Tanya : Apakah hukumnya menonton film porno atau blue film (BF)? (Bu Titi, Semarang)
Jawab : Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Teknologi sangat tergantung pada bagaimana cara menggunakannya. Selain dapat digunakan untuk kebaikan, dapat juga untuk kejelekan. Salah satu gejala yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah makin mudah akses terhadap perangkat maupun alat hiburan yang tidak layak dilihat.
Manusia oleh Allah Swt. dilengkapi dengan 3 (tiga) potensi, al-quwa al-a qliya (daya intelektual), al-quwa al-syahwiyah (nafsu, syahwat), al-quwa al-ghadhabiah (emosi).
Karena nafsu, manusia tertarik kepada lawan jenisnya. Sifat ini adalah alamiah dan sesuai dengan kodratnya. Karenanya nafsu tidak harus dihilangkan secara total. Sebab hal itu tidak mungkin. Dan sama dengan makhluk hidup lainnya, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan di muka bumi ini. Dan ini dapat dilakukan dengan kecenderungan untuk tertarik dengan lawan jenis tersebut.
Bisa kita bayangkan kalau manusia tidak mempunyai nafsu untuk makan dan minum maupun keinginan s*ksual, niscaya sudah lama punah atau mati, dan tidak lagi berkembang biak seperti sekarang.
Namun nafsu (s*ksual) tidak lantas boleh dipuaskan sesuka hati, apalagi dengan perilaku s*ks bebas. Sebab dampak yang diakibatkan dan s*ks menyimpang itu tidak kalah negatif.
Untuk menghindari semua itu, Islam mengambil jalan tengah dan mengatur cara penyaluran kebutuhan biologis tersebut sedemikian rupa lewat lembaga pernikahan.
Pernikahan dianjurkan, bahkan terkadang wajib dan termasuk sunah nabi. Sebaliknya, sistem kependetaan (rahbaniyah) yang menganulir kebutuhan biologis tersebut sangat dikecam dan dilarang. Demikian pula mengumbar hawa nafsu tanpa aturan dan ikatan yang jelas (zina) juga merupakan hal yang diharamkan agama.
Status hukum zina, semua kaum muslimin sudah maklum yaitu haram. Keharaman zina termasuk al-ma‘lum min ad-din bi adh-dharurah, suatu hal yang sangat jelas dan gamblang dalam agama.
Sehingga, bila ada yang mengingkari kenyataan ini bisa berakibat fatal. Sebab secara tidak langsung hal ini berarti mengingkari pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis atau ajaran yang dibawa Rasulullah Saw.
Hanya yang sering kurang dipahami, pengharaman zina itu tidak terbatas pada melakukan zina secara langsung, melainkan menetapkan hal-hal yang bisa menjerat atau mendorong orang ke arah perzinahan (muqaddimah az-zina).
Menarik sekali ketika Al-Quran melarang zina. Redaksi yang dipakai, “janganlah kalian semua mendekatinya,” sebagaimana termaktul, dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al sra’: 32)
Jadi, bukan “janganlah melakukan zina.”. Dengan demikian yang diharamkan dalam ayat tersebut bukan hanya zina, melainkan juga mendekatinya.
Pengharaman mendekati zina secara otomatis (al-mahfum bi al-aula) membawa konsekuensi pengharaman zina.
Perbuatan-perbuatan yang potensial mendekatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina, jumlahnya banyak sekali. Misalnya melihat aurat orang lain (bukan istrinya) atau berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Termasuk di dalamnya melihat sesuatu yang mer*ngsang nafsu birahinya, di antaranya film p*rno (blue film atau film biru).
Dalam satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, sebagaimana termaktub dalam kitab Jawahir Al-Bukhari dinyatakan, melihat sesuatu yang membangkitkan gairah (an nazhar bi syahwah) dinamakan zina (zina mata) dan hukumnya haram. Menurut sebagian ulama, adanya pelarangan itu karena pandangan tersebut dapat mendorong seseorang untuk melakukan zina yang sesungguhnya.
Dalam fikih ada kaidah adz-dzarai, yang intinya adalah hukum suatu perbuatan itu terkait erat dengan akibat lanjutannya. Memang tidak selamanya melakukan perkara yang mendekati zina pasti akan berakibat pada perzinaan. Begitu pula tidak semua orang yang zina diawali dengan tindakan yang menjurus ke arah itu.
Dalam konteks ini, yang dititik beratkan adalah sikap kehati-hatian, dan langkah-langkah yang bersifat preventif atau pencegahan. Karena pada umumnya, satu kejadian itu ada proses dan tahapan-tahapan yang mendahuluinya, di samping situasi yang memang kondusif.
Begitu pula dengan zina. Dalam kenyataannya tidak secara tiba-tiba seseorang ingin melakukan tindakan asusila itu. Kebanyakan ada rangs*ngan-rangs*ngan (stimulus) yang datang dari dalam atau dari luar dirinya.
Perlu juga disadari, manusia itu bermacam-macam. Di satu pihak ada yang memiliki nafsu besar, ada pula yang sedang, dan ada pula yang kecil. Di pihak lain, ada yang mampu mengendalikan nafsunya dan ada yang justru sebaliknya.
Yang jelas, bila nafsu sudah bergejolak dan membara, akan makin sulit dihindari. Kalau boleh diibaratkan dengan api yang membara, maka sangat sulit untuk dipadamkan.
Karena itu, termasuk kebaikan tertinggi adalah sikap mujahadah an-nafsi, yaitu memerangi hawa nafsu. Bahkan, lebih berat daripada perang secara fisik. Sebab nafsu tidak terlihat menyatu di depan mata kita dan tidak pernah mati. Sedangkan mujahadah an-nafsi akan makin mudah bila kita tidak membangun nafsu itu sendiri.
Sebaliknya, akan makin sulit, bahkan mungkin menjadi tak terbendung lagi, jika nafsu telah demikian membara, sehingga membutakan akal pikiran dan kesadaran kita. Apalagi jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa yang kuat serta pemahaman ajaran agama secara memadai, maka kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang nantinya akan menjadi aib ini semakin menjadi-jadi.
Akibat negatif film-film p*rno, sudah sering dimuat di media rnassa. Ada anak kedil yang masih duduk di bangku SD melakukan hubungan s*ksual setelah melihat film tersebut. Itu hanya salah satu contoh kasus, dan yang lain tentunya masih banyak.
Berangkat dari semua itu, hendaknya semua pihak menaruh kepedulian terhadap merebaknya film-film yang tidak layak ini. Masing-masing pihak sesuai kemampuan, wewenang dan tugasnya hendaknya diharapkan perannya untuk menanggulangi dampak buruk dari hal tersebut. Keluarga, masyarakat, sekolah dan aparat pemerintah serta keamanan, semua berkewajiban menanggulangi dekadensi moral khususnya perzinaan, yang salah satu faktor penyebabnya adalah merebaknya p*rnografi dalam berbagai bentuk.