Monday, 21 September 2015

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita