Tanya : Apakah zuhud itu? Benarkah zuhud identik dengan sikap membenci dunia ?
Jawab : Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat. Bahkan hanya manusia saja yang mau menerima tugas dan tanggung jawab ini, sedangkan yang lainnya menolak. Dalam Al-Quran ditegaskan bagaimana makhluk-makhluk lain selain manusia tidak sanggup untuk memikul tugas berat tersebut. Perhatikan firman Allah surat A1-Ahzab, 72 berikut ini :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.” (QS. A1-Ahzab: 72)
Oleh karena itu, Allah memberi manusia suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain yaitu kemampuan berpikir (quwah nazhariah) di samping memberi kemampuan fisik (quwah amaliah) seperti yang diberikan kepada makhluk makhluk Allah yang lain. Hal itu dimaksudkan untuk membantu manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Demikian pula dengan anugerah tersebut manusia dalam kesehariannya dapat mengambil susuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain serta mampu mencegah susuatu yang bisa berakibat buruk atau yang memberikan mudharat bagi dirinya dan orang lain. Sedangkan dengan kemampuan fisik yang dimiliki manusia dapat berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tugas manusia sebagai khalifah adalah untuk beribadah, baik itu ibadah yang sifatnya individual maupun sosial. Jadi, semua tindakan yang dilakukan manusia baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun kaitannya dengan orang lain hanya diarahkan untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat, 56 sebagai berikut :
Artinya : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56)
Selain itu, manusia juga mempunyai tanggung jawab untuk imarah al-ardhi (membangun bumi) bukan sebaliknya, merusaknya hanya untuk kepentingan-kepentingan duniawi atau memenuhi keinginan hawa nafsu.
Pada sisi lain, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Kenyataan itulah yang menyebabkan manusia mau bekerja dan berikhtiar untuk menutupi kebutuhan hidup.
Bekerja dan berikhtiar mencari biaya untuk hidup bukan berarti mencerminkan sikap senang kepada harta benda (dunia), tetapi hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan aktivitas itu manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk dengan baik yaitu beribadah.
Dalani konteks seperti ini bekerja dan berikhtiar menjadi sesuatu yang wajib, karena beribadah adalah wajib. Sedangkan tanpa bekerja dan berikhtiar pada umumnya manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqih “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu tersebut maka sesuatu tadi menjadi wajib.
Pengertian zuhud menurut sayid Abu Bakar dalam kitabnya Kifayah Al-Atqiya’ sebenarnya tidak beda jauh dengan gambaran di atas, yaitu :
Artinya : “Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda dan bukan tidak punya harta benda.”
Sedangkan menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang bisa melupakan kita kepada Allah. (Ar-Risalah A1-Qusyainyah; 117).
Pendapat lain mengatakan bahwa zuhud adalah “tarku addunya bi al-kuliyah: meninggalkan dunia sepenuhnya. Ada juga yang mengatakan zahid (orang yang zuhud) adalah seseorang yang menyibukkan dirinya dengan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan kesibukannya terhadap selain-Nya. (Al-Mu’jam Al-Falsafi; 142). Bahkan ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia seperti tidak ada dunia. (Risalah Al-Qusyairiyah; 116).
Perbedaan pengertian zuhud antara seseorang dan lainnya di atas sebenarnya berangkat dari perbedaan maqam atau tingkatan masing-masing dalam tasawuf. Ada yang ketika telah mencapai maqam tertentu seseorang hanya tsiqah bi Allah (percaya kepada Allah) dan berserah diri secara total (tanpa ikhtiar dan tidak mengharap selain Allah). Hal itu tercermin dari tiga definisi akhir tentang zuhud.
Tapi dilihat dari dua pengertian zuhud sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa zuhud bukanlah berarti benci kepada dunia atau tidak punya harta benda. Tetapi zuhud adalah menghilangkan ketergantungan hati terhadap selain Allah (harta benda dan lain-lain).
Jadi, zahid sebenarnya bukanlah seseorang itu tidak punya harta benda sama sekali. Meskipun dia punya harta benda banyak tetapi jika hatinya hanya bergantung kepada Allah, tidak kepada yang lain dapat dikategorikan zahid. Dan sebaliknya, walaupun seseorang tidak memiliki harta tetapi jika hatinya tidak bisa lepas dari dunia dan selalu mengharap pemberian orang lain, maka dia bukanlah zahid.
Secara umum kita semua memang membutuhkan harta benda untuk menjaga kelangsungan hidup. Tetapi hal itu jangan dijadikan alasan untuk menghabiskan seluruh waktu hanya untuk bekerja dengan melupakan kewajiban-kewajiban sebagai makhluk hidup.
Tujuan hidup manusia bukan hanya sekedar untuk mencari dan menumpuk harta benda, tetapi mencari kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatu ad-daraini). Dunia hanyalah sebagai tempat menanam (mazra’ah) dengan melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya.
Harta benda hanyalah bagian dari dunia yang hanya sedikit nilainya dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi (wa al-akhiratu khairun laka min al-ula).