Tanya : Begini Kiyai, kami telah cerai dan mempunyai empat orang anak, yang dua di antaranya ikut bersama ayahnya sedang yang dua lagi ikut bersama saya. Yang ingin saya tanyakan, menurut pandangan agama dan hukum, masih berhakkah anak-anak yang ikut saya mendapatkan nafkah dari ayahnya ?Jika berhak sampai kapan batas waktunya ? (Sugorini, Semarang)
Jawab : Pada dasarnya, setiap pasangan suami istri menginginkan hubungan mereka bertahan selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah membina keluarga yang utuh agar tercipta kehidupan yang tenteram serta bahagia. Tetapi, ketika hubungan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi.
Bagaimanapun, perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu.
Karena hal-hal seperti itulah, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah meskipun diperbolehkan (halal). Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian’ (HR. Abu Dawud,Ibnu Majah dan Hakim)
Jawab : Pada dasarnya, setiap pasangan suami istri menginginkan hubungan mereka bertahan selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah membina keluarga yang utuh agar tercipta kehidupan yang tenteram serta bahagia. Tetapi, ketika hubungan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi.
Bagaimanapun, perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu.
Karena hal-hal seperti itulah, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah meskipun diperbolehkan (halal). Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian’ (HR. Abu Dawud,Ibnu Majah dan Hakim)
Halal karena dalam situasi dan kondisi tertentu dibutuhkan. Dibenci karena membawa akibat-akibat buruk.
Perceraian menjadi musibah atau rahmah tergantung pada bagaimana dan kapan kita melakukannya, dengan mempertimb angkan keuntungan dan risiko yang akan muncul.
Sebagaimana saya katakan di atas bahwa anak adalah pihak yang paling dirugikan akibat perceraian orang tuanya. Maka pertanyaaan yang layak dikedepankan adalah apakah akibat perceraian, anak-anak masih berhak mendapatkan nafkah dan ayahnya?
Hal ini sangat penting karena pada satu sisi masalah pangan menduduki urutan teratas kebutuhan manusia, sementara anak belum mampu bekerja. Pada sisi lain, kebanyakan laki-laki yang menceraikan istrinya tidak memperhatikan nafkah anaknya lagi. Apalagi jika telah menikah lagi dengan perempuan lain.
Menurut para ulama, nafkah yang didefinisikan sebagai : “kullu ma yahtajuh al-insan min tha‘am wa syarab wa kiswah wa maskan” (segala sesuatu yang dibutuhkan manusia berupa makanan minuman pakaian dan tempat), tetap wajib diberikan orang tua (bapak) kepada anaknya, meskipun ibunya telah dicerai.
Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah berikut :
Artinya : “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya “(QS. Ath-Thalaq: 6)
Perceraian hanya memutus tali perkawinan antara suami-istri (az-zaujiyah). Tetapi tidak memutus hubungan nasab orang tua dan anak (al-ubuwwah wa al-bunuwwah). Sampai kapanpun, status anak yang dihasilkan dalam perkawinan yang sah tetap berlaku. Jika kita mengenal ungkapan “bekas istri atau mantan istri” maka tidak dikenal istilah “bekas anak atau mantan anak.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 diterangkan : Akibat perceraian, semua biaya hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Pasal ini secara eksplisit membebankan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian.
Anak adalah amanat Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Barangsiapa menelantarkan anak, maka akan memperoleh balasan yang setimpal di akhirat kelak.
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiyanati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhiyanati amanat-amanat ,yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiyanati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhiyanati amanat-amanat ,yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28)
Secara sosiologis, pengabaian nafkah anak pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal sang suami.
0 komentar:
Post a Comment