Saturday, 1 October 2016

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab Menurut Fikih Islam ?

hukum berbeda madzhab
Tanya : Dalam hal ibadah saya sering dibuat bingung oleh adanya aturan aturan yang berbeda dan beberapa madzhab. Hal itu terkadang melahirkan keraguan akan keabsahan ibadah saya itu. Katakanlah masalah wudhu, ada yang mengatakan bahwa memegang alat kelamin tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sementara yang lain mengatakan batal apapun alasannya, terus terang saya sering memilih yang ringan. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ? (Tati Nurjannah, Wonokromo) 

Jawab : Dalam kehidupan beragama, masyarakat umumnya memang mengenal dan mengikuti beberapa macam madzhab, setidak-tidaknya 4 (empat) madzhab yang terkenal; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan sebagian besar masyarakat meletakkan salah satu madzhab tersebut sebagai sumber hukum. Hanya kadang-kadang dalam kondisi tertentu untuk tidak melawan budaya konvensional, seseorang harus berpaling ke madzhab lain. Dengan demikian adanya bermacam-macam madzhab itu memungkinkan seseorang untuk beralih madzhab secara total ataupun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan saja.

Dalam konteks ibadah, madzhab-madzhab yang ada itu terkadang mengandung perbedaan hukum atau sering disebut khilafiyah. Hal ini muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap Al-Quran dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kita sebagai orang awam tidak harus tahu semuanya, namun cukup hertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau terbaik daripada yang lain.

Hal mi sebagaimana disampaikan Imarn Zakariya Yahya Al-Anshari dalam kitabnya Lub Al-Ushul. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AI-Mustashfa bahkan mengatakan keharusan bertaqlid bagi orang awam adalah ijma’ sahabat.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, di antaranya tidak diperkenankan tatabu’u ar-rukhash, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda kedalam problema tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat atau qaul bagi dua madzhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudhu; Imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota badan yang dibasuh, sedang Imam Maliki mewajibkannya. Dan dalam hal memegang farji, Imam Syafi’i berpendapat secara mutlak hal itu membatalkan, sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak membatalkan bila tidak dengan syahwat. Nah, bila seseorang berwudhu dan tidak menggosok anggota badan dimaksud karena taqlid Imam Syafi’i, tetapi kemudian meraba farji tanpa syahwat, dilanjutkan melakukan shalat, maka shalat yang dilaksanakan batal dengan kesepakatan kedua Imam. Ini karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- menurut Syafi’i maka wudhunya telah batal. Begitu juga ketika seseorang tidak menggosok anggota badan dimaksud, maka wudhunya juga tidak sah menurut Maliki. 

Jadi sebenamya pertanyaan di atas adalah gambaran adanya khilafah yang sudah diakomodasi oleh madzhah. Bagi mereka yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal sebab memegang alat kelamin tanpa syahwat, sudah benar asalkan anggota badannya yang wajib di basuh harus digosok seluruhnya. Ini adalah cara berwudhu Malikiyah, sedangkan yang mengatakan batal memegang alat kelamin juga tidak salah karena sesuai dengan aturan yang ditetapkan Syafi’i. Dalam hal ini Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota wudhu yang wajib dibasuh. Dengan demikian, seseorang boleh memakai keduanya secara lengkap dan terpisah satu sama lain. Kalau mau pakai cara Syafi’i maka pakai semua aturannya mulai dari syarat rukunnya sampai hal-hal yang membatalkannnya. Begitu pula kalau menginginkan menggunakan madzhab yang 1ain.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita