Tanya : Saya menyembelih dengan membaca basmalah, shalawat, dan tasyahud. Apakah cara ini sudah benar?
Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.
Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)
Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.
Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.
Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin.
Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.
Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)
Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.
Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.
Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin.
Penyembelihan hanya diperuntukkan bagi hewan-hewan yang halal. Penyembelihan hewan yang diharamkan seperti anjing atau babi tidak dapat membuatnya halal.
Penyembelihan tidak sekadar bertujuan membunuh binatang. Meski setiap sembelihan secara syar’i berakhir dengan kematian, ada aturan-aturan yang harus dipenuhi yang menyangkut siapa, dengan apa, dan bagaimana penyembelihan dilakukan.
Penyembelihan dilakukan oleh orang Islam dengan semua benda tajam yang bisa mengalirkan darah selain kuku dan gig.
Artinya: “Suatu benda (yang dipergunakan untuk menyembelih) yang dapat menumpahkan darah dan menyebut nama Allah (ketika menyembelih), maka makanlah kamu (hewan sembelihan itu). Tidak gigi dan kuku. Adapun gigi itu sejenis tulang dan kuku itu pemotong orang Habsyi (kafir).” (Muttafaq alaih)
Mengenai caranya, terdapat perbedaan di kalangan utama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) organ leher yang perlu diperhatikan, yaitu mari (jalan makanan dan minuman), khulqum (jalan nafas), dan wadajain (jiwa otot yang mengapit marl dan khulqum).
Imam Malik berpendapat khulqum dan wadajain harus dipotong. Imam Syafi’i berpendapat, yang harus dipotong adalah khulqum dan mari, sedangkan wadajain hanya sunah belaka. Berbeda pula pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau yang dipotong adalah khulqum, mari, dan salah satu wadajain.
Berdasarkan kaidah al khuruj min al-khilaf, mustahab, yang terbaik adalah memotong semuanya, ‘khulqum, mari, dan wadajain. Sengaja ketiga organ itu yang dipilih, karena dapat mempercepat kematian sehingga penderitaan hewan saat disembelih tidak terlalu lama dan lebih mempermudah keluarnya darah dari tubuhnya. Dan dalam kaitan ini Rasulullah memerintahkan agar pisau yang digunakan diasah terlebih dahulu. Demikian halnya dengan pembacaan basmalah, wajib menurut Abu Hanifah kecuali lupa. Sementara Imam Syafi’i cenderung menganggapnya sunah (Mizan Al-Kubra).
Dalam surat Al-An’am ayat 118, Allah berfirman:
Artinya: “Maka makanlah olehmu (hewan) yang disembelih dengan nama Allah.” (QS. A1-An’am: 118)
Lalu dilanjutkan pada ayat 121:
Artinya: “Dan janganlah kamu makan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, sungguh yang demikian itu adalah fasik. “(QS. A1-An’am: 121)
Kedua ayat tersebut diperkuat hadis dan sahabat Adiy Ibn Hatim yang mengatakan Rasulullah pernah bersabda:
Artinya: “Kalau kamu melepaskan anjing buruanmu maka sebutlah nama Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis itu cukup panjang dan masih ada terusannya, dan bisa kita dapatkan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram yang banyak dipakai oleh madrasah-madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah. (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)
Dalam kedua ayat dan hadis tersebut ada perintah menyebut nama Allah ketika menyembelih dan melepaskan anjing buruan kita. Perbedaan pendapat bermula dari tiadanya kesepakatan dalam menilai, apakah perintah tersebut wajib (li al-lbahah jam’u al-jawami’). Di samping itu perbedaan dapat pula timbul dari penafsirannya yang berbeda terhadap ayat di atas. (Tafsir Ash-Shawi).
Dalam Madzhab Syafi’i, selain membaca basmalah juga dianjurkan membaca shalawat. Adapun mengucapkan tasyahud dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i, sepengetahuan penulis tidak ada keterangan yang menganjurkan.
Dengan demikian, menyembelih dengan membaca basmalah dan shalawat asal memenuhi syarat-syarat di atas -dengan memotong khulqum dan mari, menurut Madzhab Syafi’i- sudah benar. Tasyahud tidak perlu diucapkan. Kalau diucapkan tidak berpengaruh pada keluhan hewan yang kita sembelih.
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
0 komentar:
Post a Comment