Tanya : Saya seorangpemuda, ingin menikahi seorang gadis yang saya cintai dan mencintai saya. Kehidupan kami sepadan, saya pun mampu memberikan maskawin dan nafkah, tetapi orang tua gadis menangguhkannya beberapa tahun lagi karena alasan masih kuliah. Padahal kami benar-benar ingin menikah dari pada pacaran terus. Kami takut fitnah dan khawatir terjerumus dalam jurang dosa. Bagaimana baiknya hubungan kami Kiai? (Fadli, Manado)
Jawab : Manusia oleh Allah dalam hidup dan kehidupannya dibekali nafsu di samping akal dan intuisi atau perasaan. Dengan nafsu manusia punya syahwat, kecenderungan, dorongan, semangat dan kemauan. Salah satu dorongan nafsu yang dimiliki manusia adalah pemenuhan kebutuhan biologis, yang menurut A1-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin disebut sebagai satu satunya nikmat surga yang diturunkan Allah di dunia. Dalam kehidupan manusia, nafsu jugalah yang menimbulkan inspirasi fujur (penyimpangan) dan inspirasi takwa (ketakwaan dan kebenaran). Dan oleh karenanya ia harus dikendalikan oleh syariat, akal dan perasaan, agar dorongan takwanya dapat mengalahkan dorongan fujurnya. Meskipun dalam Al-Quran ditegaskan bahwa sesungguhnya nafsu itu banyak dan sering mengajak kepada kejelekan kecuali yang mendapat rahmat Allah. Dan satu-satunya tuntunan untuk memenuhi kebutuhan biologis adalah pernikahan.
Dalam pandangan Islam, menikah bukan sekedar cara untuk pemenuhan kebutuhan biologis, tapi lebih dari itu adalah sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu. Begitu juga menyetubuhi istri. Barangkali persetubuhan semacam itulah satu-satunya ibadah yang sesuai dengan tuntutan hawa nafsu manusia, karena selain itu semua ibadah betapapun ringannya selalu berhadapan dengan nafsu. Hal ini perlu dipahami oleh siapa saja yang berhubungan langsung dengan pernikahan terutama calon mempelai dan orang tua sebagai walinya.
Pada dasarnya menikah untuk mencari kenikmatan adalah mubah. Tak bisa menjadi kesunahan apabila diniatkan untuk mendapatkan anak atau mengikuti sunah Rasul. Bahkan menikah menjadi wajib bagi orang yang mampu, yang khawatir terjerembab dalam lubang dosa (perzinaan) karena dorongan nafsu yang tak terkendalikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba‘ah: I 7, Nizham AJ-Usrah)
Dalam sebuah pernikahan tidak bisa tidak harus ada calon mempelai pria dan perempuan yang berlainan mahram, ada akad yang dilakukan wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada maskawin atau mahar.
Namun dalam realitas, tidak semua persyaratan itu saling mendukung. Yang sering terjadi adalah ketidaksesuaian antara anak dan walinya dalam menentukan pilihan pasangan. Kadang wali bersikeras dengan pilihannya, dan sebaliknya pula dengan si anak yang bersikukuh dengan pilihannya sendiri. Atau ketidak sesuaian itu hanya masalah waktu saja, anak ingin cepat-cepat menikah sementara wali ingin lebih lama karena alasan-alasan tertentu.
Wali nikah itu ada dua macam. Pertama, wali mujbir (ayah dan kakek), keduanya berhak memaksa anaknya menikah. Kedua, bukan mujbir, yaitu semua wali selain ayah dan kakek. Mereka tidak berhak memaksakan pernikahan. Baik wali mujbir atau bukan mujbir, menikahkan anak gadis yang sudah cukup umur dan berkeinginan menikah adalah wajib hukumnya. Apabila wali enggan atau menolak tanpa alasan-alasan syari’i untuk menikahkan anak gadisnya, maka wali hakimlah sebagai walinya. Jika ayah dan anak gadis sama-sama memiliki pilihan yang sama-sama sepadan (kufu), maka ayah boleh memaksakan pilihannya pada anaknya dan wali hakim tidak boleh menikahkannya dengan pria pilihan si gadis karena itu bukan termasuk penolakan wali. ( Al-Fiqh Al-Manhajr II, 64-65, I’anah Ath-Thalibin, 3).
Adapun jika perselisihan itu terjadi dalam hal penentuan waktu seperti yang penanya ajukan, maka perlu diperhatikan bahwa waktu menikah adalah ketika seseorang sudah baligh, berakal dan berkeingman untuk menikah. Dan bagi laki-laki, sudah mampu memberikan nafkah dan maskawin. Saat itu tak ada lagi alasan lain untuk menunda pernikahan termasuk alasan kuliah apalagi dengan sederetan kekhawatiran fitnah dan terjerumus ke lembah dosa. Dalam keadaan seperti ini jika wali menolak, boleh dengan wali hakim. (Al-Fiqh Al-Manhajr II, 64).
Di satu sisi belajar adalah penting, tapi di sisi yang lain di tengah masa belajar yang panjang, dorongan nafsu semakin kuat, itu tidak bisa kita ingkari. Apalagi di sekitarnya terdapat tampilan yang mengusik nafsu seperti p*rn*grafi, p*rn*aksi dan pengawasan orang tua yang tidak bisa menjangkau pergaulan putra putrinya. OIeh karena itu bagi orang tua yang memandang penting kuliah hendaknya juga tidak menafikan kepentingan anaknya untuk menikah sehingga dapatlah diambil jalan tengah. Bagi orang tua dengan menikahkan anaknya, dan bagi anak kuliah jalan terus. Toh dalam perkuliahan tidak diharuskan lajang. Atau altematif lain si anak ikut orang tua untuk tidak menikah saat kuliah dengan syarat ia mampu mengendalikan nafsunya. Kalau tidak bisa maka masing masing pihak perlu menyadari akan adanya kebutuhan biologis. Pernikahan adalah fitrah manusia sebagaimana Adam dan Hawa.
0 komentar:
Post a Comment