Tuesday, 6 September 2016

Perbandingan Zakat Petani Dan Pedagang Menurut Fikih Islam

bab zakat, zakat islam, hukum zakat, rincian zakat, tata cara zakat
Tanya : Begini Kiyai menurut saya antara nishab zakat padi (700 kg/ketika panen) dan nishab perdagangan atau yang sejenis (seharga 94 grarn/tahun) kurang memberikan rasa keadilan. Hal itu mengingat antara petani dan pedagang terdapat perbedaan dalam arti pedesaan dan perkotaan. Apalagi tingkat perekonomian yang berbeda jauh, belum lagi tingkat persaingan harga si petani padi yang jauh lebih rendah. Mengapa kewajiban. zakat si petani mencapal 5% atau 10% sekali panen sedangakan pedagang hanya 2,5% dalam setahun. Di manakah tingkat perbedaannya dan apakah ketentuan tersebut bisa ditafsirkan kembali yang lebih adil? (Ahmad Zulfa, Semarang) 

Jawab : Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardhu‘ain dan merupakan kewajiban ta‘abudi. Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun. Dalam Al Quran perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga tersebut belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 

Pengelolaan dan distribusi zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan baik dari segi syariah maupun perkembangan zaman. Seperti zakat hasil bumi, profesi dan lain-lain yang masih menjadi kontroversi. 

Ketika kita menyebut petani atau pertanian, maka yang tergambar dalam benak kita adalah hasil bumi. Hasil bumi di negeri kita ini sangat beragam, karenanya berkaitan dengan zakat terlebih dahulu saya sampaikan hasil bumi macam apa yang di kenai wajib zakat. Dalam hal ini ada perbedaan madzhab empat, sebagai berikut :
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
  2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah jambu pir dan lain-lain.
  3. Menurut Imam Syafi’i, setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib di zakati.
  4. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, biji-bijian, buah-buahan, dan rumput yang ditanam wajib di zakati. Begitu pula tanaman-tanaman lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, buah tin dan mengkudu wajib pula untuk dizakati. 

Sedangkan untuk hasil bumi yang lain seperti tembakau dan cengkih wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan) bukan zakat ziraah (hasil bumi).

Dalam kitab-kitab kuning, nishab padi adalah 5 (lima) wasak. Sedangkan nishab harta dagangan adalah sama dengan nishab emas murni (24 karat) yaitu 20 (dua puluh) dinar. Berdasarkan ukuran. yang telah dikonversikan dalam ukuran yang biasa kita pakai, nishab padi adalah sekitar 1323,132 kg (bukannya 700 kg) dengan zakat 5% atau 1/20 setiap kali panen. Jadi, kira-kira 66,156 kg setiap 1323,132 kg. Sementara nishab emas atau barang dagangan adalah 77,58 gr dengan zakat 2,5% atau 1/40. Artinya, 1,9395 gr setiap barang dagangan senilai 77,58 yang telah mencapai haul (satu tahun). Kalau ada yang mengatakan 94 gr (tepatnya 93,096), maka itu adalah standar emas 20 (dua puluh) karat. (lihat dalam kitab-kitab atau buku konversi Indonesia). 

Melihat aturan itu dengan kondisi ekonomi domestik semacam ini, rasanya memang patut untuk mengatakan kurang adil karena di satu sisi petani yang mendapatkan rezekinya dengan usaha sangat susah-payah dan biaya mahal ternyata dikenai zakat yang relatif tinggi. Sementara para pedagang yang mendapatkan rezekinya lebih mudah ternyata dikenai zakat lebih rendah dan petani. 

Kalau kita runut secara historis, ada beberapa alasan sampai ditentukan prosentase sedemikian rupa. Pertama, tingkat kepayahan pedagang saat itu sangatlah jauh dibandingkan dengan para petani. Kalau petani hanya menanam, merawat (kalau perlu) kemudian menunggu hasilnya, maka pedagang saat itu haruslah berjalan ratusan kilometer bahkan sampai menyebarang ke negara lain dan perlu waktu berbulan-bulan atau tahun untuk menjajakan dagangannya. Kedua, risiko yang ditanggung para pedagang lebih tinggi dibandingkan dengan para petani. Kalau peani kemungkinannya hanya rugi modal (itu pun kemungkinannya sangat kecil), maka pedagang bisa lebih dari itu. Ia bisa mengalami kebangkrutan karena adanya fluktuasi harga dagangannya, belum lagi keamanan jiwa dan harta dagangannya di perjalanan. Ketiga, komoditas pertanian biasanya berupa kebutuhan kebutuhan pokok sehingga harganya akan konstan dan pasti dibutuhkan. Sementara dalam perdagangan, tidak demikian. 

Terlapas dan kondisi di atas, masalahnya adalah bagaimana ketika kita melihat praktik perdagangan dan pertanian dalam konteks zakat di Indonesia yang dari aspek sosial ekonomi maupun aspek syariat terasa kurang relevan dan membuat tanda tanya besar?

Secara teologi, kita yakin bahwa Islam adalah agama yang universal untuk seluruh umat di semua belahan dunia. Pernahkah kita membayangkan kondisi pertanian di luar Indonesia, negara negara maju misalnya? Dan pernahkah kita membayangkan sistem perekonomian selain Indonesia? Di negara-negara agraris dan negara maju, petani adalah warga negara yang makmur (kaya dan bekecukupan), karena komoditas pertanian tidak memiliki keterpautan harga terlalu jauh dengan barang yang bukan kebutuhan pokok. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang terpaut sangat jauh. Gambarannya kalau di negara lain nilai 1 (satu) ton padi sama dengan sepeda motor baru, maka di Indonesia perlu berpuluh-puluh ton untuk itu. Kalau secara obyektif, dibandingkan dengan negara-negara lain patut dikatakan kebijakan ekonomi kita yang kurang berpihak pada dunia pertanian bahkan sepertinya petani-petani itulah yang memberikan subsidi kepada pemerintah dan seluruh rakyat berupa harga beras yang sangat murah jika di bandingkan dengan biaya produksinya. Bagaimana mungkin 1 (satu) kg beras hanya bernilai seperempat bahkan seperlima dolar? Pernahkah kita membayangakan kehidupan petani jika harga beras setengah dolar saja? 

Waihasil, terlepas dari zakat itu ibadah ta‘abbudi, hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku universal untuk seluruh dunia semacam zakat harus juga ditinjau secara universal. Jangan sampai terjebak dan terkooptasi kondisi lokal. Sebab apabila tinjauan itu berangkat dari kondisi lokal, bukan tidak mungkin di belahan bumi yang lebth luas timbul negasi dan pertanyaan Anda.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita