Saturday, 8 October 2016

Bagaimana Tata Cara Berziarah Ke Makam Rasulullah SAW ?

tata cara ber ziarah

Tanya : Saya pernah mendengar informasi pada saat berhaji. sebisa mungkin menyempatkan diri berziarah kemakam Rasulullah. Pertanyaan saya, bagaimanakah caranya dan apa saja yang sebaiknya saya kerjakan pada saat itu ? (Amir, Pati)

Jawab : Sebagai umat Islam, wajib hukumnya mengikuti ajaran Rasulullah Saw. sekaligus menghormati dan mencintainya. Berdasarkan sebuah hadis iman seseorang belum dianggap sempurna sehingga rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap keduà orang tua, anak, istri, dan semua makhluk.

Rasa cinta dan hormat kepada Rasulullah dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Salah satunya ialah berziarah ke makam beliau. Menurut pendapat ulama, berziarah makam tersebut adalah salah satu ibadah yang paling utama, lebih-lebih bagi jamaah haji.

Karena itu, mumpung ada kesempatan, tiap jamaah haji hendaknya menyempatkan diri berziarah ke makam Rasulullah Saw. di Madinah, tepatnya di Masjid Nabawi.

Dalam kitab Al-Futuhat Ar-Rahhaniyah diterangkan. orang yang mau berziarah dijanjikan oleh Rasulullah mendapat syafaat pada hari kemudian. Pada sisi lain, berdasarkan satu hadis, berhaji tanpa berziarah dianggap tidak etis.

Memang, ada pendapat yang melarang brziarah ke makam Rasulullah dengan berpijak pada sebuah hadis, yakni :
Artinya : “Tidak (boleh) diberangkatkan kendaraan kecuali ke tiga masjid-masjidku ini. Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha” 

Tapi oleh ulama, pendapat larangan pergi berziarah ke makam Rasulullah berdasarkan hadis itu dianggap tidak tepat. Menurut pendapat mereka, hadis itu sama sekali tidak menyinggung, baik secara tersurat maupun tersirat tentang larangan dimaksud.

Di samping mengaitkan larangan ziarah dengan hadis tersebut, tidak dapat dibenarkan dari segi tata bahasa, juga bertentangan dengan dalil-dalil lain. Misalnya, Rasulullah bersabda, “Aku pernah melarang kalian semua lberziarah ke kuburan, (tetapi sekarang) berziarahah, karena hal itu bisa mengingatkan pada akhirat”. Hadis itu secara umum menganjurkan berziarah untuk beri’tibar bahwa pada akhirnya semua manusia akan kembali ke tanah dan di bangkitkan lagi di akhirat kelak.

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Barang siapa herziarah ketika aku wafat, maka sama saja berziarah ketika aku masih hidup”. (Manhaj As-Salaf fi Fahm An-Nushus bain An Nadhariyah wa At-Tathbiq, 74).

Lalu bagaimanakah caranya ? Karena pentingnya masalah tersebut, banyak ulama dalam kitab-kitabnya menjelaskan tata cara ziarah ke makam Rasulullah. Salah satunya adalah Imam Nawawi, pengarang kitab Al-Adzkar. Dalam kitab itu, terdapat satu pasal khusus tentang adab berziarah, beserta doa/dzikir yang perlu diucapkan.

Imam Nawawi mengatakan, ketika berziarah di tengah perjalanan, sebaiknya yang bersangkutan membaca shalawat Setelah kota Madinah tampak oleh mata, pembacaan salawat lebih diperbanyak, seraya memohon kepada Allah supaya ziarahnya membawa manfaat pada dirinya dengan berdoa :


Setiba di masjid Nabawi, hendaknya salat sunat tahiyat masjid, kemudian menuju ke makam Rasulullah, lalu duduk/ berdiri membelakangi kiblat menghadap ke makam dalam jarak kurang lebih empat hasta. Selanjutnya, mengucapan salam kepada Rasulullah dengan suara sedang (tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan) serta khusyu’, seakan-akan betul-betul berhadapan dengan beliau secara langsung dengan mengucapkan :


Selanjutnya, menghadap ke kanan untuk mengucapkan salam kepada khalifah pertama SayyidinaAbu Bakar dan disusul khalifah kedua Sayyidina Umar bin Khaththab, karena makam keduanya berdampingan dengan makam Rasulullah.

Jika dirasa terlalu panjang, boleh juga disingkat, misalnya seperti yang dilakukan sahabat Ibnu Umar, yakni :

Setelah mengucapkan kepada dua khalifah, kembali ke posisi semula menghadap makam Rasulullah guna bertawassul, meminta syafaat, dan memperbanyak bacaan shalawat dan dzikir.

Antara makam dan mimbar masjid terletak Raudhah, salah satu tempat yang sangat mustajab untuk berdoa, karena itu sebelum meninggalkan masjid, setelah ziarah sebaiknya berdoa dulu di Raudhah dalam urusan duniawi dan ukhrawi.

Balasan Itu Tergantung Perbuatanmu (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Malaikat Jibril datang menemui Nabi dan berkata, Wahai Rasulullah saw., Khadijah akan datang membawa nampan yang berisi makanan dan minuman. Jika dia datang, sampaikan kepadanya salam dari Tuhannya dan dariku. Juga beri dia kabar gembira bahwa untuknya telah disiapkan sebuah rumah yang terbuat dari emas. Tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di sana.” 

Mari kita sejenak mencari tahu mengapa berita gembira itu berupa rumah yang terbuat dari emas? Mengapa harus disebutkan secara eksplisit bahwa rumah itu terbuat dari emas? 


Ibnu Hajar menjelaskan, “Kata ‘Qashab’ dengan memfathahkan huruf ‘qaf’, menurut Ibnut-Tin maksudnya adalah perhiasan yang terhampar luas sehingga membentuk seperti sebuah istana. Sedangkan menurut Ath Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari jalur periwayatan yang lain, dari Ibnu Abi Aufa, maksudnva adalah emas dari jenis perhiasan. Sementara dalam kitab Al-Kabir dari hadits Abu Hurairah disebutkan, ‘Sebuah rumah yang terbuat dari perhiasan yang terhampar.’ 

Asalnya adalah dalam kitab Sahih Muslim, dan di kitab Al-Ausath, dari hadits Fathimah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. ‘Wahai Rasulullah, di mana ibuku Khadijah?’ Beliau menjawab, ‘Di rumah yang terbuat dari emas’. 

Aku bertanya lagi, ‘Apakah dari emas ini?’ Jawab beliau, ‘ Tidak, tapi dari emas yang tersusun dengan batu mutiara dan perhiasan intan permata’. 

As-Suhaili mengatakan, “Penekanan dalam hadits tersebut adalah pada kata ‘terbuat dari ‘qashab’ (emas)’ dan tidak dikatakan ‘terbuat dari lu’lu’ (perhiasan)’. Kata ‘qashab’ lebih sesuai dengan kedudukan Khadijah yang telah berhasil meraih emas dari perlombaan karena dia menyegerakan diri dalam beriman kepada risalah Rasulullah saw. Dengan demikian, penggunaan istilah qashab itu sangatlah sesuai dan tepat.” 

Di samping itu, ‘qashab’ juga berarti tumbuh-tumbuhan yang berbuku-buku seperti tebu dan bambu. Pada pengertian ini juga terdapat kesesuaian dari segi kestabilan setiap bukunya. Begitu juga halnya dengan Khadijah yang memiliki kestabilan. Sebab, dia selalu menjaga diri untuk berusaha meraih keridhaan Rasulullah saw. dengan cara apa pun. Dia tidak pernah sekalipun melakukan tindakan yang dapat memancing kemarahan beliau. 

Adapun perkataannya: “di rumah”, Abu Bakar Al-Iskaf menjelaskan dalam kitab Fawaid Al-A khbar bahwa yang dimaksud adalah rumah yang disiapkan untuknya sebagai balasan atas perbuatannya. Maka, disebutkan juga di sana, “Tidak ada kelelahan di sana.” Maksudnya, dengan adanya rumah itu dia tidak akan merasakan lelah. 

As-Suhaili menjelaskan, “Penyebutan rumah memiliki pengertian yang halus karena Khadijah adalah ibu rumah tangga pertama yang mengurus rumah yang seluruh penghuninya telah masuk Islam. Pada awal kernunculan Islam, tidak ada satu rumah pun yang seluruh penghuninya muslim selain rumah Khadijah. Sebuah keutamaan lagi yang dimiliki oleh Khadijah dan tidak ada yang menyamainya.” 

Balasan kebaikan memang biasanya disebutkan dengan lafalnya meski balasan yang sebenarnya jauh lebih baik dari yang disebutkan itu. Oleh karena itu, disebutkan di dalam hadits dengan kata “rumah” bukan “istana”. 

Sementara Al-Manawi mengatakan, “Rumah di sini maksudnya adalah istana. Penamam tersebut telah biasa digunakan di kalangan orang Arab. Balasan itu mesti sesuai dengan jenis amal, sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di sana”. 

As-Suhaili berkata lagi, “Hubungan peniadaan kedua hal itu, yaitu kegaduhan dan kelelahan adalah ketika Rasulullah saw. menyeru manusia untuk masuk Islam, Khadijah langsung menjawab seruan itu dengan penuh ketaatan tanpa ada penolakan dengan suara tinggi dan tidak ada kelelahan yang dirasakan Rasulullah saw. dalam hal itu. 

Bahkan, dengan adanya sikap Khadijah itu hilanglah kelelahan dari diri Rasulullah saw. Khadijah telah membuat Rasulullah saw. merasa tenang dan memperoleh kemudahan. Dengan demikian, sangatlah sesuai jika tempat tinggal yang dijanjikan untuk Khadijah oleh Tuhannya memiliki sifat seperti di atas.” 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Tahun Duka Cita (Biografi Khadijah ra.)

Allah SWT Menyampaikan Salam Kepada Khadijah ra. (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Diriwayatkan dari Anas, “Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah saw. yang waktu itu sedang bersama Khadijah. Jibril lalu berkata, “Sesungguhnya, Allah menyampaikan salam kepada Khadijah.” Khadijah menjawab, “Sesungguhnya, Allahlah sumber salam (keselamatan) Salam untuk Jibril dan salam untuk engkau (Rasulullah saw.) dan rahmat serta berkah Allah semoga dilimpahkan kepadamu.”


Sungguh, seorang tbu yang memahami agama dengan baik, cerdas, dan berakhlak mulia serta hidup di rumah Rasulullah saw.; yang padanya terkumpul berbagai macam keutamaan dan sifat-sifat baik dan mulia. 

Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya, kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam [68]: 4

Biografi selanjutnya dapat dibaca pada postingan yang berjudul : Balasan Itu Tergantung Perbuatanmu (Biografi Khadijah ra.)

Lembaran Keputusan Yang Zalim Dan Pemboikotan Umum (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Imam Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi Asy-Syami berkata, ‘Al-Aswad, Az-Zuhri, Musa bin Uqbah, dari Ibnu Ishaq menceritakan :
“Waktu itu kaum musyrikin Quraisy telah mengetahui bahwa beberapa sahabat Rasulullah saw. telah pergi ke suatu negeri, yaitu Habasyah dan memperoleh keamanan dan ketenteraman di sana. Di saat yang sama Raja Najasyi, Raja di negeri Hahasyab itu melarang setiap orang yang datang ke sana dari kalangan kaum musyrikin. 


Sementara itu, Umar bin Khaththab telah masuk Islam. Dia adalah seorang pemberani yang tidak pernah merasa takut kepada siapa pun sehingga para sahabat Rasulullah saw. selalu meminta tolong kepadanya dan kepada Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi saw. yang telah masuk Islam terlebih dahulu. Dengan kondisi ini, kaum musyrikin Quraisy tidak dapat berbuat apa-apa lagi terhadap mereka. 

Umar dan Hamzah bersama-sama Rasulullah saw. dan para sahabat beliau mulai menyebarkan Islam ke tengah-tengah berbagai kabilah yang ada di sana. Melihat hal itu kaum musyrikin Quraisy bersepakat untuk membunuh Rasulullah saw. dan berkata, “Dia telah merusak anak-anak dan istri kita.” Lalu mereka berkata kepada kaum Rasulullah saw. 

Ambillah diyat (bayaran yang diberikan oleh pembunuh kepada keluarga atau suku orang yang dibunuhnya) yang berlipat ganda dari kami dan hendaklah seseorang dari selain suku Quraisy membunuhnya agar hati kalian menjadi tenteram. Namun kaum Rasulullah saw., yaitu Bani Hasyim menolak hal tersehut, terutama Bani Abdul Muththalib bin Abdu Manaf.” 

Ketika kaum musyrikin Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah mendapat pembelaan dari kaumnya. Mereka sepakat untuk mengusir beliau dan kaumnya dari Mekah dan menulis sebuah keputusan yang memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib bahwa mereka tidak akan menikahi gadis-gadisnya. Juga tidak akan menikahkan gadis-gadis mereka kepada anggota kabilah Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Mereka juga tidak akan melakukan jual-beli, tidak menerirna perjanjian damai, dan tidak akan mengasihani Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib sampai mereka menyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh. 

Ketika keputusan tersebut mereka sepakati, maka ditulislah di sebuah lembaran, kemudian smua kabilah berjanji untuk menepati keputusan tersebut. Lembaran keputusan itu ditempel di dinding Ka’bah untuk memantapkan hati mereka. Sejak saat itu, para kabilah itu memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan jual-beli di pasar-pasar. Bahkan, setiap kali datang bahan makanan, lauk-pauk, dan barang dagangan yang lain, mereka langsung memborong habis semuanya dan tidak menyisakan sedikit pun untuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. 

Mendapat perlakuan seperti itu dari kaum Quraisy, mengadulah mereka kepada Abu Thalib. Semua mendatanginya, baik dari kalangan mukmin maupun kafir. Namun, Abu Lahab menyatakan keluar dari Bani Hasyim dan bergabung dengan kaum Quraisy. 

Pemboikotan semakin menjadi, termasuk pemboikotan terhadap bahan makanan. Setiap kali ada bahan makanan yang masuk ke Mekah, langsung diborong habis dan tidak pernah disisakan untuk dapat dibeli oleh Bani Hasyim dan Bani Ahdul Muththalib. Mereka pun dilanda kelaparan hebat yang membuat mereka mulai memakan daun-daunan dan kulit binatang. 

Terdengar rintihan kelaparan anak-anak dan kaum wanita dari balik kemah mereka. Mereka tidak dapat keluar dari kemah untuk membeli keperluan mereka, kecuali pada bulan-bulan haram. Itu pun mereka beli barang dagangan yang kembali ke Mekah setelah tidak laku dijual di luar kota Mekah. Meski demikian, orang-orang Mekah tetap menjualnya dengan harga yang tinggi sehingga mereka pun tidak sanggup membelinya. 

Waktu itu Hakim bin Hazam adalah orang yang selalu mensuplai gandum kepada bibinya, Khadijah ra. Pernah suatu ketika, dia dipergoki oleh Abu Jahal, lalu dihalang-halangi jalannya. Beruntung ada Abul Bakhtani yang menolongnya hingga dia dapat mengantar gandum ke rumah bibinya itu. 

Abu Thalib sangat mengkhawatirkan Rasulullah saw. Setiap kali malam menjelang dan orang-orang sudah berangkat ke pembaringannya, dia menyuruh Rasulullah saw. untuk tidur di tempat tidur miliknya supaya dia bisa melihat orang-orang yang berniat jahat kepadanya. jika semua orang sudah tidur, dia menyuruh salah satu anaknya atau saudaranya atau keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah saw. dan menyuruh Rasulullah saw. tidur di tempat tidur orang itu. 

Sementara itu, Rasulullah saw. dan kaum muslimin keluar pada setiap musim pasar untuk menemui orang-orang yang berdatangan ke Mekah dan mengajak mereka untuk masuk Islam. 

Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan, “Kemudian beberapa kaum dari suku Quraisy berupaya membatalkan keputusan yang tertera di lembaran tersebut. Orang yang memprakarsai hal itu adalah Hisyam bin Amr bin Rabi’ah bin Al-Harits bin Habib bin Jadzimah bin Malik bin Hasal bin Amir bin Lu’ay. Dia pergi ke Muth’im bin Adi dan sekelompok orang Quraisy untuk menceritakan maksudnya itu, maka mereka pun menanggapi usulan itu dengan tanggapan yang positif. 

Pada saat yang sama Rasulullah saw. memberitahukan kepada kaumnya bahwa Allah swt. telah mengirimkan serangga ke lembaran keputusan itu dan memakan semuanya hingga hanya tersisa bagian yang bertuliskan nama Allah swt. Dengan demikian, kembalilah Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib ke Mekah dan terjadilah perdamaian meski Abu Jahal dan Amr bin Hisyam tidak menyetujuinya. 

Selama pemboikotan terjadi, ibu kita Khadijah ra. senantiasa memberikan dukungan kepada Rasulullah saw. dan ikut menanggung beban atas perilaku kaumnya dengan hati yang sabar. Hingga akhirnya Allah swt. menetapkan ketentuan-Nya dan mengakhiri pemboikotan yang zalim dan menyakitkan, bagaikan pedang yang ditempelkan ke leher-leher orang yang diboikot yang mengimani risalah Muhammad saw. 

Ketika drama pemboikotan berakhir, keluarlah sang wanita suci, Khadijah Ummul Mu’minin ra. dari tempat pemboikotan dengan hati yang luar biasa senang, buah dari kesabarannya untuk terus mengikuti jejak dakwah Rasulullah saw. Seorang istri yang tepercaya; yang berlindung di bawah lindungan keimanan yang hakiki dan kesabaran yang luar biasa. 

Atas keteguhan hati kaum muslimin dalam menghadapi berbagai situasi sulit dan menakutkan itu, Allah mengangkat derajat mereka di akhirat nanti dan menjadikan mereka pemimpin di dunia. Itulah balasan bagi orang yang bersabar dan bersyukur. 

Allah membalas mereka dengan surga yang kekal atas kesabaran mereka menghadapi cobaan. Sebuah ganjaran yang tak ada tandingannya. 

Biografi selanjutnya bisa dilihat pada postingan berjudul :  Allah SWT Menyampaikan Salam Kepada Khadijah ra.

Friday, 7 October 2016

Diliputi Kesedihan Dan Kisah Hijrah Ke Habasyah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Ketika gangguan kaum musyrikin terhadap kelompok muwahhidin (yang telah menerima tauhid atau telah masuk Islam) semakin menjadi-jadi dari hari ke hari, Rasulullah saw. mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah. 

Pada awalnya, tekanan yang datang di pertengahan dan akhir tahun keempat kenabian tidak terlalu kuat. Tapi seiring perubahan waktu, tekanan tersebut semakin menjadi-jadi dan puncaknya adalah di pertengahan tahun kelima kenabian. Tidak ada lagi tempat untuk menghindar di Mekah dan kaum muslimin kehabisan akal untuk menghentikan berbagai tekanan tersebut. 


Pada saat keadaan mereka terjepit, turunlah beberapa surat yang berisi tiga kisab, di dalamnya terdapat isyarat dari Allah swt. bagi hamba-Nya yang beriman. Kisah yang pertama adalah kisah Ashabul-Kahfi yang mengandung isyarat tentang hijrah dari tempat kekafiran dan penuh permusuhan ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah terhadap agama dan akidah, seraya tawakkal kepada Allah swt.
Allah swt. berfirman, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” 

Lalu, kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa yang mengisyaratkan bahwa segala sesuatu itu tidak selalu seperti yang tampak di permukaan, tapi bisa jadi kejadian yang sesungguhnya, adalah kebalikan dari yang tampak itu. 

Dalam kisah tersebut terdapat isyarat yang halus bahwa rongrongan dan serangan yang dilancarkan terhadap kaum muslimin akan berbalik seratus delapan puluh derajat sehingga kaum musyrikin yang tidak mau beriman akan terkalahkan dan tidak berkutik di hadapan kaum yang dianggap lemah itu. 

Kisah yang ketiga adalah kisah tentang Zulkarnain yang memberikan pelajaran bahwa dunia ini hanya diwariskan oleh Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dan kemenangan itu hanya akan diperoleh di jalan keimanan, bukan kekufuran. 

Di samping itu, Allah juga akan selalu mengutus di antara hamba-Nya -di setiap masa- seseorang yang akan membela dan menyelamatkan kaum lemah dari Ya’juj dan Ma’juj pada masanya. Hamba Allah yang paling berhak mewarisi bumi ini hanyalah hamba-hamba-Nya yang saleh. 

Kemudian, turun surat Az-Zumar yang mengisyaratkan tentang hijrah dan menyatakan bahwa bumi Allah tidaklah sempit. Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” 

Pada saat itu, Rasulullah saw. mendengar bahwa Ashimah An-Najasyi, Raja Habasyah, adalah raja yang adil dan tidak suka menzalimi siapa pun. Maka beliau pun menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri Habasyah untuk menghindar dalam rangka menyelamatkan agama mereka dari fitnah. 

Maka, pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian berangkatlah gelombang pertama dari sahabat untuk berhijrah ke Habasyah. Kelompok ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita yang diketuai oleh Utsman bin Affan dan ikut bersamanya Ruqayyah binti Rasulullah saw. 

Beliau menyebut keduanya dengan ungkapan, “Sesungguhnya, mereka berdua adalah keluarga yang pertama berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Luth as. 

Sementara Khadijah ra. berdiri bersama Rasulullah saw. melepas putrinya Ruqayyah dan suaminya Utsman ra. seraya berlinang air mata. Meski demikian, dia tetap bersabar karena dia selalu berangan-angan di relung jiwanya yang paling dalam untuk mengorbankan segala sesuatu di jalan kemenangan agama yang agung ini, meski harus membayar mahal. Segala sesuatu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan keridhaan Allah swt

Biografi selanjutnya dapa dibaca pada artikel yang berjudul :  Lembaran Keputusan Yang Zalim Dan Pemboikotan Umum (Biografi Khadijah ra.)

Sabar Dan Pasrah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah binti Khuwailid ra. menyaksikan sendiri apa yang dialami oleh Rasulullah saw. berupa gangguan dan ejekan. Karena itu, dia berusaha untuk menguatkan Rasulullah saw. dan mendukungnya agar tetap tegar. Dia juga berusaha meringankan beban yang dialami Rasulullah saw. akibat perbuatan kaumnya kepada beliau. 

Khadijah merupakan contoh yang luar biasa dan mungkin tidak ada duanya serta teladan bagi setiap kaum muslimah yang suaminya merupakan seorang dai yang mengajak manusia ke jalan Allah swt. Teladan dalam hal meringankan beban yang diderita Rasulullah saw. berupa cobaan dan rintangan yang beliau hadapi di jalan dakwah. 


Di antara rintangan yang disaksikan oleh Khadijah ra., adalah gangguan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap Rasulullah. 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., “Nabi Muhammad saw melakukan shalat di Baitullah, sedangkan Abu Jahal dan teman-temannya sedang duduk-duduk. Ketika sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Siapakah di antara kalian yang dapat membawa tempat kandungan unta bani Fulan lalu meletakkannya di atas punggung Muhammad apabila sujud ?” 

Bangkitlah orang yang paling celaka di antara kaum itu (yakni, Ibnu Abi Mu’ith). Ia datang membawanya, kemudian ia memperhatikan. Ketika Nabi Muhammad saw. sujud, ia meletakkannya di atas punggung beliau di antara kedua pundak beliau. Aku melihatnya, namun sedikit pun aku tidak dapat berbuat apa-apa. Seandainya aku mempunyai sesuatu untuk mencegah. 

Mereka mulai tertawa-tawa, sebagian mereka menempati tempat sebagian yang lain dan Rasulullah saw. tetap sujud tidak mengangkat kepala beliau sehingga Fatimah datang kepada beliau kemudian melemparkan tempat kandungan unta itu dari punggung beliau. 

Beliau mengangkat kepalanya, kemudian menghadap Ka’bah seraya berdoa, “Ya Allah, atas kehendak-Mulah untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Quraisy (tiga kali).” 

Mendengar doa tersebut, mereka menjadi ketakutan karena beliau mendoakan keburukan atas mereka, karena mereka tahu bahwa berdoa di tempat itu sangat mustajab. 

Kemudian, beliau menyebut nama mereka satu per satu, “Ya Allah, atas kehendak-Mulah untuk mengambil tindakan terhadap Abu Jahal bin Hisyam; atas kehendak-Mu-lah untuk mengambil tindakan terhadap (Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Walid bin Utbah, Umaiyah bin Khalaf, dan Igbah bin Abu Mu’aith).” 

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku melihat orang-orang yang disebut oleh Rasulullah saw. itu terbanting ke sumur, yakni Sumur Badar.” 

Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. menceritakan, “Abu Jahal berkata, Muhammad saw. berbuat jahat di kalian ?” (Maksudnya adalah apakah Nabi Muhammad menyeru mereka ke jalan Allah? Sebab, dakwah untuk bertauhid dianggap perbuatan jahat oleh mereka.)

Dijawab, ‘Ya.’ 

Abu Jahal berkata lagi, “Demi Lata Uzza, kalau aku melihatnya berbuat demikian lagi, akan aku injak lehernya dan aku benamkan wajahnya ke tanah.”

Tak lama berselang datanglah Rasulullah dan langsung melaksanakan shalat. Abu Jahal pun bermaksud untuk menginjak leher Rasulullah saw., tapi tiba-tiba dia melompat mundur sambil menangkiskan tangannya. Dia ditanya, “Apa yang terjadi denganmu hai Abu Hakam?’

Abu Jahal menjawab, “Aku melihat di antaraku dan dia ada parit api. Sesuatu yang menakutkan dan banyak sekali sayap.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Kalau saja dia mendekat padaku, malaikat akan mematahkan bagian-bagian tubuhnya.” 

Diriwayatkan juga dari Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Amru bin Ash, “Ceritakan kepadaku tentang perbuatan jahat kaum musyrikin yang paling buruk terhadap Rasulullah saw.” 

Dia bercerita, “Suatu ketika, Rasulullah saw. sedang shalat di bawah bayang-bayang Ka’bah. Tiba-tiba, datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith. Dia langsung mengalungkan bajunya ke leher Rasulullah saw., lalu mencekik beliau dengan cekikan yang amat keras. Lalu, datang Abu Bakar dan langsung menarik pundak Uqbah dan mendorongnya agar menjauh dari Rasulullah saw. Abu Bakar lantas berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, “Tuhanku ialah Allah?” (Al-Mukmin [23]: 28) 

Tidak hanya Rasulullah saw. yang mengalami gangguan, para sahabat beliau pun mengalami gangguan dan siksaan yang sangat keji. 

Diriwayatkan dari Khabab bin Al-Art, dia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah saw. yang sedang berada di bawah bayang-bayang Ka’bah. Waktu itu kami sedang menghadapi gangguan yang sangat hebat danri kaum musyrikin. Aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah saw., mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah (untuk menyelamatkan kita dari gangguan dan siksaan kaum musyrikin)?” 

Rasulullah saw. langsung duduk dan wajahnya memerah. Beliau berkata, “Orang-orang sebelum kalian dulu disisir tubuhnya dengan sisir yang terbuat dari besi, tapi itu tidak membuat mereka berpaling dari agama mereka. Ada juga yang diancam akan digergaji lehernya. Meski ajal menjemput, mereka tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah.” 

Ibnul Qayyim ra., menyebutkan :
“Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya, Allah swt. telah menetapkan hahwa setiap jiwa itu harus menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan. Dengan adanya ujian dan cobaan tersebut akan terlihat mana yang haik dan mana yang buruk; mana yang berhak untuk dijadikan wali dan mana yang tidak berhak. 

Di samping itu, berbagai ujian dan cobaan itu juga berguna untuk mengasah jiwa dan membersihkannya dari berbagai macam noda seperti halnya emas yang tidak bisa menjadi murni dan bersih dari berbagai unsur lainnya, kecuali dengan melewati serangkaian uji coba. 

Sebab, setiap jiwa itu pada asalnya dipenuhi dengan kebodohan dan kezaliman. Dari kebodohan dan kezaliman itu muncullah berbagai sifat jelek yang harus dibuang jauh-jauh dan disaring. Jika berbagai sifat jelek itu telah dibersihkan di dunia ini, maka itu merupakan suatu hal yang amat bagus. Jika tidak, maka dia akan dibersihkan dulu di api neraka. Setelah bersih, barulah dia diizinkan untuk masuk surge.” 

Dr. Musthafa As-Siba’i mengatakan bahwa sesungguhnya, ketegaran orang-orang yang beriman di jalan akidah yang mereka yakini setelah mengalami berbagai penyiksaan dan tekanan dari kalangan orang-orang jahat dan sesat menandakan kesungguhan iman mereka dan keikhlasan mereka dalam meyakini keimanan tersebut, serta keluhuran jiwa dan pikiran mereka. Mereka melihat bahwa apa yang mereka yakini itu menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam jiwa dan pikiran mereka. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan berupa keridhaan Allah swt. jauh lebih besar dari apa yang dialami oleh fisik mereka berupa siksaan, pemboikotan, dan tekanan

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Diliputi Kesedihan Dan Kisah Hijrah Ke Habasyah (Biografi Khadijah ra.)

Mekah Diguncang Kemarahan (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Rasulullah saw. mulai mengajak keluarga, kerabat, dan kaumnya untuk masuk Islam dan bertauhid. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Ketika turun ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, Rasulullah saw. langsung menyeru kaum Quraisy dan mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, beliau berkata di hadapan mereka seraya menyeru mereka satu per satu :
“Hai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Murrab bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dan api neraka. Hai Bani Abdusy-Syams, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdu Munaf, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Fatimah, selamatkan dirimu dari api neraka.


Sesungguhnya, aku tidak memiliki apa-apa untuk kalian dari Allah selain karena kalian ada hubungan keluarga denganku, maka aku akan selalu menyambung hubungan tersebut.” 

Mendengar hal itu, kaum musyrikin Quraisy segera menyatakan sikap mereka untuk memerangi Islam, mendiskreditkan orang-orang yang masuk ke dalam agama itu, dan menimpakan kepada mereka berbagai bentuk gangguan dan siksaan. 

Sejak Rasulullah saw. terang-terangan berdakwah dan mengajak manusia ke jalan Allah swt. dan terang-terangan menyebutkan kesesatan apa yang diwarisi oleh kaumnya dan nenek moyang mereka, Mekah diguncang kemarahan. Kaum muslimin mengalami berbagai penindasan selama lebih kurang sepuluh tahun. Hidup mereka tidak tenang, darah mereka tertumpah di Tanah Haram, kehormatan mereka terinjak-injak. Kedudukan mereka sebagai muslim membuat mereka harus menanggung berbagai resiko yang amat berat. 

Di samping penyiksaan secara fisik, kaum muslimin juga mengalami tekanan psikologis. Mereka dihina dan direndahkan. Semua itu dilakukan oleh kaum kafir Quraisy untuk melemahkan kaum muslimin, baik secara fisik maupun psikis

Biografi selanjutnya bisa dilihat pada postingan yang berjudul :  Sabar Dan Pasrah (Biografi Khadijah ra.)

Thursday, 6 October 2016

Apa Pengertian, Tujuan Dan Manfaat Tawassul Menurut Fikih islam ?

makna tawassul
Tanya : Menurut tradisi kaum Sunni berdoa dan berziarah kubur harus diawali terlebih dahulu dengan tawassul seperti “Ibadallah, rijalallah aghitsuna liajlillah dan yarabbi bil musthafa baligh maqashidana.”
1. Apa dan bagaimana pengertian, tujuan dan manfaat tawassul ?
2. Bagaimana tawassul yang benar supaya terhindar dari kemusyrikan ?
3. Tawassul tidak sampai pada ahli kubur, benarkah ?
(Hadi Ismanto, Universitas Brawijaya Malang) 

Jawab : Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang, karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah toh tidak ada salahnya mengulang kembali. 

Thwassul berasal dan kata wasala-waslan-wasilatan atau tawassulan yang berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al Maidah : 35) 

Jadi tawassul atau perantara adalah mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam Mufradat Alfazhi Al-Quran, 560, Mu’jam Al-Washit. II, 32)

Bagaimana tawassul yang benar ? Mari kita telusuri. Kita ingat Ayat :
Artinya : “Mereka berkata, “Wahal ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 97)

Inilah salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putera-putera Nabi Ya’qub) datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alasan tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Swt. 

Kita kaji lagi ayat yang lain sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64) 

Dari sini seolah-olah Allah menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan kekasih-kekasih Allah Swt. dalam hal ini Rasul. Demikian pula perwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan memohon agar berkenan berdoa untuk mereka. 

Kedua ayat ini secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup maupun sudah mati yang mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai oleh Allah. Kepada mereka, Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.

Karena posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan kita untuk ta’zhim, hormat dan mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin Sayyidina Umar Ibn Khaththab pernah bertawassul kepada Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian berdoa : 
Artinya : “Wahai Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan. Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman nabi berikanlah kami hujan. Kemudian turunlah hujan.” (Minhaj Al-Yaqin, 19). 

Dengan demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang ditawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan Allah kepada mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di atas Allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikianlah cara tawassul yang benar. 

Sekarang bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan ? Man kita bandingkan.
Saya teringat sebuah ayat berikut ini :
Artinya : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar : 3)

Ayat di atas adalah potongan perkataan orang-orang musyrik yang membolehkan penyembahan herhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya Allah-lah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patut disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah berada di luar koridor tauhid dengan mensejajarkan Allah dan berhala dalam hal ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Makkah memaki berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir, kemudian turun ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. A1-An’am: 108) 

Dari ayat itu bisa dilihat betapa orang kafir menempatkan berhala mereka jauh di atas Allah Rabb A1-’Alamin dan menganggap barhala-berhala itu memberikan manfaat dan madharat. 

Adapun untuk pertanyaan yang ketiga, sampaikah tawassul (dengan bacaan bacaan tahlil atau Al-Quran) kepada ahli kubur ? Imam Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Quran sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’ Li A1-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan Al-Quran kepada ahli kubur boleh dan pahalanva pun sampai kepada mereka. Pahala yang sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang diniatkan untuk mereka.

Tabir Wanita