Tuesday, 4 October 2016

Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Muhammad saw. setiap tahunnya selalu pergi meninggalkan kota Mekah untuk menghabiskan bulan Ramadhan di Gua Hira yang berjarak sekitar beberapa mil dari daerah yang penuh hiruk-pikuk. Di puncak sebuah gunung di antara pegunungan yang menaungi Mekah; di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan dan hal-hal negatif; di sana hanya ada ketenangan dan kesunyian. Muhammad saw. mempersiapkan bekal untuk malam-malam yang panjang dan menghindar dari kehidupan dunia untuk menghadap kepada Tuhannya dengan hati yang penuh kerinduan. Di gua yang sempit dan tertutup inilah hati Muhammad saw. merenung memikirkan gelombang kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah, kerugian, permusuhan, peperangan dan perpecahan. Namun, beliau hanya bisa pasrah, tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. 


Di gua terpencil ini, sosok yang suka melakukan perenungan ini mencoba merenungi kehidupan para utusan Allah terdahulu. Didapatinya mereka tidak serta-merta dapat melakukan perubahan kecuali setelah berjuang untuk itu. 

Di Gua Hira Muhammad saw. beribadah dan mempertajam hatinya, menjernihkan ruhaninya dan bertaqarrub kepada kebenaran serta menjauh dari kebatilan hingga beliau sampai pada derajat kejernihan hati yang dapat membuka celah hal-hal yang gaib. mimpinya pun begitu jelas sejernih pagi yang cerah. 

Di gua ini, Muhammad saw. berinteraksi dengan penguasa jagat raya ini. Sebelumnya padang pasir telah menjadi saksi atas saudara Muhammad saw., dia meninggalkan Mesir untuk melarikan diri, melewati banyak perkampungan untuk memperoleh keamanan dan ketenangan hati bagi dirinya dan kaumnya hingga dia melihat sebersit cahaya dari sisi Wadi Al-Aiman. Ketika dia mencoba mendekatinya, ternyata dia mendengar sebuah seruan suci memenuhi telinganya dan masuk ke dalam hatinya:
“Sesungguhnya, Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha [20]: 14) 

Semburat cahaya yang keluar dari api itu telah melampaui beberapa abad untuk kembali menyala di sekitar gua tempat seseorang yang sedang bertahannus (memisahkan diri dari keramaian untuk menemukan kebenaran) dan berusaha membersihkan segenap jiwa dan raganya dari kotoran dan keburukan Jahiliah. 

Tapi, cahaya itu bukanlah dalam bentuk api yang menyilaukan orang yang melihatnya, melainkan dalam bentuk sinar wahyu yang penuh berkah, yang langsung menghujam ke dalam hati orang yang pantas menerimanya dalam bentuk ilham dan petunjuk, peneguhan hati dan pertolongan (inayah). 

Tiba- tiba Muhammad saw. terperanjat ketika mendengar suara Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah.” Beliau justru balik bertanya, “Apa yang harus kubaca?” 

Tanya-jawab itu terulang beberapa kali hingga akhirnya turunlah beberapa ayat pertama dari A1-Qur’an, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (A1-A1aq [96]: 1-5

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel :  Tegar Berdiri Menghadapi Badai (Biografi Khadijah ra.)

Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Sesungguhnya, Nabi saw. memiliki segala kebaikan yang pernah dimiliki seseorang pada masa pertumbuhannya. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah ada; selalu berpikir positif, memiliki pandangan yang benar, dikenal cerdas, lugas, dan memiliki visi hidup yang jelas. 

Beliau selalu menggunakan pikirannya untuk menemukan sebuah kebenaran. Akalnya yang jernih dan fitrahnya yang murni selalu dikedepankan ketika menilai kondisi masyarakat yang ada pada waktu itu. Beliau selalu menjauhkan diri dari berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh kaumnya dan berinteraksi dengan mereka secara wajar. Beliau hanya ikut dan tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan yang positif, tapi beliau selalu menghindari berbagai kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat. 


Rasulullah saw. tidak pernah minum khamar; tidak mau makan daging hewan yang disembelih sebagai sesajian bagi berhala; tidak pernah ikut memperingati hari raya atau pesta rakyat dengan menyembah berhala. 

Sejak muda beliau telah menjauhkan diri dari model peribadatan seperti itu, bahkan hal yang demikian merupakan sesuatu yang paling beliau benci sehingga beliau tidak pernah bisa menerima kalau mendengar orang bersumpah atas nama Lata dan Uzza. 

bilik islam
Tentu saja, Allah swt. telah menjaganya dari hal-hal yang demikian. Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., dia herkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Rasulullah saw. dan Abbas ikut mengangkuti bebatuan. Abbas berkata kepada Nabi saw., Angkat kainmu sampai ke atas lutut supaya tidak terkena batu. Beliau pun menunduk, lalu mendongakkan kepalanya menatap langit dengan kedua matanya, kemudian tersadar. Beliau lalu berseru, ‘Kainku, kainku.’ Maka beliau lalu mengencangkan kainnya. Dalam riwayat lain disebutkan, “Sejak saat itu aurat beliau tidak pernah tersingkap.” 

Rasulullah saw. dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan akhlak dan kebaikan budi pekertinya. Beliau adalah orang yang paling muru’ah (memiliki sifat keperwiraan); baik terhadap tetangga, menyayangi sesama, jujur, lembut, terjaga jiwanya, mulia sifatnya, banyak berbuat kebajikan, menepati janji, menjaga amanah sehingga kaumnya menjulukinya Al-Amin. Jadi, segala bentuk kebaikan terhimpun pada diri Rasulullah saw. Sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mu’minin Khadijah ra., beliau menanggung beban, berusaha membantu orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Saturday, 1 October 2016

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab Menurut Fikih Islam ?

hukum berbeda madzhab
Tanya : Dalam hal ibadah saya sering dibuat bingung oleh adanya aturan aturan yang berbeda dan beberapa madzhab. Hal itu terkadang melahirkan keraguan akan keabsahan ibadah saya itu. Katakanlah masalah wudhu, ada yang mengatakan bahwa memegang alat kelamin tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sementara yang lain mengatakan batal apapun alasannya, terus terang saya sering memilih yang ringan. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ? (Tati Nurjannah, Wonokromo) 

Jawab : Dalam kehidupan beragama, masyarakat umumnya memang mengenal dan mengikuti beberapa macam madzhab, setidak-tidaknya 4 (empat) madzhab yang terkenal; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan sebagian besar masyarakat meletakkan salah satu madzhab tersebut sebagai sumber hukum. Hanya kadang-kadang dalam kondisi tertentu untuk tidak melawan budaya konvensional, seseorang harus berpaling ke madzhab lain. Dengan demikian adanya bermacam-macam madzhab itu memungkinkan seseorang untuk beralih madzhab secara total ataupun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan saja.

Dalam konteks ibadah, madzhab-madzhab yang ada itu terkadang mengandung perbedaan hukum atau sering disebut khilafiyah. Hal ini muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap Al-Quran dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kita sebagai orang awam tidak harus tahu semuanya, namun cukup hertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau terbaik daripada yang lain.

Hal mi sebagaimana disampaikan Imarn Zakariya Yahya Al-Anshari dalam kitabnya Lub Al-Ushul. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AI-Mustashfa bahkan mengatakan keharusan bertaqlid bagi orang awam adalah ijma’ sahabat.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, di antaranya tidak diperkenankan tatabu’u ar-rukhash, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda kedalam problema tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat atau qaul bagi dua madzhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudhu; Imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota badan yang dibasuh, sedang Imam Maliki mewajibkannya. Dan dalam hal memegang farji, Imam Syafi’i berpendapat secara mutlak hal itu membatalkan, sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak membatalkan bila tidak dengan syahwat. Nah, bila seseorang berwudhu dan tidak menggosok anggota badan dimaksud karena taqlid Imam Syafi’i, tetapi kemudian meraba farji tanpa syahwat, dilanjutkan melakukan shalat, maka shalat yang dilaksanakan batal dengan kesepakatan kedua Imam. Ini karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- menurut Syafi’i maka wudhunya telah batal. Begitu juga ketika seseorang tidak menggosok anggota badan dimaksud, maka wudhunya juga tidak sah menurut Maliki. 

Jadi sebenamya pertanyaan di atas adalah gambaran adanya khilafah yang sudah diakomodasi oleh madzhah. Bagi mereka yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal sebab memegang alat kelamin tanpa syahwat, sudah benar asalkan anggota badannya yang wajib di basuh harus digosok seluruhnya. Ini adalah cara berwudhu Malikiyah, sedangkan yang mengatakan batal memegang alat kelamin juga tidak salah karena sesuai dengan aturan yang ditetapkan Syafi’i. Dalam hal ini Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota wudhu yang wajib dibasuh. Dengan demikian, seseorang boleh memakai keduanya secara lengkap dan terpisah satu sama lain. Kalau mau pakai cara Syafi’i maka pakai semua aturannya mulai dari syarat rukunnya sampai hal-hal yang membatalkannnya. Begitu pula kalau menginginkan menggunakan madzhab yang 1ain.

Apa Syarat Menjadi Mualaf Menurut Fikih Islam ?

tata cara menjadi muallaf
Tanya : Apakah syarat bagi orang yang baru masuk Islam (muallaf) ? 

Jawab : Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang dipeluk semua nabi sejak Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Setiap manusia harus memeluknya. Hanya saja, untuk menyampaikan risalah agama ini tidak berlaku pemaksaan kepada orang lain. Allah telah menunjukkan jalan lurus dengan mengutus para utusan dan mengaruniai manusia akal pikiran. Dengan keduanya, akhirnya manusia akan mampu mengetahui mana yang hak dan batil.

Syarat menjadi muslim tidaklah rumit. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap muslim. 

Dua kalimat itu adalah kalimat :
“Asyhadu an La Ilaaha illa Allah wa Asyahadu Anna Muhammad Rasululah”, yang artinya, “saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah”. Tidak ada upacara dan prosedur yang macam-macam untuk bisa menjadi seorang muslim. 

Mengucapkan syahadat tidak hanya cukup hanya di bibir saja, melainkan harus disertai keyakinan dan kepercayaan secara mantap dalam hati tentang isi dan muatan dari syahadat itu sendiri.

Sebab, pada dasarnya syahadat adalah ikrar atau ungkapan dari keimanan yang berada dalam hati. Orang yang mengucapkan syahadat tanpa dibarengi pembenaran hati, belum dianggap muslim oleh Allah. Islam menghendaki kesatuan hati dan kata, meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan.
Orang yang baru masuk Islam, dengan demikian diwajibkan melepaskan diri dari berbagai paham dan kepercayaan terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. 

Dua kalimat syahadat memang kelihatan sederhana sekali. Namun makna yang dikandungnya serta konsekuensi yang ditimbulkan sangat dalam dan luas.

Kalimat pertama, berisi pengakuan adanya satu Tuhan, yaitu Allah. Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Bagi-Nya segala sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah semestinya hanya kepada Allah Swt. semata saja manusia menyembah dan bersujud.

Ibadah hanyalah patut dilakukan kepada Dzat yang lebih tinggi. Sesama makhluk, tidak berhak disembah karena setara dalam derajat kemakhlukannya. 

Ibadah hanya kepada sang Khaliq. Sebab tauhid uluhiyah harus diikuti tauhid ubudiyah, dalam artian bahwa bila seseorang telah mengakui Allah sebagai pencipta alam semesta ini, maka sudah selayaknya dia hanya beribadah kepada-Nya.

Kalimat kedua, berisi pengakuan atas kerasulan dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Mengakui beliau sebagai seorang nabi dan rasul, secara implisit membenarkan dan meyakini ajaran yang disampaikan. Sebab semuanya berdasarkan wahyu dari Allah, baik berupa Al-Quran maupun hadis.

Dan sudah barang tentu apa yang beliau sampaikan tidak cukup diimani dan dipercayai, melainkan lebih dari itu harus di patuhi dengan mengerjakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Itulah hakikat takwa, yakni imtitsar al awamil wa ijtinab an-nawahi, yang akhirnya menjadi ukuran derajat kemuliaan manusia.

Dari Nabi Muhammad-lah kita belajar cara beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi pengakuan kepada-Nya sebagai Tuhan pencipta alam.

Ibadah tidak boleh dilakukan dengan cara sendiri-sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt. Hanya Nabi Muhammad yang mengetahui kehendak itu, lewat wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Ajaran Islam secara garis besar terdiri dan 3 (tiga) komponen : Akidah (keyakinan), syariah dan akhlak.

Dalam agama Islam, akidah merupakan asas atau fundamen. Karena tanpa didasari akidah, maka amal ibadah kita tidak diterima. Sebaliknya, akidah tanpa syariah dan akhlak tidak sempurna. Keimanan semata-mata belum cukup menyelamatkan manusia secara total dari ancaman siksa api neraka. 

Menurut ulama, dengan mengucapkan syahadat, mengimani semua perkara yang wajib diimani seraya meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengakibatkan kekufuran, seseorang masih dianggap muslim, meskipun meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan larangan-larangan. Dalam artian, dia tidak akan kekal di neraka meskipun juga tidak terbebas secara total dari siksaan kecuali mendapat ampunan dari Allah.

Iman juga dapat berkurang dan bertambah. Iman akan semakin bertambah dan sempurna jika terjadi peningkatan takwa. Sebaliknya, kadar keimanan seseorang akan berkurang dan terus merosot hingga batas antara iman dan kufur demikian tipis karena menurunnya kadar ketakwaan.

Melihat demikian pentingnya kedudukan takwa, maka sangatlah wajar jika wasiat bertakwa menjadi salah satu hukum khotbah dalam shalat Jumat. Dalam setiap khotbahnya, khatib selalu mengajak dan menghimbau para hadirin untuk senantiasa meningkatkan takwa.

Intinya, keselamatan tergantung pada keimanan. Kesempurnaan iman terletak pada kualitas takwa, yang -seperti tadi saya katakana- tergantung sejauh mana seseorang mematuhi ajaran Islam dalam bentuk perintah dan larangan. Orang tidak mungkin mampu mencapai tingkat ketakwaan yang tinggi, tanpa memiliki pengetahuan. 

Secara logis bagaimana kita dapat melakukan perintah dan menjauhi larangan, sedangkan perintah dan larangan itu sendiri tidak kita mengerti. 

Oleh karenanya, bagi yang baru masuk Islam atau yang masih awam, hendaknya berusaha memahami agama yang dipeluknya secara memadai. Ini merupakan langkah awal menuju muslim bertakwa, yang mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. 

Menyadari akan arti pentingnya belajar, tidak mengherankan jika ayat yang pertama turun berisi perintah membaca, yaitu iqra’.

Membaca wahyu yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis, sekaligus membawa fenomena dari gejala alam sebagai ayat-ayat kauniyah untuk mencapai ridha-Nya.

Agar proses belajar itu berjalan dengan baik, muslim muallaf memerlukan seorang pembimbing yang benar-benar memahami agama Islam supaya tidak terjadi salah paham yang bersumber pada pemahaman yang subyektif dan parsial.

Lebih dari itu, belajar hendaknya dimulai dari masalah-masalah yang pokok, seperti tentang rukun Islam serta ibadah-ibadah yang terpenting seperti shalat.

Biografi Abul Wafa Al-Buzjani (Pelopor Peradaban Islam)

Pelopor Peradaban Islam

ABUL WAFA AL-BUZJANI 
 (328-387 H I 940-998 M)

Abu al-Wafa Muhammad Ibnu Muhammad lbnu Yahya Ibnu Ismail lbnu Abbas al-Buzjani Adalah seorang insinyur, ahli astronomi dan ahli matematika. Sarton menggambarkannya sebagai salah satu dari ahli matematika terkenal lslam.

Abu al-Wafa lahir di Buzjan di Khurasan tahun 328H/940M. Dia belajar matematika di bawah bimbingan paman dari pihak ayahnya, Abu Umar al-Maghazil, dan paman dari pihak ibu yang dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad lbnu Ataba serta belajar ilmu geometri di bawah bimbingan Abu Yahya al-Marudi dan Abu al-Ala’ lbnu Karnib. Pada tahun 348H /959M dia pindah ke Irak dan tinggal di Baghdad sampai wafatnya pada tahun 387H/998M. Abu al-Wafa mendedikasikan hidupnya untuk menulis, memantau pergerakan benda-benda angkasa, dan mengajar. Ia menjadi anggota dari kelompok observasi yang dibentuk oleh Sharaf ad-Dawla tahun 377H.

Kontribusinya terhadap Ilmu Pengetahuan
Abu al-Wafa adalah salah satu sarjana astronomi dan matematika terkenal. Beberapa sarjana Barat juga mengakui kemasyhurannya yang berjasa di bidang ilmu geometri. Al-buzjani membuat kontribusi penting untuk mengembangkan trigonometri.

AI-Buzjani membuat kontribusi penting untuk pengembangan ilmu trigonometri. “Cara de Faw” mengakui bahwa “usaha perubahan yang dilakukan oleh Abu al-Wafa terhadap ilmu trigonometri tidak berarti menentang. Terima kasih kepadanya, berkat usahanya ini, ilmu pengetahuan ini menjadi lebih mudah dan lebih jelas. Dia menggunakan garis potong (sekan) dan kosekan serta mengembangkan sebuah metode baru untuk menghitung sinus. Dia juga yang pertama sekali mempertunjukkan teori umum sinus yang terdapat pada segitiga berbentuk bola.

Abu al-Wafa adalah seorang jenius yang memiliki kualitas sama baiknya dalam ilmu geometri, dia mampu menyelesaikan beberapa masalah ilmu geometri dengan ketangkasan yang luar biasa. 

Karya-karya Besarnya
AI-Buzjani meninggalkan beberapa buku, temasuk :
  • “Kitab fima Yahtaju ilaihi al-Kuttab wa al-Ummal min‘jim aI-Hisab”(Buku tentang Apakah Ilmu Pengetahuan Aritmatika Penting bagi AhIi Menulis dan Pelaku Bisnis) adalah sebuah buku terapan aritmatika. Dua yang belum lengkap dari risalah ini disimpan di Leyden, Belanda dan Kairo.
  • “Kitab al-Kamil” (Buku yang Lengkap)
  • “Kitab fima Yahtaj Ilaih as- Suna’fi ‘Ama’ al-Handasa” (Buku tentang Seberapa Penting Ilmu Konstruksi Geometri bagi Tukang Kayu) sebuah buku terapan ilmu geometri yang ditulis atas permintaan dari pemimpinan Baha’ad-Dawla. Sebuah salinan dari risalah ini disimpan di perpustakaan Masjid Ayasofya di Istambul.
  • “Kitab al-Majesti” adalah buku yang sangat terkenal darisemua buku-bukunya. Sebuah salinan buku ini yang belum lengkap di simpan di Perpustakaan Nasional di Paris.
  • “Kitab al-Handsa” ( Ilmu Geometri Terapan) sebagian dari risalah-risalah ini, Abu al-Wafa menulis banyak pandangan berharga tentang euklid, Diophantus, dan al khawarizmi, tetapi kesemuanya ini telah hilang. 

Kesimpulannya, penemuan-penemuan al-Buzjani dan buku-bukunya memiliki pengaruh yang berarti dalam kemajuan ilmu pengetahuan, sebagian dalam ilmu astronomi dan ilmu trigonometri. Dia adalah di antara perintis yang memimpin pekerjaan yang berat dan melelahkan terhadap munculnya analitis ilmu geometri dengan menemukan penyelesaian geometri dengan menggunakan beberapa persamaan aljabar.

Biografi Abdurrahman Sufi (Pelopor Peradaban Islam)

pelopor peradaban islam

ABDURRAHMAN SUFI
(291-376 H /903—986 M)


Abu al-Hasan Abdul al-Rahman Ibnu Amir Ibnu Sahi Al-Sufi ar-Razi lahir di Ray. Dia adalah satu di antara ahli astronomi dan ahli astrologi terkenal. Menurut ahli sejarah George Sarton, ia adalah salah satu ahli astronomi Islam terkenal. Ia berteman dengan pemimpin Al-Bouihi Adud Adawla, yang membuat dirinya sebagai ahli astrologi mandiri dan sebagai guru untuk mengajarkan tentang letak statis bintang-bintarig dan pergerakannya

Kontribusinya dalam Ilmu Pengetahuan

Sufi membuat masukan berarti untuk ilmu astronomi yang dapat disimpulkan prestasinya sebagai berikut:
Dia melakukan pemantauan terhadap bintang-bintang, menghitung dan menentukan pergerakannya membujur dan melintang. Observasi ini memperkenankannya untuk menemukan keseimbangan baru bintang-bintang yang sebelumnya belum pernah dipantau. Ia menggambarkan pemetaan langit, di mana Ia membuat daftar letak dan keseimbangan bintang-bintang, jaraknya dan tingkat cahaya beberapa dari bintang-bintang. Dia juga mengembangkan sebuah atlas bintang-bintang untuk memastikan kesalahan para pendahulunya. Bangsa Eropa mengakui kebenaran dari observasi astronominya; Aldo Mull menggambarkannya “sebagai salah satu dari ahli astronomi Arab terkenal dimana melalui dirinya kita mendapatkan sebuah keberlangsungan tentang kebenaran observasi langsung”. Lebih lanjut ia menyatakan: “Ahli astronomi besar ini tidak hanya terpusat pada beberapa bintang yang tidak dikenal Ptolomeus, tetapi ia juga mengoreksi beberapa kesalahan observasinya. Selanjutnya Ia memungkinkan sebagai ahli astronomi masa depan untuk mengenal planet-planet dimana ahil astronomi Yunani memberikan letak posisi tidak akurat.

Karya-karya Besarnya
  • “Kitab al-kawatib Al-thabita” (Buku tentang Keseimbangan Planet-planet) merupakan buku yang dipertimbangkan oleh Sarton sebagai salah satu dari tiga buku besar yang terkenal di antara ahli astronomi Muslim. Dua buku lainnya adalah buku Ibnu Yunus dan Ulugh Beg’s. Buku ini berisikan gambaran warna dari perbintangan dan gambar pergerakan;
  • “Risalat A1-amal bil Usturlab” (Risalah tentang Fungsi Laboratorium Astronomi);
  • “Kitab Tadkira”;
  • “Kitab matarih Chua’at”;
  • "Kitab aI-Urjuza II al-Kawakib Tabita”Salinan dari beberapa karya besar ini disimpan dalam perpustakaan dibeberapa negara seperti Perpustakaan El Escorial di Madrid, Paris, dan Oxford.

Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah melihat bahwa kecintaan Zaid kepada Rasulullah saw. merupakan suatu sikap yang tidak dapat tergantikan oleh dunia dan segala isinya yang hanya merupakan kenikmatan semu. 

Waktu itu, Zaid kecil bepergian bersama ibunya untuk mengunjungi kaumnya. Di perjalanan, sekelompok perampok berkuda menyerang mereka dan menculik Zaid. Mereka lalu menjualnya di Pasar ‘Ukaz, pasar yang sangat terkenal di Mekah waktu itu, di sana juga terdapat perdagangan budak. Dia dibeli oleh Hakim bin Hazam seharga 400 dirham untuk dihadiahkan kepada bibinya Khadijah. 

Ayah Zaid terus berusaha mencari anaknya itu ke seluruh penjuru namun tidak berhasil menemukannya. Hatinya seakan tercabik-cabik oleh kesedihan atas kehilangan anak yang dicintainya itu. Kesedihan yang amat dalam itu membuatnya mampu untuk menyusun sebuah untaian syair yang amat menyayat hati pendengarnya. 


Dia berujar, “Aku menangisi Zaid tanpa aku tahu apa yang dilakukannya sekarang. Apakah aku masih boleh berharap dia hidup atau ajal tetah lebih dulu menjemput…Demi Allah aku sungguh tidak tahu Apakah dia diculik oleh lautan atau pegunungan… Matahari selalu mengingatkanku padanya setiap kali dia terbit…Namun ingatan itu sirna seiring dengan terbenamnya…Aku akan terus berjalan di muka bumi sampai menemukannya…Aku takkan pernah bosan hingga unta-lah yang merasa bosan…Itu kalau aku masih hidup. Kalau ajal lebih dulu menjemput, maka setiap orang memang akan binasa meski penuh dengan cita-cita” 

Pada saat musim haji tiba, beberapa penyair dari suku Zaid melantunnkan untaian syair tersebut seraya melakukan thaaf di sekeliling Baitul Atiq (Ka’bah). Takk disangka mereka berpapasan dengan Zaid. Mereka langsung mengenalinya dan begitu juga halnya dengan Zaid. Mereka lantas saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Sctelah selesai dari manasik haji, mereka pun kembali ke rurnah masing-masing. Mereka lalu memberitahu Haritsah tentang apa yang mereka lihat dan dengar.
Mendengar berita tersebut Haritsah langsung bersiap melakukan perjalanan untuk menjemput sang putra. Dia juga menyiapkan sejumlah harta untuk digunakan sebagai penebus anak yang amat disayanginya itu. Bersama saudaranya yang bernama Ka’ab, dia bergegas melakukan perjalanan menuju Mekah. 

Sesampainya di Mekah, mereka bertanya tentang keberadaan Nabi saw. Mereka diberitahu oleh orang-orang yang mereka temui bahwa beliau berada di masjid. Keduanya lalu masuk ke dalam masjid untuk menemui beliau dan berkata, “Wahai putra Hasyim, wahai putra sang pemimpin kaumnya, kalian adalah pemilik Tanah Haram dan tetangganya. Kalian membantu orang yang mengalami kesulitan dan memberi makan para tawanan. Kami datang untuk menjemput anak kami yang berada di tanganmu. Maka kasihanilah kami dan berbaik hatilah kepada kami agar kami dapat rnenebusnya sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.” 

Rasulullah saw. bertanya: “Siapa yang kalian maksud?” 

Jawab mereka, “Zaid bin Haritsah.” 

Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apa mungkin dengan cara lain?” 

Mereka bertanya, “Cara yang bagaimana?” 

Beliau berkata, “Panggilah dia dan suruh dia untuk memilih. Jika dia memilih kalian, maka dia menjadi milik kalian tanpa tebusan sepeser pun. Jika dia memilih aku, demi Allah bukan aku yang memilihkan untuknya, melainkan itu adalah pilihannya sendiri.” 

Mereka berkata, “Sungguh, engkau telah berbaik hati kepada kami.” 

Rasulullah saw. lalu memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Apa kamu mengenali mereka Zaid ?”
J awab Zaid, “Ya, ini ayahku dan pamanku.” 

Rasulullah saw. berkata lagi padanya, “Kamu pun tentu telah mengenal siapa aku dan bagaimana sayangnya aku kepadamu, maka silakan kamu memilih antara aku dan mereka.” 

Zaid lalu berkata, “Aku tidak mungkin mernilih orang selain engkau. Engkau adalah ayah sekaligus pamanku.” 

Keduanya lalu berkata, “Celakalah engkau hai Zaid, kamu lebih memilih menjadi budak daripada hidup bebas bersama ayah, paman, dan seluruh keluargamu?” 

Zaid menjawab, “Ya, Ayah! Aku telah menemukan pada diri orang ini sesuatu yang membuatku tidak mungkin memilih orang lain selain dia selamanya. 

Ketika Rasulullah saw menyaksikan hal tersebut, beliau lantas keluar menemui khalayak dan berkata, “Wahai semua yang hadir, saksikanlah, sesungguhnya, Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi pewirisku dan aku menjadi pewarisnya.” 

Setelah melihat yang demikian, ayah dan paman Zaid pun merelakan sang anak lalu mereka kembali ke kaumnya. 

Sejak saat itu, Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad hingga Islam datang. Rasulullah saw. lalu menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy. Ketika Zaid menceraikannya, Rasulullah saw. lalu menikahinya. 

Orang-orang munafik menyebarkan isu negatif, mereka mengatakan, “Muhammad menikahi istri anaknya sendiri.” Maka turunlah ayat, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (A1-Ahzab [33]: 40) Lalu Rasulullah membaca ayat sebelumnya, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka....” (A1-Ahzab [33]: 5) Maka Zaid pun kembali dipanggil Zaid bin Haritsah. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada potingan yang berjudul :  Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah ra. adalah sosok yang sangat dermawan dan suka memberi. Dia menyukai apa saja yang disukai oleh suaminya dan mengorbankan segala yang dimilikinya demi membahagiakan sang suami. Ketika Rasulullah saw. harus mengasuh anak pamannya, Ali bin Abu Thalib ra., dia mendapatkan di rumah “wanita suci” dan penyayang, seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Ali merasa seolah-olah Khadijah itu adalah ibu kandung yang melahirkannya. Khadijah begitu menyayangi Ali dengan penuh kasih. 


Begitu juga ketika Khadijah ra. merasa hahwa Rasulullah saw. sangat menynyangi budaknya, Zaid bin Haritsah. Dia menghadiahkannya kepada beliau sehingga kedudukannya semakin bertambah mulia di hati Rasulullah saw.

Biografi Siti Khadijah selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Tabir Wanita