Wednesday, 30 September 2015

Kalimat Dan Arti Tasbih

Kalimat tasbih yaitu “Subhanallah” Artinya “Maha Suci Allah
Diucapkan ketika kita melihat sesuatu yang menakjubkan atau melihat kejadian yang mengherankan.

Tasbih artinya mengakui kesucian Allah. Yakni meyakini sepenuh hati bahwa Allah Maha Suci, tiada yang suci selain Allah, dan tiada yang diterima Allah selain yang suci pula.

Jika seseorang telah mengucapkan tasbih berarti Ia telah berikrar untuk menjadi Hamba Allah yang senantiasa memandang dzat Allah adalah satu-satunya yang suci.

Kalimat tasbih merupakan salah satu kalimat pujian kepada Allah. Kita memuji Allah atas segala kebesaran dan kekuasaanNya. Allah adalah pencipta alam semesta dan seluruh sinya. Kita sebagai manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah. Pantaslah kalau kita memuji Nya.

Kalimat tasbih sering kita baca pada waktu berdzikir setelah shalat, kalimat tasbih juga merupakan kalimat thayyibah yang kita ucapakan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan atau melihat kejadian yang mengherankan dan juga pujian kepada Allah atas segala kebesaran dan kekuasaan Allah.

Kalimat Tasbih diucapkan ketika :
1.    Keindahan ciptaan Allah SWT, Contohnya:
  • Laut yang luas, lautan merupakan ciptaan Allah yang sangat luas dan tak terbatas,sehingga ketika kita melihat alam semesta di lautan sepertinya ciptaan Allah itu sangat besar.
  • Gunung yang menjulang tinggi, ketika kita mendaki atau lewat di daerah pegunungan yang kita dapatkan hamparan hutan hijau yang indah sehingga kita selalu merigucapkan dan menyebut dengan kekuasaan Allah
  • Alam raya, kita hidup di alam raya untuk dapat menyakini kebesaran Allah dengan selalu mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah)
  • Tumbuhan yang beraneka ragam, ciptaan Allah yang juga tak kalah mengagumkan adalah tumbuhan yang ada disekitar kita, banyak bermacam tumbuhan yang menghiasi halaman dan lingkungari kita
  • Hewan yang berbagai ienis, hewan ada yang bisa kita makan bermacam rasa dan kegunaan dari setiap hewan, dan ada hewan ternak yang dagingnya bisa kita nikmati secara mudah.
2. Setelah shalat fardhu yaitu, biasanya kalimat tasbih diucapkan 33 kali
3. Ketika shalat, bacaan tasbih di baca pada saat gerakan rukuk dan sujud
4. Dimanapun kita berdzikir. Karena mengingat dan menyebut nama Allah tidak hanya dalam shalat, tapi juga ketika berdzikir di luar shalat.

Tidak hanya manusia yang bertasbih kepada Allah SW1 semua makhluk ciptaanNya juga bertasbih kepadaNya. Namun manusia saja yang tidak mengerti ucapan tasbih mereka.
Allah berfirman :
Artinya:”telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Keutamaan mengucapkan tasbih di antaranya:
• Menghapus dosa
• Mendekatkan diri kepada Allah

Kalimat Dan Arti Syahadatain

Kalimat Syahadatain

Syahadatain berarti dua kalimat syahadat, lafalnya adalah :


Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad utusan Allah.”

Mengucapkan dua kalimat syahadat harus dengan suara yang jelas, benar dan fasih. Orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat atau syahadatain berarti sudah masuk Islam.

Apakah kita tahu ketika saat apa saja kita membaca dua kalimat syahadat?

Dua kalimat syahadat biasa di baca ketika kita shalat, yaitu pada saat tahiyat awal dan tahiyat akhir. Dan juga dibaca ketika orang yangbaru masuk islam. Syahadatain termasuk rukun Islam. Orang islam wajib hukumnya melafalkan syahadatain. Syahadatain adalah persaksian atau janji setia manusia dengan Allah dan juga persaksian antara umat Islam dengan Rasulullah Muhammad.

A. Kalimat Syahadat Tauhid dan Terjemahannya
Syahadat tauhid adalah penyataan bahwa tidak tuhan selain Allah Alam semesta dan semua isinya adalah bukti bahwa telah Allah menciptakan Alam dan juga seluruh isinya.

Oleh karena itu hanya Allah yang patut di sembah dan tidak ada tuhan selain Allah.
Lafaz Syahadat Tauhid :

B. Kalimat Syahadat Rasul dan Terjemahannya
Syahadat rasul adalah penyataan kita bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Nabi Muhammad SAW, adalah rasul yang diutus Allah. Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir. Sebagai ummat Islam kita harus percaya.

Baca juga artikel Manfaat dan Khasiat Basmalah :
Manfaat Dan Khasiat Basmalah (Bismillah) Bagian 1 
Manfaat Dan Khasiat Basmalah (Bismillah) Bagian 2
Manfaat Dan Khasiat Basmalah (Bismillah) Bagian 3

Dinamakan syahadat rasul karena kita yakin bahwa:

- Nabi Muhammad itu seorang nabi.
- Nabi Muhammad adalah utusan Allah untuk menyampaikan segala perintah dan larangannya.
- Nabi Muhammad adalah rasul terakhir.
- Nabi Muhammad tauladan semua manusia.
- Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang mulia.
- Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam yaitu ajaran yang mengajak manusia untuk berbuat kebaikan supaya manusia selamat di dunia dan di akhirat.

Lafaz Syahadat Rasul

Artinya: “aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”

C. Dalil Kalimat Syahadatain

Allah ta’ala berfirman :
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak adalah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal” (QS. Muhammad 471: 19)

Begitu juga Allah ta’ala berfirman :
“Akan tetapi (orang yang dapat member syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(Nya).” (Az Zukhruf : 86)
Rangkuman
1. Kalimat Syahadat artinya Perjanjian atau Kesaksian
2. Kalimat Syahadat terdiri dari dua kalimat
3. Dua kalimat syahadat disebut juga Syahadatain
    - Syahadat Tauhid, Yaltu : pernyataan bahwa tidak ada tuhan selain Allah
    - Syahadat Rasul, Yaitu : Pernyataan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah

Tuesday, 29 September 2015

Kapan Waktu Diperbolehkannya Melihat Calon Istri Menuruf Fikih Islam


Dalam literatur klasik, diterangkan bahwa khitbah (tunangan) hanya sebagai tahapan awal untuk saling mengenal kepribadiannya masing-masing. Sehingga kedekatan hubungan dalam konsep ini diperketat hanya sebatas melihat wajah dan telapak tangan, karena dengan cara demikian, rahasia fisik dan karakter calon tunangan sudah dapat diketahui.

Pertanyaan:
a. Kapankah diperbolehkannya melihat calon yang akan dipinang?
b. Apakah juga boleh bagi perempuan melihat pada lelaki yang akan meminangnya?

Jawab :
a. Dilakukan ketika ada kehendak meminang dan ada harapan untuk diterima, begitu juga diperbolehkan memandang setelah pinangan diterima menurut sebagian pendapat.

b. Diperbolehkan.

Referensi :
 

Hukum Memakai Obat Kuat Menurut Syari’at


Mas Andi yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan perempuan idamannya, ternyata merasa kurang puas dengan kesan malam pertamanya Karena ketidak puasannya itu, akhirnya dia mengkonsumsi obat kuat. untuk menunjukkan keperkasaan dan kejantanannya pada sang istri. Bagaimana hukum mengkonsum obat kuat sebagainmna dalarn kasus di atas?

Jawab : Hukumnya diperbolehkan jika untuk kebahagian sang istri.

Reierensi : 


Konsep Pacaran Islami

Seorang manusia jika tertarik pada lawan jenisnya, itu wajar saja. Karena itu sebuah kodrat yang tak lepas dari kehidupan manusia. Namun masib banyak yang belum mengetahui cara membina dan mengekspresikan rasa cinta tersebut. Sehingga dewasa ini, sering kita mendengar istilah pacaran, yang menurut mereka pacaran adalah satu-satunya cara yang dapat mengenal lebih jauh karakter calon pasangannya. Bagaimana konsep Islam mengatur hubungan “Pacaran secara Islami” antara pasangan remaja yang sedang jatuh cinta?

Jawab : Islam tidak membenarkan adanya pacaran, sedangkan konsep Islam dalam mengatur hubungan antara sepasang remaja yang sedang jatuh cinta dan benar-benar telah berkeinginan untuk menikah adalah disunahkan segera menikah apabila sudah berhasyrat, serta calon suami mampu membayar mahar dan menafkahi. Sedangkan prosedur yang dibenarkan bagi laki-laki yang sungguh-sungguh berkeinginan meminang seorang wanita untuk lebih mengenal dan mengetahui karaktemya adalah sebagai berikut :

Mengirim delegasi untuk menyeidiki masing-masing pasangannya, dengan syarat delegasi tersebut harus orang adil , dapat dipercaya dan sama mahram atau sama jenis dengan calon yang diselidiki.

Berbincang-bincang, duduk bersama namun harus disertai dengan mahramnya.

Sebatas melihat wajah dan telapak tangan saja (menurut Syafi’iyyah). Tidak ada keraguan atau prasangka akan ditolak lamarannya.

Referensi : 
 
 
 

Hukum Rokok Dilihat Dari Kacamata Fikih Islam

Sudah lama persoalan rokok menjadi kontroversi yang tidak pernah usai. Sebagian di antara ulama berpendapat dan menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Inilah keragaman pendapat dalam Islam, yang masing-masing memiliki dasar dalam membuat fatwa.

Perbedaan pendapat itu dikarenakan pada rujukan nash yang bersifat umum yang menjadi patokan hukum atas persoalan rokok ini, yakni adanya larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur'an dan Hadis sebagai berikut:

Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)

Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain).” (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Berdasar dari dua nash di atas, seluruh ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak ?, dan bermanfaat ataukah tidak ?. Disinilah  muncul perbedaan pendapat dalam hal menafsirkan dan menginterpretasikan soal kemudharatan dan kemanfaatan dari rokok.

Perbedaan-perbedaan pendapat  serta argument dari ulama-ulama terkait rokok dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah mubah atau boleh berargumen karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Dan menilik bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
 
Dalil yang mendasari rokok mubah :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”

Kedua ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah makruh berargumen karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan (belum cukup alasan) untuk menyatakan dan menjadikan dasar hukum haram.
 
Dalil yang mendsarkan rokok makruh :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”
 
Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang menyatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’i “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah” kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Olehkarena itu, karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah. Jadi jika suatu persoalan yang belum ada dalil jelas dari Quran maupun hadis dihukumi mubah.

Namun hukum mubah bisa menjadi haram jika dengan merokok dapat menimbulkan atau memperparah penyakit bagi orang yang mempunyai penyakit yang berbahaya.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Mengingat bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Dalil yang mendasarkan rokok haram :
Firman Allah SWT :
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A'raf 7:15)

Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra 17:26-27)

Ayat lain yang sering diajukan dalil adalah QS An-Nisa' 4:29 dan Al-Baqarah 2:195.

Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, dll
Artinya: “Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.”

Artinya: “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)

 Alasan ulama yang mengharamkan rokok antara lain adalah sbb:
1. Mengganggu kesehatan
2. Pemborosan
3. Mengganggu kesehatan masyarakat
4. Mengganggu kesehatan lingkungan

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara umum bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut diatas berlaku secara individual, dengan pengertian setiap individu akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, sedhananya tiap hukum merokok dikembalkan pada dampak dan kondisi yang ditimbulkan akibat rokok.

Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) menjelaskan sebagai berikut:
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) berpendapat sebagai berikut:
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”

Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) berpendapat sebagai berikut:
“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”

Kesimpulan Pendapat Hukum

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka lmelihat kenyataan bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau kalaupu membawa mudarat relatif kecil. Dianalogikan, bahwa kemudaratan merokok tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. 

Kedua; ulama sekarang cenderung mengharamkan merokok karena lebih melihat pada informasi mengenai hasil penelitian medis yang menyatakan bahaya rokok (berdampak besar) bagi kesehatan, khusunya menmbukan penyakit dalam. Apabila model penelitian medis semacam ini kurang dicermati, jika kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Lalu, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.

Tapi bukankah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Lalu apakah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu terus dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya ?

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relative, dalam arti dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang dipastikan tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi hanya kadarnya kecil.

Keempat; jika merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Jika dalam kasus rokok dpat memberikan semangat bagi yang mengkonsumsinya, tentunya dalam kadar yang tidak berlebihan. Karena apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya.

Nah, itulah beberapa hukum terkait rokok, perbedaan pendapat danpandangan dalam menghukumi rokok sudah diuraikan, lalu mau mengikuti pendapat yang mana ? penulis hanya bisa mengajak pembaca untukdapat menakar sejauhmana dampak kemudharatan dan atau manfaatnya. Semoga bermanfaat.

Monday, 28 September 2015

Godaan Iblis (Kisah Teladan Untuk Anak)


Godaan Iblis
QS. A1-Baqarah : 36-39

Iblis terus menunggu waktu yang tepat untuk menggoda dan menyesatkan Nabi Adam. Iblis mengintai Nabi Adam dan Siti Hawa untuk mencari cara mencelakakan mereka. Ia menjelma menjadi sosok yang baik serta menggunakan cara dan kata-kata yang halus untuk mendapatkan kepercayaan Nabi Adam.

Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa tampak terpedaya, secara perlahan-lahan iblis merayu mereka untuk memakan buah dari pohon terlarang. Sudah tentu, Nabi Adam menolak bujukan iblis. Akan tetapi, iblis terus berusaha sampai tujuannya berhasil.

Iblis mengatakan kepada Nabi Adam bahwa Allah melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang karena bila mereka memakannya mereka akan menjelma menjadi malaikat yang hidup kekal. “Hai Adam, sesungguhnya bila kamu memakan buah dari pohon ini, hidupmu akan kekal di surga,” bujuk iblis.

Iblis terus-menerus mengulangi bujukannya sambil menunjuk buah yang tampak lezat dan ranum itu. Lama kelamaan, Nabi Adam dan Siti Hawa pun terbujuk. Mereka memetik dan mencicipi buah terlarang itu. Serta-merta, terbukalah aurat mereka. Karenanya, mereka menjadi malu dan menutupinya dengan dedaunan.

Setelah kejadian itu, datanglah firman Allah yang berbunyi, “Tidakkah Aku mencegah kalian untuk mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Dan tidakkah Aku telah mengingatkan kamu bahwa setan itu adalah musuhmu yang nyata.”

Mendengar firman itu, Nabi Adam dan Siti Hawa sadar bahwa mereka telah melakukan dosa besar dengan melanggar perintah Allah. Mereka menyesal dan berkata, “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan telah melanggar perintah-Mu karena kami tergoda
rayuan iblis.

Ampunilah dosa kami karena kami akan tergolong dalam golongan orang-orang yang rugi apabila Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami. Nabi Adam dan Siti Hawa terus meminta ampun kepada Allah.

Mereka sangat menyesal karena terbujuk rayuan iblis yang menyesatkan. Mereka amat berharap Allah berkenan mengampuni mereka.

Nabi Adam Ditempatkan Di Surga (Kisah Teladan Untuk Anak)


Nabi Adam Ditempatkan Di Surga
Al-Baqarah : 35

Nabi Adam ditempatkan oleh Allah di surga yang sangat indah. Di surga, Allah menyediakan berbagai macam hidangan serta pepohonan yang berbuah lebat dan enak dimakan. Nabi Adam tinggal sendirian di sana.

Pada suatu waktu, saat Nabi Adam tertidur pulas, Allah menciptakan seorang perempuan bernama Siti Hawa. Siti Hawa diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi Adam sebagai istrinya.

Allah berpesan kepada Nabi Adam setelah ia terbangun, “Tinggallah engkau bersama istrimu di surga, nikmatilah buah-buahan yang lezat, cicipi dan makanlah sepuasmu. Kamu tidak akan lapar, dahaga, atau lelah selama berada di surga. Tetapi Aku ingatkan, janganlah engkau makan buah dan pohon ini (buah khuldi) yang akan menyebabkan kamu celaka dan termasuk orang-orang yang zalim. Ketahuilah bahwa iblis itu adalah musuhmu dan musuh istrimu. Iblis akan berupaya membujuk dan mengajakmu keluar dari surga sehingga tercabutlah kebahagiaan yang kamu nikmati ini.”

Sejak saat itu, Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal bersama di surga yang penuh dengan nikmat Allah. Mereka senantiasa berusaha untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Saturday, 26 September 2015

Beriman Bahwa Allah Itu Ada (Wujud)

Kita wajib percaya bahwa Allah itu ada (Wujuud). Wujuud artinya “Ada” maka mustahil “Tiada”.

Dalilnya : Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Boqarah:29)

Allah memang gaib, yaitu tidak tampak oleh penglihatan makhluk, tetapi Allah itu ada. Keberadaan-Nya dapat kita rasakan dengan melihat segala sesuatu yang terjadi di alam ini. Jika kita melihat planet-planet yang bergerak mengelilingi matahari secara teratur, tidak mungkin planet-planet itu bergerak dengan sendirinya. Ia bisa bergerak dengan teratur karena memang ada yang menggerakkannya. Meski kita tidak melihat yang menggerakkannya, namun kita yakin ada kekuatan besar yang menggerakkannya. Manusia tidak mungkin menggerakkannya. Lalu siapa lagi yang bisa menggerakkannya kalau bukan Allah yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, meskipun kita tidak dapat melihat Allah, tetapi kita bisa merasakan Allah itu ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti mebutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yatu Allah Robb semesta alam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur: 35)

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan diriinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendini)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Robbmu atau merekakah yang berkuasa” (Ath Thuur: 35-37)

Ia, yang tatkala itu masih musynik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari)

Kalimat Tayyibah

Kalimat thayyibah merupakan kalimat atau ucapan yang kita ucapkan ketika kita mendengar atau mengalami kejadian menyenangkan, musibah ataupun kesulitan. Sehingga kita terbiasa mengucapkan kalimat thayyibah dalam keadaan apapun.

Dalam Al-Quran surat Ibrahim Allah memberikan perumpamaan tentang kalimat thayyibah dengan perumpamaan sebuah pohon “Tidakkah kamu memahami bahwa Allah telah menggelar perumpamaan “Kalimat Thayyibah” itu seperti “Syajarah Thayyibah”. Akarnya kokoh dan puncaknya di langit. Ia memberikan manfaatnya setiap saat, dan Allah menggelar perumpamaan itu bagi manusia, agar mereka mengambil pelajaran”.

Firman Allah SWT :
Artinya : “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu inqat. (QS. Ibrahim 14 : 25).

Kalimat thayyibah mengandung arti kalimat-kalimat yang baik yang berisi tentang ungkapan zikir kepada Allah. Karakteristik kalimat thoyyibah sebagaimana dalam surat Ibrahim di atas mengandung tiga unsur pokok yaitu: Pokok (akar)nya terhunjam kokoh di bumi, Puncaknya di langit, mendatangkan manfaat setiap saat, sepanjang waktu. “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dari rasa takut, dan dengan tidak meninggikan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dari rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. 7:205 )

Kalimat Ta’awudz


Kalimat thayyibah salah satunya adalah ta’awudz. Kalimat ta’awudz adalah kalimat untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari godaan dan rayuan setan untuk melakukan hal yang dilarang Allah.

Lafaz kalimat ta’awudz adalah sebagai berikut:

Audzu billahi minasyyaitoni rojim” yang artinya “Aku benlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk

Ta’awudz biasa dibaca ketika kita sedang merasa ketakutan. Karena syaitan selalu menggoda manusia, sehingga kita diperintahkan untuk selalu memohon perlindungan Allah dari godaan syaitan.

Tujuan mengucapkan kalimat ta’awuz adalah untuk menghindarkani diri dari godaan setan dari setiap amal perbuatan yang dilakukan. Untuk itu mengapa kita harus meminta pertolongan Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk.

Untuk itu kita harus selalu memohon pertolongan dan perlindungan Allah SWT. Melafazkan kalimat taawudz ini agar kita selamat dari rasa ketakutan tersebut.

Apakah kamu masih ingat kisah Nabi Adam AS yang dikeluarkan dari surga oleh Allah SWT? Allah SWT mengeluarkan Nabi Adam AS dan Hawa karena mereka melanggar larangan Allah SWT.

Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36)

Allah SWT melarang mereka memakan buah khuldi. Tetapi karena godaan setan begitu kuat, keimanan mereka goyah. Mereka berdua memakan buah itu. Akibatnya Allah SWT menurunkan mereka dari surga ke bumi dalam keadaan terpisah satu sama lain. ltulah akibat dari godaan setan yang tenkutuk.

Setan mulai mengganggu manusia sejak Allah SWT mengusirnya dari surga. Allah SWT mengusir setan dari surga karena setan menolak untuk menyembah Nabi Adam AS. Dengan kesombongannya, setan merasa bahwa ia lebih mulia dari Adam. Setan sakit hati karena Allah SWT mengusirnya dari surga. Kanena itulah ia meminta kepada Allah SWT agar umurnya diperpanjang sampai hari kiamat nanti. Setan bersumpah akan menggoda Adam dan keturunannya. Karena itulah, kita harus senantia memohon perlindungan Allah SWT dari godaan setan.

Kalimat Ta awudz biasa kita lakukan ketika kita memulai membaca Al-Qur’an. Oleh karena itulah, kita senantiasa memohon perlindunagn Allah SWT dari godaan setan.

Firman Allah SWT :
Artinya : “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. An-Nahl : 98)

Waktu tepat untuk membaca Ta’awudz yaitu :
  1. Ketika mulai membaca Al-Qur’an, setiap hari kita membaca Al Qur’an, maka terlebih dahulu kita membaca ta’awudz.
  2. Sebelum mendirikan salat. Shalat adalah rukun islam yang wajib, kita selalu memulai melakukan shalat dengan membaca ta’awudz.
  3. Ketika melewati tempat-tempat yang menyeramkan, misalnya hutan, gua, atau kuburan.
  4. Ketika melakukan kegiatan lain. Selain ketika beribadah, kita dianjurkan memohon perlindungan kepada Alllah SWT dan godaan setan. Agar semua kegiatan yang kita lakukan tidak keluar dari aturan agama Islam.

Wednesday, 23 September 2015

Cara Menyembelih Dan Memotong Hewan

Tanya : Saya menyembelih dengan membaca basmalah, shalawat, dan tasyahud. Apakah cara ini sudah benar?

Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.

Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.

Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.

Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin. 

Penyembelihan hanya diperuntukkan bagi hewan-hewan yang halal. Penyembelihan hewan yang diharamkan seperti anjing atau babi tidak dapat membuatnya halal.

Penyembelihan tidak sekadar bertujuan membunuh binatang. Meski setiap sembelihan secara syar’i berakhir dengan kematian, ada aturan-aturan yang harus dipenuhi yang menyangkut siapa, dengan apa, dan bagaimana penyembelihan dilakukan.

Penyembelihan dilakukan oleh orang Islam dengan semua benda tajam yang bisa mengalirkan darah selain kuku dan gig.

Artinya: “Suatu benda (yang dipergunakan untuk menyembelih) yang dapat menumpahkan darah dan menyebut nama Allah (ketika menyembelih), maka makanlah kamu (hewan sembelihan itu). Tidak gigi dan kuku. Adapun gigi itu sejenis tulang dan kuku itu pemotong orang Habsyi (kafir).” (Muttafaq alaih)

Mengenai caranya, terdapat perbedaan di kalangan utama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) organ leher yang perlu diperhatikan, yaitu mari (jalan makanan dan minuman), khulqum (jalan nafas), dan wadajain (jiwa otot yang mengapit marl dan khulqum).

Imam Malik berpendapat khulqum dan wadajain harus dipotong. Imam Syafi’i berpendapat, yang harus dipotong adalah khulqum dan mari, sedangkan wadajain hanya sunah belaka. Berbeda pula pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau yang dipotong adalah khulqum, mari, dan salah satu wadajain.

Berdasarkan kaidah al khuruj min al-khilaf, mustahab, yang terbaik adalah memotong semuanya, ‘khulqum, mari, dan wadajain. Sengaja ketiga organ itu yang dipilih, karena dapat mempercepat kematian sehingga penderitaan hewan saat disembelih tidak terlalu lama dan lebih mempermudah keluarnya darah dari tubuhnya. Dan dalam kaitan ini Rasulullah memerintahkan agar pisau yang digunakan diasah terlebih dahulu. Demikian halnya dengan pembacaan basmalah, wajib menurut Abu Hanifah kecuali lupa. Sementara Imam Syafi’i cenderung menganggapnya sunah (Mizan Al-Kubra).

Dalam surat Al-An’am ayat 118, Allah berfirman:
Artinya: “Maka makanlah olehmu (hewan) yang disembelih dengan nama Allah.” (QS. A1-An’am: 118)

Lalu dilanjutkan pada ayat 121:

Artinya: “Dan janganlah kamu makan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, sungguh yang demikian itu adalah fasik. “(QS. A1-An’am: 121)

Kedua ayat tersebut diperkuat hadis dan sahabat Adiy Ibn Hatim yang mengatakan Rasulullah pernah bersabda:

Artinya: “Kalau kamu melepaskan anjing buruanmu maka sebutlah nama Allah.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadis itu cukup panjang dan masih ada terusannya, dan bisa kita dapatkan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram yang banyak dipakai oleh madrasah-madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah. (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Dalam kedua ayat dan hadis tersebut ada perintah menyebut nama Allah ketika menyembelih dan melepaskan anjing buruan kita. Perbedaan pendapat bermula dari tiadanya kesepakatan dalam menilai, apakah perintah tersebut wajib (li al-lbahah jam’u al-jawami’). Di samping itu perbedaan dapat pula timbul dari penafsirannya yang berbeda terhadap ayat di atas. (Tafsir Ash-Shawi).

Dalam Madzhab Syafi’i, selain membaca basmalah juga dianjurkan membaca shalawat. Adapun mengucapkan tasyahud dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i, sepengetahuan penulis tidak ada keterangan yang menganjurkan.

Dengan demikian, menyembelih dengan membaca basmalah dan shalawat asal memenuhi syarat-syarat di atas -dengan memotong khulqum dan mari, menurut Madzhab Syafi’i- sudah benar. Tasyahud tidak perlu diucapkan. Kalau diucapkan tidak berpengaruh pada keluhan hewan yang kita sembelih.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bolehkah Patungan Membeli Hewan Qurban ?

Tanya : Seperti kita maklumi bersama, harga seekor sapi jutaan rupiah. Apalagi yang besar dan gemuk. Karena itu, saya mempunyai gagasan membeli sapi bersama-sama dengan orang lain secara patungan. Pertanyaan saya, apakah hal itu dperbolehkan?  (Muntafi’un, Demak)

Jawab : Bulan Dzulhijjah termasuk bulan istimewa. Paling tidak terdapat dua alasan. Pertama, pada bulan itu terdapat Idu Adha. Kedua, di dalamnya pula ibadah haji, rukun Islam kelima ditunaikan. Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulluijjah, tidak dapat dilepaskan dari ibadah Qurban, yakni penyembelihan hewan dalam rangka beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Istilah qurban diambil dan bahasa Arab al-qurban, yang secara harfiah mempunyai arti “dekat”. Sebab dengan penyembelihan hewan qurban, seseorang berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Perintah berqurban dijumpai dalam A1-Qur’an, surat Al-Kautsar, ayat 2, yang berbunyi, “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Di samping itu, banyak hadis yang menjelaskan berbagai aspek tentang qurban. Berkurban hukumnya sunat muakkad. Sehingga sangat dianjurkan orang-orang yang secara ekonomi mampu membeli hewan kurban (Madzahib Al-Arba’ah, I, h. 717). Qurban merupakan salah satu mibadah sosial (al-’ibadahal-ijtima’iyah), yang manfaatnya tidak terbatas pada pelakunya. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Di sinilah letak nilai lebih ibadah qurban dibandingkan dengan ibadah lain yang bersifat individual (al-’ibadah asy-syakhshiyah).

Tidak semua hewan dapat dijadikan qurban. Pertama-tama, hewan tersebut halal dimakan. Hewan yang halal banyak jenisnya Tetapi yang sah untuk berqurban menurut para ulama, terbas pada tiga jenis, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing.

Itu pun masih ditamhah persyaratan mencapai umur minimal. Unta paling tidak harus berumur lima tahun. Sapi/kerbau berumur dua tahun. Kambing domba (adh dha‘n) telah berumur satu tahun. Kambing kacang (al-ma’z) paling tidak sudah genap berumur dua tahun. (Al-Madzahib Al-Arba’ah, I,h.71)

Selain itu, hewan qurban harus bebas dari cacat/penyakit yang dapat mengurangi daging. Tidak cukup berqurban dengan hewan yang buta, pincang, sangat kurus, sakit, dan lain-lain.

Ketentuan ini sepenuhnya bisa dimaklumi. Hewan yang sakit, di samping dagingnya kadangkala berbahaya bagi kesehatan, pada umumnya badannya kurus karena tidak tumbuh secara normal. Begitu juga hewan yang pincang dan buta.

Sedangkan hewan yang terlalu kurus, dagingnya sedikit. Padahal qurban dimaksudkan oleh Allah sebagai suguhan (dhiyafah) kepada hamba-hamba-Nya. (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 719).

Dan ketiga jenis di atas, unta yang paling utama. Disusul sapii kerbau dan kambing. Tetapi tujuh ekor kambing untuk satu orang masih lebih baik daripada seekor unta. Urutan ini berdasarkan jumlah daging yang dimiliki.

Unta lebih besar daripada sapi. Sapi lebih besar daripada kambing. Dengan pertimbangan yang sama, hewan yang gemuk lebih diutamakan danpada yang kurang gemuk. (Majmu’. VIII, h. 395)

Skala prioritas tersebut sejalan dengan salah satu kaidah fiqh yang berbunyi “al-muta’addiy afdhal min al-qashir” (ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada ibadah yang dirasakan oleh sedikit atau satu orang). Hewan yang lebih besar atau gemuk, dagingnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Manusia dalam masalah rezeki tentu saja berbeda-beda. Mengingat harga sapi relatif lebih mahal dan tidak terjangkau bagi kalangan tertentu, terlontar ide untuk membelinya secara patungan (al-isytirak) dengan orang lain. Menurut kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, tindakan ini diperbolehkan asalkan pesertanya tidak melebihi tujuh orang (Al-Majmu’, VIII, h. 398, Madzahib I, h. 721, Mausu’ah Al-Ijma I, h. 107)

Dalam satu hadis dari sahabat Jabir Ibnu Abdillah, beliau berkata: “Kami menyembelih bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang”. (Subul As-Salam, IV, h. 95). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Seekor unta untuk mencukupi tujuh orang dan seekor sapi mencukupi tujuh orang”.(Mausuah Al-Fiqh A-Islàmi; XIII, h. 330). Imam Al-Baihaqi, Sahabat Ali, Hudzaifah, Abi Mas’ud Al-Anshari, dan Aisyah juga berpendapat bahwa seekor sapi cukup untuk tujuh orang. (Majmu’, VIII, h. 399)

Dengan demikian, dapat saja tujuh orang sepakat membeli seekor sapi untuk keperluan qurban dan harganya ditanggung bersama, setiap orang membayar sepertujuh dari harga. Bahkan menurut madzhab Syafi’i, ketujuh orang terebut tidak disyaratkan berniat melakuakan qurban semua.

Jadi tidak tertutup kemungkinan, tiga dari mereka ikut patungan membeli sapi untuk keperluan konsumsi bukan berqurban.(baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Sehingga setelah disembelih, ketiganya mengambil bagian masing-masing, baru sisanya yang menjadi bagian empat orang menjadi daging qurban sesuai dengan niatnya semula.

Meskipun tujuh orang berqurban dengan seekor unta atau sapi secara patungan diperkenankan, para ulama berpendapat, satu orang berqurban seekor kambing lebih utama. (Majmu VIII, h. 395)

Kalau seekor sapi sudah mencukupi buat qurban tujuh orang, seekor kambing hanya untuk satu orang. Maka tidak boleh dua orang secara patungan membeli seekor kambing untuk berqurban bersama-sama. Sebab, tidak terdapat dalil yang memperbolehkan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Persoalan Seputar Qurban

Tanya : Hewan apa sajakah yang dapat digunakan untuk berqurban dan bolehkan orang yang berqurban memakan dagingnya? Sekarang ini saya melihat bahwa banyak orang-orang yang menjual anggota tertentu dari hewan qurban semisal kulit, boleh apa tidak Kiai? (Nursalaim A’la, Wonokromo)

Jawab : Qurban dalam terminologi fikih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. mulai terbitnya matahari pada hari raya Idul Adha (yaum an-nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Berqurban sangat dianjurkan bagi orang orang yang mampu karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadis di antaranya yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu dalam Al-Quran, Allah Swt. juga sudah menganjurkan hamba hamba-Nya untuk barqurban. Pesan ini termaktub dalam Al-Quran sebagai berikut: 

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”(QS. Al-Kautsar: 2)

Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukunnya. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an‘am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba atau kambmg, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak pada daging.

Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakan secara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh) orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis dan shahabat Jabir sebagai berikut:

Artinya: “Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang drin kami.” (Muttafaq‘alaih)

Adapun qurban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja. (Al-Iqna 277-278). (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut:

Artinya: “Dan makanlah sebagian daripadanya (an‘am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orag yang sengsara lagi faqir. “ (QS. A1-Hajj: 28)

Begitu pula yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah memakan hati hewan qurbannya. Ketentuan diperbolehkan mengambil bgian dari hewan qurban adalah 1/3 dari hewan qurban. Adapun bagi mereka Yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.

Lalu bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhu’afa, fakir miskin secara cuma-cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasar pada sebuah hadis riwayat Hakim sebagaimana berikut ini:

Artinya: “Barangsiapa menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Hakim)

Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan menjadi sandal, sepatu, tempat air dan sebagainya. Namun demikian tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama. Tidak diperkenankan pula membayar tukang menyembelih hewan dengan bagian dari hewan qurban sebagai upah, semisal membayar tukang jagal dengan kulit qurban, kepala dan kakinya. (baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Daging qurban disyaratkan untuk dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya, apakah itu untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah hak mereka.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tuesday, 22 September 2015

Rukun Iman

1. Iman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah artinya kita nyakin dan percaya bahwa Allah itu ada, Allah yang menciptakan kita.

Yang dimaksud beriman kepada Allah adalah meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan manusia, bumi, bulan, bintang, dan seluruh alam semesta. Iman kepada Allah harus ada pengucapan persaksian atau pengakuan bahwa Allah itu ada dan tidak ada tuhan selain Allah. Menciptakan manusia dan makhluk lainnya serta yang menggerakan alam semesta.

2. Iman Kepada Malaikal-Malaikat Allah

Malaikat adalah makhluk gaib, tidak kelihatan oleh mata biasa, sebab malaikat diciptakan Allah dari cahaya (nur). Malaikat mencabut nyawa, menyampaikan wahyu, mencatat amal baik dan buruk, pemberi rezeki dan lain-lain.

3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Yang dimaksud dengan beriman kepada kitab-kitab Allah SWT adalah bahwa setiap kaum muslimin wajib percaya bahwa Allah menuurunkan kitab-kitabNya kepada Rasul-Nya. Kitab suci itulah yang dijadikan pedoman hidup bagi manusia.

4. Iman Kepada Rasul-Rasul Allah SWT
Yang dimaksud dengan beriman kepada Rasul Allah adalah meyakini dan percaya bahwa Allah memilih manusia pilihan untuk diangkat sebagai utusanNya, untuk menyampaikan ajaran tauhid kepada umat manusia. Para rasul ini menerima wahyu Allah dengan perantaran malaikat Jibril 

Jumlah Nabi sangat banyak. Namun umat Islan wajib mengetahui sebanyak 25 Nabi Rasul.

Nama 25 Nabi dan Rasul
1. Nabi Adam a.s
2. Nabi Idris a.s
3. Nabi Nuh a.s
4. Nabi Hud a.s
5. Nabi SaIIeh a.s
6. Nabi Ibrahim a.s
7. Nabi Luth a.s
8. Nabi Ismail a.s
9. Nabi Ishak a.s
10. Nabi Yakub a.s
11. Nabi Yussuf a.s
12. Nabi Ayyub a.s
13. Nabi Syuaib a.s
14. Nabi Musa a.s
15. Nabi Harun a.s
16. Nabi Zulkifli a.s
17. Nabi Daud a.s
18. Nabi Sulaiman a.s
19. Nabi Ilyas a.s
20. Nabi Ilyasa a.s
21. Nabi Yunus a.s
22. Nabi Zakaria a.s
23. Nabi Yahya 0.5
24, Nabi Isa a.s
25. Nabi Muhammad s.a.w

5. Iman Kepada Hari Akhir/Kiamat
Yang dimaksud dengan beriman kepada hari kiamat adalah menyakini bahwa alam seluruh isinya akan hancur. Atau Allah akan memusnakan dunia dan seluruh isinya kemudian diganti dengan kehidupan akherat. Umat islam wajib meyakini bahwa hari kiamat pasti akan datang. Tetapi kapan datangnya? hanya Allah SWT yang tahu, sebagian firman-nya dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 187
“Artinya Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba, mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di Sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui’(Q.S. Al-A’raf : 187)

“Artinya: aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersurnpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. Ia berkata: “Bilakah hari kiamat itu ?“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: “Kemana tempat berlari?” sekali-kali tidak! tidak ada tempat berlindung! hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri meskipun Dia mengemukakan alasan-alasannya. (Q.S Al-Qiyamah : 1-15)

6. Iman Kepada Qadha dan Qadar

Yang dimaksud dengan beriman kepada Qadha dan Qadar adalah yakin bahwa semua kejadian di dunia merupakan atas kehendak dan takdir Allah SWI Sebagai umat Islam harus percaya bahwa apa yang kita kerjakan hanya sebatas usaha, Allah yang menentukan hasil akhirnya. Kita harus berusaha, berikhtiar, dan kemudian bertawakal kepada Allah yang menentukan segala hal.

Qodha adalah ketetapan Allah dalam alam azali tentang akan terjadi peristiwa pada seluruh alam dan kehancurannya, termasuk juga tentang nasib manusia seperti kelahiran, jodoh, rizki, dan kematian, serta kebahagian atau celaka dalam hidupnya.

Qadar atau takdir adalah sesuatu yang telah terjadi bagi seluruh alam, dan juga yang terjadi pada diri manuasia yaitu berupa kelahiran, jodoh, rizki, dan kematian, serta hidup bahagia atau celaka di dunia.
Allah berfirman:
“Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian reiki, yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S Al Baqarah : 3).

(baca juga : Mengenal Rukun Iman Kepada Allah)

Mengenal Rukun Iman Kepada Allah

Rukun iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Iman artinya percaya. Iman kepada Allah berarti yakin dan percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dialah Tuhan Yang Maha Esa, kepada-Nya semua bergantung dan memohon pertolongan. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tiada sesuatu pun yang setara dan dapat menyekutui-Nya.

Iman menurut etimologi berarti percaya, sedangkan menurut termlnologi, berarti membenarkan secara dengan hati, lalu diungkapkan dengan kata-kata, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Iman kepada Allah SWT berarti meyakininya dengan hati lalu diucapkan dengan lisan, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.  (baca juga : Rukun Iman)

Hal ini sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
Artinya: “iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)

Dalam Al-Quran :
Artinya:
Katakanlah Dia Allah Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dan tidak ada searangpun yang setara dengan Dia.
(QS. Al lkhlas:1-4)


Menyakini dan mengimani Allah merupakan rukun iman yang pertama. Pengertian rukun iman adalah suatu perkara yang wajib dikerjakan. Rukun iman artinya wajib bagi setiap muslim untuk mengimani bahwa Allah sebagal rabbal’alamin. Keimanan dan keyakinan kita kepada kita rabbal’alamin tidak boleh goyah.

Hal ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah SWT merupakan hal yang paling pokok dan mendasar bagi keimanan dan seluruh ajaran Islam. Untuk mempertebal keimanan maka seseorang harus mengenal sifat-sifat Allah SWT beserta Asmanya (Asmaul Husna)

Sedangkan fungsi iman dalam kehidupan manusia adalah sebagai pegangan hidup. Orang yang beriman tidak mudah putus asa dan ia akan memiliki akhlak yang mulia karena berpegang kepada petunjuk Allah SWT yang selalu menyuruh berbuat baik.

Fungsi iman kepada Allah SWT akan melahirkan sikap dan kepribadian seperti berikut ini.

1. Menyadari kelebihan dirinya dihadapan Allah Yang Maha Besar sehingga ia tidak mau bersikap dan berlaku sombong atau takabur serta menghina orang lain 

2. Menyadari bahwa segala yang dinikmatinya berasal dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sikap ini menyebabkan ia akan menjadi orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Ia memanfaatkan segala nikmat Allah SWT sesuai dengan petunjuk dan kehendak Nya

3. Menyadari bahwa dirinya pasti akan mati dan dimintai pertanggungjawaban tentang segala amal perbuatan yang dilakukan. Hal ini menyebabkan ia senantiasa berhati-hati dalam menempuh liku-liku kehidupan di dunia yang fana ini.

4. Merasa bahwa segala tindakannya selalu dilihat oleh Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Ia akan berusaha meninggalkan perbuatan yang buruk karena dalam dirinya sudah tertanam rasa malu berbuat salah. Ia menyadari bahwa sekalipun tidak ada orang yang melihatnya namun Allah Maha Melihat.
Firman Allah SWT:
Artinya:” Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, Rasul-raslNya dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.An Nisa : 136).

Fungsi iman kepada Allah SWT akan menumbuhkan sikap akhlak mulia pada diri seseorang. Ia akan selalu berkata benar, jujur, tidak sombong dan merasa dirinya lemah dihadapan Allah SWT serta tidak berani melanggar larangannya karena ia mempunyai iman yang kokoh. Oleh karena itu, iman memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yakni sebagai alat yang paling ampuh untuk membentengi diri dari segala pengaruh dan bujukan yang menyesatkan. Iman juga sebagai pendorong seseorang untuk melakukan segala amal shaleh.

Keesaan Allah

Tauhid atau pengesaan Allah memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tauhid menjadi pemancar kebaikan di dunia dan keselamatan diakhirat. Kadar keselamatan manusia di akhirat berbanding lurus dengan keyakinan dalam bertauhid. Begitu pula halnya dengan keridhoan Allah di dunia dan di akhirat. Dunia adalah tempat pengujian dan akhirat adalah tempat pembalasan. (baca juga : Arti Dan Makna Tauhid)

Meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Maha Pencipta dan Tuhan Maha Pemelihara alam semesta.
Yang dimaksud beriman kepada Allah dengan meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan manusia,bumi, bulan, bintang, benda-benda langit, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk lainnya. Pendeknya, seluruh alam semesta dan seluruh isinya merupakan ciptaan Allah SWT.

Dalil Keesaan Allah
Makna tauhid yaitu pengakuan bahwa Allah itu Esa, Maha Satu, Maha Tunggal, dan kita tidak boleh menyekutukan Allah. Hanya kepada Allah kita menyembah dan bergantung. (baca juga : Iman Kepada Allah)
Sebagaimana firman Allah Surat Al-lkhlas ayat 1-4.
Artinya:
Katakanlah: “DiaIah Allah yang Maha Esa
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan,
dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”
(QS. Al lkhlas (112): 4)


Bukti Meyakini Keesaan Allah dalam  Kehidupan Sehari-hari Sikap perilaku dan berfikir positif mengembangkan sikap dan perilaku kemudian berfikir tentang sesuatu secara baik dan benar.

Sikap positif akan membentuk sesorang memiliki perilaku yang positif. Dan prilaku positif adalah cermin dan cara berfikir yang positif. Berfikir secara positif adalah terpancar dan kebesaran jiwa, kebersihan hati dan kepekaan nurani.

Kita sebagai ummat muslim meyakini dengan benar seluruh ciptaan Allah yang ada dimuka bumi dan segala alam isinya merupakan ciptaan Allah, diantaranya:
  1. Kita percaya bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah dengan cara kita melaksanakan shalat lima waktu.
  2. Memelihara dan menjaga alam ciptaan Allah dengan cara kita tidak menebangi hutan sembarangan, atau memelihara tumbuhan disekitar halaman rumah kita.
  3. Juga selalu mengamalkan dan berdzikir kepada Allah dengan selalu menyebut namanya disetiap waktu, seperti shalat dan dzikir.
Rangkuman
1. Tauhid artinya, mengetahui atau mengenal bahwa Allah SWT itu tunggal tidak ada sekutunya
2. Bacaan Tauhid “Laa Ilaha Ila Allah”
3. Orang yang menyakini dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul disebut orang Islam (Muslim)
4. Tauhid ada 3 jenis: Tauhid Uluhiyyah, Rububiyah, Shifatiyah
5. Dalil tentang ke Esaan Allah adalah yang tercantum dalam QS. Al-Ikhlas.

Iman Kepada Allah

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada.(baca juga : Arti Dan Makna Tauhid)

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dan seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dan keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada din seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari kiamat, serta qadha dan qadarNya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan.

Iman menurut bahasa artinya percaya atau yakin terhadap sesuatu. Iman menurut istilah adalah pengakuan di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. Hal ini sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

Artinya: “Iman adalah pengakuan dengan hati pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)

Iman kepada Allah merupakan suatu keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah SWT, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul Allah dan han kiamat.(baca juga : Keesaan Allah)
Firman Allah SWT:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan han kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.An-Nisa 136)

Iman kepada Allah sebagal rabbal’alamin adalah bentuk dan tauhid rububiyah. Allah robbul’alamin artinya adalah tuhan pengatur alam semesta. Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Penggantian siang dan malam dibawah kekuasaan Allah. Matahari terbit dari timur dan tenggelam disebelah barat adalah kekuasaan Allah.

Dialah Allah yang menghidupkan semua makhluk yang bernyawa dan Allah pulalah yang mematikannya.

Kepunyaan Allah, semua yang ada dilangit dan di bumi. Segala puji hanya milik Allah, Dialah tuhan pengatur atau pemelihara alam semesta.

Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Fatihah
Artinya:
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai hari pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
6. Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
7. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan yang di murkai dan bukan pula mereka yang sesat.

Arti Dan Makna Tauhid

Tauhid artinya, mengetahui atau mengenal bahwa Allah SWT itu tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. (baca juga : Keesaan Allah)

Tauhid merupakan inti dari ajaran Islam. Seseorang yang menyakini dan mengakui keesaan Allah disebut sebagai orang beriman (mukmin).

Bunyi dari kalimat tauhid itu adalah : (Laa ilaaha illallah) Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah.”

Sedangkan orang yang meyakini dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul disebut orang Islam (Muslim)

Keimanan seorang muslim secara lahir hanya dapat diketahui melalui kesaksiannya dengan mengucapkan kalimat tauhid.

Kalimat tuhid mempunyai makna, bahwa tidak ada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Allah, dan tidak ada wujud apapun yang kekal kecuali Allah SWT. Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, Yang Hidup Kekal dan Abadi.(baca juga : Iman Kepada Allah)

Contoh-contoh tentang Tauhid
Allah sebagai pemelihara seluruh alam dan seisinya. Dia yang memelihara bagaimana agar bumi, bulan, matahari, bintang, dan planet di jagat raya ini tidak saling bertabrakan. Matahari yang bersinar sepanjang hari, kemudian tenggelam, tibalah malam hari dengan diterangi bintang dan rembulan.

Demikian pula, Allah menurunkan hujan agar tanah yang tandus menjadi subur. Petani perlu air untuk mengairi sawahnya agar dapat menebar benih padi. Setelah benih tumbuh, kemudian ditanam, berkembang terus akhirnya berbuah smpai akhirnya mmatang dan dapat dipanen. Semua itu membutuhkan air. Dan Allah menurunkan hujan agar petani dapat bercocok tanam.

Inilah salah satu cara Allah dalam memelihara dan menjaga keseimbangan alam. Di belahan dunia tertentu seperti Eropa mengenal empat musim, yaitu gugur, semi, dingin, dan musim panas. Sebaliknya, di bagian bumi lain seperti Negara Indonesia dan Negara Asia lainnya mengenal dua musim yaitu, musim hujan dan musim kemarau.

Bukti tauhid yaitu mempercayai rukun iman
1. Iman kepada Allah SWT
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
4. man kepada Rasul-rasul Allah SWT
5. Iman kepada Han Akhin/Kiamat
6. Iman kepada Qadha dan Qadar

Nah itulah arti dan makna tauhid, dan untuk lebih dalam mengenal bukti ketauhidan silahkan baca juga penjelasan tentang Rukun Iman.

Monday, 21 September 2015

Apa Hukum Jika Suami Minta “Dilayani” Di Saat Puasa

Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?

Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)

Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.

Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.

Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.

Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)

Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).

Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.

Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.

Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.

Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.

Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun

Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.

Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita