Tuesday, 6 September 2016

Perbandingan Zakat Petani Dan Pedagang Menurut Fikih Islam

bab zakat, zakat islam, hukum zakat, rincian zakat, tata cara zakat
Tanya : Begini Kiyai menurut saya antara nishab zakat padi (700 kg/ketika panen) dan nishab perdagangan atau yang sejenis (seharga 94 grarn/tahun) kurang memberikan rasa keadilan. Hal itu mengingat antara petani dan pedagang terdapat perbedaan dalam arti pedesaan dan perkotaan. Apalagi tingkat perekonomian yang berbeda jauh, belum lagi tingkat persaingan harga si petani padi yang jauh lebih rendah. Mengapa kewajiban. zakat si petani mencapal 5% atau 10% sekali panen sedangakan pedagang hanya 2,5% dalam setahun. Di manakah tingkat perbedaannya dan apakah ketentuan tersebut bisa ditafsirkan kembali yang lebih adil? (Ahmad Zulfa, Semarang) 

Jawab : Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardhu‘ain dan merupakan kewajiban ta‘abudi. Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun. Dalam Al Quran perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga tersebut belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 

Pengelolaan dan distribusi zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan baik dari segi syariah maupun perkembangan zaman. Seperti zakat hasil bumi, profesi dan lain-lain yang masih menjadi kontroversi. 

Ketika kita menyebut petani atau pertanian, maka yang tergambar dalam benak kita adalah hasil bumi. Hasil bumi di negeri kita ini sangat beragam, karenanya berkaitan dengan zakat terlebih dahulu saya sampaikan hasil bumi macam apa yang di kenai wajib zakat. Dalam hal ini ada perbedaan madzhab empat, sebagai berikut :
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
  2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah jambu pir dan lain-lain.
  3. Menurut Imam Syafi’i, setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib di zakati.
  4. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, biji-bijian, buah-buahan, dan rumput yang ditanam wajib di zakati. Begitu pula tanaman-tanaman lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, buah tin dan mengkudu wajib pula untuk dizakati. 

Sedangkan untuk hasil bumi yang lain seperti tembakau dan cengkih wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan) bukan zakat ziraah (hasil bumi).

Dalam kitab-kitab kuning, nishab padi adalah 5 (lima) wasak. Sedangkan nishab harta dagangan adalah sama dengan nishab emas murni (24 karat) yaitu 20 (dua puluh) dinar. Berdasarkan ukuran. yang telah dikonversikan dalam ukuran yang biasa kita pakai, nishab padi adalah sekitar 1323,132 kg (bukannya 700 kg) dengan zakat 5% atau 1/20 setiap kali panen. Jadi, kira-kira 66,156 kg setiap 1323,132 kg. Sementara nishab emas atau barang dagangan adalah 77,58 gr dengan zakat 2,5% atau 1/40. Artinya, 1,9395 gr setiap barang dagangan senilai 77,58 yang telah mencapai haul (satu tahun). Kalau ada yang mengatakan 94 gr (tepatnya 93,096), maka itu adalah standar emas 20 (dua puluh) karat. (lihat dalam kitab-kitab atau buku konversi Indonesia). 

Melihat aturan itu dengan kondisi ekonomi domestik semacam ini, rasanya memang patut untuk mengatakan kurang adil karena di satu sisi petani yang mendapatkan rezekinya dengan usaha sangat susah-payah dan biaya mahal ternyata dikenai zakat yang relatif tinggi. Sementara para pedagang yang mendapatkan rezekinya lebih mudah ternyata dikenai zakat lebih rendah dan petani. 

Kalau kita runut secara historis, ada beberapa alasan sampai ditentukan prosentase sedemikian rupa. Pertama, tingkat kepayahan pedagang saat itu sangatlah jauh dibandingkan dengan para petani. Kalau petani hanya menanam, merawat (kalau perlu) kemudian menunggu hasilnya, maka pedagang saat itu haruslah berjalan ratusan kilometer bahkan sampai menyebarang ke negara lain dan perlu waktu berbulan-bulan atau tahun untuk menjajakan dagangannya. Kedua, risiko yang ditanggung para pedagang lebih tinggi dibandingkan dengan para petani. Kalau peani kemungkinannya hanya rugi modal (itu pun kemungkinannya sangat kecil), maka pedagang bisa lebih dari itu. Ia bisa mengalami kebangkrutan karena adanya fluktuasi harga dagangannya, belum lagi keamanan jiwa dan harta dagangannya di perjalanan. Ketiga, komoditas pertanian biasanya berupa kebutuhan kebutuhan pokok sehingga harganya akan konstan dan pasti dibutuhkan. Sementara dalam perdagangan, tidak demikian. 

Terlapas dan kondisi di atas, masalahnya adalah bagaimana ketika kita melihat praktik perdagangan dan pertanian dalam konteks zakat di Indonesia yang dari aspek sosial ekonomi maupun aspek syariat terasa kurang relevan dan membuat tanda tanya besar?

Secara teologi, kita yakin bahwa Islam adalah agama yang universal untuk seluruh umat di semua belahan dunia. Pernahkah kita membayangkan kondisi pertanian di luar Indonesia, negara negara maju misalnya? Dan pernahkah kita membayangkan sistem perekonomian selain Indonesia? Di negara-negara agraris dan negara maju, petani adalah warga negara yang makmur (kaya dan bekecukupan), karena komoditas pertanian tidak memiliki keterpautan harga terlalu jauh dengan barang yang bukan kebutuhan pokok. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang terpaut sangat jauh. Gambarannya kalau di negara lain nilai 1 (satu) ton padi sama dengan sepeda motor baru, maka di Indonesia perlu berpuluh-puluh ton untuk itu. Kalau secara obyektif, dibandingkan dengan negara-negara lain patut dikatakan kebijakan ekonomi kita yang kurang berpihak pada dunia pertanian bahkan sepertinya petani-petani itulah yang memberikan subsidi kepada pemerintah dan seluruh rakyat berupa harga beras yang sangat murah jika di bandingkan dengan biaya produksinya. Bagaimana mungkin 1 (satu) kg beras hanya bernilai seperempat bahkan seperlima dolar? Pernahkah kita membayangakan kehidupan petani jika harga beras setengah dolar saja? 

Waihasil, terlepas dari zakat itu ibadah ta‘abbudi, hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku universal untuk seluruh dunia semacam zakat harus juga ditinjau secara universal. Jangan sampai terjebak dan terkooptasi kondisi lokal. Sebab apabila tinjauan itu berangkat dari kondisi lokal, bukan tidak mungkin di belahan bumi yang lebth luas timbul negasi dan pertanyaan Anda.

Pengertian Darah Istihadhah Menurut Fikih Islam

jenis darah wanita
Tanya : Bab istihadhah (darah selain haid) masih terjadi perbedaan pendapat dalam memahaminya. Ada yang memahami haid sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) hari diluar itu istihadhah, ada juga yang memahami istihadhah tergantung jumlah kebiasaan hari haidnya, misalnya kebiasaan haid 7 (tujuh) hari. maka bila harike-8 masih keluar darah (mengiringi), itu termasuk istihadhah. Tolong dijelaskan Kiai mana di antara pemahaman tersebut yang benar? (Tn S, Malang)

Jawab : Ada 3 (tiga) macam jenis darah yang biasa keluar dari kemaluan bagian depan (qubul) seorang perempuan, pertama darah haid, kedua darah nifas kemudian yang ketiga darah istihadhah.

Baca juga : Perbedaan Darah Nifas, Haid Dan Istihadhah

Yang pertama darah haid, adalah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan dalam keadaan sehat, tidak luka dan telah mencapai umur genap 9 (sembilan) tahun. Artinya apabila darah itu keluar dari farji perempuan yang belum genap umurnya mencapai 9 (sembilan) tahun, darah itu bukan darah haid. 

Darah yang keluar bisa dikatakan darah haid apabila darah tersebut keluarnya mencapai waktu sehari semalam (24 jam) secara terus-menerus, atau bisa lebih dari sehari semalam (selama tidak melebihi batas maksimal haid yaitu 15 hari) serta keluarnya dengan terputus-putus pada jam-jam tertentu. Tetapi jika jam-jam keluamya tadi dikumpulkan waktunya akan bisa mencapai genap sehari semalam (24 jam), darah itu juga dinamakan darhb haid.

Jadi, apabila ada darah yang keluar dari farji dan waktunya tidak mencapai sehari semalam, atau keluarnya beberapa hari (tidak lebih dari 15 hari) dengan terputus-putus tetapi apabila dikumpulkan jam-jam keluarnya dan tidak mencapai waktu 24 jam, maka darah itu tidak dinamakan darah haid. Atau keluarnya lebih dari 15 (lima belas) hari, darah itu juga tidak dmamakan darah haid.

Yang kedua adalah darah nifas. Darah ini yang keluarnya mengiringi kelahiran. Paling sedikit (batas minimal) darah nifas keluar adalah majjatan (satu tetes) kemudian paling banyak adalah 60 (enam puluh) hari. Di luar ukuran itu, berarti tidak bisa dinamakan darah nifas.

Kemudian yang ketiga adalah darah istihadhah. Istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim pada saat seseorang tidak sedang mengalami haid atau nifas. 

Jadi, seumpama ada seorang perempuan yang mengeluarkan darah kurang dari sehari semalam itu dinamakan darah istihadhah. Atau dia mengeluarkan darah beberapa hari (tidak lebih dari 15 hari) dengan terputus-putus pada jam-jam tertentu tetapi apabila jam-jam terputusnya tadi dikumpulkan dan tidak mencapai 24 jam, maka darah itu juga darah istihadhah. Atau darah tadi keluarnya lebih dari 15 hari, maka darah itu juga dinamakan darah istihadhah. 

Kemudian kalau kebiasaan seseorang mengeluarkan haid itu selama 7 (tujuh) atau 8 (delapan) hari, maka darah yang keluar setelah itu tidak dinamakan darah haid melainkan darah istihadhah. Karena seperti yang terdapat dalam kaidah fikih “al‘adah muhakkamah” kebiasaan bisa dijadikan sebuah hukum. 

Sebenarnya pemahaman yang terdapat dalam pertanyaan si penanya di atas tentang darah istihadhah kedua-duanya benar (semua dinamakan darah istihadhah) asal jangan sampai terjadi dengan pemahaman yang pertama kemudian seseorang menyalahkan seseorang yang lain yang mempunyai pemahaman kedua, sehingga dia menganggap bahwa pemahaman yang kedua adalah salah (darahnya tidak dinamakan darah istihadhah). Atau sebaliknya, karena justru tindakan itulah yang salah, soalnya kedua pemahaman di atas sama-sama benamya.

Kisah Hamzah Dan Umar Masuk Islam

peta arqam, Kisah Hamzah Dan Umar Masuk Islam
Untuk menghindarkan aniaya dan kekejaman kaum Quraisy, Nabi memilih rumah seorang pengikutnya yang bernama Arqam, sebagai tempat berkumpul dan beribadah karena sampai saat itu, orang-orang Islam belum mau melakukan ibadah secara terang-terangan. 

Setelah Islam mencapai usia genap enam tahun, keadaan menjadi berubah. Pada tahun itu, dua orang pemuka bangsa Arab yang disegani orang, memeluk Islam. Mereka adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi sendiri, dan Umar bin Khaththab. 

Hamzah, saudara dari ayah Nabi, adalah seorang yang mulia dan berani, Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa, pada suatu hari, Abu Jahal melihat Nabi seorang diri sedang beristirahat di bukit Shafa. Dengan terburu-buru, Abu Jahal menghampiri Nabi yang sedang berbaring-baring di sana. Abu Jahal memaki Nabi dengan sepuas hatinya. Nabi berpura-pura tidak mendengarnya dan dibiarkannya Abu Jahal mengoceh sendirian. 

Peristiwa ini dilihat oleh seorang perempuan. Perempuan itu merasa benci terhadap Abu Jahal yang memaki-maki Nabi. Dengan segera, perempuan itu mengadu kepada Hamzah, paman Nabi yang saat itu kebetulan baru pulang berburu. Bahkan, busur panahnya masih tersandang di atas pundaknya. Langkahnya yang tegap dan gagah itu, sesuai dengan orangnya yang berani dan tegas dalam tindakan. 

Mendengar cerita dari perempuan tersebut, seketika itu juga, Hamzah pergi menuju Ka’bah, dengan rasa marah yang sangat. Sesampai di Ka’bah, tanpa berbicara apa-apa, Hamzah langsung memukulkan busur panahnya ke kepala Abu Jahal sehingga kepalanya berlumuran darah. Pada saat itu juga, di hadapan Abu Jahal dan kawan-kawannya, Hamzah telah menyatakan dirinya bahwa ia telah masuk Islam. 

Tidak lama setelah Hamzah masuk Islam, Umar bin Khaththab menyusul masuk Islam. Ia adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara 30-35 tahun. Tubuhnya tegap dan kuat. Umar adalah seorang pemuka Quraisy yang terkenal sangat keras, tegas, dan cepat emosi. Ia sangat suka berfoya-foya dan minum-minuman keras. Namun terhadap keluarganya, ia bijaksana dan lemah lembut. Dari kalangan Quraisy, dialah yang terkenal paling keras memusuhi kaum muslimin. 

Kini, dua pemuka dan pahlawan Quraisy yang terkenal gagah berani, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khaththab, masuk Islam, sekaligus memperkuat barisan Islam. Keduanya terkenal sebagai singa-singa padang pasir, yang sama hebatnya sebelum dan sesudah memeluk Islam. Sebelumnya, mereka hebat melawan Islam dan kini hebat membela Islam. 

Diceritakan bahwa pada saat-saat terakhir sebelum masuk Islam, Umar bin Khaththab telah bertekad akan menghabisi Nabi dengan pedangnya. Saat itu, Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut berhijrah, di sebuah rumah, di Shafa. Sahabat yang berkumpul di antaranya adalah Hamzah (paman Nabi), Ali bin Abu Thalib (sepupunya), Abu Bakar bin Abi Quhafa dan sahabat-sahabat lainnya. 

Pertemuan tersebut ternyata diketahui oleh Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka berkumpul dengan satu tujuan, menghabisi nyawa Nabi. Namun demikian, di tengah perjalanan, ia mendengar berita dari Nu’aim bin Abdillah, bahwa adik kandungnya sendiri, yaitu Fatimah binti Khaththab bersama suaminya telah masuk Islam. 

Mendengar berita itu Umar semakin marah. Ia segera pergi ke rurnah adiknya terlebih dahulu untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan adiknya sebelum membunuh Muhammad. 

Sesampainya di tempat adiknya, di tempat itu pula ia mendengar ada orang yang membaca Al-Qur’an. Setelah mereka merasa ada orang yang mendekati, orang yang membaca Al-Qur’an itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya. Umar masuk ke dalam rumah seraya sertanya, “Aku mendengar suara bisik-bisik. Apa itu?” 

Karena mereka bungkam, Umar membentak dengan suara keras, “Aku sudah mendengar bahwa kamu telah menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!” katanya sambil menghantam Sa’id (iparnya) keras-keras. 

Fatirnah yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Suami-istri ini menjadi panas hatinya.

Keduanya menjawab secara terus terang, “Ya, kami sudah masuk Islam! Sekarang, lakukan apa saja yang kau kehendaki!” 

Mendengar jawaban adiknya itu serta darah yang mengalir di mukanya, Umar jadi tertegun. Rasa penyesalan terbayang di wajahnya. Ia meminta lembaran ayat Al Qur’an yang mereka baca. Semula mereka menolak, tapi akhirnya mereka memberikan juga. Air muka Umar berubah begitu ia membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an itu berbunyi :


Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi Peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (Thaha [201]: 1-6)  

Setelah membaca ayat tersebut, bergetarlah hati Umar. Ada sesuatu yang sangat agung yang ia rasakan. Ada seruan yang sangat luhur. Sikap Umar menjadi bijaksana. Tak lama kemudian, Umar yang beriman dan menyatakan keislamannya di hadapan Nabi. Nabi menyambutnya dengan gembira seraya menyatakan, “Allahu Akbar,” kemudian dibarengi oleh seluruh pengikutnya yang hadir pada saat itu.

Membangun Ka'bah (Kisah Dalam Al-Quran)

Membangun Ka'bah (Kisah Dalam Al-Quran)

MEMBANGUN KA’BAH
QS. Al-Baqarah: 125-129

Dalam dua kali perjalanannya ke Mekah, Nabi Ibrahim tidak berusaha menemui Nabi Ismail secara pribadi. Dia merasa cukup dengan menemui istri Nabi Ismail untuk mengetahui keadaan beliau. Namun dalam perjalanannya kali ini, dia harus bertemu dengan Ismail. Allah telah memberinya tugas suci yang harus dikejakan bersamanya. Singkat cerita, Nabi Ibrahim pun sampai ke Mekah, namun Nabi Ismail tidak ada di rumah. Nabi Ibrahim kemudian pergi mencarinya. Beliau masuk ke perkampungan suku-suku dan perkemahan para perantau untuk mencari Nabi Ismail. Akhirnya, Nabi Ibrahim menemukan Ismail sedang duduk di bawah pohon rindang di dekat mata air Zam-zam. Nabi Ismail sedang meraut anak panahnya. 

Ketika melihat kedatangan Nabi Ibrahim, Ismail sangat gembira. Dia segera menjemput ayahnya dan memeluknya dengan penuh kerinduan. 

Mereka saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Kemudian. Nabi Ibrahim menyampaikan maksud kedatangannya. Beliau mengatakan bahwa dia diperintahkan oleh Allah untuk membangun Kabah di atas sebuah bukit. Nabi Ismail pun dengan senang hati menyambut tugas tersebut. Ia siap membantu ayahnya melaksanakan perintah Allah. 

Mereka kemudian segera membangun Kabah. Alat-alat dan bahan bangunan disiapkan. tanah digali bagi landasan bangunan tersebut. Setelah itu, tembok dibangun sampai tangan Nabi Ibrahim tidak dapat menjangkaunya. Dia memerintahkan Nabi Ismail untuk mencari batu besar yang akan dijadikan tumpuan kakinya. Tumpuan batu besar itu digunakan untuk membantunya mencapai puncak tembok yang sudah tinggi. Dengan pertolongan batu itu. Nabi Ibrahim dapat menjangkau puncak tembok. Saat Nabi Ibrahim menjejakkan kaki di batu itu, telapak kaki beliau berbekas pada batu sehingga batu tadi disebut Maqam Ibrahim. Sekarang, tempat itu digunakan sebagai tempat salat para jamaah haji ketika menjalankan ibadah haji. 

Setelah selesai membangun Kabah, Nabi Ibrahim berdoa, “Ya Allah, terimalah amalan kami dan jadikan kami berdua sebagai orang-orang yang tunduk dan patuh kepada-Mu. Tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami serta terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Pernikahan Nabi Ismail (Kisah Dalam Al-Quran)

Pernikahan Nabi Ismail (Kisah Dalam Al-Quran)
Suatu hari, Nabi Ibrahim berkunjung ke rumah Nabi Ismail. Namun, saat itu Nabi Ismail sedang pergi dan hanya ada istrinya di rumah. Istri Ismail tidak mengenali Nabi Ibrabim sebagai mertuanya karena ia memang belum pernah bertemu. Mereka pun bercakap-cakap. Istri Nabi Ismail mengeluh tentang kehidupan rumah tangga mereka yang melarat. Nabi Ibrahim lalu berpamitan dan menitipkan pesan untuk Nabi Ismail agar Ia mengganti pintu rumahnya. 

Ketika Nabi Ismail pulang, istrinya memberitahu bahwa ada tamu yang datang ke rumah mereka. Istrinya menyampaikan pesan Nabi Ibrahim supaya pintu rumah mereka diganti. Nabi Ismail segera tahu bahwa tamu itu adalah ayahnya. Dia juga paham arti di balik pesan ayahnya itu, yaitu supaya dia menceraikan istrinya. Nabi Ismail pun mengikuti perintah ayahnya. Dia menceraikan istrinya dan selang beberapa lama, dia pun menikah lagi dengan seorang gadis dari Bani Jurhum.

Tak lama setelahnya, Nabi Ibrahim kembali berkunjung ke rumah Nabi Ismail. Kali ini. beliau juga tidak berhasil menemui Nabi Ismail. Nabi Ibrahim mengetuk rumah Nabi Ismail dan disambut oleh istri Ismail yang kedua. Istri Ismail menyambut kedatangan Nabi Ibrahim dengan ramah. 

Nabi Ibrahim bertanya tentang keadaan Ismail dan keadaan rumah tangga mereka. Si istri mengatakan bahwa Nabi Ismail sedang berburu untuk mencari nafkah. Sedangkan keadaan rumah tangga mereka cukup baik. sejahtera, dan bahagia. Nabi Ibrahim senang dengan sambutan menantunya. Sebelum berpamitan, beliau menitipkan pesan untuk Nabi Ismail agar pintu rumahnya dipertahankan, tidak perlu diubah atau diganti karena masih kuat. 

Sekembalinya Nabi Ismail dari berburu, istrinya bercerita tentang kedatangan Nabi Ibrahim, “Tadi datang seorang tua yang alim dan berwibawa. Dia datang bertamu dan menitipkan pesan untukmu". Apa isi pesannya” Tanya Nabi Ismail. “Ia menyampaikan salam kepadamu dan berpesan agar pintu rumah ini jangan diubah atau diganti karena masih cukup baik dan kuat.” ucap istrinya. 

“Itu adalah ayahku dan isi pesannya beranti bahwa aku harus tetap bersamamu dan tidak boleh menceraikanmu.” 

Istrinya terkejut mendengan ucapan Nabi Ismail. Dia tidak menyangka bahwa laki-laki tua yang berkunjung ke rumahnya adalah mertuanya sendiri. Namun, dia bahagia karena sudah bertemu dengan mertuanya yang sangat bijaksana.

Penyembelihan Nabi Ismail (Kisah Dalam Al-Quran)

Penyembelihan Nabi Ismail (Kisah Dalam Al-Quran)

PENYEMBELIHAN ISMAIL
QS Ash-Shafaat: 100-111

Nabi Ibrahim pun tidak melupakan Siti Hajar dan putranya, Ismail. Setiap saat, Nabi Ibrahim pergi mengunjungi dan menjenguk Ismail di Mekah. Nabi Ibrahim bahagia melihat keadaan Siti Hajar dan Ismail yang dianugerahi banyak rahmat oleh Allah. 

Tempat yang dulu tandus dan terpencil itu sekarang ramai dikunjungi para kabilah. Nabi Ibrahim juga ikut berperan serta mendidik Ismail sehingga menjadi anak yang beriman kepada Allah.

Sewaktu Nabi Ismail mencapai usia remaja, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim termenung karena itu merupakan perintah Allah yang amat berat. 

Sebagai seorang ayah, dia tidak tega anaknya dijadikan kurban. Namun, sebagai seorang Nabi dia harus mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada keluarga dan harta bendanya. 

Allah mengetahui kebimbangan hati Nabi Ibrahim. Maka, Allah berfirman, “Aku lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Ibrahim mengamanatkan risalah-Nya.” Nabi Ibrahim pun kemudian menguatkan niatnya untuk menyembelih putranya, Ismail. Akhirnya, Nabi Ibrahim pergi ke Mekah untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah.

Sebelumnya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu memberitahukan hal tersebut kepada Ismail. Ismail memang seorang anak saleh yang sangat taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orangtuanya. 

Ketika sang ayah memberitahukan tentang perintah Allah yang harus dilaksanakan, Ismail berkata, “Wahai Ayah, laksanakanlah perintah Allah tersebut. Insya Allah, engkau akan menemuiku sebagai orang yang sabar dan patuh kepada perintah Allah. Aku hanya minta beberapa hal pada saat ayah akan melaksanakan perintah Allah. Pertama, Ayah harus mengikatku kuat-kuat agar aku tidak banyak bergerak. Kedua, lepaskan pakaianku agar darahku tidak mengenai pakaian dan menyebabkan berkurangnya pahalaku atau membuat ibu bersedih. Ketiga, tajamkanlah pisau ayah dan percepatlah pelaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaanku. Keempat, sampaikanlah salamku kepada ibu, berikanlah pakaianku ini sebagai obat penghibur untuknya.” 

Nabi Ibrahim pun memejuk Ismail dan mencium kedua belah pipinya. Beliau lalu berkata. “Aku sangat bahagia memiliki seorang putra sepertimu, yang taat kepada Allah dan berbakti kepada orangtua.” 

Mereka pun pergi ke sebuah bukit. Di bukit itu, Ismail diikat tangan dan kakinya, kemudian dibaringkan di tanah. Nabi Ibrahim mengambil pisau yang sudah diasahnya dengan tajam. Nabi Ibrahim tidak tega melihat putranya berbaring tak berdaya. Matanya menitikkan air mata tanda duka cita. Akhirnya sambil memejamkan mata, pisau itu diletakkan di leher lsmail dan penyembelihan dilakukan. 

Akan tetapi, secara ajaib, pisau yang sudah diasah itu tiba-tiba menjadi tumpul di leher Ismail. Inilah salah satu mukjizat dari Allah yang mengukuhkan bahwa perintah Allah itu merupakan suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Ismail. Allah hanya ingin menguji ketaatan mereka berdua. 

Ismail yang merasakan pisau ayahnya tumpul di lehernya, lalu berkata, “Wahai Ayah, rupanya engkau tidak tega memotong leherku.” 

“Aku tidak tahu mengapa pisau ini tumpul. Aku akan mencobanya lagi dengan menelungkupkan badanmu,” ucap Nabi Ibrahim sambil menelungkupkan tubuh Ismail. Beliau mencoba lagi menyembelih dari belakang. Namun, tetap saja gagal. Beliau bingung dan putus asa karena kegagalannya. Dia takut tidak sanggup melaksanakan penintah Allah. 

Melihat hal tersebut, Allah berfirman, “Wahai Ibrahim, engkau telah lulus dalam ujian-Ku. Aku akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.” 

Ketika mendengarnya, Nabi lbrahim menangis terharu bercampur bahagia. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih seekor domba sebagai ganti Ismail. 

Sejak saat itu, Nabi Ibrahim melaksanakan ibadah kurban kepada Allah dengan menyembelih domba dan binatang ternak lainnya. 

Ismail pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas dan rajin beribadah. Ia kemudian meminang seorang gadis dari Bani Jurhum dan hidup bahagia dalam pernikahannya. Sayangnya. Siti Hajar meninggal pada saat Ismail baru menikah.

Kemunculan Air Zamzam (Kisah Dalam Al-Quran)

Kemunculan Air Zamzam (Kisah Dalam Al-Quran), sejarah air zamzam, cerita air zamzam, kisah munculnya air zamzam, kemunculan air zamzam, letak air zamzam
Saat persediaan air sudah habis, Siti Hajar menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber air. Ia pun berlari ke sana-kemari untuk mendapatkan makanan. Ia mencoba berlari menuju bukit Shafa untuk mendapatkan sesuatu yang dapat menolongnya. Namun, hanya batu dan pasir yang ditemuinya. Kemudian, dari atas bukit Shafa dia melihat bayangan air yang mengalir di atas bukit Marwa. Dia pun berlari menuju bukit Marwa, walaupun ternyata yang dilihatnya hanya 

fatamorgana. Belum sempat ia beristirahat, ia seperti mendengar suara yang memanggilnya sehingga ia berlari lagi ke bukit Shafa. Namun, tidak didapatinya sesuatu pun. Siti Hajar bolak-balik berlari hingga tujuh kali antara bukit Shafa dan bukit Marwa. Pada akhirnya, dia duduk termenung karena kelelahan dan hampir putus asa. 

Di saat Siti Hajar dalam keadaan tidak berdaya, datanglah kepadanya Malaikat Jibril. Jibril bertanya kepadanya, "Siapa sebenarnya engkau ini?”
“Aku adalah hamba sahaya Nabi Ibrahim,” jawab Siti Hajar.
"Kepada siapa engkau dititipkan di sini?” tanya Jibril.
“Hanya kepada Allah.” jawab Siti Hajar.
Lalu Jibril berkata, “Jika demikian, maka engkau telah dititipkan kepada Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih yang akan melindungimu dan mencukupi kebutuhan hidupmu.” 

Kemudian, Jibril mengajak Siti Hajar ke suatu tempat. Di tempat itu, Jibril menginjakkan kakinya sekuat-kuatnya di atas tanah. Tidak ama. muncullah air yang memancar dari bekas telapak kaki Jibril. Atas kehendak Allah, air tersebut sangat jernih dan tidak pernah kering. Sumber mata air itu kemudian disebut air Zamzam. 

Melihat air yang memancar, Siti Hajar merasa lega dan gembira. Segera dia membasahi bibir putranya. Munculnya air Zamzam telah menarik perhatian burung-burung yang beterbangan mengelilingi daerah itu. Burung-burung itu pun menarik perhatian sekelompok bangsa Arab dan suku Jurhum yang sedang berkemah di sekitar daerah tersebut. Menurut pengalaman, di mana ada burung, di situ ada air. Maka, diutuslah oleh mereka beberapa orang untuk membuktikan kebenarannya. Para utusan itu pergi mengunjungi daerah tempat Siti Hajar berada. Kemudian, tak berapa lama mereka kembali membawa berita gembira kepada kaumnya tentang mata air Zamzam. Mereka juga menceritakan tentang adanya seorang wanita bernama Siti Hajar yang membawa putranya. Kelompok Jurhum pun segera memindahkan perkemahan ke sekitar tempat mata air Zamzam. 

Kedatangan mereka disambut oleh Siti hajar dengan gembira. Sekarang, Siti Hajar memiliki tetangga-tetangga yang akan menghilangkan rasa sepinya di tempat itu. Siti Hajar bersyukur kepada Allah karena telah menurunkan rahmat kepadanya.

Monday, 5 September 2016

Hukum Wanita Memotong Rambut (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum wanita memotong rambut (dialog wanita dan islam)

Wanita bertanya : apakah diperbolehkan seorang wanita memotong rambut?

Islam menjawab : tidak diperbolehkan, kecuali jika dimaksudkan untuk mempercantik dirinya. Sedangkan haram hukumnya, bila memotong rambutnya sampai pendek dan menyerupai laki-laki. Sebagaimana dijelaskan dalam Sabda Nabi saw. Yang berbunyi: “ Allah melaknat lelaki yang meniru (menyerupai) perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki”
Jadi hadits diatas mencakup dalam cara berpakaian, memotong rambut,sikap dan tingkah laku baik itu laki-laki ataupun perempuan.


Sumber : Buku Dialog Wanita dan Islam "Imam turmudzi"

Tabir Wanita