Tanya : Menurut tradisi kaum Sunni berdoa dan berziarah kubur harus diawali terlebih dahulu dengan tawassul seperti “Ibadallah, rijalallah aghitsuna liajlillah dan yarabbi bil musthafa baligh maqashidana.”
1. Apa dan bagaimana pengertian, tujuan dan manfaat tawassul ?
2. Bagaimana tawassul yang benar supaya terhindar dari kemusyrikan ?
3. Tawassul tidak sampai pada ahli kubur, benarkah ?
(Hadi Ismanto, Universitas Brawijaya Malang)
1. Apa dan bagaimana pengertian, tujuan dan manfaat tawassul ?
2. Bagaimana tawassul yang benar supaya terhindar dari kemusyrikan ?
3. Tawassul tidak sampai pada ahli kubur, benarkah ?
(Hadi Ismanto, Universitas Brawijaya Malang)
Jawab : Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang, karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah toh tidak ada salahnya mengulang kembali.
Thwassul berasal dan kata wasala-waslan-wasilatan atau tawassulan yang berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al Maidah : 35)
Jadi tawassul atau perantara adalah mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam Mufradat Alfazhi Al-Quran, 560, Mu’jam Al-Washit. II, 32)
Bagaimana tawassul yang benar ? Mari kita telusuri. Kita ingat Ayat :
Artinya : “Mereka berkata, “Wahal ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 97)
Inilah salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putera-putera Nabi Ya’qub) datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alasan tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Swt.
Kita kaji lagi ayat yang lain sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64)
Dari sini seolah-olah Allah menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan kekasih-kekasih Allah Swt. dalam hal ini Rasul. Demikian pula perwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan memohon agar berkenan berdoa untuk mereka.
Kedua ayat ini secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup maupun sudah mati yang mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai oleh Allah. Kepada mereka, Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.
Karena posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan kita untuk ta’zhim, hormat dan mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin Sayyidina Umar Ibn Khaththab pernah bertawassul kepada Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian berdoa :
Artinya : “Wahai Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan. Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman nabi berikanlah kami hujan. Kemudian turunlah hujan.” (Minhaj Al-Yaqin, 19).
Dengan demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang ditawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan Allah kepada mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di atas Allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikianlah cara tawassul yang benar.
Sekarang bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan ? Man kita bandingkan.
Saya teringat sebuah ayat berikut ini :
Artinya : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar : 3)
Ayat di atas adalah potongan perkataan orang-orang musyrik yang membolehkan penyembahan herhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya Allah-lah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patut disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah berada di luar koridor tauhid dengan mensejajarkan Allah dan berhala dalam hal ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Makkah memaki berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir, kemudian turun ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. A1-An’am: 108)
Dari ayat itu bisa dilihat betapa orang kafir menempatkan berhala mereka jauh di atas Allah Rabb A1-’Alamin dan menganggap barhala-berhala itu memberikan manfaat dan madharat.
Adapun untuk pertanyaan yang ketiga, sampaikah tawassul (dengan bacaan bacaan tahlil atau Al-Quran) kepada ahli kubur ? Imam Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Quran sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’ Li A1-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan Al-Quran kepada ahli kubur boleh dan pahalanva pun sampai kepada mereka. Pahala yang sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang diniatkan untuk mereka.