Thursday, 27 October 2016

Sebab Turunnya Surat Al Baqarah Ayat 112 (Agama Di Sisi Allah)

asbabun nuzul, bilik islam


bilik islam


"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. A1-Baqarah : 112) 


Sabab Al-Nuzul
Saat utusan Nasrani Najran datang ke Madinah, ia bertemu dengan seorang Yahudi di majlis Rasulullah Saw., kemudian orang Yahudi berkata bahwa surga hanyalah milik orang Yahudi. Orang Nasrani itu lantas berkata bahwa surga hanyalah milik orang Nasrani. Allah kemudian menurunkan ayat di atas. 

Hadits
“Dari Abu Sufyan Ra. dalam kisahnya dengan Hiraklius. Hiraklius Berkata: ‘Aku bertanya kepadamu, Apa yang dia perintahkan kepadamu?’ Kamu menjawab bahwa dia memerintahkanmu menyembah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan melarang kalian menyembah berhala, memerintahkan kamu sekalian mengerjakan shalat, jujur, dan menjaga diri. Bila apa yang kamu katakan ini benar, maka Ia akan menguasai tempat pijakan dua kakiku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Penjelasan
Allah Swt. tidak membenarkan anggapan masing-masing golongan dari Ahli Kitab serta menolak anggapan mereka yang batil itu, karena rahmat Allah tidak hanya dimonopoli oleh satu bangsa atau satu golongan. Rahmat Allah akan didapat oleh siapa saja yang berusaha mendapatkannya dengan ketentuan ia harus beriman dan beramal shaleh. Sebagai ketegasan, Allah Swt. memberikan pernyataan bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan membuktikan imannya itu dengan amal yang ikhlas, maka ia akan memperoleh pahala. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik seorang hamba.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa iman semata tidak cukup untuk menjamin tercapainya kebahagiaan seseorang, akan tetapi hendaknya disertai amal shaleh. Allah Swt. telah menetapkan dalam Al-Qur’an bahwa apabila disebut kata-kata iman selalu diiringi oleh amal baik, seperti tampak dalam firman-Nya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupun hanya sedikit. (QS. An-Nisa’: 124).
 

Dan firman-Nya lagi :
“Maka barangsiapa yang mengerjakan (barang sedikit pun) dari amalan-amalan yang saleh sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu.” (QS. A1-Anbiya’: 94)

Apabila mereka itu telah berserah diri kepada Allah dan beramal, maka mereka tidak perlu merasa khawatir dan merasa sedih. Lain halnya dengan orang-orang yang tersesat oleh berhala dan tersesat dari petunjuk Allah. Di antara tabiat orang-orang mukmin ialah apabila mereka ditimpa oleh sesuatu yang tidak disenangi, mereka akan menyelidiki sebab-sebabnya dan berusaha keras untuk mengatasinya. Kalau belum teratasi, mereka menyerahkan persoalan itu kepada kekuasaan Allah. Niat mereka sedikit pun tidak kendor dan hati mereka pun menyadari bahwa untuk mengatasi semua kesulitan itu ia harus menyerahkan diri kepada kekuatan yang hakiki, yaitu Allah Swt. Sedang tabiat orang-orang yang tidak beriman ialah takut menghadapi masa depan mereka dan selalu resah hati dalam menghadapi segala sesuatu yang akan menimpa. Maka, apabila mereka ditimpa malapetaka, mereka kebingungan tak tahan menghadapi kesusahan itu, dan tak dapat mencari jalan keluar.

Penjelasan tema di atas juga dapat ditelususri dalam ayat-ayat berikut: QS. Ali Imran: 19, 83, 85, QS. Al-Maidah: 3, QS. Al-An’am: 14.

Sebab Turunnya Surat An Nisa Ayat 135 (Ajakan Untuk Beriman)




“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Nisa’: 135)

Sabab Al-Nuzul :
Terdapat di dalam kitab TafsirAl-Thabari bahwa diceritakan dari Muhammad bin al-Husain yang berkata, diceritakan dari Ahmad bin al-Mufdhil yang berkata, dari al-Suda, tentang firman Allah di atas. Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Saw. Ada dua orang yang berselisih dan datang kepada Nabi Saw. Orang yang satu kaya dan orang yang lainnya miskin. Nabi Saw. lebih condong kepada orang yang miskin. Nabi Saw. berpendapat bahwa orang miskin tersebut tidak bersalah kepada orang kaya. Maka, Allah tidak menyukai kecuali Nabi Saw. menegakkan keadilan, baik kepada orang kaya maupun orang yang miskin. Allah berfirman : “jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.

Hadits
“Diceritakan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dari Ibnu Numair, diceritakan dari Sufyan bin Uyainah dari Amr (Ibnu Dinar) dari Umar bin Aus dari Abdullah bin Umar berkata : Ibnu Umar dan Abu Bakar datang kepada Nabi Saw, menurut riwayat Zuhair berkata : Rasulullah Saw. Bersabda : “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil akan mendapatkan tempat yang terbuat dari cahaya di sisi kanan Allah Swt., dan di sisi kanan dan kiri Allah akan ditempati oleh orang-orang yang berbuat adil dalam keputusan hukumnya terhadap keluarganya atau masyarakatnya.” (HR. Muslim).
Penjelasan
Orang mukmin bukan hanya orang yang percaya pada apa yang disebutkan dalam rukun iman saja. Lebih dari itu, orang mukmin adalah orang yang selalu memiliki sifat-sifat terpuji yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah Saw. Salah satu dari sifat orang mukmin adalah adil.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk selalu bersikap adil dalam persaksian terhadap siapa pun. Dinukil dari riwayat Ibnu Abas dalam Tafsir Al-Thabari yang menyebutkan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk selalu bersikap adil kepada siapa pun dalam persaksian, yaitu dengan cara berkata benar apa adanya, baik terhadap dirinya sendiri, keluarganya, kerabat-kerabatnya, sahabat-sahabatnya, orang kaya, maupun orang miskin.

Semua yang dikerjakan di dunia ini akan dipersaksikan kepada Allah Swt. tidak hanya kepada manusia. Karena, sesungguhnya Allah juga berbuat adil terhadap Dzat-Nya sendiri.

Rasulullah Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Qatadah :
“Ya Tuhanku! Hal apa yang paling sedikit Engkau letakkan di dunia ini ?Allah berfirman: ‘Sifat adil adalah hal yang paling sedikit Aku ciptakan di dunia.”

Selain berkata apa adanya, orang mukmin yang bersikap adil juga harus menjauhkan diri dari pengaruh hawa nafsunya dalam memberikan kesaksian. Rasulullah Saw. melarang untuk membela orang yang kaya karena kekayaannya, atau membela orang yang miskin karena kasihan padanya, atau membela keluarganya. Karena hanya Allah lah yang paling mulia dibanding semua makhluk-Nya.

Al-Razi, dalam tafsirnya, mengatakan bahwa janganlah (orang mukmin) hanya mencari kebenaran dunia saja, melainkan harus mencari kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan di akhirat. Karena, menurutnya, kebahagiaan yang sempurna bagi manusia adalah melakukan segala-galanya hanya karena Allah semata. Apabila tidak karena Allah, manusia tidak ubahnya seperti hewan yang melakukan apa pun tanpa orientasi dan tujuan.

Allah Swt. telah menjanjikan balasan bagi orang-orang yang beriman yang selalu mendasarkan apa yang ia perbuat di dunia ini atas nama Allah.

Allah berfirman : 
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 162)

Abu Ja’far berpendapat bahwa yang dimaksud sebagai orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah Saw. dan juga beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam Tafsir Al-Thabari disebutkan riwayat hadits qudsi yang berisi firman Allah kepada Nabi Muhammad Saw. :
“Wahai Muhammad! Demi kitab-kitab yang telah Aku turunkan kepada nabi dan rasul sebelum kamu, orang yang beriman tidak akan bertanya kepadamu seperti apa yang ditanyakan oleh orang-orang yang bodoh. Maka, Allah menurunkan kitab dari langit, karena mereka (orang mukmin) telah mengetahui apa yang mereka baca, yaitu kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya. Oleh karena itu mereka harus taat dan patuh kepadamu (Muhammad).”

Sudah sangat jelas disebutkan dalam ayat ini bahwa Allah akan memberikan pahala yang sangat besar kepada orang-orang yang beriman. Selain pahala yang sangat besar, dalam ayat lain Allah menjanjikan imbalan lain yang tidak kalah besarnya : 

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. Al-Taubah: 20)

Dikutip dari pendapat Al-Alusi bahwa ayat di atas menunjukkan kemuliaan orang-orang mukmin yang disertai dengan kesetiaannya dalam membela dan menegakkan agama Islam, yaitu dengan cara berjihad di jalan Allah, baik secara material bahkan sampai rela mengorbankan nyawanya. Orang mukmin yang sejati akan merasakan perlakuan yang sangat istimewa oleh Allah kelak di akhirat, yaitu akan mendapatkan tempat yang sangat mulia di sisi Allah yang terbuat dari cahaya, sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Saw. pada hadits di atas.

Secara garis besar, semua penjelasan di atas, baik yang diambil dari ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw., adalah bertujuan untuk mengajak kepada semua umat Muhammad Saw. agar selalu meningkatkan keimanan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Saw.

Wednesday, 26 October 2016

Biografi Al-Farabi (Pelopor Peradaban Islam)

Pelopor Peradaban Islam, bilik islam

AL-FARABI
(257-339 H I 870-950 M)

Al- Farabi adalah seorang Filsuf ternama dan ahli Ilmu Matematika sebaik seorang musisi terampil. Ia adalah Muhammad lbnu Muhammad lbnu Tarkhan lbnu Uzalagh, Abu Nasr al Farabi. Dia dikenal sebagai “Guru Kedua”(al-Mou’allim al-Tan,) yang telah belajar dan menerangkan buku Aristoteles (guru pertama). Ia lahir di Farab Turki dimana ayahnya bersuku Turki yang melayani Panglima Tinggi Tentara. Dr. Ali Abdul Wahed Wafi berkata : ”Sangat sedikit mengenal masa kecil aI-Farabi atau masa-masa selanjutnya dalam hidupnya”. Semua mengetahui bahwa dia belajar di tempat tinggalnya dengan mempelajari beberapa pelajaran, mencakup ilmu pengetahuan, ilmu matematika, ilmu kesusastraan, ilmu filsafat, ilmu bahasa, seperti bahasa Turki Persia, Yunani, dan Arab. Ketika berkembang lebih dewasa, dia pindah ke Irak untuk belajar yang lebih tinggi. Dia belajar ilmu filsafat, ilmu logika, dan ilmu obat-obatan dengan ahli fisika beragama Kristen, Yohana lbnu Haylane. Dia juga belajar ilmu bahasa Arab dan musik. Dan Irak dia pindah ke Mesir dan Syam di mana dia bergabung dengan pengadilan Sayf ad-Dawlah di Halab. Dia memegang sebuah posisi penting di antara ilmuwan, sastrawan, dan ahli filsafat. 

Dia wafat dalam keadaan masih jejaka pada usia 80 tahun di Damaskus pada tahun 339 H/950 M.

Kontribusinya terhadap Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi adalah ahli filsafat Islam termasyhur. Pada zamannya biasa dipanggil sebagai “guru kedua” untuk kepentingan besar, dia memperoleh karya-karya Aristoteles dan penjelasannya, catatan dan ulasan-ulasan. Kekhususan dari filosofinya terdapat pada kenyataan bahwa ia mencoba menjadikan satu Platonism dan Aristotelism pada satu sisi dan menggabungkan antara ilmu agama dan filsafat. Dia juga memperkenalkan doktrin yang berasal dari filsafat Islam dan membuka dasar untuk ilmu filsafat kaum sufi. 

Meskipun popularitasnya di bidang filsafat dan ilmu logika, al-Farabi membuat masukan yang amat banyak untuk beberapa bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu obat-obatan dan ilmu fisika. Ia menghasilkan fakta-fakta dan adanya ruang hampa. Kontribusi besarnya dibidang ilmu pengetahuan terdapat dalam bukunya Kitab Ikhsa al ‘Ulum, yang membahas prinsip-prinsip fundamental dan klasifikasi ilmu pengetahuan. Ia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam kelompok-kelompok dan cabang-cabang serta pokok pembahasan dan kepentingan dari masing-masing cabang. 

Di samping kontribusinya di bidang filosofi, al-Farabi unggul di bidang musik. Risalahnya pada musik merupakan konsep dasar pertama dari logaritma yang ditunjukkan pada bukunya yang berjudul Kebudayaan Islam. Cara de faw mengatakan: “Al-Farabi guru kedua setelah Aristoteles dan satu dari tokoh terkenal Platonism modern.” Pemikirannya yang dapat memahami filosofi kuno, ia menulis risalah yang bernilai di musik, sebuah bidang di mana ia unggul. Risalah ini berisikan inti pertama logaritma, yang mempertunjukkan hubungan antara matematika dan musik. Segfreid Hunkah menegaskan ide bagus ini ketika dia mengatakan:
“kepentingan yang ditunjukkan oleh al-Farabi untuk musik dan untuk dasar lagu serta irama membawanya dekat dengan ilmu pengetahuan logaritma, di mana terkandung dalam buku dengan judul Anasir Fan al-Musiqa” (Dasar-dasar Seni Musik).
Karya-karya Besarnya
Al-Farabi menulis beberapa interpretasi dan buku-buku ilmu pengetahuan, karya-karya besarnya antara lain sebagai berikut :
Interpretasi Ptolemy’s al magest; Interpretasi perta dan kelima terhadap buku Euclides tentang geometri; Pengantar Ilmu Geometr, sesungguhny;
Kalam fi-harakat alfalaq, sebuah buku tentang pergerakan benda-benda angkasa;
Kitab lhsa al ‘Ulum, dalam buku ini al-Farabi membagi ilmu pengetahuan ke dalam delapan kelompok, mendaftar cabang-cabang setiap kelompok, dan pokok pembahasan setiap kelompok, serta maksud dari kepentingannya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona. 
Sina’at urn al-musiqa, dimana al-Farabi menjelaskan dasard asar lagu dan irama. 

Al-Farabi juga mempunyai banyak karya di bidang filsafat dan logika yang sangat terkenal dan tulisannya di bidang ini adalah :
Ara ‘ahalal-madina al-fadila (pendapat tentang penduduk kota ideal)
Al- jan ‘bayn al-hakimayn allatun al-ilahi wa aristoteles. Sebuah buku di mana al-Farabi menyintesiskan antara platonisme dan aristotelisme. 

Hampir semua karya tulis al-Farabi telah hilang atau masih tersimpan dilemari perpustakaan. Hanya sebagian kecil dari karya Al-Farabi yang dikenal dibandingkan karya tulisnya yang melimpah dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang seni.

Mimpi Sang Raja (Kisah Dalam Al-Quran)

Kisah Dalam Al-Quran

Mimpi Sang Raja
QS. Yusuf; 43-49

Suatu hari, Raja Mesir, penasihat, para arif bijaksana, dan para pembesar berkumpul di istana. Mereka sengaja diundang oleh raja Mesir untuk mengartikan mimpi sang raja. Mimpi itu datang dalam beberapa malam tidurnya sehingga meresahkan sang raja. 

Raja bermimpi seakan-akan melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Di samping itu. raja juga bermimpi melihat tujuh butir gandum hijau di samping tujuh butir lainnya yang kering. 

Tidak ada seorang pun di antara para pembesar dan para arif bijaksana yang dapat mengartikan mimpi tersebut. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap mimpi itu tidak berarti apa-apa. Mereka menganjurkan agar raja tidak memikirkan mimpi tersebut. 

Pada saat itu, pelayan istana yang pernah ditolong Nabi Yusuf sedang menyuguhkan makanan dan minuman. Dia mendengar percakapan raja dengan para tamunya. Lalu. dia teringat pesan Nabi Yusuf untuk menceritakan tentang dirinya. Dia juga teringat bahwa Nabi Yusuf telah mengartikan mimpinya dengan tepat. Maka, dia pun memberanikan diri mendekati sang raja. 


“Wahai Paduka Raja, hamba punya teman yang pandai mengartikan mimpi. Sekarang, dia berada di dalam penjara. Dia seorang pemuda yang berbudi luhur dan cerdas. Dia dipenjara, padahal dia tidak melakukan kesalahan. Dia dijebloskan ke sana karena adanya fitnah dan tuduhan palsu. Ketika hamba berada di dalam penjara, dialah yang mengantikan mimpi hamba dan ucapannya tepat seperti yang hamba alami. Jika Paduka berkenan. hamba akan menemuinya untuk menanyakan tentang anti mimpi Paduka.” 

Raja merasa senang dengan ucapan pelayan tersebut. Harapannya untuk mengartikan mimpinya pun muncul. Raja lalu mengizinkan pelayan untuk mengunjungi Nabi Yusuf di dalam penjara.

Pelayan istana sangat senang begitu melihat Nabi Yusuf dalam keadaan sehat. Dia segera menyampaikan mimpi raja dan menceritakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengartikan mimpi tersebut. Pelayan itu berkata bahwa bila Nabi Yusuf dapat mengartikan mimpi raja dengan benar, kemungkinan besar raja akan membebaskannya dari penjara. Nabi Yusuf pun mencoba menafsirkan mimpi itu. 

“Negara akan menghadapi masa makmur dan subur selama tujuh tahun. Tanaman seperti sayuran dan gandum akan tumbuh dengan melimpah ruah. Kemudian, akan menyusul masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya. Tumbuh-tumbuhan akan rusak. Akan tetapi, setelah itu akan tiba tahun basah. Hujan akan turun dengan derasnya menyirami tanah-tanah yang kering dan tanaman akan kembali menghijau. “

“Aku akan segera menyampaikan anti mimpi raja tersebut.”

“Baiklah, sampaikan juga pesanku, bahwa pada saat masa subur, kerajaan harus menyisihkan sebagian basil panennya untuk masa paceklik.”

Setelah mendengar kata-kata Nabi Yusuf, pelayan istana pun berpamitan. Dia segera menyampaikan kata-kata Nabi Yusuf kepada raja. Raja mendengarkan dengan seksama dan segera memercayai kata-kata Nabi Yusuf. Raja merasa Nabi Yusuf pastilah orang yang bijaksana, maka ia menyuruh pelayan untuk membawa Nabi Yusuf menghadapnya ke istana. 

Singkat cerita, Nabi Yusuf menghadap raja yang telah menunggunya. Raja senang bisa bertemu dengan Nabi Yusuf. Perkiraannya benar. Nabi Yusuf memang orang yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, raja langsung memerintahkan agar Nabi Yusuf dibebaskan dan penjara. 

“Aku sudah banyak mendengar tentangmu. Setelah aku bertemu denganmu, aku menjadi yakin bahwa engkau memang orang yang bijaksana. Karena engkau sudah bisa mengartikan mimpiku, maka aku akan membebaskanmu dari penjara.” 

“Ampuni hamba, Paduka Raja. Hamba ingin dibebaskan dari penjana dalam keadaan bersih dari
tuduhan apa pun. Sesungguhnya, hamba tidak bersalah.” 

“Baiklah, permintaanmu itu menunjukkan bahwa engkau berhati suci. Aku akan mengabulkan permintaanmu.” 

Raja pun mengumpulkan para wanita yang telah menghadiri jamuan makan Zulaikha. Di hadapan sang raja mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan alami dalam acara jamuan tersebut. Mereka menyatakan kesan mereka tentang Nabi Yusuf bahwa Nabi Yusuf adalah seorang yang saleh dan jujur. Mereka juga menyatakan bahwa bukanlah Nabi Yusuf yang bersalah, melainkan Zulaikha. Zulaikha pun akhirnya mengakui bahwa dialah yang bersalab dalam peristiwa tersebut. Dia juga mengakui bahwa dialah yang meminta suaminya untuk memenjarakan Nabi Yusuf. 

Hasil pertemuan tersebut diumumkan raja kepada seluruh masyarakat. Akhirnya, masyarakat tahu kejadian yang sesungguhnya sehingga nama Nabi Yusuf yang sempat tercemar bisa bersih kembali. 

Baca juga kisah dalam Al Quran berikutnya pada postingan yang berjudul : Bendahara Negeri Mesir (Kisah Dalam Al-Quran)

Seruan Kepada Raja-Raja Untuk Memeluk Islam (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Biografi Lengkap Rasulullah SAW, bilik islam
Sekembalinya kaum muslimin dari Hudaibiyah, Nabi mengumpulkan umatnya. Beliau menjelaskan kepada mereka bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Saat ini, telah tiba saatnya untuk menyebarluaskan Islam ke segala penjuru dunia. Salah satu cara yang ditempuh adalah mengirimkan utusan dan surat kepada raja-raja, di antaranya adalah Ghassan, Mesir, Abessinia (Habasyah), Persia, dan Romawi. 

Para utusan yang membawa surat kepada raja-raja itu menuju tempat yang telah ditugaskan oleh Nabi secara bersama-sama. Surat kepada Ghassan dikirim oleh Syuja’ah bin Wahab. Akan tetapi ia mengalami nasib malang. Ia dibunuh oleh penguasa Ghassan yang bersekutu dengan Romawi. 


Surat yang dikirim kepada raja Mesir memperoleh sambutan baik. Utusannya diterima dengan penuh kehormatan, lalu dikirimkan hadiah untuk Nabi sekalipun ia sendiri tidak masuk Islam.

bilik islam
Adapun surat yang dikirim oleh Abdullah bin Hudhafah mendapatkan respons yang tak terduga. ia kembali dari Persia dengan membawa laporan bahwa Kisra sangat marah membaca surat Nabi karena namanya ditulis di bawah nama Nabi. Surat tersebut dirobek-robek lalu dibuangnya. 

Mendengar laporan itu Nabi berkata, “Allah akan merobek-robek kerajaannya.”  Selanjutnya, Kisra menulis surat untuk Badzan, Gubernur Yaman, yang isinya memerintahkan Gubernur mengirim dua orang yang perkasa untuk menangkap Muhammad. Perintah ini dilaksanakan oleh Badzan. 

Saat dua lelaki itu datang ke Madinah, Rasulullah menyambutnya seraya berkata, “Kembalilah, besok saja kalian menghadapku karena aku ingin mengabarkan tentang sesuatu kepada kalian.” 

Keesokan harinya, kedua orang tersebut datang dan Nabi berkata, “Sampalkan kepada Gubernur kalian bahwa Tuhanku telah membunuh Kisra semalam.” Pada malam hari, 10 Jumadil Ula tahun ke-9 Hijriah, Allah menggerakkan Syirawaih, anak Kisra, untuk membunuhnya. 

Akhirnya, kedua orang tersebut kembali. ke Yaman dan menceritakan berita yang disampaikan oleh Rasulullah. Setelah mendengar berita ini, Badzan dan pengikutnya masuk Islam. 

Sementara itu, surat untuk Heraclius, Kaisar Romawi, dikirim oleh Dihyah bin Khafilah. Surat tersebut berhunyi :
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah kepada Heraclius pembesar Rornawi. 

Salam sejahtera kepada orang yang bersedia mengikuti petunjuk yang besar. Dengan ini, aku mengajak Tuan untuk mengikuti ajaran Islam. Bila Tuan menerima ajaran Islam, Tuan akan selamat. Allah akan memberi pahala dua kali kepada Tuan. Tetapi, bila Tuan menolak, maka Tuanlah yang menanggung seluruh dosa rakyat Tuan. 

Wahai ahli kitab, marilah kita bersama-sama berpegang teguh pada kalimat yang sama (yang ada di) antara kami dan kamu, yakni bahwa tidak ada tuhan yang wajib disembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Kita tidak akan mengangkat sebagian dari kita (manusia) menjadi Tuhan, bagi yang lainnya. Namun, apabila mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, bahwa kami ini adalah orang-orang Islam.” 

Demikianlah isi surat yang dikirim oleh Nabi. Pada saat itu,’kebetulan Abu Sufyan sedang berada di Suriah. ia dipanggil oleh Raja untuk menjelaskan tentang Muhammad. Abu Sufyan yang ketika itu masih menaruh dendam kepada Muhammad dan pengikutnya secara objektif menerangkan secara panjang lebar mengenai diri Muhammad beserta ajarannya. Dengan penjelasan itu, Heraklius menjadi tertarik pada Islam. Namun demikian, niatnya untuk masuk Islam terhalang oleh para pendeta, sehingga ia hanya mengirim surat balasan kepada Nabi bersama beberapa hadiah sebagai rasa simpatinya kepada Islam. 

Upaya Nabi Muhammad menyebarluaskan Islam dengan cara mengirim utusan-utusan merupakan tindakan yang luar biasa, karena sebelum berselang 30 tahun sesudah itu, daerah-daerah tersebut telah dimasuki kaum muslimin dan sebagian besar penduduknya telah memeluk Islam. Islam sebagai agama yang umurnya relatif muda, telah diperlihatkan oleh Nabi, bahwa ia akan menjadi agama dunia, petunjuk bagi umat manusia, serta kekal hingga akhir zaman.

Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan berikutnya yang berjudul : Perang Khaibar (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Sahabat Rasulullah SAW. (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra., bilik islam
Dalam sejarah hidupnya, Abu Bakar Ash Shiddiq bukan hanya beriman kepada risalah Muhammad bin Abdullah. Dia juga berusaha menjadi sahabat dekat Rasulullah saw. dalam menyebarkan risalah Islam. 

Abu Bakar mempunyai sekian banyak teman yang seangkatan dengannya. Teman-temannya itu mempunyai ketajaman pikiran dan kecerdasan yang tidak jauh berbeda dengannya. Dia menemui mereka dan menyerukan supaya mengikuti ajaran kebenaran sekaligus meninggalkan kekafiran dan syirik kepada Allah.

Ada beberapa orang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bersedia menerima ajaran Islam dan menjadi muslim. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al‘ Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan masih banyak lagi pemuda Mekah terpilih yang mengikuti langkahnya. 


Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak hanya mengayunkan langkahnya untuk turut menyebarkan Islam. Demi risalah suci itu, dia rela untuk mengorbankan semua kekayaan miliknya, bahkan jiwa dan raganya. 

Kaum musyrikin Quraisy adalah golongan yang paling geram dengan dakwah Islam. Sebab, dakwah itu bisa meruntuhkan singgasana berhala-berhala mereka dan mengubah adat-istiadat yang sudah turun-temurun mereka terima. Penerapan prinsip keadilan dan perdamaian serta ajaran untuk menyejajarkan martabat semua manusia yang menjadi rintisan dakwah Islam tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Karena itulah, mereka berupaya keras untuk membendung arus penyebaran dakwah itu. Di antara cara yang ditempuh mereka adalah dengan menakut-nakuti dan mengancam kaum muslimin. 

Suku Quraisy mencurahkan segenap tenaga untuk menekan dan menyiksa kaum muslimin. Terutama para budak lemah yang tidak mempunyai kabilah permanen dan tidak bisa melindungi diri dari siksaan fisik pihak lain. Para budak lemah itulah target utamanya. 

Persoalan itu tidak dipandang sebelah mata oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia mengerahkan semua hartanya untuk memerdekakan para budak muslim dari belenggu perbudakan karena dia berkeyakina bahwa setiap manusia adalah saudara bagi manusia lainnya.

Pada suatu hari, Ahu Bakar Ash Shiddiq lewat di suatu tempat. Di sana, dia melihat Bilal bin Rabah A1-Habsyi, muadzin Rasulllah saw. sedang disiksa dengan kejam. Dia diletakkan di atas padang pasir panas di bawah teriknya sinar matahari, sementara di atasnya ditimpakan batu besar oleh tuannya. Tuannya memaksa Bilal untuk meninggalkan Islam dan memeluk agama lamanya. Tetapi rintihan yang keluar dari mulut Bilal hanyalah, “Ahad, Ahad (Tuhan yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Esa).“ 

Abu Bakar Ash-Shiddiq maju ke depan dan meminta kepada Tuan pemilik Bilal agar Bilal dijual kepadanya. Tuan itu setuju dengan harga yang ditawarkan Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga akhirnya Bilal bebas dari siksaan dan dimerdekakan oleh Abu Bakar. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq juga pernah membeli Amir bin Fahirah, kemudian memerdekakannya. Setelah itu, Amir diberi pekerjaan untuk menjaga domba-domba miliknya. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mengindahkan ucapan ayahnya, Abu Quhafah, yang melarangnya menghambur-hamburkan uang untuk membeli para budak dan mcmerdekakannya. Justru dia membeli Zanirah binti ‘Ubais dan Al-Hindiyah budak wanita Bani Ma’mal dan putrinya.

Tentang kedermawanannya itu, Maimun bin Ishaq bin Al-Hasan Al-Hanafi meriwayatkan dari Ahmad bin Abdul-Jabbar A1-’Atharidi, dari Abi Mu’awiyah Ad-Dharir, dan A1-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah; ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada harta benda dan kekayaan yang bisa kupetik manfaatnya selain milik Abu Bakar Ash-Sliiddiq.”Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Jiwa raga dan hartaku hanya untukmu, wahai Rasulullah saw.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri tidak selamat dari berbagai kekejaman suku Quraisy. Demikian juga Rasulullah saw. sebagai pengemban risalah. Bukan hanya satu kali Abu Bakar Ash-Shiddiq menyaksikan teror yang dilancarkan oleh suku Quraisy kepada Rasulullah saw. Untuk mengatasinya, dia rela menyerahkan nyawanya untuk membela Rasulullah saw. 

Pada suatu hari, suku Quraisy berkumpul di Masjidil-Haram, tepatnya di sekitar Hajar Aswad. Mereka melihat Rasulullah saw. melakukan shalat di sebelah Ka’bah. Hal itu membuat mereka meradang karena mereka menganggapnya sebagai bentuk pelecehan. Uqbah bin Abi Mu’aith segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Rasulullah saw. dari belakang. Dia melepas bajunya, dan segera melilitkannya ke leher Rasulullah saw. keras-keras. Cekikan itu sangat kuat karena Uqbah memang ingin membunuh Rasulullah saw. 

Tak berapa lama, Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk ke Masjidil-Haram. Dia melihat perbuatan Uqbah. Abu Bakar bergegas menghambur ke depan, menekan perut Uqbah dan memukul-mukulnya supaya cekikan itu melonggar. Setelah cekikan tersebut lepas, Abu Bakar Ash-Shiddiq segera menendang Uqbah ke samping hingga terjengkang. 

Pada hari itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak bisa terhindar dari berbagai tendangan dan pukulan dari suku Quraisy yang beramai-ramai memukulinya hingga babak belur. Tetapi dia justru memikirkan keselamatan Rasulullah saw. dan tidak menghiraukan dirinya. Dia berkata, “Apakah kalian bakal membunuh seseorang yang berkata, ‘Tuhanku adalah Allah,’ padahal dia telah membawa sejumlah bukti yang kuat?” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq juga mempunyai sikap yang tegas dan mulia. Sikap itu sangat berperan dalam menegakkan sendi-sendi kebenaran Islam. Di antara sikapnya yang perlu diteladani dalam hal ini adalah ketika terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj. 

Waktu itu, seusai Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw. bercerita kepada semua penduduk Mekah bahwa Allah telah menjalankan beliau di malam hari dari Masjidil-Haram ke Masjidil Aqsha. Beliau sempat mengerjakan shalat di sana sebelum kemudian dinaikkan ke langit, Sidratul-Muntaha. 

Tentu saja kaum musyrikin hanya mencibir cerita dari Rasulullah saw. itu. Mereka menganggap Rasulullah saw. mengarang cerita. Buruknya, sebagian kaum muslirnin pun sudah mulai dihinggapi kebimbangan. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apa benar cerita yang dibawa Rasulullah saw.? Mereka merenungkan hal tersebut dengan rasa tidak percaya. 

Mereka bergumam dalam hati. “Demi Allah, ini sebuah perkara yang sangat ganjil dan tidak masuk akal. Biasanya, kalau kita bepergian menggunakan unta saja membutuhkan waktu sekitar satu bulan dari Mekah ke Syam. Itu hanya untuk pergi. Sementara untuk pulangnya membutuhkan waktu sebulan lagi. Bagaimana mungkin Muhammad bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu satu malam dan kembali ke Mekah tepat di pagi hari. Ditambah lagi, dia mengklaim dinaikkan ke langit oleh Allah. Ah yang benar saja! ini tidak masuk akal,” sangkal mereka. 

Imbasnya, segelintir kaum muslimin ada yang murtad dari Islam. Sementara kebanyakan lainnya merasa bimbang dan pergi menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka ingin mengetahui pendapat dan keyakinannya dalam menanggapi masalah itu karena dialah orang yang paling dekat dengan Rasulullah. 

Mereka mengabarkan kepadanya tentang berita Isra’ yang dibawa Rasulullah saw. Walaupun sangat kaget dengan cerita itu, Abu Bakar justru bertanya balik, “Lalu, apakah kalian mengingkari kabar dan Rasulullah ini?” 

“Benar, wahai Abu Bakar. Akal kami tidak menerima cerita ini. Kalau engkau tidak percaya, engkau dapat menemui Rasulullah. Beliau masih berada di masjid dan bercerita kepada orang banyak,” jawab mereka.

Abu Bakar menjawab dengan penuh keyakinannya., “Demi Allah, kalau benar Rasulullah saw. men yatakan itu, maka beliau telah berkata jujur. Perlu kalian ketahui, beliau sering memberikan kabar padaku bahwa wahyu Allah turun dari langit ke bumi hanya dalam waktu sesaat, baik pada waktu malam mau pun siang. Terlebih mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj ini. Dengarlah, aku dengan tegas membenarkannya. Justru kalian inilah yang tidak masuk akal kalau tidak mempercayainya.” 

Bersama rombongan kaum muslimin, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi masjid. Di sana, dia mendengar langsung Rasulullah saw. sedang menggambarkan ciri-ciri Baitul Maqdis, sebagai bukti bahwa beliau benar-benar ke sana. Sebelumnya, memang Abu Bakar AshS hiddiq telah mengunjungi Baitul Maqdis. Setelah Rasulullah saw. rampung menceritakan gambaran Baitul Maqdis, Ahu Bakar AshS hiddiq langsung rnenyela, “Engkau benar, wahai Rasulullah saw.” 

Sejak saat itulah Rasulullah saw, memanggilnya dengan sebutan Ash-Shiddiq (yang membenarkan) Sehingga, semakin eratlah tali persahabatan antara Rasulullah saw. dengan Abu Bakar Ash-Shlddiq. Sampai sampai Rasulullah saw. berkata tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Kalau saja aku bisa mengangkat salah satu hamba Allah ini sebagai kekasih, maka aku akan menjadikan Abu Bakar Ash-Shiddiq scbagai kekasihku. Namun, dia tetaplah sahabatku dan saudaraku seiman sampai Allah mengumpulkan kita berdua di sisi-Nya.” 

Setelah peristiwa Bai’at Al-’Aqabah Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. ini terkait dengan peristiwa yang menimpa kaum muslimin, yaitu penindasan besar-besaran. Di samping itu, Allah juga sudah memberikan sinyal agar hijrah dilaksanakan. 

Di kota Mekkah, hampir tidak tersisa lagi kaum muslimin kecuali mereka yang terhalang dan hijrah atau mereka yang masih merasa bimbang dengan agama baru itu. Kelompok yang disebut terakhir mi adalah golongan yang lemah imannya. 

Di antara yang masih berada di Mekah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali bin Abu Thalib. 

Suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk berangkat berhijrah. Namun Rasulullah saw. menolak. “Jangan berangkat hijrah dulu, ya Abu Bakar Ash Shiddiq. Mudah-mudahan Allah memunculkan seorang rekan bagimu dalam perjalanan hijrah,” kata Rasulullah saw. 

Abu Bakar Ash- Shiddiq sangat berharap bahwa orang yang bisa didampinginya berhijrah adalah Rasulullah saw. sendiri. Alangkah bahagianya dia. Sebenarnya, RasuluIIah saw. sendiri ketika mengatakan itu hanya menunjuk kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq semata. 

Akhirnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli dua ekor unta yang disembunyikan di rumahnya. Dia merawat unta itu baik-baik sebagai persiapan untuk perjalanan panjang hijrah. Dia rnasih mengidam-idamkan, semoga yang diajak Rasulullah saw. berhijrah adalah dirinya. 

Rasulullah saw. mernpunyai kebiasaan mengunjungi rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq hanya sekali dalam sehari. Terkadang di waktu sore, dan terkadang di waktu pagi. 

Pada suatu hari, Rasulullah saw. berkunjung ke kediaman Ahu Bakar Ash- Shiddiq di siang hari. Itu agak aneh, karena tidak biasanya Rasulullah saw. mengunjungi Abu Bakar Ash-Shiddiq di siang hari. Melihat Rasulullah saw., Abu Bakar Ash-Shiddiq bergumam dalam hati, “Ada apa Rasulullah saw. datang di siang hari seperti ini? Sungguh, pasti ada sesuatu yang telah terjadi.” 

Setelah dipersilakan duduk, Rasulullah saw. langsung berkata, “Sesungguhnya,  Allah telah mengizinkanku untuk keluar dari Mekah dan berhijrah ke Madinah.” 

“Apakah aku yang akan menemani engkau, ya Rasulullah?” tanya Abu Bakar Ash-Shiddiq.

“Benar, engkau yang akan jadi teman perjalananku,” jawab Rasulullah saw. 

Tidak seorang pun yang mengetahui keluarnya Rasulullah saw. dari kota Mekah kecuali Abu Bakar Ash-Shiddiq, kedua putrinya (Asma’ dan Aisyah), putranya (Abdullah), dan Ali bin Abu Thalib. Ali diperintahkan Rasulullah saw. untuk sementara tinggal di Mekah sekaligus ditugasi untuk mengembalikan barang-barang titipan masyarakat yang dititipkan kepada Rasulullah saw. 

Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq keluar dari pintu belakang rumah sambil mengendap-endap. Keduanya melangkah menuju Gua Tsur yang berada di luar kota Mekah. Sebelumnya, dua sahabat ini menyewa Abdullah bin Uraiqith. Ia adalah orang musyrik yang disewa sebagai penunjuk jalan ke kota Madinah melalui jalur pantai. Dia juga orang yang dipercaya menuntun kedua unta untuk diberikan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rencananya, kedua unta itu dibawa oleh Abdullah bin Abu Bakar dan Mekah, kemudian diserahkan kepada Abdullah bin Uraiqith. Dan Abdullah bin Uraiqith, sepasang unta itu bakal dipasrahkan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di sebuah tempat yang telah disepakati. Ketika Abu Bakar dan Rasulullah saw. tiba di gua Tsur, Abu Bakar Ash-Shiddiq maju memasuki gua terlebih dahulu sebelum Rasulullah saw. Dia ingin memastikan bahwa gua itu bersih dari ular dan binatang buas lainnya. Bahkan, kalaupun ada bahaya mengancam, dia bersedia menjadi korban pertama demi melindungi Rasulullah saw. 

Ketika sudah yakin tidak ada apa-apa, Rasulullah saw. masuk mengikuti jejak Abu Bakar Ash-Shiddiq. Keduanya tinggal di dalam gua selama tiga hari, Selama di sana, Abdullah bin Abu Bakar bolak-balik menyampaikan kabar kepada keduanya ihwal suku Quraisy, pada sore hari. 

Setelah Abdullah meninggalkan gua untuk pulang ke Mekah, datanglah Amir bin Fahirah. Dia menggiring sekawanan domba dan menggembalakannya di jalanan yang dilalui Abdullah bin Abu Bakar supaya bisa menyapu jejak Iangkahnya, sehingga suku Quraisy tidak bisa membuntuti perjalanan keduanya. Asma’ binti Abu Bakar bertugas mengirim makanan kepada keduanya di sore hari. Makanan itu dibungkus dalam kantong yang terbuat dari kulit. Asma’ memotong ikat pinggangnya menjadi dua, satu untuk mengikat mulut kantong makanan tersebut, dan satu lagi digunakan untuk mengikat pinggangnya. Karena itu, Asma’ binti Abu Bakar dikenal sebagai Asma’Dzatun-Nithaqain (Asma’ pemilik dua ikat pinggang). 

Allah menurunkan pertolongan kepada Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Perjalanan hijrah itu, dengan rahmat Allah, berjalan lancar sampai ke kota Madinah tanpa ada halangan berarti. Setelah Rasulullah saw. tiba dan bertempat di kota Madinah, meletuslah sejumlah pertempuran melawan suku Quraisy, kaum musyrikin dan para pemeluk Yahudi. Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu berada di garis terdepan dalam berjihad, Perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Hudaibiyah, Penakiukan Kota Mekah, Perang Hunain, dan perang lainnya. 

Di kota Madinah itulah Rasulullah saw. menikahi Aisyah, putri Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, derajatnya terangkat menjadi mertua Rasulullah saw. Keikhlasan Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam bergaul dengan Rasulullah saw. dan mengimani ajarannya seakan sudah menembus semua batas yang ada. Di kota Madinah, sebagaimana di kota Mekah, dia masih terus menjalankan misinya untuk menyebarkan Islam. 

Dalam kitab Abu Bakar dengan Fanhash, orang Yahudi, kita bisa menarik kesimpulan sampai di mana kadar keimanan Abu Bakar. Kisah itu bisa mewakili berbagai kisah lainnya yang memiliki topik yang sama, yakni membuktikan tingginya nilai keimanan Abu Bakar. 

Kita mungkin akan merasa heran bagaimana Abu Bakar yang terkenal lembut, sopan, santun dan halus bahasanya, tetapi bisa berubah menjadi keras sehingga memukul musuh Allah yang ingin mencoreng wajah agama yang lurus itu. Semua itu tidak lepas dari fondasi imannya yang kokoh. 

Kaum Yahudi di Madinah berencana untuk memperdaya kaum muslimin Mekah untuk membantu mereka menghadapi suku Aus dan Khazraj. Akan tetapi, rencana tersebut gagal total. Mereka lebih dulu takluk di tangan kaum muslimin sebelum mampu memecah-belah barisan kaum Muhajirin dan Anshar. Karena itu, mereka menggunakan rencana kedua, yakni melancarkan kebohongan guna melecehkan martabat agama Islam. 

Di tengah-tengah kaum Yahudi, ada seorang alim bernama Fanhash. Para pemeluk Yahudi menganggapnya sebagai cendekiawan mereka. Dia merupakan tempat bertanya tentang bagaimana cara menyudutkan kaum muslimin dan melecehkan harkat mereka. 

Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq bertandang ke rumah Fanhash untuk menyerunya supaya masuk Islam. Waktu itu, di rumahnya ada banyak sekali kaum Yahudi yang berkumpul mengelilinginya. Rupanya dia sedang menggelar rapat. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq herkata kepadanya, “Wahai Fanhash, celakakalah engkiu! Takutlah kepada Allah dan ,masuklah ke dalam agama Islam. Demi Allah, sesungguhnya, engkau mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dia datang dengan membawa kebenaran dari sisi Allah. Keberadaannya telah termaktub dengan jehas dalam kitab Taurat dan Injil.”

Sambil bibirnya menyungging senyum mengejek, Fanhash malah berkata, “Demi Allah, wahai Abu Bakar: Sesunguhnya kita ini tidak butuh kepada Allah, tetapi Allahlah yang butuh kepada kita. Kita tidak akan bermunajat dengan penuh ketakutan kepada-Nya, tetapi Dialah yang takut kepada kita. Kita sama sekali tidak membutuhkan-Nya, tetapi Dialah yang butuh kepada kita. Kalau saja Allah tidak butuh kepada kita karena Dia sudah Maha Kaya, niscaya Dia tidak akan meminta pinjaman utang kepada kita sebagaimana yang sering didengungkan oleh sahabatmu, Muhammad. Kalian telah tahu sendiri bahwa Allah melarang kalian untuk mengambil riba (kelebihan), tetapi Dia telah ,menberikan kelebihan kepada kita. Kalau saja Dia kaya, niscaya tidak akan memberikan kelebihan kepada kita setelah Dia melunasi utang-Nya.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa Fanhash memang sengaja melecehkan Islam. Melecehkan Rasulullah saw., bahkan firman Allah. Dia nyaris tidak menguasai dirinya. Ingin rasanya dia melayangkan beberapa tamparan kepada musuhnya itu. Untungnya dia sendiri bisa menenangkan diri. Dengan geram dia membentak, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalau saja bukan karena perjanjian damai yang tertulis antara kalian dengan kami, niscaya aku akan memukul kepalamu, musuh Allah.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq lantas mengayunkan langkahnya pergi agar tidak memperpanjang permusuhannya itu.

Biografi Abu Bakar selanjutnya dapat dilihat pada postingan yang berjudul : Khalifah Pertama(Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Nama Dan Nasab Umar Bin Khattab (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra., bilik islam
Dia adalah Abu Hanifah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin Adi bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib A1-Qurasyi. Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin A1-Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b. 

Menurut sebuah riwayat, Umar dilahirkan 13 tahun setelah Tahun Gajah. Dari Sa’id bin A1-Musayyab ia mengatakan, “Umar masuk Islam setelah 40 pria dan 10 wanita. Sesudah dia masuk Islam, maka Islam tampak mulai bersinar di kota Mekah.” 

Umar memiliki kedudukan yang mulia di tengah kaum Quraisy di masa Jahiliah, sehingga dia diangkat menjadi duta mereka, yaitu ketika terjadi peperangan dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dia juga ditampilkan untuk unjuk kebanggaan, ketika mereka hendak bermegah-megahan. 

Dia masuk Islam pada tahun keenam dari masa kenabian. Kulitnya putih kemerah-merahan dan perawakannya tinggi. Disebutkan dalam sejarah bahwa warna kulitnya menjadi cokelat setelah dilanda tahun-tahun kelabu (yaitu ketika terjadi masa paceklik di masa pemerintahannya, hal ini akan dikupas lebih lanjut dalam biografi selanjutnya berikutnya). 

Dia wafat karena ditikam (sewaktu mengimami shalat subuh) saat berusia 63 tahun. Dia dikuburkan di ruangan yang mulia bersama Rasulullah saw. dan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Semoga Allah meridhai Al-Faruq Umar. 

Persaksian Semuanya
Setelah Al-Faruq Umar ra. masuk Islam, dia bertemu seorang penggembala, lalu penggembala tersebut berkata kepadanya, “Aku merasa bahwa orang yang bekerja dengan kedua tangannya itu (yakni, Umar) telah masuk Islam.” Maka, dia menimpali, “Apakah dia orang yang menang dalam pertandingan gulat di pasar Ukazh?! 

Ia menjawab, “Ya.” 

Ia melanjutkan, “Demi Allah, sungguh, dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” 

Dialah Al-Faruq yang tidak lunak dalam urusan kebenaran dan pelaksanaannya. Badui ini telah merangkum tentang perbuatannya. 

“Sungguh dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” Ya, Umar meluaskan kebajikan pada ahli kebajikan dan keburukan pada ahli keburukan; karena dia tidak menghiraukan celaan orang lain dalam urusan kebenaran.

Biografi Umar selanjutnya bisa dilihat pada postingan yang berjudul : Setan Takut Ketegasan Al-Faruq ra. (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Tuesday, 25 October 2016

Hukum Mengucapkan "Sayyidina" Dalam Shalawat (Sebelum Nama Muhammad)

mengucapkan sayyidina sebelum nama nabi
Sepatutnya bagi orang-orang besar, terutama sekali bagi sayyidul anbiya’ wal mursalin yakni Nabi Muhammad Saw. diberikan laqab atau gelar dengan “Sayyidina” yang berarti penghulu atau junjungan kita. Hal ini dikarenakan Nabi kita Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin dan junjungan ummat, melainkan juga sebagai penghulu sekalian nabi.
 
Kalau terhadap Nabiullah Yahya bin Zakaria Al-Qur’an memberikan gelar sayyid sebagaimana tersebut dalam surat Ali lmran ayat 39 :
“Dan beliau adalah sayyid, mampu menahan diri (dari hawa nafsu) dan juga seorang nabi dari keturunan orang-orang saleh”
 
Maka tentulah bahwa gelar itu lebih utama lagi diberikan kepada Rasulullah Saw.
 
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 67 Allah Swt. Berfirman :
“Mereka (para penghuni neraka) berkata Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi para pemimpin dan pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dan jalan yang benar”.
 
Dan dalam surat Yusuf ayat 25 :
“Wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek dan kedua-duanya menjumpai suami wanita itu secara tiba-tiba ada di depan pintu”.
 
Sedangkan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw. Bersabda :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya”.

Dalam tiga penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits diatas diterangkan bahwa pemimpin, suami dan bahkan semua anak Adam (manusia) dapat juga dikatakan sayyid. Kalau demikian keadaannya, maka apakah manusia yang paling tinggi harkat dan martabatnya di sisi Allah Swt. yakni junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. tidak boleh disebut sayyid ? Maha benarlah Allah Swt. yang telah berfirman :
“Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang tersembunyi dalam dada”. (QS.Al-Haj : 46) 

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw. memberitahu para sahabatnya dimana pada hari kiamat nanti Allah Swt. akan menggugat para hamba-Nya dengan ucapan : “alam ukrimka wa usawwidka (Bukankah engkau telah Aku muliakan dan telah Aku jadikan sayyid ?)“ . Makna hadits ini bahwa Allah Swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada setiap manusia. Dan kau kenyataannya memang demikian, maka apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada yang lain ? Kalau manusia biasa saja dapat disebut sayyid, apakah Rasulullah Saw. tidak boleh disebut sayyid.?
 
Demikian juga terhadap ahli baitnya, semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan .bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada puteri beliau Siti Fatimah r.a :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah para wanita ummat ini?”.
 
Dalam shahih Muslim terdapat hadits senada yang berbunyi :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?.

Berdasarkan dua hadits riwayat Bukhari dan Mushm diatas, maka kita terbiasa menyebut puteri Rasulullah Saw., Siti Fatimah az-Zahra dengan sebutan sayyidatuna atau sayyidati yang dalam bahasa Indonesia telah berubah lafaz (diringankan) menjadi “Siti” yang maknanya sama dengan “sayyidati”.
 
Demikian pula halnya terhadap cucu Rasuullah Saw. yaitu Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari dan At Turmuzi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad yang sahih bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. Bersabda :
“Hasan dan Husein adalah dua orang yang akan menjadi sayyid para pemuda ahli surga”.
 
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu‘anhuma, kedua-duanya juga disebut sayyid oleh Rasulullah Saw.
 
Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Abu Bakar dan Umar adalah dua sayyid para sesepuh ahli surga baik dari kalangan terdahulu maupun terkemudian kecuali para Nabi dan Rasul”.

Ketika Sa’ad bin Mu’az diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraizhah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memanggilnya. Sa’ad-pun datang sambil berkendaraan yakni menunggang keledai. Melihat hal itu Rasulullah Saw. berkata kepada orang-orang yang hadir :
“Berdirilah untuk menghormati sayyid kalian atau orang yang terbaik diantara kalian”. 

Setelah dikemukakan sekian banyak hadits Nabi yang mengindikasikan tentang bolehnya menggunakan sayyid ketika menyebut nama Rasulullah Saw., apakah mereka yang tidak setuju masih tetap bersikeras menentang penggunaan sayyidina ketika menyebut nama beliau ? Apakah mereka itu tidak khawatir akan dikesankan sebagai orang yang mengingkari martabat Rasulullah Saw. sebagai Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin (Penghulu sekalian Nabi dan Rasul)? 

Kalau diketengahkan sebuah hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang berkata :
“Pernah Nabi Saw. keluar menuju kami lalu kami berkata ‘‘Sesungguhnya kami telah mengetahui bagaimana mengucap salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami akan menghaturkan shalawat untukmu ? Nabi Saw. menjawab : Ucapkanlah “Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad hingga akhirnya” dimana dalam hadits ini tidak disebutkan lafaz sayyidina, lalu berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa mengucap sayyidina adalah bid’ah dhalalah, maka kesimpulan ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat dan tergesa-gesa. 

Pada hadits tersebut Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya bagaimana cara mengucap shalawat kepada beliau ? Dan karena shalawat yang ditanyakan itu adalah berkenaan dengan diri beliau sendiri, maka sebagai orang yang tawaadhu’ dan tidak suka menyombongkan diri akan terasa berat bagi beliau untuk mencantumkan sayyidina pada nama beliau karena sayyidina itu adalah gelar kebesaran; Oleh karena itu, maka Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan sahabat itu dengan :
Jangankan Nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan penuturan para ulama adalah syadiidal hayaa’ wat tawaadhu’ (sangat pemalu dan suka merendahkan diri), kita saja akan merasa berat dan merasa tidak enak menyebut-nyebut gelar pada nama kita. 

Cobalah kita bertanya pada seseorang siapa namanya ? Walaupun pada hakekatnya dia telah bergelar professor atau doctor tetapi tentu dia tidak akan merasa enak untuk menyebut-nyebut gelarnya itu. Dia pasti hanya mencukupkan diri dengan menyebut namanya saja. 

Tetapi walaupun ia tidak mau menyebutkan gelarnya itu kepada kita, namun apabila kita sendiri yang akan menyebut namanya, maka sebagai tanda kita menghormati dia, tentunya akan lebih baik kalau gelarnya itu kita cantumkan. 

Nah, Begitu jugalah halnya dengan Nabi kita Muhammad Saw., walaupun beliau tidak menyebutkan gelar sayyidina diketika beliau mengajarkan tata-cara bershalawat namun sebagai adab dan penghormatan kita kepada beliau, sepatutnyalah kita cantumkan gelar sayyidina itu apabila kita menyebut-nyebut nama beliau atau mengucapkan shalawat untuk beliau. 

Oleh karena itulah, maka Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan di dalam kitab beliau Hasiyatul Bajuri jilid I/156 :
“Yang lebih utama adalah menyebut sayyidina karena yang afdhal adalah menerapkan sikap adab”.
 
Demikian pula pendapat Syaikh Sihabuddin al-Qalyubi di dalam kitabnya jilid I/167 :
“Bahkan menyebut sayyidina yang afdhal karena di dalamnya terdapat pelaksanaan perintah beserta penerapan adab”.

Dan juga penjelasan Syaikh Ibnu Qasim al-Ubbadi di dalam Hasiyah kitab Tuhfatul Muhtaj jilid I/268:
“Dan telah masyhur fatwa ulama tentang tambahan sayyidina sebelum Muhammad”.
 
Sedangkan dalam kitab Hasiyah Sanusi halaman 8 ditegaskan bahwa fatwa yang rojih (kuat) adalah : “Menjalankan adab didahulukan daripada menjalankan perintah”.

Selanjutnya mari kita perhatikan sebuah penjelasan yang tersebut dalam kitab Nailul Authar oleh Imam Syaukani jilid II/302 :
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Abdissalam bahwa beliau menjadikan penggunaan “sayyidina” itu sebagian daripada bab “Menjalankan Adab” yaitu didasarkan kepada kaidah bahwa menempuh jalan adab lebih disukai daripada menjalankan perintah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Abu Bakar ketika Nabi Saw. memberikan perintah kepada beliau agar tetap ditempatnya (untuk menjadi imam shalat) lalu beliau tidak melaksanakan perintah itu dan berkata : “Tidak sepatutnya bagi anak Abi Quhafah untuk maju dan berdiri dihadapan Rasululah Saw.”. Dan begitu juga keengganan Ali bin Abi Thalib untuk menmghapus nama Nabi Saw. dan surat perjanjian pada perdamaian Hudaibiyah sesudah Nabi memberi perintah untuk melakukannya. Ketika itu Ali berkata “Aku tidak mau meughapus namamu selama-lamanya”. Kedua hadits ini terdapat dalam sahih Bukhari. Maka pengakuan Nabi Saw. terhadap sikap Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib perihal keengganan menjalankan perintah dengan tujuan menjalankan adab adalah menunjukkan keutamaan hal tersebut”.
 
Demikianlah beberapa penjelasan seputar kemusykilan yang diajukan berkaitan dengan sabda Nabi Saw. dalam riwayat Ka’ab bin Ajroh yang hanya memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat dengan menyebut nama beliau tanpa kata “sayyidina”. 

Sebenarnya, meski terdapat riwayat yang tidak menyebutkan kata sayyidina dalam pengajaran beliau tentang tata cara mengucapkan shalawat -dan untuk hal tersebut telah dijelaskan maksud yang terkandung di dalamnya- namun dalam beberapa riwayat lainnya yang bersifat pengkhabaran (informasi) justru terdapat pengakuan yang jelas bahwa Nabi Saw. adalah seorang sayyid. Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam” 

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
 
Dalam hadits riwayat Ahmad, lbnu Majah dan Turmuzi terdapat sebuah hadits dimana Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam di hari kiamat nanti”.
 
Riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Saya adalah sayyid semua manusia di hari kiamat”.
 
Hadits ini oleh Rasulullah Saw. sendiri diberikan makna sebagai berikut : -
“Pada hari kiamat nanti, Adam dan para nabi lainnya akan berada dibawah benderaku”.
 
Riwayat dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalaa’ilun Nubuwwah” menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid kaum mukminin jika mereka telah dibangkitkan nanti”.

Sedangkan hadits riwayat al-Khatib mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah imam kaum muslimin dan sayyid orang-orang yang bertakwa”.

Semua hadits yang tersebut diatas adalah mutawatir dan itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. adalah sayyid. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Saw. adalah satu hal yang tepat dan sangat pantas dilakukan oleh setiap muslim yang mencintai beliau. 

Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan terang menunjukkan bahwa beliau lebih suka dipanggil dengan sayyidina. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad shahih berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah Saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt. beliau bertanya “Siapakah aku ini ?” . Kami menjawab “Rasulullah!”. Beliau berkata : “Ya benar, tetapi siapakah aku ini ?”.Kami menjawab : “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf!”. Beliau kemudian berkata “Aku adalah sayyid anak Adam”.

Ada sementara orang yang tidak setuju penggunaan kata sayyidina diketika menyebut nama Rasulullah Saw. mengajukan sebuah hadits yang berbunyi :
“Jangan kalian menyebutku sayyid di dalam shalat”. 

Tampaknya orang tersebut sudah kepayahan mencari dalil untuk menolak penggunaan kata sayyidina sehingga hadits itulah yang terpaksa diajukannya. Padahal hadits tersebut sudah dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits palsu (maudhu). Dalam kitab Al-Hawi, Jalaluddin as-Suyuthi ketika menjawab pertanyaan tentang hadits itu berkata dengan tegas bahwa hadits itu tidak pernah ada alias batil. Al-Hafiz as-Sakhawi dalam kitab “Al-Maqashidul Hasanah” mengaskan bahwa hadits itu tidak karuan sumbernya. Jalaluddin al-Mahalli, Syamsur Ramli, lbnu Hajar al-Haitsami, Imam al-Qari serta para ahli fiqh madzhab Syafi”i dan Maliki mengatakan bahwa hadits itu sama sekali tidak benar. 

Kecuali itu terdapat indikasi lain yang betul-betul memastikan hahwa hadits itu adalah hadits palsu yakni penggunaan kata tusayyidu. Hal ini karena dalam bahasa arab tidak terdapat kata kerja (fi’il) yang berakar kata “sayyada” kemudian menjadi “yusayyidu”. Yang ada hanyalah "sawwada” menjadi “yusawwidu” yang berarti memuliakan. Tidaklah mungkin sama sekali bahwa Rasulullah Saw, yang digelari oleh para pujangga arab dengan afshahu naathiqin bid dhad yakni orang yang paling fasih mengucapkan kata-kata arab justru malah menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh orang arab sendiri. Karenanya penggunaan kata yang tidak tepat dalam hadits itu termasuk satu indikasi yang menguatkan kepalsuan hadits tersebut.

Tabir Wanita