Saturday, 24 October 2015

Tata Cara Shalat Idul Fitri Yang Benar Menurut Islam ?

Tanya : Bulan puasa hampir habis. Hari raya makin dekat. Seperti kita maklumi, pada hari raya inl kita melaksanakan shalat Idul Fitri. Karena shalat ini hariya setahun sekali, saya menjadi sering lupa cara mengerjakannya. Karena itu mohon penjelasan Bapak. (Hening, Semarang)

Jawab : Sebentar lagi, setelah menjalani puasa sebulan penuh, umat Islam akan merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Pada hari itu kaum Muslimin diperintahkan melakukan shalat Idul Fitri (shalat Id). Shalat tersebut hukumnya sunah muakkad bagi semua orang, lelaki dan perempuan, dalam keadaan bepergian (musafir) atau di rumah. Artinya sangat dianjurkan oleh agama tetapi tidak sampai diwajibkan.

Kali pertama disyariatkan atas nama Nabi Muhammad Saw. pada tahun kedua Hijriyah dan menjadi salah satu khushusiahnya, karena tidak disyariatkan pada umat-umat terdahulu. (Al-Bajurr, I, 224).

Shalat Id dapat dikerjakan setelah matahari terbit, hingga masuk waktu shalat Zhuhur. Jumlah rakaatnya dua. Dapat dikerjakan secara berjamaah dan munfarid atau sendirian. Jadi, kalau karena suatu alasan tidak sempat di masjid, dapat mengerjakan sendirian di rurnah. Lebih baik shalat sendirian daripada tidak sama sekali. Tetapi yang lebih utama adalah berjamaah, karena hal itu dapat mempererat hubungan anggota masyarakat.

Syarat rukun shalat Id sama dengan shalat lain. Begitu pula hal-hal yang membatalkan dan pekerjaan-pekerjaan atau ucapan-ucapan yang disunahkan. Dengan demikian, orang yang shalat Id harus bersih dari hadas dan najis, menutup aurat, membaca Fatihah, dilarang berbicara dan sejenisnya.

Kalaupun terdapat perbedaan, terletak pada nat dan anjuran takbir. Niat shalat tentu saja berbeda-beda. Bunyi niat shalat Idul Fitri adalah, “ushaili rak’ataini sunnata ‘idul fitri” kalau munfarid. Ditambah “imaaman” kalau menjadi imam, dan “ma‘muuman” jika menjadi makmum.

Dalam shalat Id disunahkan takbir seperti takbiratul ibram dengan mengangkat kedua tangan seraya mengucapkan lafal “Allahu akbar” tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua.

Pada rakaat pertama, takbir dilakukan setelah membaca doa iftitah, yakni “kabira wa alhamdu lillahi katsiira... -, dan seterusnya dan setelah membaca ta‘awud (a‘udzu bilah minas syaitani ar-rajiim).

Sebagaimana kita ketahui bersama, setelah takbiratul ihram kita disunahkan membaca doa iftitah dan sebelum Fatihah membaca ta’awudz. Kalau tidak membaca doa iftitah, takbir dilakukan langsung setelah takbiratul ihram. Jika tidak membaca ta’awudz, takbir langsung disusul bacaan Fatihah. Bila seseorang setelah takbiratul ihram langsung membaca Fatihah, sudah tidak disunahkan karena waktunya telah lewat (Al-Fiqh Al-Manhaji: I, 224).

Sedangkan pada rakaat kedua, takbir dilakukan setelah takbir ikhram, yakni takbir setelah bangun dari sujud. Di antara dua takbir, baik pada rakaat pertama maupun rakaat kedua disunahkan membaca kalimat “subhariallah wal hamdu liliah wa Iaa ilaaha ilallaah wallaahu akbar.”

Setelah Fatihah pada rakaat pertama, sebaiknya membaca surat Sabbihisma atau Al-Kaafirun, dan rakaat kedua membaca surat A1-Ghaasyiyah atu Al-Ikhlash.

Selesai shalat Id dua rakaat, disunahkan khotbah dua kali jika dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat Id sendirian, tidak usah diiukuti khotbah. Ketika khotbah, hendaknya khotib menerangkan hal ihwal zakat fitrah.

Di samping shalat Id, kaum Muslimin dianjurkan atau disunahkan membaca takbir sejak matahari terbenam hari terakhir bulan Ramadhari hingga imam shalat Id jika shalat berjamaah. Atau sampai takbiratulihrarn kalau shalat sendirian.

Hal itu merupakan realisasi perintah Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Allah mengehendaki kemudahari bagimu, dan tidak rnenghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaknya kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan (bertakbir) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. -, (QS. Al-Baqarah, 185)

Lafal takbir adalah seperti yang biasa kita dengar setiap hari raya, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allahu akbar, Laa ilaaha Illallaallah wallaahu akbar,Allaahu akbar waliliaahilhamdu. “(Al-Adzkar, 145-146).

Sunah Muakkad Dalam Shalat (Sunat Yang Lebih Penting)

Dalam mazhab Syafii ada dua sunat yang lebih penting daripada yang disebutkan di atas, sehingga bila salah satu dari keduanya ditinggalkan hendaklah diganti dengan sujud sahwi (sujud sahwi ialah sujud dua kali sesudah tasyahud akhir sebelum salam, yaitu sujud karena kelupaan.)

1. Membaca tasyahud pertama sesudah sujud kedua dan rakaat yang kedua sebelum berdiri pada rakaat yang ketiga.
Hadis nabi : “Dari Abdullah bin Buhainah, “Kami telah salat Lohor bersama-sama Rasulullah Saw. Beliau berdiri dan beliau ketinggalan duduk tasyahud pertama. Maka pada akhir salat, beliau sujud dua kali.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad Saw telah berkata, ‘Apabila kamu duduk pada tiap-tiap dua rakaat salat, hendaklah kamu baca attahiyyatu lillah wa-shalawatu dan seterusnya….” (RIWAYAT AHMAD DAN NASAl)


2. Qunut sesudah i’tidal yang akhir pada salat Subuh dan Witir, sejak. malam tanggal 16 bulan Ramadan sampai akhirnya.

Hadis Nabi : “Dari Anas. Ia berkata “Rasulullah Saw. senantiasa membaca doa qunut pada salat Subuh hingga sampai saat beliau meninggal dunia.” (RIWAYAT IMAM AHMAD)

Lafaz doa qunut : (menyusul diposting)

“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, lindungilah aku seperti orang-orang telah mendapat perlindungan-Mu, berilah berkah pada barang yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejahatan yang telah Engkau pastikan. karena sesungguhnya hanya Engkaulah yang dapat ,memastikan sesusuatu dan tak ada lagi yang berkuasa di atas Engkau, dan sesungguhnya tidak akan terhina orang yang mendapat perlindungun-Mu. dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Ya Allah, bertambah-tambah kebaikan-Mu, dan hilanglah segala yang tidak layak bagi-Mu.” (RIWAYAT ABU DAWUD, TIRMIZI DAN NASAI)

Sebagian ulama berpendapat bahwa qunut pada salat Subuh itu tidak disunatkan. Hadis Anas tersebut menurut penyelidikan mereka adalah hadis daif. Yang disyariatkan hanya qunut nazilah (qunut karena bahaya, bala yang menimpa masyarakat Islam seperti musim penyakit ta’un, kolera, zaman rusuh, musim kemarau) dan disunatkan pada sekalian salat lima waktu.
Hadis Nabi : “Dari Anas, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah membaca qunut satu bulan lamanya, beliau mendoakan segolongan masyarakat Arab, kemudian beliau hentikan.” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, NASAI. DAN IBNU MAJAH)

“Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada salat Lohor, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh pada akhir tiap-tiap salat ketika I‘tidal rakaat penghabisan. Beliau mendoakan mereka dari kabilah Banu Sulaiman, Ra’lin, Zakwan, dan ‘Usaiyah. Orang yang salat mengikuti beliau mengaminkan doa beliau itu.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN AHMAD).

Apa Hukum Menggunakan Pembersih Wajah Ketika Masa Berkabung ?

Sungguh kasihan nasib tante Erna, walaupun terbilang masih muda, ia harus rela menyandang status janda, karena telah ditinggal mati oleh sang suami tercinta. Meskipun dalam masa berkabung, dia tidak lupa untuk selalu tampil bugar di depan para keluarganya, walaupun hati kecilnya masih terasa amat sedih. Untuk menunjang semua itu, dia tidak lupa selalu menggunakan pembersih wajah, seperti; pond’s, supaya wajahnya kelihatan cerah, berseri dan tidak pucat. Apakah penggunaan pembersih wajah dalam kasus di atas dipebolehkan bagi tante Erna?

Jawab :
Tidak boleh. sebab hal itu rermasuk berhias.

Referensi :


 

Asmaul Husna - Al Mu’min

Al Mu’min artinya Yang Maha Menganugerahkan keamanan, Hanya Allah yang dapat memberikan rasa aman. Kita tidak boleh minta perlindungan kepada selain Allah. Kita mohon perlindungan dan rasa aman kepada Allah dari mara bahaya yang mengancam jiwa; dan penyakit hati, seperti dengki, dendam, bakhil, dan malas; dan penyakit jasmani yang mengancam jiwa; dari kelaparan dan kecemasan.

Firman Allah SWT :
Artinya: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.“


Al Mukmin adalah zat yang memberi rasa aman. Pada awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang lemah, yang sangat membutuhkan bantuan dari sesama makhluk lainnya untuk mendapatkan rasa aman. Ia butuh orang lain untuk menjamin makannya, yang mengobati rasa sakitnya serta yang melindunginya ketika diancam dari sesuatu yang ingin melukainya, sehingga sebagai pribadi dan kelompok, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh rasa aman dengan cara yang berbeda-beda.

Kehidupan akan terasa nyaman dan berjalan semestinya karena adanya keamanan. Negara yang tidak aman sulit melaksanakan pembangunan. Kehidupan masyarakat akan terancam bila tidak ada keamanan. Kita lihat bagaimana negara yang sedang dalam peperangan.

Keamanan dan rasa aman yang kita peroleh tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Ketenangan hati hanya didapat bila kita dekat dengan Allah, rajin membaca Al-Quran, rajin sholat, dan lain-lain. Ketidak nyamanan bukan hanya akibat ulah manusia tapi bisa juga karena binatang buas, bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain. Ada orang yang merasa tidak aman walaupun situasinya aman dan tentram. Sebaliknya ada orang yang merasa, tenang, tidak gelisah walaupun situasi dan keadaan genting dan kacau.

Contoh dari bukti sederhana bahwa Allah bersifat Al-Mu’min dapat kita lihat dalam diri kita sendiri. Seperti pada tubuh kita, Allah menciptakan alis di atas mata yang berfungsi melindungi mata dari keringat yang jatuh, bulu mata melindungi mata dan debu dari binatang-binatang kecil.

Bukti lain di luar tubuh kita seperti ketika Rasulullah ingin Hijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Pada malam keberangkatan Nabi Muhammad, sekeliling rumah Nabi telah di pagar betis oleh orang-orarig Quraisy yang ingin membunuh Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi dengan sifat Al-Mukmin Allah telah memberi keselamatan kepada Rasulullah. Rasulullah dengan aman dapat keluar dan rumah dan meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah.

Orang yang beriman kepada Allah Al-Mu’min akan selalu tenang dan tidak gegabah dalam menghadapi setiap keadaan dan situasi yang genting dan kacau sekalipun.

Sifat Allah Al Mumin ini menerangkan bahwa Allah memberi rasa aman dan tenteram dalam hati hamba-Nya. Polisi, tentara, dan satpam mencoba meneladani sifat Al Mu’min ini dengan menjaga keamanan lingkungan.

Jadi jika kita ingin selalu aman dan tentram, kita harus selalu ingat kepada Allah SWT. karena Allah memberi rasa aman dan ketentraman dalam hati hambah-Nya.

Kisah Teladan Nabi
GUBUK KAKEK YANG MERUSAK KEINDAHAN KOTA

Berjalan tergopoh-gopoh, seorang lelaki Yahudi datang menemui Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai khalif, oh aku sengaja datang menghadapmu untuk mengabarkan tentang gubukku. Gubernur Amru bin Ash, bawahan khalifah, telah mnghancurkan gubukku. Alasannya, gubukku sudah mengganggu keindahan kota.”

Seteloh mendapat laporan itu, Khalifah Umar lalu memanggjl Amru bin Ash , “janganlah engkau semena-mena pada siapapun. Meskipun ia seorang Yahudi. Sekarang bangun kembali gubuk orang Yahudi itu seperti semula.”

Tentu saja orang Yahudi itu terkagum-kagum dengan kebijaksanaan khalifah. Meskipun dirinya seorang Yahudi, namun Islam tetap melindungi keamanannya. Saat itu pula ia lalu masuk Islam.

Asmaul Husna - Al Haadi

Al Haadi artinya Yang Maha Pemberi Petunjuk Allah adalah zat yang menganugerahkan petunjuk. Petunjuk yang diberikan Allah bertingkat-tingkat.

Petunjuk Allah pada tingkat pertama adalah naluri yang diberikan sejak manusia lahir, misalnya tangis bayi ketika lahir. Petunjuk Allah pada tingkat kedua adalah panca indra. Ketika bayi mulai tumbuh kembang, dia mulai membutuhkan fungsi pancaindra.

Mata berfungsi untuk melihat, hidung untuk mencium, telinga untuk mendengar, lidah untuk mengecap, dan kulit untuk merasa.

Petunjuk Allah pada tingkat ketiga adalah akal. Anak yang masih kecil belum dapat menggunakan akal secara optimal. Mereka belum dapat membedakan baik dan buruk. Allah memberikan akal pada manusia untuk berpikir.

Petunjuk Allah pada tingkat keempat atau yang tertinggi adalah hidayah agama. Dengan hidayah, manusia tidak akan tersesat selamanya. Manusia menjadi orang beriman dan mau mengamalkan ajaran Islam. Allah berfirman:
Artinya: “Dan agarorang-orang yang telah diberiilmu, meyakini bahwasanya Al Quran ltulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beniman kepada jalan yang lurus.”

Kisah Teladan
PERAMPOK YANG MINTA DIBACAIN AYAT AL QUR’AN

Saat Syeikh Al Asma’i pergi berhaji, tiba-tiba di tengah jalan Ia dihadang oleh seorang perampok. Anehnya, perampok itu malah meminta Syeikh membaca salah satu ayat Al Qur’an.

Syeikh pun lantas membacakan sebuah ayat Al Quran. Tiba-tiba siperampok itu menggigil ketakutan. “Ya Allah...aku benar-benar menyesal, selama ini hidupku banyak merugikan orang lain. Aku benar-benar orang terkutuk.

Sudahlah, sahabatku. Allah itu Maha Pengampun. Masih ada waktu engkau untuk bertobat.” Kata Syeikh menenangkan.

Subhanallah...saat itu juga, Si perompok langsung bertobat. Tolong aku, ajari shalat dan ilmu agama lainnya...” dengan senang hati Syeikh Al Asma’i pun mengajari semuanya sampai Ia hafal.

Thursday, 22 October 2015

Apa Sebab Adanya Perbedaan Menentukan Awal Dan Akhir Ramadhan ?

Tanya : Terus terang saya ini orang awam, saya sering dibingungkan oleh awal dan akhir Ramadhan yang berbeda. Untuk menghindari kesalahan, saya merniih awal puasa rnengikuti pendapat yang akhir, dan untuk Idul Fitri saya ikut yang awal (mana yang lebih dulu Idul Fitri). Saya tidak memilih jamaah atau golongan, tetapi semata-mata ingin selamat saja. Sebab pernah saya dengar, puasa di hari Id adaiah dosa. Apakah sikap saya ini bisa dibenarkan? (Sriyanto, Boja Semarang)

Jawab : Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.

Hisab adalah menghitung berdasrkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoretik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.

Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidak samaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.

Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?

Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.

Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari. “(HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Hanya saja, kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.

Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?

Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru‘yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.

Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. Rasulullah saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. -Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam-.

Jadi, yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.

Sebagai catatan, hasil ru‘yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-Fiqh A1-Manhajy, I, 336).

Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.

Apa Hukum Makmum Isya’ Kepada Shalat Tarawih ?

Tanya : Seorang teman datang terlambat ke mushalla. Dia belum shalat Isya . sementara imam telah memasuki shalaf tarawih. Saya lihat dia langsung melakukan shala isya bermakmum kepada imam yang sedang melakukan sholat tarawih. Yang saya tahu tarawih adalah shalat sunah dan isya adalah shalat wajib. Bolehkah melakukan hal itu dan bagaimana hukumnya? (Moh. Rifqi Maulana, Bendomungal Bangil)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, shalat dapat dikerjakan dengan dua cara, berjamaah dan munfarid (sendirian). Berjamaah berasal dari bahasa Arab, yang artinya berkumpul atau berkelompok. Shalat berjamaah minimal terdiri dari dua orang, yakni imam dan makmum. Jumlah maksimalnya tidak terbatas. Tergantung pada kapasitas tempat.

Keabsahan shalat berjamaah menuntut terpenuhinva beberapa persyaratan tambahan. Pertama, makmun tidak mengetahui atau menyakini shalatnya imam batal. Kedua, seorang yang mampu membaca Fatihah tidak boleh makmum kepada orang yang tidak mampu membacanya. Ketiga, orang lelaki tidak boleh makmum kepada orang perempuan. Keempat, tempat makmum tidak berada di depan imam. Kelima, makmum mengikuti gerakan imam. Keenam, makmum mengetahui perpindahan imam dari satu rukun ke rukun yang lain. Ketujuh, imam dan makmum berada dalam satu tempat. Kedelapan, makmum wajib niat menjadi makmum atau berjamaah dengan imam. Kesembilan, shalat imam dan makmum harus sama. (Al-Fiqh Al-Manhaji: I, 179-184).

Berdasarkan persyaratan terakhir, menurut Madzhab Syafi’i, makmum yang mengerjakan shalat Zhuhur tidak boleh mengikuti imam yang sedang mengerjakan shalat Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Tetapi, diperbolehkan seseorang yang shalat sunah mengikuti (menjadi makmum) orang yang tengah menunaikan shalat fardhu. Sah pula, seseoang yang shalat fardhu makmum kepada imam yang shalat sunah, meskipun hukumnya makruh. (Madzahib Al-Arba’ah I, 418).

Berangkat dari itu, sah-sah saja orang mengerjakan shalat Isya’ seraya bermakmum kepada imam yang tengah bertarawih. Meskipun sah, sebaiknya dihindari, sebab hukumnya makruh. Definisi makruh adalah: ma yutsab ‘ala tarkih, wa la yu’aqab ‘ala fi’lih, perkara yang bila ditinggalkan berpahala, kalau dikerjakan tidak méndapat dosa. Kebiasaan menerjang perbuatan yang makruh lama-lama membuat orang memiliki keberanian menerjang perbuatan haram. Sebagaimana menganggap sepele perkara sunah dapat mendorong orang berani mengabaikan perkara wajib.

Lagi pula, menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali tidak sah orang shalat fardhu makmum kepada orang yang shalat sunah. Padahal terdapat kaidah yang menyatakan: al-khuruj min al-khilaf mustahabb, keluar dari khilaf hukumnya sunah. Cara keluar dari khilaf, dalam kasus yang ditanyakan saudara penanya adalah: jika teman Anda yang shalat fardhu tidak makmum kepada orang shalat sunah. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: II, 1242-1243).

Sunat-Sunah Shalat Hari Raya

Sunat Shalat Hari Raya
1. Disunatkan berjamaah. 

2. Takbir tujuh kali sesudah membaca doa iftitah dan sebelum membaca a’uzu pada rakaat pertama, dan pada rakaat kedua lima kali takbir sebelum membaca Fatihah selain dan takbir berdiri. 

3. Mengangkat kedua tangan setinggi bahu pada tiap-tiap takbir.

Hadis : “Dari Amr bin Syu’aib, “Sesungguhnya Nabi Saw takbir pada hari raya dua belas takbir : Tujuh pada rakaat pertama, lima pada rakaat yang akhir.” (RIWAYAT AHMAD DAN IBNU HIBBAN)
4. Membaca tasbih di antara beberapa takbir. Lafaznya”Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar” yang artinya “Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah. Allah Maha besar. 

5. Membaca surat Qaf sesudah Fatihah pada rakaat pertama, dan surat Qamar pada rakaat kedua. Atau surat Al-‘Ala pada rakaat pertama, dan Al-Gasyyah pada rakaat Kedua. 

6. Menyaringkan (mengeraskan) bacaan, kecuali makmum. 

7. Khotbah dua kali sesudah salat. Keadaan khotbahnya seperti dua khotbah Jumat. 

8. Khotbah pertama hendaklah dimulai dengan takbir sembilan kali. Sebagian ulama mengatakan bahwa khotbah hari raya tidak dimulai dengan takbir seperti itu. Hanya, semua khotbah -baik khotbah Ied ataupun lainnya- hendaklah dimulai dengan puji-pujian (alhamdulillah). 

9. Dalam khotbah Hari Raya Fitri itu hendaklah diadakan penerangan tentang zakat fitrah, dan pada Hari Raya Haji diadakan penerangan tentang hukum-hukum kurban. 

10. Pada hari raya disunatkan mandi dan berhias memakai pakaian yang sebaik-baiknya.
Hadis : “Dari Hasan bin Auf, “Rasulullah Saw. menyuruh kami pada hari raya supaya memakai pakaian sebaik-baiknya yang ada pada kami, dan wangi-wangian sebaik-baiknya yang ada pada kami, dan berkurban dengan binatang segemuk-gemuknya yang ada pada kami.” (RIWAYAT HAKIM DAN IBNU HIBBAN) 

11. Disunatkan makan sebelum pergi salat pada Hari Raya Fitri sedangkan pada Hari Raya Haji disunatkan tidak makan, kecuali sesudah salat.
Hadis : “Dan Anas, “Nabi Saw tidak pergi mengerjakan salat pada Hari Raya Fitri, sebelutn beliau memakan beberapa biji kurma lebih dahulu.” (RIWAYAT AHMAD DAN BUKHARI)

“Dari buraidah, Nabi SAW tidak makan pada hari raya haji hingga beliau kembali dari shalat.” (Riwayat Tirmizi)


12. Ketika pergi salat hendaklah melalui satu jalan, dan kembalinya melalul jalan yang lain. 

13. Pada dua hari raya disunatkan takbir di luar salat. Waktunya, pada Hari Raya Fitri mulai dari terbenam matahari pada malam hari raya sampai imam mulai salat. Takbir ini disunatkan di segala tempat, baik di masjid, di langgar-langgar, di rumah-rumah, di pasar-pasar, atau lain-lainnya, malam ataupun siang, asal pada waktu tersebut, baik orang yang tetap di dalam negeri ataupun orang yang dalam perjalanan.Takbir ini oleh ahli fiqh dinamakan takbir mutlaq. Adapun pada Hari Raya Haji disunatkan takbir sesudah selesai salat fardu yang lima, baik salat ada’an ataupun qada. Begitu juga sesudah salat jenazah atau salat sunat yang lain. Mulai waktu takbir ialah dari terbenam matahari pada malam Hari Raya Haji sampai sesudah salat Asar penghabisan hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) dinamakan takbir muqayyad.
Firman Allah Swt.:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendakkh kamu mengagungkan Allah (takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (AL-BAQARAH: 185)

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (AL- BAQARAH: 203)


Kata Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan “Beberapa hari yang berbilang” itu ialah hari Tasyriq.
Lafaz takbir :


“Allah Mahabesar (3 x), tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah, Allah Maha Besar (2 x), bagi Allah segala puji. Allah Maha besar, Maha agung, dan puji-puji yang banyak itu bagi Allah semata-mata. Mahasuci Allah pagi dan petang; tidak ada Tuhan melainkan Allah benar janji-Nya. Dia menolong hamba-Nya, dan Dia mengusir semua musuh Nabi-Nya, musuh-Nya sendiri. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, kami tidak menyembah (beribadat) kecuali hanya kepada-Nya. dengan ikhlas kami beragama kepada-Nya meskiput dibenci orang-orang kafir”.

Jenis Shalat Sunah

Shalat-Shalat Sunat

Yang dimaksud dengan salat sunat ialah semua salat selain dari salat fardu (salat lima waktu), di antaranya adalah : 
 
Salat hari raya
Hari raya di dalam, Islam ada dua:
a. Hari Raya Idul Fitri, yaitu pada setiap tanggal 1 bulan Syawal.
b. Hari Raya Haji, yaitu pada setiap tanggal 10 bulan dzulhijjah. Hukum salat hari raya adalah sunat Muakkad (sunat yang lebih penting) karena Rasulullah Saw. tetap melakukan salat hari raya selama beliau hidup.
Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, berkurbanlah.” (AL-KAUSAR: 1-2)

Hadis : “Dari Ibnu Umar, “Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar pernah melakukan salat dua hari raya sebelum berkhotbah.” (RIWAYAT JAMAAH AHLI HADIS)


Mula-mula Rasulullah Saw. salat hari raya pada tahun kedua (tahun Hijriah). Salat hari raya itu dua rakaat, waktunya sesudah terbit sampai tergelincir matahari. Rukun, syarat, dan sunatnya sama dengan salat yang lain ditambah dengan beberapa sunat yang lain, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. (baca : sunah-sunah shalat hari raya)

Hadis : “Dan Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi Saw salat han raya 2 rakuat. Beliau tidak salat sebelum dan sesudahnya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Semua orang dianjurkan untuk berkumpul dan salat pada hari raya, baik orang yang menetap (mukim) maupun orang yang dalam perjalanan, baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil; hingga perempuan yang berhalangan karena haid pun disuruh juga pergi berkumpul untuk mendengar khotbah (pidato), tetapi mereka tidak boleh salat. Sungguhpun begitu, bila seseorang salat sendirian, sah juga.

Hadis : “Dari Ummi Aisyah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah menyuruh kami keluar pada Hari Raya Fitri dan Hari Raya Haji, supaya kami membawa gadis-gadis, perempuan yang sedang haid, dan hamba perempuan ke tempat salat hari raya. Adapun perempuan yang sedang haid mereka tidak mengerjakan salat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Tempat Salat Hari Raya
Tempat yang lebih baik ialah di tanah lapang, kecuali kalau ada halanga seperti hujan dan sebagainya. Keterangannya adalah amlan Rasulullah Saw.
“Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Biasanya Rasulullah Saw. melakukan salat dua hari raya (Hari Raya Fitri dan Haji) pada tempat yang dinamakan musalla (Nama tempat di dekat pintu gerbang kota Madinah di sebelah timur kota. Sekarang ia menjadi tempat perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah) Beliau tidak pernah salat hari raya di masjid kecuali hanya satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan”. Apalagi kalau dipandang dari sudut keadaan salat hari raya itu guna dijadikan syiar dan semaraknya agama, maka lebih baik dilaksanakan di tanah lapang.

Sebagian ulama berpendapat, “Lebih baik di masjid, sebab masjid itu adalah tempat yang mulia.”

Pada salat hari raya tidak disyariatkan (tidak disunatkan) azan dan tidak pula iqamah. Yang disyariatkan hanyalah menyerukan “Marilah salat berjamaah”
Hadis : “Dari Jabir bin Samurah. Ia berkata, “Salat hari raya bersama-sama Rasulullah Saw. bukan sekali dua kali saja; beliau salat tidak azan dan tidak iqamah.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

“Dari Zuhri, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah menyuruh tukang azan pada hari raya supaya mengucapkan, ‘Assalata jami’atan’ (Marilah salat berjamaah)’ (RIWAYAT SYAFI’I)


Salat Han Raya Tanggal Dua Syawal

Sebagaimana telah diterangkan, waktu salat Hari Raya Fitri itu adalah tanggal satu bulan Syawal, mulai dari terbit matahari sampa tergelincirnya. Akan tetapi, jika sesudah tergelincir matahari diketahui bahwa hari itu tanggal satu Syawal, jadi waktu salat sudah habis, maka hendaklah salat pada hari kedua (tanggal dua) saja.

Hadis : “Dari Umar bin Anas. Para sahabat berkata, “Telah tertutup atas kami hilal (awal bulan) Syawal. Maka Siang harinya kami puasa kemudian diakhir hari itu datang beberapa orang, mereka menjadi saksi didepan Rasulullah Saw. bahwa mereka telah melihat bulan kemarinnya. makaa Rasulullah Saw. terus menyuruh orang manyak supaya berbuka puasa pada hari itu, dan supaya besoknya mereka pergi shalat hari raya (RIWAYAT LIMA ORANG AHLI HADIS SELAIN TIRMIZI)

(baca shalat sunah lainnya : shalat sunah)

Menghancurkn Berhala (Kisah Dalam Al-Quran)


Menghancurkn Berhala
QS. Maryam: 41.-50, A1-Anbiyaa’: 51-71

Setelah beranjak dewasa, orangtua Ibrahim membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya. Di kampung halamannya Ibrahim melihat banyak patung yang disembah oleh kaumnya. Ayahnya sendiri adalah seorang pembuat patung berhala. Ayahnya sangat bangga dengan pekerjaannya.

Setiap hari, dia melihat ayahnya membuat patung berhala. Lalu, patung-patung itu disembah oleh kaumnya sendiri. Ibrahim yang telah diberi petunjuk oleh Allah, tidak tinggal diam melihat kelakuan kaumnya itu.

Ketika ayahnya dan teman-temannya sedang membuat patung, Ibrahim menghampiri mereka.
“Hai Ibrahim, bantulah ayahmu membuat patung ini,” ucap salah seorang teman ayahnya.
“Sebelum membantu, aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian,” ujar Ibrahim.
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya ayahnya.
“Apakah patung-patung ini akan kalian sembah?” Ibrahim balik bertanya.
“Tentu saja, sudah sejak zaman nenek moyang kita patung-patung ini menjadi sesembahan.”
“Kenapa kalian menyembah sesuatu yang dapat kalian buat. Sungguh, kalian berada dalam kesesatan. Patung itu tidak dapat mendengar, melihat, atau menolong kalian....”
Mereka berseru dengan marah, “Apa yang kamu katakan, Ibrahim? Kamu jangan mempermainkan kami!
“Tahukah kalian siapa yang seharusnya kalian sembah? Dialah Allah yang telah menciptakan alam semesta ini, mengatur langit dan bumi. Aku siap menjadi saksi atas kebenaran tersebut.”

Mendengar perkataan Ibrahim, mereka sangat marah. Beruntung Azar berhasil meredakan kemarahan mereka. Azar segera menyuruh Ibrahim pulang. Di rumah, Ibrahim melihat Ibunya melakukan sesuatu. “Apa yang sedang Ibu kerjakan?” tanyanya penasaran.

“Malam ini, kita akan melakukan persembahan kepada berhala,” jawab ibunda Ibrahim. Ibrahim pun tersenyum. Dia mendapat akal untuk menyadarkan kesalahan kaumnya.

Pada saat semua orang sedang sibuk mempersiapkan persembahan, Ibrahim menyelinap masuk ke dalam tempat penyimpanan berhala-berhala tersebut. Ibrahim membawa kapak milik ayahnya. Dia segera menghancurkan berhala-berhala yang ada di tempat tersebut. Namun, dibiarkannya salah satu patung yang paling besar. Ibrahim kemudian menggantungkan kapak tersebut di bahu si patung.

Setelah itu, Ibrahim langsung pulang ke rumahnya. Begitu kaumnya selesai menyiapkan sesembahan, mereka kaget melihat patung-patung yang sudah hancur. “Siapa yang berbuat seperti ini kepada Tuhan kita? Dia sudah berbuat aniaya!”

Kemudian, di antara mereka ada yang berkata, “Kami dengar ada seorang anak yang menghina dan mencela Tuhan kita, namanya Ibrahirn.” 

“Bawalah dia kemari agar kita mendengar pengakuannya,” sahut yang lain dengan nada marah.

Ibrahim dibawa ke hadapan mereka. Kemudian, mereka bertanya, “Apakah engkau yang telah melakukan semua mi terhadap Tuhan kami?” 

Ibrahim pun menjawab, “Bukan aku yang melakukannya, melainkan patung besar itu. Coba saja tanyakan kepadanya.” 

Mendengar perkataan Ibrahim, mereka menjadi bingung. Lalu, mereka berkata, “Bagaimana kita bisa bertanya kepadanya, bila ia tidak bisa menjawab kami?”

Kemudian Ibrahim menjawab, “Apakah kalian pantas menyembah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun kepada kalian?”

Walaupun perkataan Ibrahim benar, namun mereka tidak mau mendengarkan. Mereka meminta raja untuk menghukum mati Ibrahim.

Wednesday, 21 October 2015

Apa Hukum Puasa Saat Sakit ?

Tanya : Apakah orang sakit itu wajib tidak berpuasa? Misalnya, saya sakit cukup serius dan dokter menyarankan saya tidak berpuasa, lalu saya memaksakan diri berpuasa karena tidak ingin ketinggalan pahala puasa di bulan Ramadhan. Apa hukumnya puasa saya ini ? Haram, makruh atau apa?

Jawab :
Kewajiban melakukan ibadah berlaku bagi setiap mukallaf; yaitu muslim/muslimah yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (‘aqil). Ketentuan ini berlaku umum dalam segala jenis ibadah.

Khusus untuk puasa Ramadhan, ditambahkan ketentuan lain, yaitu orang tersebut harus dalam keadaan suci dari haid atau nifas, dan memiliki kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa.

Semua ketentuan tersebut dalam istilah fikih disebut sebagai syuruth al-wujub (syarat kewajiban). Apabila salah satu dari ketentuan-ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah itu tidak lagi bersifat wajib bagi yang bersangkutan.

Dalam kitab A-Fiqh Al-Islami dijelaskan beberapa hal yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah sakit (al-maradh) berdasar pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebànyak hari yang ditinggalkan, pada hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dalam konteks pertanyaan ini, ayat tersebut kurang lebih berarti mereka yang sakit mendapatkan dispensasi (rukhshah) untuk tidak berpuasa, dengan catatan bahwa orang tersebut harus mengganti puasa yang ditinggalkannya pada kesempatan lain. Mekanisme ini dalam fikih dikenal sebagai qadha.

Masalahnya kemudian, sakit yang bagaimanakah yang bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rukhshah?

Para ulama ahli fikih (fuqaha) memberikan batasan bahwa sakit ini adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu secara fisik untuk melakukan puasa. Pengertian ini mencakup sakit yang jika penderitanya melakukan puasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau paling tidak memperlambat masa penyembuhan.

Secara spesifik, kitab Al-Fiqh Al-Manhajy menyebutkan jika puasa mengakibatkan al-halak (kerusakan fungsi organ tubuh, cacat, atau meninggal) pada seseorang, maka wajib bagi orang tersebut untuk tidak berpuasa. Dus, puasa dalam kasus tersebut haram hukumnya. Tentu dibutuhkan pendapat dokter atau ahli kesehatan terpercaya untuk menentukan apakah puasa seseorang berbahaya bagi kesehatannya atau tidak.

Ketentuan di atas sesuai dengan kaidah fikih “al-dharurah tubihu al-mahdhurah” (keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang semestinya dilarang). Satu contoh, Rasulullah memperbolehkan seorang laki-laki memakai sutera (yang dalam keadaan normal haram) karena yang bersangkutan menderita penyakit kulit.

Kaidah ini berlaku karena salah satu tujuan pokok syariat (maqashid asy-syani’ah) adalah hifzh an-nafs (menjaga keselamatan diri), oleh karenanya orang dilarang menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Lain dari pada itu, salah satu ciri ajaran Islam adalah memberikan kemudahan terhadap umatnya.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Allah tidak pernah menjadikan dalam agama suatu kesulitan bagi kalian. “(QS. A1-Hajj: 78).

Syarat Sah Shalat Qasar Dan Jamak

Salat qasar artinya salat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu di antara salat fardu yang lima; yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Salat lima waktu yang boleh diqasar hanya Lohor, Asar, dan lsya. Adapun Magrib dan Subuh tetap sebagaimana biasa, tidak boleh diqasar.

Hukum salat qasar dalarn mazhab Syafi’i harus (boleh), bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan serta cukup syarat-syaratnya.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila kamu bepergian di muka buni, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasar salat(mu). Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (AN-NISA: 101)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Telah bercerita Ya’la bin Umar,. “Saya telah berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, Saya heran juga sebagaimana engkau maka saya tanyakan kepada Rasulullab Saw.. dan beliau menjawab ; “Salat qasar itu sedekah yang diberikan Allah keppada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberianNya) itu’.” (RIWAYAT MUSLIM)


Syarat Sah Salat Qasar

1. Perjalanan yang dilakukan itu bukan perjalanan maksiat (terlarang), seperti pergi haji, silaturahmi; atau berniaga, dan sebagainya. 

2. Perjalanan itu berjarak jauh, sekurang-kurangnya 80,640 km atau lebih (perjalanan sehari semalam).
Sabda Rasulullah Saw.:
“Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak diizinkan untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama-sama mahramnya.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS, KECUAILI NASAI)


Sebagian ulama berpendapat, “Tidak hanya disyaratkan dalam perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh ataupun dekat’
Sabda Nabi :
“Dari Syu’bah. Ia berkata, “Saya telah bertanya kepada Anas tentang meng-qasar salat. Jawabnya, ‘Rasulullah Saw. apabila menempuh jarak perjalanan tiga mil (80,640 km) atau tiga farsakh (25,92 km) beliau salat dua rakaat” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, DAN ABU DAWUD)


3. Salat yang diqasar itu ialah salat ada’an (tunai), bukan salat qada. Adapun salat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan, boleh diqasar kalau diqasar dalam perjalanan; tetapi yang ketinggai sewaktu mukim tidak boleh diqada dengan qasar sewaktu dalam perjalanan. 

4. Berniat qasar ketika takbiratul ihram.

Syarat Sah Mengikuti Imam (Tata Cara Makmum)

1. Makmum hendaklah berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam, hal itu hanyalah sunat, agar ia mendapat ganjaran berjamaah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI)


(baca juga : Arti Dan hukum Masbuq)

2. Makmum hendaklah mengikuti imam dalam segala pekerjaannya. Maksudnya, makmum hendaklah membaca takbiratul ihram sesudah imamnya; begitu juga permulaan segala perbuatan makmum, hendaklah terkemudian dari yang dilakukan oleh imamnya
 Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan pemimpin supaya diikuti perbuatannya. Apabila ia telah takbir, hendaklah kamu takbir; dan apabila ia rukuk, hendaklah kamu rukuk pula.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu gunanya supaya diikuti perbuatannya. Maka apabila Ia takbir, hendaklah karnu takbir, janganlah kamu takbir sebelum Ia takbir. Apabila ia rukuk hendaklah kamu rukuk, janganlah kamu rukuk sebelum ia rukuk. Apabila ia sujud, hendaklah kamu sujud, janganlah kamu sujud sebelum Ia sujud.” (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Apakah seseorang di antara kamu tidak takut apabila ia mengangkat kepalanya mendahului imam, Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala himar.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS)

“Dari Anas. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Hai manusia sesungguhnya aku imam bagi kamu, maka janganlah kamu mendahului aku waktu rukuk, sujud, berdiri, duduk, dan salam.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)


3. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, umpamanya dari berdiri ke rukuk, dan rukuk ke i’tidal, dan i’tidal ke sujud, dan seterusnya baik dengan melihat imam sendiri, melihat saf (barisan) yang di belakang imam, maupun mendengar suara imam atau suara mubalignya.

4. Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat, umpamanya dalam satu rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat di satu tempat itu tidak menjadi syarat, tetapi hanya sunat, sebab yang perlu ialah mengetahui gerak-gerik perpindahan imam dari rukun ke rukun atau dan rukun ke sunat, dan sebaliknya, agar makmum dapat mengikuti gerak-gerik imamnya.

5. Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada imam. Yang dimaksud di sini ialah lebih depan ke arah kiblat. Bagi orang yang salat sambil berdiri diukur tumitnya, dan bagi orang yang duduk diukur pinggulnya. Adapun apabila berjamaah di Masjidil Haram, hendaklah saf mereka melengkung sekeliling Ka’bah; di lain pihak, imam berhadapan dengan makmum.

Susunan makmum :
Kalau makmum hanya seorang, hendaklah Ia berdiri di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit; dan apabila datang orang lain, hendaklah ia berdiri di sebelah kiri imam. Sesudah takbir, imam hendaklah maju, atau kedua orang itu (makmum) mundur. 

Sabda nabi : “Dari Jabir. Ia berkata, “Saya telah salat mengikuti Nabi Saw Saya berdiri di sebelah kanan beliau, kemudian datang jabir bin Sakhrin berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau inenganbil tangan kami berdua sehingga beliau dirikan kami di belakang beliau.” (RIWAYAT MUSLIM)

Kalau jamaah itu terdiri atas beberapa saf, terdiri atas jamaah laki-laki dewasa, kanak-kanak, danperempuan, hendaklah diatur saf sebagai berikut: Di belakang imam ialah saf laki-laki dewasa, saf kanak-kanak, kemudian saf perempuan.
“Nabi Saw. pernah mengatur saf laki-laki dewasa di depan saf kanak-kanak dan saf perempuan di belakang saf kanak-kanak. (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik saf laki-laki dewasa ialah saf yang pertama seburuk-buruknya (saf laki-laki dewasa) ialah saf yang di belakang sekali. Sebaik-baik saf perempuan ialah saf yang di belakang sekali, dan seburuk-buruknya ialah saf yang pertama.” (RIWAYAT MUSLIM )


Saf hendaklah lurus dan rapat, berarti jangan ada renggang antara satu orang dengan yang lain.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas, “Rasulullah Saw. menghadapkan muka kepada kami sebelum takbir. Beliau berkata, Rapatkanlah dan luruskanlah barisan kamu’.” (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Amamah. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Penuhkan olehmu jarak yang kosong di antara kamu. Karena sesungguhnya setan dapat masuk di antara kamu sebagai anak kambing.” (RIWAYAT AHMAD)

6. imam hendaklah jangan mengikuti yang lain. Imam itu hendaklah berpendirian, tidak terpengaruh oleh yang lain. Kalau Ia makmum, tentu Ia akan mengikuti imamnya.

7. Aturan salat makmum dengan salat imam hendaklah sama. Artinya, tidak sah salat fardu yang lima mengikuti salat gerhana atau salat mayat karena aturan (cara) kedua salat itu tidak sama. Tetapi orang yang salat fardu tidak berhalangan mengikuti orang yang salat sunat yang sama aturannya, seperti orang salat Isya mengikuti orang salat tarawih, dan sebaliknya, karena aturan kedua salat tersebut sama.

8. Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan. Berarti laki-laki tidak boleh menjadi makmum jika imamnya perempuan. Adapun perempuan yang menjadi imam bagi perempuan pula, tidak berhalangan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Perempuan janganlah dijadikan imam, sedangkan makmumnya laki-laki.” (RIWAYAT IBNU MAJAH)

9. Keadaan imam tidak ummi, sedangkan makmum qari. Artinya imam itu hendaklah orang yang baik bacaannya. 

10. Makmum janganlah berimam kepada orang yang ia ketahui tidak sah (batal) salatnya. Misalnya mengikuti imam yang makmum ketahui bukan orang Islam, atau ia berhadas atau bernajis badan, pakaian, atau tempatnya. Imam seperti itu hukumnya tidak sah dalam salat.

Bayi Dalam Goa (Kisah Dalam Al-Quran)


Bayi Dalam Goa
QS. Al-An’am : 74-79

Terdengar suara tangis seorang bayi laki-laki. Suara tangisnya begitu kencang sehingga dapat membuat siapa saja yang mendengarnya iba. Namun, tidak ada seorang pun yang mendengar suara tangis bayi tersebut, karena ia berada di dalam sebuah gua yang terletak di dalam hutan. Bayi tersebut begitu kesepian di gua yang gelap itu.

Tiba-tiba, tangisan bayi itu terhenti. Rupanya ia kelelahan karena terlalu lama menangis. Kemudian, bayi itu tertidur pulas sambil mengisap jari-jarinya. Setelah hari itu, tidak terdengar lagi suara tangisnya. Yang ada hanya suara tawa bahagia. Bayi itulah yang bernama Ibrahim.

Ibrahim berada di dalam gua karena orangtuanya terpaksa membuang dirinya. Mereka tidak ingin bayinya itu dibunuh oleh tentara Raja Namruz. Raja Namruz mengeluarkan peraturan bahwa di negaranya tidak boleh ada keluarga yang merawat bayi laki-laki. Apabila lahir seorang bayi laki-laki, maka bayi itu harus dibunuh. Raja Namruz memernitahkan demikian karena dia merasa cemas bahwa suatu hari nanti akan ada seorang laki-laki dari bangsanya yang akan menghancurkan tahta kerajaannya.

Orang tua Ibrahim tidak mau melihat bayinya dibunuh. Oleh karena itu, keduanya terpaksa membuang Ibrahim ke dalam gua.

Semenjak itu, ibunda Ibrahim selalu memikirkan bayi laki-lakinya. Azar,suaminya,selalu berusaha menghiburistrinya.
“Kenapa wajahmu selalu murung?” tanya Azar begitu melihat istrinya merenung di dalam rumah. “Aku teringat anak kita, Ibrahim.”

“Jangan engkau cemaskan anak kita. Lebih baik nasibnya seperti itu daripada kita melihatnya dibunuh oleh tentara Raja Namruz.”

“Bagaimana kalau kita kembali ke dalam hutan untuk melihat keadaannya, Pak?” tanya
ibunda Ibrahim.

“Percuma saja, kemungkinan besar bayi kita sudah meninggal. Jangan membuat dirimu semakin
menderita, istriku.”

“Tapi... aku merasa bayi kita masih hidup, Pak!”

“Rasanya tidak mungkin Bu. Barangkali bayi kita sudah meninggal karena kelaparan atau dimakan binatang buas.

Mendengar perkataan suaminya, ibunda Ibrahim menangis tersedu-sedu. Ia membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi pada bayinya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Ibrahim masih hidup.

“Kita harus kembali ke dalam hutan,” ucapnya kemudian. Matanya membulat menunjukkan tekad yang kuat. Akhirnya, Azar mengikuti keinginan istrinya karena ia tidak tega melihat istrinya bersedih terus-menerus. Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali menuju hutan.

“Itu ... guanya,” tunjuk ibunda Ibrahim. Mereka berdua segera menuju ke arah gua. Keadaan gua itu tampak sangat tenang. Matahari pagi bersinar menerobos pintu gua. Ibunda Ibrahim segera bergegas masuk ke dalamnya. Apa yang dilihatnya di dalam gua benar-benar menakjubkan! Bayinya sedang tertawa-tawa seperti sedang bercanda dengan seseorang.

“Bayikuuu....” jeritnya bahagia. Azar segera mengikuti sang istri. Dia pun tertegun melihat istrinya menggendong Ibrahim.
“Lihat . . .Ibrahim masih hidup.”... aku sungguh tidak percaya.” ini suatu keajaiban. Rupanya ada yang menjaga Ibrahim.”

“Ya ... tapi kita tidak dapat membawa Ibrahim pulang,” ucap Azar sambil mengelus kepala anaknya.

Kalau begitu, aku yang akan ke sini setiap hari,” ucap istrinya.

“Tapi ... bagaimana kalau orang lain curiga?”

“Aku akan berpura-pura mencari kayu bakar di hutan,” ucap istrinya penuh keyakinan.

“Baiklah ..,“ sahut Azar kemudian.

Sejak itu, setiap hari mereka menengok Ibrahim di dalam gua. Mereka datang pagi-pagi dan baru
pulang di sore hari. Mereka tetap merasa takjub menyadari Ibrahim dapat tinggal sendirian di dalam gua.

Mereka merahasiakan hal itu karena tidak berani membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya sebelum peraturan Raja Namruz dihapuskan.

Ibrahim pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Sewaktu dia mulai besar dan sudah mengerti sesuatu, dia bertanya kepada orangtuanya, “Wahai -
Ibu, Bapak, siapakah yang menjadikan aku?”

Orangtuanya menjawab, “Yang menjadikan engkau adalah kami, karena engkau lahir ke dunia ini disebabkan oleh kami.”

“Lalu, siapa yang menjadikan Ayah dan Bunda?” tanya Ibrahim ragu.

“Tentu saja kakek dan nenekmu, karena kami lahir disebabkan oleh mereka,” jawab ayahnya.

“Lalu, siapakah yang pertama-tama menjadikan kita semua?” tanyanya lagi. Orangtuanya tidak dapat menjawabnya karena mereka tidak mengenal Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Ibrahim selalu bertanya-tanya siapakah yang menciptakan alam semesta ini. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan dan mengajarkan kebenaran kepadanya.

Pada malam hari, Ibrahim sering melihat bintang-bintang, lalu dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Kemudian, dia melihat bintang-bintang itu menghilang di balik awan hitam. Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak akan menyembah kepada sesuatu yang tidak kekal.”

Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar cemerlang. “Inikah Tuhanku?” Namun, beberapa saat kemudian. bulan purnama itu lenyap. “Kalau Tuhanku tidak selalu dapat memberiku petunjuk, tentu aku akan tersesat.”

Pada waktu siang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar dan lebih bercahaya dibanding semua yang pernah dia lihat sebelumnya. “Oh, mungkin inilah Tuhanku yang sebenarnya karena ia paling besar.” Tetapi kemudian, matahari itu terbenam. Ibrahim pun berkata, “Aku tidak akan bertuhan kepada matahari yang dapat terbenam.”

“Aku hanya akan menyembah kepada sesuatu yang menjadikan langit dan bumi dengan sebenarnya. Dan aku tidak akan pernah menduakan-Nya.”

Asmaul Husna - Al Muhaimin

Al Muhaimin artinya Yang Maha Memelihara. Semua makhluk di alam ini diciptakan Allah. Dia yang melindungi dan menjaganya. Dia mengurus sendiri semua makhluk-Nya. Da tidak akan membiarkan makhluk-Nya terlantar.

Allah menyayangi manusia dan tidak ingin manusia tersesat, maka dari itulah Allah memberi petunjuk melalui Al Qur’an.

Firman Allah SWT :
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dan apa yang mereka persekutukan.” (QS 59:23)


Kata Al Muhaimin berasal dan kata haimana yuhaiminu yang berarti memelihara, menjaga, mengawasi atau menjadi saksi (yang membenarkan atau menyalahkan.)

Al Muhaimin yang merujuk kepada sifat Allah (QS 59: 23) berarti bahwa hanya Allah yang memelihara dan menjaga seluruh makhluknya baik dari segi keselamatannya, keamanan, dan kesejahteraannya. Salah satu hikmah penyebutan Al Muhaimin di belakang As Salam dan Al Mu’min adalah bahwa Allah yang memelihara kesejahteraan (salam) dan ketenangan hati (amin) dan seluruh hamba-Nya.

Pemeliharaan dan pengawasan Allah itu begitu luas cakupannya, karena banyaknya yang diawasi dan luasnya jagad raya ini sehingga tidak ada satu makhlukpun yang dapat menandingi. Apalagi menandingi kemampuan Allah dalam memelihara dan mengawasi, membayangkan kemampuan Allah untuk melakukan pemeliharaan dan pengawasan saja tidak ada yang bisa. Akal manusia terlalu lemah untuk dapat membayangkannya. Begitu pula indera mereka hanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Hanya mampu melihat yang lahir saja. Manusia tidak bisa melihat apa yang tersembunyi di kegelapan malam. Sedang bagi Allah sebutir biji yang jatuh dalam kegelapanpun dilihat-Nya (QS Al- An’am/6: 59).

Begitupun indera yang lain hanya mampu menjangkau segala sesuatu yang bersifat lahiriyah saja sedang apa yang tersembunyi di dalam hati tidak bisa dilihatnya. Sedang Allah menyaksikan sekaligus yang lahir dan apa yang dibisikkan oleh hati manusia. Bahkan apa yang disembunyikan oleh hati manusiapun diketahui Allah. Pengawasan manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang ada di balik tembok tidak bisa dilihatnya. Begitu pula apa yang sudah terjadi di masa lampau dan apa yang akan terjadi di masa mendatang tidak bisa diketahuinya sekarang. Allah sangat jauh dari kelemahan seperti itu. Allah SWT menyaksikan sekaligus semua makhluknya di mana saja mereka berada di seluruh jagad raya ini secara silmultan. Bahkan Allah menjangkau semua penglihatan, tetapi tidak ada penglihatan manusia yang dapat menjangkaunya (QS Al- An’am/6: 103).

Al-Muhaimin Artinya Allah yang maha menjaga. Alam semesta beserta isinya ada yang memelihara dan menjaga. Bumi selalu berputar mengelilingi matahari. Allah SWT telah menetapkan bumi, bintang, planet-planet lainnya berputar pada porosnya. Sehingga, terjadi keseimbangan antara benda-benda raksasa tersebut satu dengan yang lainnya. Yang menjaga keseimbangn alam semesta hanyalah Allah SWT.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Anbiyah ayat 33.
Artinya: “dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS:Al-Anbiyah :21:33)

Seluruh alam terhampar dalam angkasa raya yang sangat luas, yang tak seorang pun mengetahuinya batas-batas kekuasanya kecuali sang pencipta. Demikian pulah dengan tubuh atau jasad manusia. Manusia dapat hidup, bergerak, berfikir, memiliki tenaga, kekuatan, dan ksehatan. Itu semua nikmat dari Allah SWT yang maha menjaga.

Kisah Teladan Nabi

UNTA RAKSASA PELINDUNG RASULULLAH

Allah SWT Maha Memelihara, terutama pada hamba-Nya yang bertakwa. Nabi Muhammad SAW adalah salah atu Nabi kekasih Allah SWT. Saat itu, Nabi Muhammad SAW dimusuhi oleh Abu Jahal dan kaum musyrikin Quraisy. Karena mereka tak suka dengan dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak kepada kebenaran.

Setiap subuh, Nabi Muhammad SAW biasa melaksanakan salat Subuh di depan Ka’bah, “Aku akan menjatuhkan batu besar ke atas kepala Muhammad SAW saat dia sedang sujud,” kata Abu Jahal sambil bersiap-siap menjatuhkan sebuah batu besar. Namun tiba-tiba datang seekor unta raksasa mau menerkam Abu Jahal. Tentu saja Abu Jahal berlari ketakutan. Akhirnya, ia pun gagal melaksanakan niatnya untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.

Tuesday, 20 October 2015

Apa Hukum Terburu-Buru Berbuka Puasa ?

Tanya : Suatu ketika saya menyetir mobil keluar kota. Di tengah perjalanan saya mendengar suara adzan. Kebetulan saya tidak membawa arloji, sedangkan cuaca mendung. Sambil menyetir saya langsung berbuka dengan minum air mineral. Beberapa menit kemudian, saya sampai di tujuan. Ternyata bedug Maghrib baru ditabuh. Rupanya suara adzan yang saya dengar dari siaran radio daerah lain. Lantas bagaimana dengan puasa saya? (Usman Chan Buduran, Sidoarjo)

Jawab :
Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua : muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa. Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthlaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.

Puasa temasul jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. A1-Baqarah: 187)

Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (tajil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (ta’khir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.

Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.

Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah menyakini atau menduga dengan kuat waktu Zhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu Zhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “la ibrah biazh-zhann ai-bayyin khatha uhu” tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah.

Shalat Zhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan di atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.

Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.

Meskipun tentu saja ketidak tahuan itu membebaskan Anda dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan Anda dari kewajiban qadha’. Anda wajib mengganti puasa yang batal ini nanti setelah Ramadhan berakhir.

Arti Dan Hukum Masbuq

Masbuq ialah orang yang mengikut kemudian, Ia tidak sempat membaca Fatihah beserta imam di rakaat pertama.

Hukumnya yaitu: Jika ia takbir sewaktu imam belum rukuk, hendaklah Ia membaca Fátihah sedapat mungkin. Apabila imam rukuk sebelum habis Fatihah-nya, hendaklah Ia rukuk pula mengikuti imam. Atau didapatinya imam sedang rukuk, hendaklah Ia rukuk pula. Ringkasnya, hendaklah Ia mengikuti bagaimana keadaan imam sesudah ia takbiratul ihram. (baca juga : Syarat Sah Mengikuti Imam)

Apabila masbuq mendapati imam sebelum rukuk atau sedang rukuk dan Ia dapat rukuk yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu rakaat; berarti salatnya itu terhitung satu rakaat. Kemudian hendaklah kekurangan rakaatnya ditambah jika belum cukup, yaitu sesudah imam memberi salam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabi1a seseorang di antara kamu datang untuk salat sewaktu kami sujud, hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu hitung itu satu rakaat; dan barang siapa yang mendapati rukuk beserta imam, maka ia telah mendapat satu rakaat.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Adapun Fatihah-nya ditanggung oleh imam, ini adalah pendapat jumhurul ‘ulama. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa masbuq tidak mendapat satu rakaat kecuali apabila Ia dapat membaca Fatihah sebelum imam rukuk. Mereka beralasan dengan hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Bagaimana keadaan imam ketika kamu dapati, hendaklah kamu ikuti; dan apa yang ketinggalan olehmu, hendaklah kamu sempurnakan.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Orang yang lebih berhak menjadi imam ialah orang yang disebutkan dalam hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Uqbah bin Amr, “Rasulullah Saw. telah berkata, ‘Yang menjadi imam di antara kamu ialah mereka yang terbaik bacaannya. Kalau mereka sama bacaannya, maka yang terpandai dalam sunnah; kalau kepandaian mereka sama dalam sunnah, dilihat yang lebih dulu berhijrah (ke Madinah); kalau bersamaan pula, dilihat yang lebih tua. Janganlah diimamkan seseorang di tempat kekuasaan laki-laki lain (artinya tuan rumah lebih berhak menjadi imam), dan janganlah seseorang duduk di rumah orang lain di atas tikarnya kecuali dengan izin tuan rumah itu’.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

Imam yang dibenci
Apabila seseorang menjadi imam masjid, langgar, atau tempat-tempat berjamaah yang lain, tetapi kaum (orang banyak) yang berjamaah di situ benci kepadanya, sedangkan kebencian mereka kepadanya disebabkan oleh keagamaan, maka hukum imam yang seperti itu menurut sebagian ulama haram, sebagian lagi berpendapat makruh. Dengan adanya kebencian itu mereka tentu akan menjauhkan diri darinya dan salat berjamaah di situ akan berkurang, ataupun mungkin juga menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan oleh agama Islam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abdulllah bin Umar,; “Rosulullah Saw. Telah berkata, Allah tidak menerima salat orang yang menjadi imam di antara satu kaum, sedangkan mereka benci kepadanyu.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH).

Kaum Tsamud Membunuh Unta (Kisah Dalam Al-Quran)

Para pemuka kaum Tsamud mengadakan persekongkolan. Mereka mengatur rencana untuk membunuh unta Nabi Saleh.

Namun, di hati mereka tetap terbersit rasa takut akan datangnya hukuman dari Allah. Di tengah keraguan tersebut, seorang wanita bangsawan yang kaya raya menawarkan akan menyerahkan dirinya kepada siapa saja yang berhasil membunuh unta Nabi Saleh. Ada juga seorang wanita yang menawarkan putri-putrinya yang cantik bagi siapa pun yang bisa membunuh unta itu.

Dua jenis hadiah yang menggiurkan dari kedua wanita itu, ditambah hasutan dari pemuka kaum Tsamud membuat dua orang laki-laki bernama Mushadda’ bin Muharrij dan Gudar bin Salif bersedia membunuh unta Nabi Saleh. Mereka segera bersiap-siap akan membunuh unta itu untuk mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan.

Kedua laki-laki itu dibantu oleh tujuh pria. Mereka bersembunyi di tempat yang biasa dilalui si unta ketika akan pergi ke tempat minumnya. Mereka menunggu dengan perasaan gelisah, takut rencana mereka akan gagal. Tak lama, suara langkah si unta mulai terdengar pelan. Ketika unta itu lewat di hadapan mereka, Mushadda’ segera mengacungkan panahnya. Anak panah meluncur dari busurnya dan mengenal betis si unta. Kemudian Gudar segera keluar dan menikamkan pedangnya di perut unta tersebut. Setelah itu, mereka menyembelih unta tadi.

Dengan bangganya, kesembilan orang itu lalu pergi ke kota untuk menyampaikan berita matinya unta Nabi Saleh. Keberhasilan mereka mendapat sambutan meriah dan teriakan kegembiraan dari orang-orang yang tidak beriman.

Mereka berkata kepada Nabi Saleh, “Wahai Saleh, untamu telah mati terbunuh. Coba datangkan ancaman yang telah kamu ucapkan, jika kamu termasuk orang yang jujur.” Nabi Saleh menjawab, “Aku telah memperingatkan kalian bahwa Allah akan menurunkan hukuman-Nya atas kalian jika kalian mengganggu unta itu. Peringatan yang telah Allah janjikan akan datang.”

Nabi Saleh memberi waktu tiga hari kepada kaumnya untuk bertobat. Namun, mereka malah mengejek Nabi Saleh dan menantang datangnya siksa Allah.

Nabi Saleh kembali memberi peringatan dengan memberitahu kepada kaumnya tentang hukuman yang dapat menimpa mereka.

“Wahai kaumku, ingatlah perkataanku! Bila kalian tidak bertobat kepada Allah, maka siksa Allah akan datang selama empat hari. Pada hari pertama, saat kalian bangun dari tidur, wajah kalian akan berubah menjadi kuning dan berubah menjadi merah. Hari kedua, wajah kalian akan menjadi hitam. Hari ketiga dan keempat, azab akan datang dan Allah.”

Mendengar peringatan tersebut. kesembilan orang yang telah membunuh unta Nabi Saleh segera mengadakan pertemuan penting.
“Bagaimana ini? Saleh kembali mengancam kita,” ucap salah seorang dari mereka.

“Kita harus membunuh Saleh pada saat dia lengah, yaitu pada malam hari.” “Kita harus bersumpah melakukan ini agar kita terbebas dari Saleh.” “Baiklah ... kita semua setuju.”

“Kita juga harus merahasiakan ini agar keluarga Saleh tidak menuntut kita.”

Akhirnya, mereka semua bersumpah akan membunuh Nabi Saleh secara diamd iam.

Pada malam yang telah disepakati, mereka mengendap-endap datang ke rumah Nabi Saleh. Ketika mereka akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar di atas kepala mereka.
“BRAAAKK ....“ Batu besar itu langsung menimpa mereka. Mereka bahkan tidak sempat meminta tolong.

Keesokan harinya, Nabi Saleh dengan para pengikutnya segera meninggalkan Hijr. Mereka menuju Ramlah, sebuah tempat di Palestina.

Kaum Tsamud yang ditinggalkan binasa. Allah mendatangkan halilintar dan gempa bumi yang dahsyat bagi mereka.

Apa Hukum Menafkahi Istri Di Penjara ?


Beberapa waktu yang lalu telah dikabarkan, bahwa ada salah satu seorang istri dari artis yang tertangkap basah sedang pesta sabu-sabu. Sehingga sekarang dia harus mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Apakah masih wajib bagi seorang suami untuk menafkahi sang istri dalam kasus di atas?

Jawab : Tidak wajib.

Referensi : 
 
 
 

Sifat-Sifat Tercela Pasukan Gajah

Pasukan gajah yang dipimpin Abrahah akhirnya gagal menghancurkan Ka’bah. Mereka dihancurkan oleh Allah SWT, karena memiliki sifat-sifat yang tercela.

Beberapa sifat tercela yang dimiliki pasukan Abrahah adalah sebagal berikut:
a. Iri
Sifat iri adalah rasa tidak senang apabila orang lain mendapat nikmat atau kesenangan. Rasa iri dipihak Abrahah mulai muncul ketika Mekah berkembang menjadi kota yang ramai. Bahkan keramaian kota Mekah mengalahkan Kota San’a yang menjadi tempat tinggal mereka. Abrahah merasa tidak senang apabila kota Mekah menjadi kota yang ramai. Kota Mekah ramai karena adanya ka’bah yang dikunjungi penduduk negeni-negeri disekitar Jazirah Arab.

b. Dengki
Rasa iri itu bertambah menjadi dengki. Dengki adalah menginginkan kenikmatan yang didapat orang lain berpindah kepadanya. Oleh karena itu, Abarahah kemudian mendirikan gereja untuk menyaingi Kabah dan mengunjungi gerejanya dengan demikian, ia telah melakukan usaha agar keramaian di kota Mekah berpindah ke kota San’a.

c. Dendam
Namun, harapan Abarahah tidak menjadi kenyataan. Orang-orang tetap tidak mau mengunjungi gerejanya. Mereka tetap saja berduyun-duyun mengunjungi Ka’bah. Melihat kenyataan itu, Abrahah merasa sakit hati karena usahanya telah gagal. Ia menjadi dendam yakni keinginan yang kuat untuk membalas.

d. Sombong
Dalam perjalananya menuju Mekah, pasukan Abrahah melakukan perampasan dan keonaran. Mereka berjalan dengan penuh rasa sombong. Sombong adalah rasa tinggi hati dan meremehkan orang lain. Mereka menganggap dirinya yang paling hebat. Mereka merampas harta penduduk yang lemah.

Allah SWT, akhirnya menurunkan azabnya. Sifat-sifat tercela yang mereka tunjukkan dibalas Allah SWT, dengan azab yang pedih. Banyak diantara prajurit mereka yang mati. Pasukan mereka bercerai-berai tak tentu arah.

Rangkuman
  1. Abrahah adalah Gubernur Yaman untuk Kerajaan Habasyah (Etiopia). Abrahah membangun pusat pemerintahan di kota San’a. Pada waktu itu, yang menduduki tahta kerajaan Habasyah adalah Raja Najasyi. Yaman mempunyai letak yang strategis, oleh karena itu, Yaman menjadi rebutan Negara-negara lainnya.
  2. Pasukan gajah menyerang Ka’bah pada tahun 571 Masehi. Pasukan Abrahah merampas harta penduduk yang mereka jumpai sepanjang perjalanan.
  3. Pasukan gajah dihancurkan oleh Allah SWT, dengan mengirimkan burung Ababil. Pasukan gajah hancur dan gagal menghancurkan Ka’bah:
  4. Sifat-sifat tercela pasukan gajah adalah sebagai berikut:
  5. Iri adalah rasa tidak senang apabila orang lain mendapat nikmat atau kesenangan.
  6. Dengki adalah menginginkan kenikmatan yang didapat orang lain berpindah kepadanya.
  7. Dendam adalah keinginan yang kuat untuk membalas.
  8. Sombong adalah rasa tinggi hati dan meremehkan orang lain.

Monday, 19 October 2015

Apa Hukum Istri Minta Nafkah Saat Suami Mau Pergi ?


Sungguh keterlaluan…!!, sudah ditinggal sendirian, tidak diberi nafkah lagi, itulah yang dialami oleh neng Nita. Padahal sebelum suaminya pergi keluar kota, dia sudah minta jatah, tapi suaminya tidak menghiraukannya. Apakah bagi suami wajib memenuhi permintaan sang istri sebagaimana dalam kasus di atas.

Jawab : Wajib.

Referensi :

 

Apa Hukum Membayar Utang Puasa Orang Yang Meninggal ?

Tanya : Apa yang perlu dilakukan oleh ahil waris atau keluarga kalau ada orang meninggal dunia yang dalam hidupnya pernah mèninggalkan shalat atau puasa? (Z. Abidin, Juana)

Jawab : Shalat dan puasa termasuk rukun Islam. Kalau kita ibaratkan Islam itu sebuah rumah, shalat adalah tiangnya. Karena itu, siapa yang menunaikan shalat berarti menegakkan Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung telah merobohkan agamanya.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya masih saja dijumpai orang yang menyepelekan dua kewajiban tadi -terutama shalat- dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka hati.

Kalau keluarga kita meninggal dunia, padahal semasa hidupnya pernah meninggalkan puasa dan shalat, walinya atau anggota keluarga yang lain dapat mengqadha atas nama si mayit.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’atas namanya.

Akhirnya beliau menjawab, “berpuasalah sebagai ganti ibumu (suumiy ‘an ummiki)”. Dalam hadis lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasul juga bersabda, “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa, maka walinya berpuasa atas namanya”.

Kedua hadis ini jelas memperbolehkan orang yang masih hidup mengqadha puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini shalat disamakan dengan puasa dengan jalan qiyas (analogi).

Selain mengqadha dapat pula dengan membayar fidyah, yakni satu mud (sekitar enam ons) beras yang diambil dari harta peninggalan si mayit itu lalu disedekahkan kepada fakir/miskin (I’anah Ath-Tholibin, Juz II, h. 244, Asy-Syaiwani Juz III. h.439).

Dengan diperbolehkan mengqadha dan membayar fidyah, bukan berarti lantas kita bisa dengan enteng meninggalkan shalat dan puasa, toh nanti kalau meninggal dunia ada yang mengganti. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai bukti betapa tingginya kedudukan/nilai shalat dan puasa dalam Islam.

Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apalagi yang berhubungan dengan urusan agama yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal di akhirat, sudah barang tentu tindakan yang sembrono dan berbahaya sekali. Lagi pula, kalau si mayit meninggalkan shalat atau puasa tanpa uzur, meskipun pada akhirnya ada wali/keluarga yang mengqadba’ atas namanya, ia tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah Swt. Sebab, meninggalkan shalat tanpa uzur di samping mengqadha yang bersangkutan harus bertobat. Padahal dengan datangnya ajal, kesempatan tobat telah tertutup (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 491)

Susu Unta Betina (Kisah Dalam Al-Quran)


Susu Unta Betina
QS. Asy-Syu’araa’: 155-159

Pada hari ketiga kehadirannya, unta betina itu melahirkan. Si unta pun mulai menyusui anaknya. Ternyata Kaum Tsamud juga ingin mencicipi susunya. Mereka mendatangi Nabi Saleh dan menceritakan tentang anak unta yang dilahirkan dan susu yang keluar dari si unta.

“Kami juga ingin menikmati susu unta betina itu. Mungkin air susunya dapat memberi berkah kepada kami.”

Nabi Saleh mengatakan bahwa mereka boleh meminum susu unta betina itu, namun tetap ada peraturannya. “Kalian sediakan air segar agar unta itu bisa minum, baru kalian bisa meminum Susunya. Pada hari kedua, kalian minum air biasa dan biarkan unta itu menyusui anaknya. Begitu seterusnya.”

Mereka menyepakati ketentuan dari Nabi Saleh. Seterusnya, unta betina itu memenuhi kebutuhan susu bagi kaum Tsamud. Namun, ternyata para pemuka kaum Tsamud tetap tidak mau mengakui kebenaran Nabi Saleh. Mereka kesal karena sekarang jumlah pengikut Nabi Saleh kian bertambah. Mereka mencoba menghasut para pemilik ternak dan pemilik ladang supaya membenci unta Nabi Saleh yang telah memakan rumput mereka.

Pasukan Gajah Menyerang Ka’bah

Dalam perjalanannya menuju Mekah, pasukan Abrahah berhenti di desa Mugammas dekat kota Taif. Pasukan ini merampas harta benda dan hewan peliharaan masyarakat desa itu dengan kejam. Sesampainya di Tihamah, mereka kembali melakukan aksi perampasan. Bahkan mereka juga merampas 200 ekor unta milik Abdul Muthalib kakek Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang tokoh yang terkemuka dikalangan suku Quraisy. Abdul Muttalib diberi kepercayaan memegang kunci dan menjaga Ka’bah. (baca juga : Peristiwa Penting Pada Saat Nabi Muhammad Lahir)

Di lain pihak, penduduk Mekah seperti mendapat firasat akan terjadinya suatu peristiwa besar. Selama beberapa tahun, mata air zam-zam hilang. Menjelang peristiwa serangan pasukan gajah itu, Abdul Muttalib tiba-tiba menemukan kembali mata air itu. Penduduk Mekah kemudian berhasil menggali kembali sumur zam-zam.

Setelah mengetahui untanya dirampas oleh Abrahah, Abdul Muthalib menemui Abrahah dan mengajaknya berunding. Dalam perundingan itu, Abdul Muttalib berkata,” Wahai Abrahah! Apa tujuan tuan datang kemari dengan membawa pasukan yang besar”?

Abrahah menjawab dengan sombong,”Kami ingin menghancurkan Ka’bah. Ka’bah telah membuat orarig-orang tidak mau mengunjungi negeri kami. Padahal kami telah mendirikan bangunan yang lebih indah dan lebih megah daripada Ka’bah. Lalu apa maksudmu menemuiku?”
“Jadi kamu hanya ingin agar aku mengembalikan untamu?” Abrahah bertanya keheranan, “Bukankah kamu pemimpin kota ini? Mengapa kamu tidak menghalangiku untuk menghancurkan Ka’bah?”

Abdul Muttalib menjawab,” Saya hanya memiliki unta itu. Oleh karena itu, saya hanya meminta kembali unta-unta saya. Adapun Ka’bah itu ada Tuhannya sendiri. Dialah yang akan menjaganya.”

“Kalau begitu, Aku akan kembalikan unta-untamu, tetapi kalian pergilah menyingkir dan jangan menghalangiku!” Abrahah berkata dengan keras.

Benarlah, Abarahah kemudian mengembalikan unta-unta milik Abdul Muttalib. Abdul Muttalib dan penduduk Mekah kemudian mengungsi ke gunung-gunung disekitar Mekah untuk menghindari serangan Abrahah. Pasukan Abrahah kemudian mulai bergerak memasuki Mekah. 

Ajaib ketika pasukan gajah sampai diantara daerah Muzdalifah dan Mina, gajah-gajah mereka tidak mau berjalan lagi. Mereka hanya menderum. Pada saat itu, Allah SWT, mengutus burung Ababil. Mereka berterbangan diatas pasukan gajah itu. Setiap burung membawa tiga butir batu panas dari neraka. Satu diparuhnya dan dua di kakinya. Burung-burung itu kemudian menebarkan batu-batu panas itu. Apabila batu itu menimpa seseorang, sendi-sendi tulangnya akan hancur dan tak lama kemudian orang itu mati.

Pasukan gajah itu pun menjadi kacau balau. Mereka lari tunggang-langgang tidak tentu arah. Abrahah pun melarikan diri dan pulang ke Yaman. Sesampainya disana, ia akhirnya mati karena luka yang dideritanya.

Tabir Wanita