Saturday, 1 October 2016

Apa Syarat Menjadi Mualaf Menurut Fikih Islam ?

tata cara menjadi muallaf
Tanya : Apakah syarat bagi orang yang baru masuk Islam (muallaf) ? 

Jawab : Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang dipeluk semua nabi sejak Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Setiap manusia harus memeluknya. Hanya saja, untuk menyampaikan risalah agama ini tidak berlaku pemaksaan kepada orang lain. Allah telah menunjukkan jalan lurus dengan mengutus para utusan dan mengaruniai manusia akal pikiran. Dengan keduanya, akhirnya manusia akan mampu mengetahui mana yang hak dan batil.

Syarat menjadi muslim tidaklah rumit. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap muslim. 

Dua kalimat itu adalah kalimat :
“Asyhadu an La Ilaaha illa Allah wa Asyahadu Anna Muhammad Rasululah”, yang artinya, “saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah”. Tidak ada upacara dan prosedur yang macam-macam untuk bisa menjadi seorang muslim. 

Mengucapkan syahadat tidak hanya cukup hanya di bibir saja, melainkan harus disertai keyakinan dan kepercayaan secara mantap dalam hati tentang isi dan muatan dari syahadat itu sendiri.

Sebab, pada dasarnya syahadat adalah ikrar atau ungkapan dari keimanan yang berada dalam hati. Orang yang mengucapkan syahadat tanpa dibarengi pembenaran hati, belum dianggap muslim oleh Allah. Islam menghendaki kesatuan hati dan kata, meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan.
Orang yang baru masuk Islam, dengan demikian diwajibkan melepaskan diri dari berbagai paham dan kepercayaan terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. 

Dua kalimat syahadat memang kelihatan sederhana sekali. Namun makna yang dikandungnya serta konsekuensi yang ditimbulkan sangat dalam dan luas.

Kalimat pertama, berisi pengakuan adanya satu Tuhan, yaitu Allah. Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Bagi-Nya segala sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah semestinya hanya kepada Allah Swt. semata saja manusia menyembah dan bersujud.

Ibadah hanyalah patut dilakukan kepada Dzat yang lebih tinggi. Sesama makhluk, tidak berhak disembah karena setara dalam derajat kemakhlukannya. 

Ibadah hanya kepada sang Khaliq. Sebab tauhid uluhiyah harus diikuti tauhid ubudiyah, dalam artian bahwa bila seseorang telah mengakui Allah sebagai pencipta alam semesta ini, maka sudah selayaknya dia hanya beribadah kepada-Nya.

Kalimat kedua, berisi pengakuan atas kerasulan dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Mengakui beliau sebagai seorang nabi dan rasul, secara implisit membenarkan dan meyakini ajaran yang disampaikan. Sebab semuanya berdasarkan wahyu dari Allah, baik berupa Al-Quran maupun hadis.

Dan sudah barang tentu apa yang beliau sampaikan tidak cukup diimani dan dipercayai, melainkan lebih dari itu harus di patuhi dengan mengerjakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Itulah hakikat takwa, yakni imtitsar al awamil wa ijtinab an-nawahi, yang akhirnya menjadi ukuran derajat kemuliaan manusia.

Dari Nabi Muhammad-lah kita belajar cara beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi pengakuan kepada-Nya sebagai Tuhan pencipta alam.

Ibadah tidak boleh dilakukan dengan cara sendiri-sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt. Hanya Nabi Muhammad yang mengetahui kehendak itu, lewat wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Ajaran Islam secara garis besar terdiri dan 3 (tiga) komponen : Akidah (keyakinan), syariah dan akhlak.

Dalam agama Islam, akidah merupakan asas atau fundamen. Karena tanpa didasari akidah, maka amal ibadah kita tidak diterima. Sebaliknya, akidah tanpa syariah dan akhlak tidak sempurna. Keimanan semata-mata belum cukup menyelamatkan manusia secara total dari ancaman siksa api neraka. 

Menurut ulama, dengan mengucapkan syahadat, mengimani semua perkara yang wajib diimani seraya meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengakibatkan kekufuran, seseorang masih dianggap muslim, meskipun meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan larangan-larangan. Dalam artian, dia tidak akan kekal di neraka meskipun juga tidak terbebas secara total dari siksaan kecuali mendapat ampunan dari Allah.

Iman juga dapat berkurang dan bertambah. Iman akan semakin bertambah dan sempurna jika terjadi peningkatan takwa. Sebaliknya, kadar keimanan seseorang akan berkurang dan terus merosot hingga batas antara iman dan kufur demikian tipis karena menurunnya kadar ketakwaan.

Melihat demikian pentingnya kedudukan takwa, maka sangatlah wajar jika wasiat bertakwa menjadi salah satu hukum khotbah dalam shalat Jumat. Dalam setiap khotbahnya, khatib selalu mengajak dan menghimbau para hadirin untuk senantiasa meningkatkan takwa.

Intinya, keselamatan tergantung pada keimanan. Kesempurnaan iman terletak pada kualitas takwa, yang -seperti tadi saya katakana- tergantung sejauh mana seseorang mematuhi ajaran Islam dalam bentuk perintah dan larangan. Orang tidak mungkin mampu mencapai tingkat ketakwaan yang tinggi, tanpa memiliki pengetahuan. 

Secara logis bagaimana kita dapat melakukan perintah dan menjauhi larangan, sedangkan perintah dan larangan itu sendiri tidak kita mengerti. 

Oleh karenanya, bagi yang baru masuk Islam atau yang masih awam, hendaknya berusaha memahami agama yang dipeluknya secara memadai. Ini merupakan langkah awal menuju muslim bertakwa, yang mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. 

Menyadari akan arti pentingnya belajar, tidak mengherankan jika ayat yang pertama turun berisi perintah membaca, yaitu iqra’.

Membaca wahyu yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis, sekaligus membawa fenomena dari gejala alam sebagai ayat-ayat kauniyah untuk mencapai ridha-Nya.

Agar proses belajar itu berjalan dengan baik, muslim muallaf memerlukan seorang pembimbing yang benar-benar memahami agama Islam supaya tidak terjadi salah paham yang bersumber pada pemahaman yang subyektif dan parsial.

Lebih dari itu, belajar hendaknya dimulai dari masalah-masalah yang pokok, seperti tentang rukun Islam serta ibadah-ibadah yang terpenting seperti shalat.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita