Tanya : Seorang
istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi
guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan
menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?
Jawab : Manusia
selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak
dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi
fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah
al-ada.
Adapun yang
pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak.
Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir
hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya
dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Hak dan kewajiban
senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya
usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan
perubahan status sosial yang disandangnya.
Hak dan kewajiban
anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar
moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan
kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami
perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali
perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.
Dengan kata
lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki
keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki
adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita,
pada dasarnya adalah hak orang lain.
Karena itu
dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak
orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban
yang lain, dan sebaliknya.
Mengingat
kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana
masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan
bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut
adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.
Salah satu hak
istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi
aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan
dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.
Kelayakan dan
kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau
i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).
Suami terbebani
mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang
membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi
dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam.
Manusia
dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak.
Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh
keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk
badan, dan mendapatkan kenikmatan.
Seperti
dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan
biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang
membebaskan diri dari perzinaan.
Jika memang
demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana
kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?
Jawaban dan
pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya
penolakan istri melayani suaminya.
Para ulama
sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan
suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti
ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa
haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.
Dalam hal itu
mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
Artinya: “Jika
ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan
karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga
fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Pelayanan itu
sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya,
penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh
suami ke lokalisasi.
Istri yang
ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan
takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab,
manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya:
“Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan
yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)
Kalau istimta‘ adalah
hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi
sebagai hak istrinya ?
Para ulama
berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh
melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi
Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah
semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi
kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.
Dalam sebuah
hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya
Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu
ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan.
Selanjutnya beliau bersabda:
Artinya : “Tetapi
saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa
tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Di sampmg itu,
tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan
rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama
cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan
kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai
dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti
lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat
Al-Baqarah ayat 222:
Artinya:
“Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana
Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)
Di sini ada
perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban,
atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat
itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali
menyetubuhi istrinya.
Sebagian ulama
ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat
An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya:
“Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)
Pemenuhan
kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul)
dengan mereka secara baik.
Kewajiban itu
bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak
kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah
maaliyah).
Semua itu
menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam
memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan,
manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang
dikandungnya.
Bukankah
Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan
termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi
istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
0 komentar:
Post a Comment