dan para arif bijaksana yang dapat mengartikan mimpi tersebut. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap mimpi itu tidak berarti apa-apa. Mereka menganjurkan agar raja tidak memikirkan mimpi tersebut. 

Pada saat itu, pelayan istana yang pernah ditolong Nabi Yusuf sedang menyuguhkan makanan dan minuman. Dia mendengar percakapan raja dengan para tamunya. Lalu. dia teringat pesan Nabi Yusuf untuk menceritakan tentang dirinya. Dia juga teringat bahwa Nabi Yusuf telah mengartikan mimpinya dengan tepat. Maka, dia pun memberanikan diri mendekati sang raja. 


“Wahai Paduka Raja, hamba punya teman yang pandai mengartikan mimpi. Sekarang, dia berada di dalam penjara. Dia seorang pemuda yang berbudi luhur dan cerdas. Dia dipenjara, padahal dia tidak melakukan kesalahan. Dia dijebloskan ke sana karena adanya fitnah dan tuduhan palsu. Ketika hamba berada di dalam penjara, dialah yang mengantikan mimpi hamba dan ucapannya tepat seperti yang hamba alami. Jika Paduka berkenan. hamba akan menemuinya untuk menanyakan tentang anti mimpi Paduka.” 

Raja merasa senang dengan ucapan pelayan tersebut. Harapannya untuk mengartikan mimpinya pun muncul. Raja lalu mengizinkan pelayan untuk mengunjungi Nabi Yusuf di dalam penjara.

Pelayan istana sangat senang begitu melihat Nabi Yusuf dalam keadaan sehat. Dia segera menyampaikan mimpi raja dan menceritakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengartikan mimpi tersebut. Pelayan itu berkata bahwa bila Nabi Yusuf dapat mengartikan mimpi raja dengan benar, kemungkinan besar raja akan membebaskannya dari penjara. Nabi Yusuf pun mencoba menafsirkan mimpi itu. 

“Negara akan menghadapi masa makmur dan subur selama tujuh tahun. Tanaman seperti sayuran dan gandum akan tumbuh dengan melimpah ruah. Kemudian, akan menyusul masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya. Tumbuh-tumbuhan akan rusak. Akan tetapi, setelah itu akan tiba tahun basah. Hujan akan turun dengan derasnya menyirami tanah-tanah yang kering dan tanaman akan kembali menghijau. “

“Aku akan segera menyampaikan anti mimpi raja tersebut.”

“Baiklah, sampaikan juga pesanku, bahwa pada saat masa subur, kerajaan harus menyisihkan sebagian basil panennya untuk masa paceklik.”

Setelah mendengar kata-kata Nabi Yusuf, pelayan istana pun berpamitan. Dia segera menyampaikan kata-kata Nabi Yusuf kepada raja. Raja mendengarkan dengan seksama dan segera memercayai kata-kata Nabi Yusuf. Raja merasa Nabi Yusuf pastilah orang yang bijaksana, maka ia menyuruh pelayan untuk membawa Nabi Yusuf menghadapnya ke istana. 

Singkat cerita, Nabi Yusuf menghadap raja yang telah menunggunya. Raja senang bisa bertemu dengan Nabi Yusuf. Perkiraannya benar. Nabi Yusuf memang orang yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, raja langsung memerintahkan agar Nabi Yusuf dibebaskan dan penjara. 

“Aku sudah banyak mendengar tentangmu. Setelah aku bertemu denganmu, aku menjadi yakin bahwa engkau memang orang yang bijaksana. Karena engkau sudah bisa mengartikan mimpiku, maka aku akan membebaskanmu dari penjara.” 

“Ampuni hamba, Paduka Raja. Hamba ingin dibebaskan dari penjana dalam keadaan bersih dari
tuduhan apa pun. Sesungguhnya, hamba tidak bersalah.” 

“Baiklah, permintaanmu itu menunjukkan bahwa engkau berhati suci. Aku akan mengabulkan permintaanmu.” 

Raja pun mengumpulkan para wanita yang telah menghadiri jamuan makan Zulaikha. Di hadapan sang raja mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan alami dalam acara jamuan tersebut. Mereka menyatakan kesan mereka tentang Nabi Yusuf bahwa Nabi Yusuf adalah seorang yang saleh dan jujur. Mereka juga menyatakan bahwa bukanlah Nabi Yusuf yang bersalah, melainkan Zulaikha. Zulaikha pun akhirnya mengakui bahwa dialah yang bersalab dalam peristiwa tersebut. Dia juga mengakui bahwa dialah yang meminta suaminya untuk memenjarakan Nabi Yusuf. 

Hasil pertemuan tersebut diumumkan raja kepada seluruh masyarakat. Akhirnya, masyarakat tahu kejadian yang sesungguhnya sehingga nama Nabi Yusuf yang sempat tercemar bisa bersih kembali. 

Baca juga kisah dalam Al Quran berikutnya pada postingan yang berjudul : Bendahara Negeri Mesir (Kisah Dalam Al-Quran)

Seruan Kepada Raja-Raja Untuk Memeluk Islam (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Biografi Lengkap Rasulullah SAW, bilik islam
Sekembalinya kaum muslimin dari Hudaibiyah, Nabi mengumpulkan umatnya. Beliau menjelaskan kepada mereka bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Saat ini, telah tiba saatnya untuk menyebarluaskan Islam ke segala penjuru dunia. Salah satu cara yang ditempuh adalah mengirimkan utusan dan surat kepada raja-raja, di antaranya adalah Ghassan, Mesir, Abessinia (Habasyah), Persia, dan Romawi. 

Para utusan yang membawa surat kepada raja-raja itu menuju tempat yang telah ditugaskan oleh Nabi secara bersama-sama. Surat kepada Ghassan dikirim oleh Syuja’ah bin Wahab. Akan tetapi ia mengalami nasib malang. Ia dibunuh oleh penguasa Ghassan yang bersekutu dengan Romawi. 


Surat yang dikirim kepada raja Mesir memperoleh sambutan baik. Utusannya diterima dengan penuh kehormatan, lalu dikirimkan hadiah untuk Nabi sekalipun ia sendiri tidak masuk Islam.

bilik islam
Adapun surat yang dikirim oleh Abdullah bin Hudhafah mendapatkan respons yang tak terduga. ia kembali dari Persia dengan membawa laporan bahwa Kisra sangat marah membaca surat Nabi karena namanya ditulis di bawah nama Nabi. Surat tersebut dirobek-robek lalu dibuangnya. 

Mendengar laporan itu Nabi berkata, “Allah akan merobek-robek kerajaannya.”  Selanjutnya, Kisra menulis surat untuk Badzan, Gubernur Yaman, yang isinya memerintahkan Gubernur mengirim dua orang yang perkasa untuk menangkap Muhammad. Perintah ini dilaksanakan oleh Badzan. 

Saat dua lelaki itu datang ke Madinah, Rasulullah menyambutnya seraya berkata, “Kembalilah, besok saja kalian menghadapku karena aku ingin mengabarkan tentang sesuatu kepada kalian.” 

Keesokan harinya, kedua orang tersebut datang dan Nabi berkata, “Sampalkan kepada Gubernur kalian bahwa Tuhanku telah membunuh Kisra semalam.” Pada malam hari, 10 Jumadil Ula tahun ke-9 Hijriah, Allah menggerakkan Syirawaih, anak Kisra, untuk membunuhnya. 

Akhirnya, kedua orang tersebut kembali. ke Yaman dan menceritakan berita yang disampaikan oleh Rasulullah. Setelah mendengar berita ini, Badzan dan pengikutnya masuk Islam. 

Sementara itu, surat untuk Heraclius, Kaisar Romawi, dikirim oleh Dihyah bin Khafilah. Surat tersebut berhunyi :
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah kepada Heraclius pembesar Rornawi. 

Salam sejahtera kepada orang yang bersedia mengikuti petunjuk yang besar. Dengan ini, aku mengajak Tuan untuk mengikuti ajaran Islam. Bila Tuan menerima ajaran Islam, Tuan akan selamat. Allah akan memberi pahala dua kali kepada Tuan. Tetapi, bila Tuan menolak, maka Tuanlah yang menanggung seluruh dosa rakyat Tuan. 

Wahai ahli kitab, marilah kita bersama-sama berpegang teguh pada kalimat yang sama (yang ada di) antara kami dan kamu, yakni bahwa tidak ada tuhan yang wajib disembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Kita tidak akan mengangkat sebagian dari kita (manusia) menjadi Tuhan, bagi yang lainnya. Namun, apabila mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, bahwa kami ini adalah orang-orang Islam.” 

Demikianlah isi surat yang dikirim oleh Nabi. Pada saat itu,’kebetulan Abu Sufyan sedang berada di Suriah. ia dipanggil oleh Raja untuk menjelaskan tentang Muhammad. Abu Sufyan yang ketika itu masih menaruh dendam kepada Muhammad dan pengikutnya secara objektif menerangkan secara panjang lebar mengenai diri Muhammad beserta ajarannya. Dengan penjelasan itu, Heraklius menjadi tertarik pada Islam. Namun demikian, niatnya untuk masuk Islam terhalang oleh para pendeta, sehingga ia hanya mengirim surat balasan kepada Nabi bersama beberapa hadiah sebagai rasa simpatinya kepada Islam. 

Upaya Nabi Muhammad menyebarluaskan Islam dengan cara mengirim utusan-utusan merupakan tindakan yang luar biasa, karena sebelum berselang 30 tahun sesudah itu, daerah-daerah tersebut telah dimasuki kaum muslimin dan sebagian besar penduduknya telah memeluk Islam. Islam sebagai agama yang umurnya relatif muda, telah diperlihatkan oleh Nabi, bahwa ia akan menjadi agama dunia, petunjuk bagi umat manusia, serta kekal hingga akhir zaman.

Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan berikutnya yang berjudul : Perang Khaibar (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Sahabat Rasulullah SAW. (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra., bilik islam
Dalam sejarah hidupnya, Abu Bakar Ash Shiddiq bukan hanya beriman kepada risalah Muhammad bin Abdullah. Dia juga berusaha menjadi sahabat dekat Rasulullah saw. dalam menyebarkan risalah Islam. 

Abu Bakar mempunyai sekian banyak teman yang seangkatan dengannya. Teman-temannya itu mempunyai ketajaman pikiran dan kecerdasan yang tidak jauh berbeda dengannya. Dia menemui mereka dan menyerukan supaya mengikuti ajaran kebenaran sekaligus meninggalkan kekafiran dan syirik kepada Allah.

Ada beberapa orang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bersedia menerima ajaran Islam dan menjadi muslim. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al‘ Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan masih banyak lagi pemuda Mekah terpilih yang mengikuti langkahnya. 


Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak hanya mengayunkan langkahnya untuk turut menyebarkan Islam. Demi risalah suci itu, dia rela untuk mengorbankan semua kekayaan miliknya, bahkan jiwa dan raganya. 

Kaum musyrikin Quraisy adalah golongan yang paling geram dengan dakwah Islam. Sebab, dakwah itu bisa meruntuhkan singgasana berhala-berhala mereka dan mengubah adat-istiadat yang sudah turun-temurun mereka terima. Penerapan prinsip keadilan dan perdamaian serta ajaran untuk menyejajarkan martabat semua manusia yang menjadi rintisan dakwah Islam tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Karena itulah, mereka berupaya keras untuk membendung arus penyebaran dakwah itu. Di antara cara yang ditempuh mereka adalah dengan menakut-nakuti dan mengancam kaum muslimin. 

Suku Quraisy mencurahkan segenap tenaga untuk menekan dan menyiksa kaum muslimin. Terutama para budak lemah yang tidak mempunyai kabilah permanen dan tidak bisa melindungi diri dari siksaan fisik pihak lain. Para budak lemah itulah target utamanya. 

Persoalan itu tidak dipandang sebelah mata oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia mengerahkan semua hartanya untuk memerdekakan para budak muslim dari belenggu perbudakan karena dia berkeyakina bahwa setiap manusia adalah saudara bagi manusia lainnya.

Pada suatu hari, Ahu Bakar Ash Shiddiq lewat di suatu tempat. Di sana, dia melihat Bilal bin Rabah A1-Habsyi, muadzin Rasulllah saw. sedang disiksa dengan kejam. Dia diletakkan di atas padang pasir panas di bawah teriknya sinar matahari, sementara di atasnya ditimpakan batu besar oleh tuannya. Tuannya memaksa Bilal untuk meninggalkan Islam dan memeluk agama lamanya. Tetapi rintihan yang keluar dari mulut Bilal hanyalah, “Ahad, Ahad (Tuhan yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Esa).“ 

Abu Bakar Ash-Shiddiq maju ke depan dan meminta kepada Tuan pemilik Bilal agar Bilal dijual kepadanya. Tuan itu setuju dengan harga yang ditawarkan Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga akhirnya Bilal bebas dari siksaan dan dimerdekakan oleh Abu Bakar. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq juga pernah membeli Amir bin Fahirah, kemudian memerdekakannya. Setelah itu, Amir diberi pekerjaan untuk menjaga domba-domba miliknya. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mengindahkan ucapan ayahnya, Abu Quhafah, yang melarangnya menghambur-hamburkan uang untuk membeli para budak dan mcmerdekakannya. Justru dia membeli Zanirah binti ‘Ubais dan Al-Hindiyah budak wanita Bani Ma’mal dan putrinya.

Tentang kedermawanannya itu, Maimun bin Ishaq bin Al-Hasan Al-Hanafi meriwayatkan dari Ahmad bin Abdul-Jabbar A1-’Atharidi, dari Abi Mu’awiyah Ad-Dharir, dan A1-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah; ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada harta benda dan kekayaan yang bisa kupetik manfaatnya selain milik Abu Bakar Ash-Sliiddiq.”Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Jiwa raga dan hartaku hanya untukmu, wahai Rasulullah saw.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri tidak selamat dari berbagai kekejaman suku Quraisy. Demikian juga Rasulullah saw. sebagai pengemban risalah. Bukan hanya satu kali Abu Bakar Ash-Shiddiq menyaksikan teror yang dilancarkan oleh suku Quraisy kepada Rasulullah saw. Untuk mengatasinya, dia rela menyerahkan nyawanya untuk membela Rasulullah saw. 

Pada suatu hari, suku Quraisy berkumpul di Masjidil-Haram, tepatnya di sekitar Hajar Aswad. Mereka melihat Rasulullah saw. melakukan shalat di sebelah Ka’bah. Hal itu membuat mereka meradang karena mereka menganggapnya sebagai bentuk pelecehan. Uqbah bin Abi Mu’aith segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Rasulullah saw. dari belakang. Dia melepas bajunya, dan segera melilitkannya ke leher Rasulullah saw. keras-keras. Cekikan itu sangat kuat karena Uqbah memang ingin membunuh Rasulullah saw. 

Tak berapa lama, Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk ke Masjidil-Haram. Dia melihat perbuatan Uqbah. Abu Bakar bergegas menghambur ke depan, menekan perut Uqbah dan memukul-mukulnya supaya cekikan itu melonggar. Setelah cekikan tersebut lepas, Abu Bakar Ash-Shiddiq segera menendang Uqbah ke samping hingga terjengkang. 

Pada hari itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak bisa terhindar dari berbagai tendangan dan pukulan dari suku Quraisy yang beramai-ramai memukulinya hingga babak belur. Tetapi dia justru memikirkan keselamatan Rasulullah saw. dan tidak menghiraukan dirinya. Dia berkata, “Apakah kalian bakal membunuh seseorang yang berkata, ‘Tuhanku adalah Allah,’ padahal dia telah membawa sejumlah bukti yang kuat?” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq juga mempunyai sikap yang tegas dan mulia. Sikap itu sangat berperan dalam menegakkan sendi-sendi kebenaran Islam. Di antara sikapnya yang perlu diteladani dalam hal ini adalah ketika terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj. 

Waktu itu, seusai Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw. bercerita kepada semua penduduk Mekah bahwa Allah telah menjalankan beliau di malam hari dari Masjidil-Haram ke Masjidil Aqsha. Beliau sempat mengerjakan shalat di sana sebelum kemudian dinaikkan ke langit, Sidratul-Muntaha. 

Tentu saja kaum musyrikin hanya mencibir cerita dari Rasulullah saw. itu. Mereka menganggap Rasulullah saw. mengarang cerita. Buruknya, sebagian kaum muslirnin pun sudah mulai dihinggapi kebimbangan. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apa benar cerita yang dibawa Rasulullah saw.? Mereka merenungkan hal tersebut dengan rasa tidak percaya. 

Mereka bergumam dalam hati. “Demi Allah, ini sebuah perkara yang sangat ganjil dan tidak masuk akal. Biasanya, kalau kita bepergian menggunakan unta saja membutuhkan waktu sekitar satu bulan dari Mekah ke Syam. Itu hanya untuk pergi. Sementara untuk pulangnya membutuhkan waktu sebulan lagi. Bagaimana mungkin Muhammad bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu satu malam dan kembali ke Mekah tepat di pagi hari. Ditambah lagi, dia mengklaim dinaikkan ke langit oleh Allah. Ah yang benar saja! ini tidak masuk akal,” sangkal mereka. 

Imbasnya, segelintir kaum muslimin ada yang murtad dari Islam. Sementara kebanyakan lainnya merasa bimbang dan pergi menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka ingin mengetahui pendapat dan keyakinannya dalam menanggapi masalah itu karena dialah orang yang paling dekat dengan Rasulullah. 

Mereka mengabarkan kepadanya tentang berita Isra’ yang dibawa Rasulullah saw. Walaupun sangat kaget dengan cerita itu, Abu Bakar justru bertanya balik, “Lalu, apakah kalian mengingkari kabar dan Rasulullah ini?” 

“Benar, wahai Abu Bakar. Akal kami tidak menerima cerita ini. Kalau engkau tidak percaya, engkau dapat menemui Rasulullah. Beliau masih berada di masjid dan bercerita kepada orang banyak,” jawab mereka.

Abu Bakar menjawab dengan penuh keyakinannya., “Demi Allah, kalau benar Rasulullah saw. men yatakan itu, maka beliau telah berkata jujur. Perlu kalian ketahui, beliau sering memberikan kabar padaku bahwa wahyu Allah turun dari langit ke bumi hanya dalam waktu sesaat, baik pada waktu malam mau pun siang. Terlebih mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj ini. Dengarlah, aku dengan tegas membenarkannya. Justru kalian inilah yang tidak masuk akal kalau tidak mempercayainya.” 

Bersama rombongan kaum muslimin, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi masjid. Di sana, dia mendengar langsung Rasulullah saw. sedang menggambarkan ciri-ciri Baitul Maqdis, sebagai bukti bahwa beliau benar-benar ke sana. Sebelumnya, memang Abu Bakar AshS hiddiq telah mengunjungi Baitul Maqdis. Setelah Rasulullah saw. rampung menceritakan gambaran Baitul Maqdis, Ahu Bakar AshS hiddiq langsung rnenyela, “Engkau benar, wahai Rasulullah saw.” 

Sejak saat itulah Rasulullah saw, memanggilnya dengan sebutan Ash-Shiddiq (yang membenarkan) Sehingga, semakin eratlah tali persahabatan antara Rasulullah saw. dengan Abu Bakar Ash-Shlddiq. Sampai sampai Rasulullah saw. berkata tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Kalau saja aku bisa mengangkat salah satu hamba Allah ini sebagai kekasih, maka aku akan menjadikan Abu Bakar Ash-Shiddiq scbagai kekasihku. Namun, dia tetaplah sahabatku dan saudaraku seiman sampai Allah mengumpulkan kita berdua di sisi-Nya.” 

Setelah peristiwa Bai’at Al-’Aqabah Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. ini terkait dengan peristiwa yang menimpa kaum muslimin, yaitu penindasan besar-besaran. Di samping itu, Allah juga sudah memberikan sinyal agar hijrah dilaksanakan. 

Di kota Mekkah, hampir tidak tersisa lagi kaum muslimin kecuali mereka yang terhalang dan hijrah atau mereka yang masih merasa bimbang dengan agama baru itu. Kelompok yang disebut terakhir mi adalah golongan yang lemah imannya. 

Di antara yang masih berada di Mekah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali bin Abu Thalib. 

Suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk berangkat berhijrah. Namun Rasulullah saw. menolak. “Jangan berangkat hijrah dulu, ya Abu Bakar Ash Shiddiq. Mudah-mudahan Allah memunculkan seorang rekan bagimu dalam perjalanan hijrah,” kata Rasulullah saw. 

Abu Bakar Ash- Shiddiq sangat berharap bahwa orang yang bisa didampinginya berhijrah adalah Rasulullah saw. sendiri. Alangkah bahagianya dia. Sebenarnya, RasuluIIah saw. sendiri ketika mengatakan itu hanya menunjuk kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq semata. 

Akhirnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli dua ekor unta yang disembunyikan di rumahnya. Dia merawat unta itu baik-baik sebagai persiapan untuk perjalanan panjang hijrah. Dia rnasih mengidam-idamkan, semoga yang diajak Rasulullah saw. berhijrah adalah dirinya. 

Rasulullah saw. mernpunyai kebiasaan mengunjungi rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq hanya sekali dalam sehari. Terkadang di waktu sore, dan terkadang di waktu pagi. 

Pada suatu hari, Rasulullah saw. berkunjung ke kediaman Ahu Bakar Ash- Shiddiq di siang hari. Itu agak aneh, karena tidak biasanya Rasulullah saw. mengunjungi Abu Bakar Ash-Shiddiq di siang hari. Melihat Rasulullah saw., Abu Bakar Ash-Shiddiq bergumam dalam hati, “Ada apa Rasulullah saw. datang di siang hari seperti ini? Sungguh, pasti ada sesuatu yang telah terjadi.” 

Setelah dipersilakan duduk, Rasulullah saw. langsung berkata, “Sesungguhnya,  Allah telah mengizinkanku untuk keluar dari Mekah dan berhijrah ke Madinah.” 

“Apakah aku yang akan menemani engkau, ya Rasulullah?” tanya Abu Bakar Ash-Shiddiq.

“Benar, engkau yang akan jadi teman perjalananku,” jawab Rasulullah saw. 

Tidak seorang pun yang mengetahui keluarnya Rasulullah saw. dari kota Mekah kecuali Abu Bakar Ash-Shiddiq, kedua putrinya (Asma’ dan Aisyah), putranya (Abdullah), dan Ali bin Abu Thalib. Ali diperintahkan Rasulullah saw. untuk sementara tinggal di Mekah sekaligus ditugasi untuk mengembalikan barang-barang titipan masyarakat yang dititipkan kepada Rasulullah saw. 

Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq keluar dari pintu belakang rumah sambil mengendap-endap. Keduanya melangkah menuju Gua Tsur yang berada di luar kota Mekah. Sebelumnya, dua sahabat ini menyewa Abdullah bin Uraiqith. Ia adalah orang musyrik yang disewa sebagai penunjuk jalan ke kota Madinah melalui jalur pantai. Dia juga orang yang dipercaya menuntun kedua unta untuk diberikan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rencananya, kedua unta itu dibawa oleh Abdullah bin Abu Bakar dan Mekah, kemudian diserahkan kepada Abdullah bin Uraiqith. Dan Abdullah bin Uraiqith, sepasang unta itu bakal dipasrahkan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di sebuah tempat yang telah disepakati. Ketika Abu Bakar dan Rasulullah saw. tiba di gua Tsur, Abu Bakar Ash-Shiddiq maju memasuki gua terlebih dahulu sebelum Rasulullah saw. Dia ingin memastikan bahwa gua itu bersih dari ular dan binatang buas lainnya. Bahkan, kalaupun ada bahaya mengancam, dia bersedia menjadi korban pertama demi melindungi Rasulullah saw. 

Ketika sudah yakin tidak ada apa-apa, Rasulullah saw. masuk mengikuti jejak Abu Bakar Ash-Shiddiq. Keduanya tinggal di dalam gua selama tiga hari, Selama di sana, Abdullah bin Abu Bakar bolak-balik menyampaikan kabar kepada keduanya ihwal suku Quraisy, pada sore hari. 

Setelah Abdullah meninggalkan gua untuk pulang ke Mekah, datanglah Amir bin Fahirah. Dia menggiring sekawanan domba dan menggembalakannya di jalanan yang dilalui Abdullah bin Abu Bakar supaya bisa menyapu jejak Iangkahnya, sehingga suku Quraisy tidak bisa membuntuti perjalanan keduanya. Asma’ binti Abu Bakar bertugas mengirim makanan kepada keduanya di sore hari. Makanan itu dibungkus dalam kantong yang terbuat dari kulit. Asma’ memotong ikat pinggangnya menjadi dua, satu untuk mengikat mulut kantong makanan tersebut, dan satu lagi digunakan untuk mengikat pinggangnya. Karena itu, Asma’ binti Abu Bakar dikenal sebagai Asma’Dzatun-Nithaqain (Asma’ pemilik dua ikat pinggang). 

Allah menurunkan pertolongan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Perjalanan hijrah itu, dengan rahmat Allah, berjalan lancar sampai ke kota Madinah tanpa ada halangan berarti. Setelah Rasulullah saw. tiba dan bertempat di kota Madinah, meletuslah sejumlah pertempuran melawan suku Quraisy, kaum musyrikin dan para pemeluk Yahudi. Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu berada di garis terdepan dalam berjihad, Perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Hudaibiyah, Penakiukan Kota Mekah, Perang Hunain, dan perang lainnya. 

Di kota Madinah itulah Rasulullah saw. menikahi Aisyah, putri Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, derajatnya terangkat menjadi mertua Rasulullah saw. Keikhlasan Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam bergaul dengan Rasulullah saw. dan mengimani ajarannya seakan sudah menembus semua batas yang ada. Di kota Madinah, sebagaimana di kota Mekah, dia masih terus menjalankan misinya untuk menyebarkan Islam. 

Dalam kitab Abu Bakar dengan Fanhash, orang Yahudi, kita bisa menarik kesimpulan sampai di mana kadar keimanan Abu Bakar. Kisah itu bisa mewakili berbagai kisah lainnya yang memiliki topik yang sama, yakni membuktikan tingginya nilai keimanan Abu Bakar. 

Kita mungkin akan merasa heran bagaimana Abu Bakar yang terkenal lembut, sopan, santun dan halus bahasanya, tetapi bisa berubah menjadi keras sehingga memukul musuh Allah yang ingin mencoreng wajah agama yang lurus itu. Semua itu tidak lepas dari fondasi imannya yang kokoh. 

Kaum Yahudi di Madinah berencana untuk memperdaya kaum muslimin Mekah untuk membantu mereka menghadapi suku Aus dan Khazraj. Akan tetapi, rencana tersebut gagal total. Mereka lebih dulu takluk di tangan kaum muslimin sebelum mampu memecah-belah barisan kaum Muhajirin dan Anshar. Karena itu, mereka menggunakan rencana kedua, yakni melancarkan kebohongan guna melecehkan martabat agama Islam. 

Di tengah-tengah kaum Yahudi, ada seorang alim bernama Fanhash. Para pemeluk Yahudi menganggapnya sebagai cendekiawan mereka. Dia merupakan tempat bertanya tentang bagaimana cara menyudutkan kaum muslimin dan melecehkan harkat mereka. 

Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq bertandang ke rumah Fanhash untuk menyerunya supaya masuk Islam. Waktu itu, di rumahnya ada banyak sekali kaum Yahudi yang berkumpul mengelilinginya. Rupanya dia sedang menggelar rapat. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq herkata kepadanya, “Wahai Fanhash, celakakalah engkiu! Takutlah kepada Allah dan ,masuklah ke dalam agama Islam. Demi Allah, sesungguhnya, engkau mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dia datang dengan membawa kebenaran dari sisi Allah. Keberadaannya telah termaktub dengan jehas dalam kitab Taurat dan Injil.”

Sambil bibirnya menyungging senyum mengejek, Fanhash malah berkata, “Demi Allah, wahai Abu Bakar: Sesunguhnya kita ini tidak butuh kepada Allah, tetapi Allahlah yang butuh kepada kita. Kita tidak akan bermunajat dengan penuh ketakutan kepada-Nya, tetapi Dialah yang takut kepada kita. Kita sama sekali tidak membutuhkan-Nya, tetapi Dialah yang butuh kepada kita. Kalau saja Allah tidak butuh kepada kita karena Dia sudah Maha Kaya, niscaya Dia tidak akan meminta pinjaman utang kepada kita sebagaimana yang sering didengungkan oleh sahabatmu, Muhammad. Kalian telah tahu sendiri bahwa Allah melarang kalian untuk mengambil riba (kelebihan), tetapi Dia telah ,menberikan kelebihan kepada kita. Kalau saja Dia kaya, niscaya tidak akan memberikan kelebihan kepada kita setelah Dia melunasi utang-Nya.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa Fanhash memang sengaja melecehkan Islam. Melecehkan Rasulullah saw., bahkan firman Allah. Dia nyaris tidak menguasai dirinya. Ingin rasanya dia melayangkan beberapa tamparan kepada musuhnya itu. Untungnya dia sendiri bisa menenangkan diri. Dengan geram dia membentak, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalau saja bukan karena perjanjian damai yang tertulis antara kalian dengan kami, niscaya aku akan memukul kepalamu, musuh Allah.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq lantas mengayunkan langkahnya pergi agar tidak memperpanjang permusuhannya itu.

Biografi Abu Bakar selanjutnya dapat dilihat pada postingan yang berjudul : Khalifah Pertama(Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Nama Dan Nasab Umar Bin Khattab (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra., bilik islam
Dia adalah Abu Hanifah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin Adi bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib A1-Qurasyi. Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin A1-Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b. 

Menurut sebuah riwayat, Umar dilahirkan 13 tahun setelah Tahun Gajah. Dari Sa’id bin A1-Musayyab ia mengatakan, “Umar masuk Islam setelah 40 pria dan 10 wanita. Sesudah dia masuk Islam, maka Islam tampak mulai bersinar di kota Mekah.” 

Umar memiliki kedudukan yang mulia di tengah kaum Quraisy di masa Jahiliah, sehingga dia diangkat menjadi duta mereka, yaitu ketika terjadi peperangan dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dia juga ditampilkan untuk unjuk kebanggaan, ketika mereka hendak bermegah-megahan. 

Dia masuk Islam pada tahun keenam dari masa kenabian. Kulitnya putih kemerah-merahan dan perawakannya tinggi. Disebutkan dalam sejarah bahwa warna kulitnya menjadi cokelat setelah dilanda tahun-tahun kelabu (yaitu ketika terjadi masa paceklik di masa pemerintahannya, hal ini akan dikupas lebih lanjut dalam biografi selanjutnya berikutnya). 

Dia wafat karena ditikam (sewaktu mengimami shalat subuh) saat berusia 63 tahun. Dia dikuburkan di ruangan yang mulia bersama Rasulullah saw. dan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Semoga Allah meridhai Al-Faruq Umar. 

Persaksian Semuanya
Setelah Al-Faruq Umar ra. masuk Islam, dia bertemu seorang penggembala, lalu penggembala tersebut berkata kepadanya, “Aku merasa bahwa orang yang bekerja dengan kedua tangannya itu (yakni, Umar) telah masuk Islam.” Maka, dia menimpali, “Apakah dia orang yang menang dalam pertandingan gulat di pasar Ukazh?! 

Ia menjawab, “Ya.” 

Ia melanjutkan, “Demi Allah, sungguh, dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” 

Dialah Al-Faruq yang tidak lunak dalam urusan kebenaran dan pelaksanaannya. Badui ini telah merangkum tentang perbuatannya. 

“Sungguh dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” Ya, Umar meluaskan kebajikan pada ahli kebajikan dan keburukan pada ahli keburukan; karena dia tidak menghiraukan celaan orang lain dalam urusan kebenaran.

Biografi Umar selanjutnya bisa dilihat pada postingan yang berjudul : Setan Takut Ketegasan Al-Faruq ra. (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Tuesday, 25 October 2016

Hukum Mengucapkan "Sayyidina" Dalam Shalawat (Sebelum Nama Muhammad)

mengucapkan sayyidina sebelum nama nabi
Sepatutnya bagi orang-orang besar, terutama sekali bagi sayyidul anbiya’ wal mursalin yakni Nabi Muhammad Saw. diberikan laqab atau gelar dengan “Sayyidina” yang berarti penghulu atau junjungan kita. Hal ini dikarenakan Nabi kita Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin dan junjungan ummat, melainkan juga sebagai penghulu sekalian nabi.
 
Kalau terhadap Nabiullah Yahya bin Zakaria Al-Qur’an memberikan gelar sayyid sebagaimana tersebut dalam surat Ali lmran ayat 39 :
“Dan beliau adalah sayyid, mampu menahan diri (dari hawa nafsu) dan juga seorang nabi dari keturunan orang-orang saleh”
 
Maka tentulah bahwa gelar itu lebih utama lagi diberikan kepada Rasulullah Saw.
 
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 67 Allah Swt. Berfirman :
“Mereka (para penghuni neraka) berkata Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi para pemimpin dan pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dan jalan yang benar”.
 
Dan dalam surat Yusuf ayat 25 :
“Wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek dan kedua-duanya menjumpai suami wanita itu secara tiba-tiba ada di depan pintu”.
 
Sedangkan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw. Bersabda :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya”.

Dalam tiga penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits diatas diterangkan bahwa pemimpin, suami dan bahkan semua anak Adam (manusia) dapat juga dikatakan sayyid. Kalau demikian keadaannya, maka apakah manusia yang paling tinggi harkat dan martabatnya di sisi Allah Swt. yakni junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. tidak boleh disebut sayyid ? Maha benarlah Allah Swt. yang telah berfirman :
“Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang tersembunyi dalam dada”. (QS.Al-Haj : 46) 

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw. memberitahu para sahabatnya dimana pada hari kiamat nanti Allah Swt. akan menggugat para hamba-Nya dengan ucapan : “alam ukrimka wa usawwidka (Bukankah engkau telah Aku muliakan dan telah Aku jadikan sayyid ?)“ . Makna hadits ini bahwa Allah Swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada setiap manusia. Dan kau kenyataannya memang demikian, maka apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada yang lain ? Kalau manusia biasa saja dapat disebut sayyid, apakah Rasulullah Saw. tidak boleh disebut sayyid.?
 
Demikian juga terhadap ahli baitnya, semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan .bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada puteri beliau Siti Fatimah r.a :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah para wanita ummat ini?”.
 
Dalam shahih Muslim terdapat hadits senada yang berbunyi :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?.

Berdasarkan dua hadits riwayat Bukhari dan Mushm diatas, maka kita terbiasa menyebut puteri Rasulullah Saw., Siti Fatimah az-Zahra dengan sebutan sayyidatuna atau sayyidati yang dalam bahasa Indonesia telah berubah lafaz (diringankan) menjadi “Siti” yang maknanya sama dengan “sayyidati”.
 
Demikian pula halnya terhadap cucu Rasuullah Saw. yaitu Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari dan At Turmuzi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad yang sahih bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. Bersabda :
“Hasan dan Husein adalah dua orang yang akan menjadi sayyid para pemuda ahli surga”.
 
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu‘anhuma, kedua-duanya juga disebut sayyid oleh Rasulullah Saw.
 
Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Abu Bakar dan Umar adalah dua sayyid para sesepuh ahli surga baik dari kalangan terdahulu maupun terkemudian kecuali para Nabi dan Rasul”.

Ketika Sa’ad bin Mu’az diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraizhah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memanggilnya. Sa’ad-pun datang sambil berkendaraan yakni menunggang keledai. Melihat hal itu Rasulullah Saw. berkata kepada orang-orang yang hadir :
“Berdirilah untuk menghormati sayyid kalian atau orang yang terbaik diantara kalian”. 

Setelah dikemukakan sekian banyak hadits Nabi yang mengindikasikan tentang bolehnya menggunakan sayyid ketika menyebut nama Rasulullah Saw., apakah mereka yang tidak setuju masih tetap bersikeras menentang penggunaan sayyidina ketika menyebut nama beliau ? Apakah mereka itu tidak khawatir akan dikesankan sebagai orang yang mengingkari martabat Rasulullah Saw. sebagai Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin (Penghulu sekalian Nabi dan Rasul)? 

Kalau diketengahkan sebuah hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang berkata :
“Pernah Nabi Saw. keluar menuju kami lalu kami berkata ‘‘Sesungguhnya kami telah mengetahui bagaimana mengucap salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami akan menghaturkan shalawat untukmu ? Nabi Saw. menjawab : Ucapkanlah “Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad hingga akhirnya” dimana dalam hadits ini tidak disebutkan lafaz sayyidina, lalu berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa mengucap sayyidina adalah bid’ah dhalalah, maka kesimpulan ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat dan tergesa-gesa. 

Pada hadits tersebut Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya bagaimana cara mengucap shalawat kepada beliau ? Dan karena shalawat yang ditanyakan itu adalah berkenaan dengan diri beliau sendiri, maka sebagai orang yang tawaadhu’ dan tidak suka menyombongkan diri akan terasa berat bagi beliau untuk mencantumkan sayyidina pada nama beliau karena sayyidina itu adalah gelar kebesaran; Oleh karena itu, maka Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan sahabat itu dengan :
Jangankan Nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan penuturan para ulama adalah syadiidal hayaa’ wat tawaadhu’ (sangat pemalu dan suka merendahkan diri), kita saja akan merasa berat dan merasa tidak enak menyebut-nyebut gelar pada nama kita. 

Cobalah kita bertanya pada seseorang siapa namanya ? Walaupun pada hakekatnya dia telah bergelar professor atau doctor tetapi tentu dia tidak akan merasa enak untuk menyebut-nyebut gelarnya itu. Dia pasti hanya mencukupkan diri dengan menyebut namanya saja. 

Tetapi walaupun ia tidak mau menyebutkan gelarnya itu kepada kita, namun apabila kita sendiri yang akan menyebut namanya, maka sebagai tanda kita menghormati dia, tentunya akan lebih baik kalau gelarnya itu kita cantumkan. 

Nah, Begitu jugalah halnya dengan Nabi kita Muhammad Saw., walaupun beliau tidak menyebutkan gelar sayyidina diketika beliau mengajarkan tata-cara bershalawat namun sebagai adab dan penghormatan kita kepada beliau, sepatutnyalah kita cantumkan gelar sayyidina itu apabila kita menyebut-nyebut nama beliau atau mengucapkan shalawat untuk beliau. 

Oleh karena itulah, maka Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan di dalam kitab beliau Hasiyatul Bajuri jilid I/156 :
“Yang lebih utama adalah menyebut sayyidina karena yang afdhal adalah menerapkan sikap adab”.
 
Demikian pula pendapat Syaikh Sihabuddin al-Qalyubi di dalam kitabnya jilid I/167 :
“Bahkan menyebut sayyidina yang afdhal karena di dalamnya terdapat pelaksanaan perintah beserta penerapan adab”.

Dan juga penjelasan Syaikh Ibnu Qasim al-Ubbadi di dalam Hasiyah kitab Tuhfatul Muhtaj jilid I/268:
“Dan telah masyhur fatwa ulama tentang tambahan sayyidina sebelum Muhammad”.
 
Sedangkan dalam kitab Hasiyah Sanusi halaman 8 ditegaskan bahwa fatwa yang rojih (kuat) adalah : “Menjalankan adab didahulukan daripada menjalankan perintah”.

Selanjutnya mari kita perhatikan sebuah penjelasan yang tersebut dalam kitab Nailul Authar oleh Imam Syaukani jilid II/302 :
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Abdissalam bahwa beliau menjadikan penggunaan “sayyidina” itu sebagian daripada bab “Menjalankan Adab” yaitu didasarkan kepada kaidah bahwa menempuh jalan adab lebih disukai daripada menjalankan perintah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Abu Bakar ketika Nabi Saw. memberikan perintah kepada beliau agar tetap ditempatnya (untuk menjadi imam shalat) lalu beliau tidak melaksanakan perintah itu dan berkata : “Tidak sepatutnya bagi anak Abi Quhafah untuk maju dan berdiri dihadapan Rasululah Saw.”. Dan begitu juga keengganan Ali bin Abi Thalib untuk menmghapus nama Nabi Saw. dan surat perjanjian pada perdamaian Hudaibiyah sesudah Nabi memberi perintah untuk melakukannya. Ketika itu Ali berkata “Aku tidak mau meughapus namamu selama-lamanya”. Kedua hadits ini terdapat dalam sahih Bukhari. Maka pengakuan Nabi Saw. terhadap sikap Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib perihal keengganan menjalankan perintah dengan tujuan menjalankan adab adalah menunjukkan keutamaan hal tersebut”.
 
Demikianlah beberapa penjelasan seputar kemusykilan yang diajukan berkaitan dengan sabda Nabi Saw. dalam riwayat Ka’ab bin Ajroh yang hanya memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat dengan menyebut nama beliau tanpa kata “sayyidina”. 

Sebenarnya, meski terdapat riwayat yang tidak menyebutkan kata sayyidina dalam pengajaran beliau tentang tata cara mengucapkan shalawat -dan untuk hal tersebut telah dijelaskan maksud yang terkandung di dalamnya- namun dalam beberapa riwayat lainnya yang bersifat pengkhabaran (informasi) justru terdapat pengakuan yang jelas bahwa Nabi Saw. adalah seorang sayyid. Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam” 

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
 
Dalam hadits riwayat Ahmad, lbnu Majah dan Turmuzi terdapat sebuah hadits dimana Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam di hari kiamat nanti”.
 
Riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Saya adalah sayyid semua manusia di hari kiamat”.
 
Hadits ini oleh Rasulullah Saw. sendiri diberikan makna sebagai berikut : -
“Pada hari kiamat nanti, Adam dan para nabi lainnya akan berada dibawah benderaku”.
 
Riwayat dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalaa’ilun Nubuwwah” menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid kaum mukminin jika mereka telah dibangkitkan nanti”.

Sedangkan hadits riwayat al-Khatib mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah imam kaum muslimin dan sayyid orang-orang yang bertakwa”.

Semua hadits yang tersebut diatas adalah mutawatir dan itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. adalah sayyid. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Saw. adalah satu hal yang tepat dan sangat pantas dilakukan oleh setiap muslim yang mencintai beliau. 

Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan terang menunjukkan bahwa beliau lebih suka dipanggil dengan sayyidina. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad shahih berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah Saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt. beliau bertanya “Siapakah aku ini ?” . Kami menjawab “Rasulullah!”. Beliau berkata : “Ya benar, tetapi siapakah aku ini ?”.Kami menjawab : “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf!”. Beliau kemudian berkata “Aku adalah sayyid anak Adam”.

Ada sementara orang yang tidak setuju penggunaan kata sayyidina diketika menyebut nama Rasulullah Saw. mengajukan sebuah hadits yang berbunyi :
“Jangan kalian menyebutku sayyid di dalam shalat”. 

Tampaknya orang tersebut sudah kepayahan mencari dalil untuk menolak penggunaan kata sayyidina sehingga hadits itulah yang terpaksa diajukannya. Padahal hadits tersebut sudah dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits palsu (maudhu). Dalam kitab Al-Hawi, Jalaluddin as-Suyuthi ketika menjawab pertanyaan tentang hadits itu berkata dengan tegas bahwa hadits itu tidak pernah ada alias batil. Al-Hafiz as-Sakhawi dalam kitab “Al-Maqashidul Hasanah” mengaskan bahwa hadits itu tidak karuan sumbernya. Jalaluddin al-Mahalli, Syamsur Ramli, lbnu Hajar al-Haitsami, Imam al-Qari serta para ahli fiqh madzhab Syafi”i dan Maliki mengatakan bahwa hadits itu sama sekali tidak benar. 

Kecuali itu terdapat indikasi lain yang betul-betul memastikan hahwa hadits itu adalah hadits palsu yakni penggunaan kata tusayyidu. Hal ini karena dalam bahasa arab tidak terdapat kata kerja (fi’il) yang berakar kata “sayyada” kemudian menjadi “yusayyidu”. Yang ada hanyalah "sawwada” menjadi “yusawwidu” yang berarti memuliakan. Tidaklah mungkin sama sekali bahwa Rasulullah Saw, yang digelari oleh para pujangga arab dengan afshahu naathiqin bid dhad yakni orang yang paling fasih mengucapkan kata-kata arab justru malah menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh orang arab sendiri. Karenanya penggunaan kata yang tidak tepat dalam hadits itu termasuk satu indikasi yang menguatkan kepalsuan hadits tersebut.

Abu Bakar Masuk Islam (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra. bilik islam
Abu Bakar Ash-Shiddiq bisa dinilai sukses dalam dunia perdagangan. Dia memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil bisnis itu. Dia mempunyai sekian banyak unta dan domba layaknya para hartawan Mekah lainnya di waktu itu. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq menjalani hidup yang diliputi kemudahan dan kemewahan seperti kebanyakan pedagang dan hartawan Mekah. Dia hidup terhormat layaknya Khadijah binti Khuwailid istri Rasulullah saw. yang juga “ibu” kaum muslimin.


Dari jalur perdagangan itulah dia mulai mengenal Muhammad bin Abdullah. Dia juga mengetahui sifat-sifat Muhammad yang terpuji, berbudi luhur dan bersih. Jalan hidup dan perilaku beliau sungguh patut diteladani. 

Keakraban terjalin antara Abu Bakar dengan Muhammad. Usia keduanya tidak terpaut jauh. Usia Abu Bakar Ash-Shiddiq lebih muda dua tahun beberapa bulan dari usia Rasulullah saw. 

Wahyu turun kepada Muhammad bin Abdullah. Beliau diutus menjadi Nabi untuk memberikan petunjuk kepada semua manusia dan dipilih menjadi rasul yang menyebarkan risalah ketuhanan. Dan sini, Rasulullah saw. teringat akan sahabat karibnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau tahu bahwa sahabatnya itu adalah sosok orang yang cerdas dan berwawasan luas. 

Rasulullah saw. menjelaskan tentang Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak sedikit pun Abu Bakar Ash-Shiddiq mengalami kebimbangan saat dia menerima Islam. Dia menerima ajakan menuju kebenaran itu dan beriman dengan semua ajaran Muhammad bin Abdullah tanpa berpikir panjang. 

Abu Ja’far bin As-Samin menyitir dari Yunus bin Abu Bakar, dari Ibn Ishaq, dan Muhammad bin Abdur-Rahman bin Abdullah bin Al-Hushain At-Taimi bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“Setiap kali aku berdakwah kepada seseorang. pasti dia akan mengalami kebimbangan dan berpikir seribu kali sebelum menyatakan mau masuk Islam atau tidak. Ini tidak berlaku bagi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia tidak diterpa kebimbangan atau harus menunggu untuk berpikir beribu kali. Dia langsung menerima ajaran Islam.”

Biografi Abu Bakar selanutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Sahabat Dekat Rasulullah (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Perjanjian Hudaibiyah (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Biografi Lengkap Rasulullah SAW, bilik islam
Setahun setelah Perang Ahzab berlalu, Nabi Muhammad mengumumkan kepada kaum muslimin agar mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 Hijriah, Nabi beserta 1.400 orang pengikutnya berangkat menuju kota Mekah tanpa membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan, yang menurut adat bangsa Arab merupakan hiasan yang khas. Hal tersebut dimaksudkan agar orang-orang mengetahui bahwa mereka datang bukan untuk berperang, tetapi untuk berhaji ke Baitullah. 

Setelah melakukan perjalanan selama beberapa hari, sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah. Sebuah tempat yang terletak beberapa kilometer dari Mekah. Di sini, mereka berkemah dan menyembelih binatang kurban seraya mengucap talbiah. 


Untuk mengetaui kekuatan dan untuk merintangi kaum muslimin agar jangan sampai masuk Mekah, diutuslah Budail bin Warqa’, pimpinan suku Khuza’ah. Setelah mengadakan pembicaraan dengan Nabi, Nabi meminta kepada Budail. agar ia memberitahukan kepada kaum Quraisy, bahwa kedatangan kaum muslimin bukan untuk berperang melainkan hendak menunaikan ibadah haji dan hendak memuliakan Baitullah. 

Mereka pun kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy supaya kaum muslimin dibiarkan saja mengunjungi Ka’bah. Akan tetapi, mereka justru dituduh dan tidak diterima dengan baik oleh Quraisy. 

Mengenai rombongan kaum muslimin yang segera memasuki kota Mekah, menjadi dilema tersendiri bagi kaum Quraisy. Sebab, masuknya kaum muslimin ke Mekah bisa diartikan 

sebagai takluknya Quraisy tanpa syarat. Tetapi sebaliknya, mereka pun tidak bisa mentah-mentah menolak niat kaum muslimin yang datang untuk menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang karena bulan itu adalah bulan suci, di mana berlaku larangan perang. 

Kaum Quraisy kembali mengirimkan utusan lagi. Kali ini, orang yang diutus adalah Hulais pimpinan Ahabisy. Ketika Nabi melihat ia datang, beliau meminta supaya ternak kurban itu dilepaskan di depan matanya, agar Hulais melihat sendiri adanya bukti yang jelas bahwa kedatangan kaum muslimin hanyalah untuk berhaji ke Baitullah. 

Hulais terharu melihat pemandangan itu. Kembalilah ia kepada kaum Quraisy. ia menceritakan. apa yang telah dilihatnya kepada kaum Quraisy. Namun, begitu mendengar ceritanya itu, pemimpin Quraisy marah kepadanya. 

Dua kali sudah kaum Quraisy mengirimkan utusan kepada Nabi, namun keduanya tidak membawa hasil apa-apa. Akhirnya, diutuslah Urwah bin Ma’ud Ath-Thaqafi. Namun demikian, Urwah tidak berhasil mengadakan perjanjian. 

Terpikir oleh Nabi Muhammad, bahwa mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang dapat mewakili pihak Quraisy. Oleh karena itu, Nabi berganti mengirimkan utusannya kepada kaum Quraisy. Namun, utusan tersebut justru dianiaya dan untanya dibunuh. 

Sementara mereka sedang berusaha untuk mencapai perdamaian dengan jalan tukar-menukar utusan datanglah pasukan bersenjata musuh yang mengintai kaum muslimin. Pasukan tersebut segera ditangkap. Karena kaum muslimin datang bukan untuk berperang, pasukan itu pun segera dibebaskan, sebagai suatu tanda bahwa kaum muslimin ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci. Jangan sampai ada pertumpahan darah di Hudaibiyah yang juga masuk dalam wilayah suci kota Mekah. 

Nabi saw. sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Nabi mengirim Utsman bin Affan. ia pun berangkat menemui pimpinan-pimpinan Quraisy itu. Pembicaraan Utsman dengan kaum Quraisy terjadi begitu lama. Kaum muslimin menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum Quraisy. 

Tersiar kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu, Nabi menganjurkan agar kaum muslimin melakukan bai’at kepada beliau. Mereka pun berbai’at kepada Nabi dan akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian tersebut terjadi di bawah pohon yang terkenal dalam sejarah sebagai Bai’atur Ridhwan. 

Perjanjian setia ini telah mendapat ridha Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath [48]: 18) 

Bai’atur Ridhwan rnenggetarkan hati kaum Quraisy sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Karena perjanjian itu terjadi di Hudaibiyah, maka peranjian tersebut terkenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. 

Adapun perjanjian ini berlaku untuk masa 10 tahun. Isinya antara lain meliputi :
  1. Kaum muslimin belum diperbolehkan untuk menunaikan haji di tahun ini, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan;
  2. Di tahun depan, kaum muslimin diperbolehkan berhaji, tetapi tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari tiga hari;
  3. Kaum muslimin Madinah tidak diperbolehkan mengajak orang-orang Islam yang tinggal di Mekah untuk tinggal di Madinah. Demikian juga kaum muslimin, tidak diperbolehkan menghalangi umat Islam Madinah yang ingin tinggal di Mekah;
  4. Apabila di antara orang-orang Islam Mekah ada yang melarikan diri ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekah dan tidak demikian sebaliknya; dan
  5. Seluruh suku bangsa Arab, bebas menjalin hubungan dengan siapa saja. 

Demikian isi perjanjian tersebut, yang secara lahiriah dipandang sangat merugikan kaum muslimin. Para sahabat hampir seluruhnya merasa keberatan terhadap isi perjanjian tersebut. Namun demikian, pada hakikatnya peranjian itu merupakan suatu kemenangan yang besar bagi kaum muslimin, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah swt., :
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu pada jalan yang lurus.” (Al-Fath [48]: 1-2) 

Isi perjanjian Hudaibiyah itu juga merupakan bukti nyata bahwa Nabi adalah seorang yang mencintai perdamaian dan membenci peperangan. Demikian juga memperlihatkan kecerdikan dan keunggulan Nabi saw. Adanya ketentuan bahwa Perjanjian Hudaibiyah berlaku untuk masa 10 tahun, ini memberi kesempatan kepada kaum muslimin untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka terhadap kaum Quraisy. Sebagai akibat dari perjanjian ini, kaum muslimin dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada dakwah secara damai.

Selama dua tahun pertama, jumlah orang yang masuk Islam telah melebihi jumlah kaum muslimin selama dua windu sebelumnya. Ketika di Hudaibiyah, jumlah mereka sebanyak 1.400 orang, tetapi dua tahun kemudian, sewaktu mendatangi kota Mekah, beliau diikuti oleh 10.000 orang. 

Begitulah sukses yang diperoleh kaum muslimin sebagai akibat dari Perjanjian Hudaibiyah. Bila seseorang semakin memikirkan prinsip-prinsip Islam, ia akan semakin yakin padanya. Prajurit-prajurit besar seperti Khalid bin Walid -panglirna perang dan ahli strategi Quraisy yang ulung- dan Amru bin Ash memeluk Islam dalam masa Perjanjian Hudaibiyah.

Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Seruan Kepada Raja-raja untuk Memeluk Islam (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Perpecahan Golongan Khawarij (Sempalan Khawarij)

pecahan-pecahan golongan khawarij, bilik islam
Golongan khawarij mengalami kejayaan kurang lebih selama dua abad, akhirnya rapuh dan tercabik-cabik, ikatan tali persatuan yang mereka bangun begitu kokoh akhirnya pudar, akibat perpecahan yang menggerogoti tubuh aliran khawarij, yang akhimya hancur berantakan dan kini tinggal sebuah nama yang terukir dalam sejarah dan tertulis dalam buku. 

Sungguh sangat dahsyat perpecahan ditubuh aliran yang sempat merepotkan dan membuat puyeng khalifah Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah. 


Namun Allah telah berfirman bahwa “setiap kebatilan akan sirna” maka sirna pulalah setiap aliran yang menyalahi aturan Islam. Kaum khawarij pecah menjadi 20 golongan diantaranya adalah :
 
AL-AZARIQAH
Yaitu sempalan khawarij yang dikomandoi oleh Abu Rasyid Nafi’ bin Al-Azraq, mereka keluar dari Bashrah bersama Nafi’ menuju A1-Ahwaz, dan pemimpin-pemimpin yang bersama Nafi’ adalah : 

Athiyah bin Aswad al-Hanafi, Abdullah bin Mahuz dan kedua saudaranya yaitu Ustman dan Zubair. Zubair bin Umair Al Ambari, Qathariy Ibnu Faja’ah al-Mazini, Ubaidah bin Hilal al Yaskari, Muharriz bin HiIal, Shakar bin Habib at-Tamimi dan shaleh bin Mukharak al-Abdi. Diantara faham-faham aliran ini adalah :
1. Mengkafirkan Ali bin Abu Thalib dan semua orang yang mau berperang bersama mereka serta orang-orang yang tidak mau bergabung dengan mereka. 

2. Menghalalkan membunuh orang yang beda pendapat dan menentang faham mereka. 

3. Tidak merajam orang yang berbuat zina dan tidak menjadikan hukuman Qadzaf (menuduh berbuat zina) terhadap laki-laki yang mukhshan. 

4. Mereka menghukumi anak-anak orang musyrik masuk Neraka bersama induknya sekalipun mati sebelum baligh. 

5. Mereka tidak membolehkan Taqiyah di dalam perkataan dan perbuatan (beda dengan syi’ah yang mengahalalkan taqiyah). 

6. Ada kemungkinan Allah mengutus nabi yang muslim kemudian menjadi kafir atau sebaliknya. 

7. Orang yang berbuat dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam (murtad). 

AN NAJADAT AL ADZIRIYAH
Yaitu aliran sempalan khawarij di bawah komando Najdah bin Amir Al-Hanafi. Mereka keluar dari Al-Yamamah bersama balat entaranya untuk menemui dan bergabung dengan Al-Adzaniqah, namun ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan Abu Fudaik dan Athiyah bin Asl-Aswad (termasuk bagian dari kelompok yang menyelisihi Nafi’) kemudian keduanya mengkhabarkan apa saja yang dilakukan oleh Nafi’. Yaitu mengkafirkan orang-orang yang tidak berperang bersamanya. Ahirnya mereka membai’at Najdat dan menyebutnya sebagai Amirul mukminin. Najdah akhirnya terbunuh pada tahun 69 H. 

AL BAIHASIYAH
Yaitu kelompok sempalan dan khawarij yang dikomandoi oleh Abu Baihas Al-Hashimi bin Jabir. Pada pemerintahan Walid, Hajjaj minta untuk menangkapnya, namun ia kabur ke Madinah. Dan Ustman bin Hayyan al-Mazny dipernitah untuk menangkapnya ia pun berhasil ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian Walid menetapkan agar dipotong kedua tangan dan kakinya setelah itu kemudian dibunuh, maka Ustman pun melaksanakannya. 

Abu Baihas Al-Hasbimi berpendapat bahwa : ” Iman adalah orang yang mengetahui setiap yang haq dan yang bathil. Dan sesungguhnya iman adalah ilmu dengan hati tanpa perkataan dan perbuatan”. Dalam arti orang yang beriman itu tidak perlu shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. (al-Milal wan-Nihal 1/125-128) 

AL AJARIDAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung dibawah kepemimpinan Abdul Karim bin Ajarid. Kelompok ini sama saja dengan Najdad dalam kebid’ahanya. Kelompok ini juga berpecah menjadi beberapa kelompok diantaranya adalah :
1. As-Salthiyyah. Mereka adalah para pengikut Utsman bin Abu As-Shalt. Mereka berpendapat bahwa : “Bila seseorang telah masuk Islam maka kita ber wala’ kepadanya dan Bara’ kepada anaknya sampai anaknya baligh dan mau menerima Islam” 

2. AI-Maimuniyah. Mereka adalah para pengikut Maimun bin Khalid, Husain al-Karaabisy di dalam Kitabnya mengatakan :
“Para pengikut Maimun memperbolehkan menikahi cucu dan anak perempuan, serta anak perempuan dari anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan”.

3. AI-Hamziyah. Mereka adalah para pengikut Hamzah bin Adrak, sedangkan Hamzah memperbolehkan ada dua imam dalam satu masa, mana kala tidak bisa berkumpul dalam satu atap atau kesepakatan. 

4. AI-Khalafiyah. Mereka adalah para pengikut Khalaf al Khorijiy, dan mereka menetapkan bahwa anak-anak orang musyrik berada dalam Neraka. 

5. Al-Tharafiyah. Adalah kelompok sempalan yang dipimpin oleh Ghalib bin Syadaak dan Sajastan. 

6. As-Su’aibiyyah. Mereka adalah para pengikut Syu’aib bin Muhammad. Syu’aib berkata : ”Allah menciptakan perbuatan-perbuatan hamba dan hamba mempunyai qudrat dan iradat, yang bertanggungjawab atas kebaikan dan kejekan darinya, serta tidak akan terjadi sesuatu terhadap apa yang ada keculi atas kehendak Allah”.

7. Al-Hamimiyah. Mereka adalah para pengikut Hazm bin Ali. (Al-Milal wan-Nihal 1/128-131)

AL TSA’ALIBAH
Yaitu kelompok khawarij dibawah pimpinan Tsa’labah bin Amir, Ia mengatakan: “Sesungguhnya kita berwala’ kepada anak-anak kecil dan orang besar sampai kita mengetahui mereka mengingkari al-haq dan ridha kepada kebatila”. 


Diantara pecaha-pecahan kelompok ini adalah:
1. A1-Khanasiyah. Mereka para pengikut Akhnas bin Qais, dan berfaham boleh bagi muslimah untuk menikah dengan orang musyrik dan kaum mereka dan pelaku dosa besar. 

2. Al-Ma’badgyyah Mereka adalah para pengikut Ma’bad bin Abdurrahman ia sependapat dengan Akhnaf, yaitu boleh seorang muslimah menikah dengan orang musyrik, serta berbeda pendapat dengan Tsa’labah dalam menghukumi orang yang mengambil zakat dari hambanya.

3. As-Saibaniyyah. Mereka adalah para shahabat Syaiban bin Maslamah dan mereka sama dengan Jahm bin Shafwan dalam masalah Jabr (manusia seperti wayang), mereka menafikan Qudrat. 

4. Al-Mukramiyyah Mereka adalah para pengikut Mukram bin Abdullah A1-Ajliy, mereka berpendapat bahwa :“orang yang meninggalkan shalat adalah kafir selama niatnya bukan untuk mengingkarinya, tetapi karena kebodohannya kepada tuhannya”.

5. Al-Ma’lumiyyah. Mereka berpendapat bahwa: “Siapa yang tidak mengetahui Allah dengan segala nama dan sifat-sifatnya, maka dia adalah orang bodoh terhadap Allah. Dia baru bisa dikatakan sdebagai seorang mukmin apabila dia telah mengetahui itu semua dan mereka berkata:”Taat itu bersamaan dengan perbuatan dan perbuatan mahluk itu milik hamba”. 

6. Al-Mahjuliyyah. Mereka berpendapat bahwa : “ siapa yang mengetahui sebagian nama dan sifat-sifat Allah serta bodoh terhadap sebagian yang lainnya, maka dia telah mengetahui Allah”. mereka berpendapat pula bahwa “perbuatan manusia atau adalah mahluk”. 

7. Al-Bid’ahiyyah. Adalah pengikut yahya bin Asdam, mereka mengatakan :“Barangsiapa berkeyakinan seperti keyakinannya, maka dia adalah Ahlul Jannah, dan tidak mengatakan “Insya’ Allah” kerena itu adalah keraguan di dalam aqidah dan barangsiapa berkata: Saya seorang mukmin Insya’ Allah’ maka adalah orang yang ragu, sedangkan kita mutlak Ahiul Jannah” .A1-Milal wan-Nihal 1/131-134) 

AL IBADLIYAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung di bawah kepemimpinan Abdullah bin Ibadl Al-Maqaisi dan kalangan Bani Murrah bin Ubaid bin Tamim. Mereka merupakan kelompok khawarij moderat, mereka tidak mau disebut alirannya sebagai khawarij karena mereka mengganggap bahwa diri mereka sebagai sebuah Madzhab Fiqih yang sunny. Mereka menilai bahwa dirinya adalah sejajar dengan para madzab terkemuka seperti Madzhab Empat. 

Salah seorang tokohnya yang paling terkenal adalah Jabir bin Zaid (21-96 H) dia dipandang sebagai pengumpul dan penulis hadist, ia menimba ilmu dari Abdullah bin Abbas, Aisah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar dan para shahabat lainnya. 

Abu Ubaidah Maslamah bin Abu Karimah adalah salah seorang muridnya yang merupakan marja’ kedua dari Firqah ibadhiyah, yang terkenal dengan Al-Qaffa’. 

Sedangkan imam-imamnya yang berada di Afrika Utara pada masa daulah Abbasiyyah, diantaranya adalah : Harist bin Talid, Abdullah bin Khattab bin Abdul A’la bin Samih Al-Ma’anifiyyi, Abu Hatim Ya’kub bin Habib dan Hatim al-Malzuzi. Adapun yang termasuk ulama-ulama mereka diantananya adalah :
1. Salman bin Sa’ad. Yaitu orang yang menyebarkan Faham Ibadhiyah di Afrika pada awal Abad ke II Hijriyyah.

2. Ibnu Muqthir Al-Janawini. Yaitu orang yang menuntut ilmu di Bashrah dan kembali ke kampungnya Jabal Nufus Libiya kemudian menyebarkan fahamnya di sana. 

3. Abdul Jabar bin Qais al-Mahdhi. Yaitu salah seorang hakim di saat Harits bin Talid menjadi imam.
4. Samih Abu Thalib. Yaitu salah seorang ulama’ Ibadhiyyah yang hidup pada pertengahan Abad ke II Hijriyyah, tinggal di Jabal Nufus. 

5. Abu Dzar Aban bin Nasim. adalah salah seorang ulama’ ibadhiyah yang hidup pada pertengahan abad ke III Hijriyah dan bertempat tinggal di Tripoli. (Lihat Al-Milal wan-Nihal
1/134-136) 

AS-SHUFRIYAH AL-ZIYADIYYAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung dibawah payung Ziyad bin Al-Ashfar dan lain-lain.

Tabir Wanita