Bayi Dalam Goa
QS. Al-An’am : 74-79
Terdengar suara tangis seorang bayi laki-laki. Suara tangisnya begitu kencang sehingga dapat membuat siapa saja yang mendengarnya iba. Namun, tidak ada seorang pun yang mendengar suara tangis bayi tersebut, karena ia berada di dalam sebuah gua yang terletak di dalam hutan. Bayi tersebut begitu kesepian di gua yang gelap itu.
Tiba-tiba, tangisan bayi itu terhenti. Rupanya ia kelelahan karena terlalu lama menangis. Kemudian, bayi itu tertidur pulas sambil mengisap jari-jarinya. Setelah hari itu, tidak terdengar lagi suara tangisnya. Yang ada hanya suara tawa bahagia. Bayi itulah yang bernama Ibrahim.
Ibrahim berada di dalam gua karena orangtuanya terpaksa membuang dirinya. Mereka tidak ingin bayinya itu dibunuh oleh tentara Raja Namruz. Raja Namruz mengeluarkan peraturan bahwa di negaranya tidak boleh ada keluarga yang merawat bayi laki-laki. Apabila lahir seorang bayi laki-laki, maka bayi itu harus dibunuh. Raja Namruz memernitahkan demikian karena dia merasa cemas bahwa suatu hari nanti akan ada seorang laki-laki dari bangsanya yang akan menghancurkan tahta kerajaannya.
Orang tua Ibrahim tidak mau melihat bayinya dibunuh. Oleh karena itu, keduanya terpaksa membuang Ibrahim ke dalam gua.
Semenjak itu, ibunda Ibrahim selalu memikirkan bayi laki-lakinya. Azar,suaminya,selalu berusaha menghiburistrinya.
“Kenapa wajahmu selalu murung?” tanya Azar begitu melihat istrinya merenung di dalam rumah. “Aku teringat anak kita, Ibrahim.”
“Jangan engkau cemaskan anak kita. Lebih baik nasibnya seperti itu daripada kita melihatnya dibunuh oleh tentara Raja Namruz.”
“Bagaimana kalau kita kembali ke dalam hutan untuk melihat keadaannya, Pak?” tanya
ibunda Ibrahim.
“Percuma saja, kemungkinan besar bayi kita sudah meninggal. Jangan membuat dirimu semakin
menderita, istriku.”
“Tapi... aku merasa bayi kita masih hidup, Pak!”
“Rasanya tidak mungkin Bu. Barangkali bayi kita sudah meninggal karena kelaparan atau dimakan binatang buas.
Mendengar perkataan suaminya, ibunda Ibrahim menangis tersedu-sedu. Ia membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi pada bayinya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Ibrahim masih hidup.
“Kita harus kembali ke dalam hutan,” ucapnya kemudian. Matanya membulat menunjukkan tekad yang kuat. Akhirnya, Azar mengikuti keinginan istrinya karena ia tidak tega melihat istrinya bersedih terus-menerus. Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali menuju hutan.
“Itu ... guanya,” tunjuk ibunda Ibrahim. Mereka berdua segera menuju ke arah gua. Keadaan gua itu tampak sangat tenang. Matahari pagi bersinar menerobos pintu gua. Ibunda Ibrahim segera bergegas masuk ke dalamnya. Apa yang dilihatnya di dalam gua benar-benar menakjubkan! Bayinya sedang tertawa-tawa seperti sedang bercanda dengan seseorang.
“Bayikuuu....” jeritnya bahagia. Azar segera mengikuti sang istri. Dia pun tertegun melihat istrinya menggendong Ibrahim.
“Lihat . . .Ibrahim masih hidup.”... aku sungguh tidak percaya.” ini suatu keajaiban. Rupanya ada yang menjaga Ibrahim.”
“Ya ... tapi kita tidak dapat membawa Ibrahim pulang,” ucap Azar sambil mengelus kepala anaknya.
Kalau begitu, aku yang akan ke sini setiap hari,” ucap istrinya.
“Tapi ... bagaimana kalau orang lain curiga?”
“Aku akan berpura-pura mencari kayu bakar di hutan,” ucap istrinya penuh keyakinan.
“Baiklah ..,“ sahut Azar kemudian.
Sejak itu, setiap hari mereka menengok Ibrahim di dalam gua. Mereka datang pagi-pagi dan baru
pulang di sore hari. Mereka tetap merasa takjub menyadari Ibrahim dapat tinggal sendirian di dalam gua.
Mereka merahasiakan hal itu karena tidak berani membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya sebelum peraturan Raja Namruz dihapuskan.
Ibrahim pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Sewaktu dia mulai besar dan sudah mengerti sesuatu, dia bertanya kepada orangtuanya, “Wahai -
Ibu, Bapak, siapakah yang menjadikan aku?”
Orangtuanya menjawab, “Yang menjadikan engkau adalah kami, karena engkau lahir ke dunia ini disebabkan oleh kami.”
“Lalu, siapa yang menjadikan Ayah dan Bunda?” tanya Ibrahim ragu.
“Tentu saja kakek dan nenekmu, karena kami lahir disebabkan oleh mereka,” jawab ayahnya.
“Lalu, siapakah yang pertama-tama menjadikan kita semua?” tanyanya lagi. Orangtuanya tidak dapat menjawabnya karena mereka tidak mengenal Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Ibrahim selalu bertanya-tanya siapakah yang menciptakan alam semesta ini. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan dan mengajarkan kebenaran kepadanya.
Pada malam hari, Ibrahim sering melihat bintang-bintang, lalu dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Kemudian, dia melihat bintang-bintang itu menghilang di balik awan hitam. Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak akan menyembah kepada sesuatu yang tidak kekal.”
Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar cemerlang. “Inikah Tuhanku?” Namun, beberapa saat kemudian. bulan purnama itu lenyap. “Kalau Tuhanku tidak selalu dapat memberiku petunjuk, tentu aku akan tersesat.”
Pada waktu siang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar dan lebih bercahaya dibanding semua yang pernah dia lihat sebelumnya. “Oh, mungkin inilah Tuhanku yang sebenarnya karena ia paling besar.” Tetapi kemudian, matahari itu terbenam. Ibrahim pun berkata, “Aku tidak akan bertuhan kepada matahari yang dapat terbenam.”
“Aku hanya akan menyembah kepada sesuatu yang menjadikan langit dan bumi dengan sebenarnya. Dan aku tidak akan pernah menduakan-Nya.”
Tiba-tiba, tangisan bayi itu terhenti. Rupanya ia kelelahan karena terlalu lama menangis. Kemudian, bayi itu tertidur pulas sambil mengisap jari-jarinya. Setelah hari itu, tidak terdengar lagi suara tangisnya. Yang ada hanya suara tawa bahagia. Bayi itulah yang bernama Ibrahim.
Ibrahim berada di dalam gua karena orangtuanya terpaksa membuang dirinya. Mereka tidak ingin bayinya itu dibunuh oleh tentara Raja Namruz. Raja Namruz mengeluarkan peraturan bahwa di negaranya tidak boleh ada keluarga yang merawat bayi laki-laki. Apabila lahir seorang bayi laki-laki, maka bayi itu harus dibunuh. Raja Namruz memernitahkan demikian karena dia merasa cemas bahwa suatu hari nanti akan ada seorang laki-laki dari bangsanya yang akan menghancurkan tahta kerajaannya.
Orang tua Ibrahim tidak mau melihat bayinya dibunuh. Oleh karena itu, keduanya terpaksa membuang Ibrahim ke dalam gua.
Semenjak itu, ibunda Ibrahim selalu memikirkan bayi laki-lakinya. Azar,suaminya,selalu berusaha menghiburistrinya.
“Kenapa wajahmu selalu murung?” tanya Azar begitu melihat istrinya merenung di dalam rumah. “Aku teringat anak kita, Ibrahim.”
“Jangan engkau cemaskan anak kita. Lebih baik nasibnya seperti itu daripada kita melihatnya dibunuh oleh tentara Raja Namruz.”
“Bagaimana kalau kita kembali ke dalam hutan untuk melihat keadaannya, Pak?” tanya
ibunda Ibrahim.
“Percuma saja, kemungkinan besar bayi kita sudah meninggal. Jangan membuat dirimu semakin
menderita, istriku.”
“Tapi... aku merasa bayi kita masih hidup, Pak!”
“Rasanya tidak mungkin Bu. Barangkali bayi kita sudah meninggal karena kelaparan atau dimakan binatang buas.
Mendengar perkataan suaminya, ibunda Ibrahim menangis tersedu-sedu. Ia membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi pada bayinya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Ibrahim masih hidup.
“Kita harus kembali ke dalam hutan,” ucapnya kemudian. Matanya membulat menunjukkan tekad yang kuat. Akhirnya, Azar mengikuti keinginan istrinya karena ia tidak tega melihat istrinya bersedih terus-menerus. Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali menuju hutan.
“Itu ... guanya,” tunjuk ibunda Ibrahim. Mereka berdua segera menuju ke arah gua. Keadaan gua itu tampak sangat tenang. Matahari pagi bersinar menerobos pintu gua. Ibunda Ibrahim segera bergegas masuk ke dalamnya. Apa yang dilihatnya di dalam gua benar-benar menakjubkan! Bayinya sedang tertawa-tawa seperti sedang bercanda dengan seseorang.
“Bayikuuu....” jeritnya bahagia. Azar segera mengikuti sang istri. Dia pun tertegun melihat istrinya menggendong Ibrahim.
“Lihat . . .Ibrahim masih hidup.”... aku sungguh tidak percaya.” ini suatu keajaiban. Rupanya ada yang menjaga Ibrahim.”
“Ya ... tapi kita tidak dapat membawa Ibrahim pulang,” ucap Azar sambil mengelus kepala anaknya.
Kalau begitu, aku yang akan ke sini setiap hari,” ucap istrinya.
“Tapi ... bagaimana kalau orang lain curiga?”
“Aku akan berpura-pura mencari kayu bakar di hutan,” ucap istrinya penuh keyakinan.
“Baiklah ..,“ sahut Azar kemudian.
Sejak itu, setiap hari mereka menengok Ibrahim di dalam gua. Mereka datang pagi-pagi dan baru
pulang di sore hari. Mereka tetap merasa takjub menyadari Ibrahim dapat tinggal sendirian di dalam gua.
Mereka merahasiakan hal itu karena tidak berani membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya sebelum peraturan Raja Namruz dihapuskan.
Ibrahim pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Sewaktu dia mulai besar dan sudah mengerti sesuatu, dia bertanya kepada orangtuanya, “Wahai -
Ibu, Bapak, siapakah yang menjadikan aku?”
Orangtuanya menjawab, “Yang menjadikan engkau adalah kami, karena engkau lahir ke dunia ini disebabkan oleh kami.”
“Lalu, siapa yang menjadikan Ayah dan Bunda?” tanya Ibrahim ragu.
“Tentu saja kakek dan nenekmu, karena kami lahir disebabkan oleh mereka,” jawab ayahnya.
“Lalu, siapakah yang pertama-tama menjadikan kita semua?” tanyanya lagi. Orangtuanya tidak dapat menjawabnya karena mereka tidak mengenal Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Ibrahim selalu bertanya-tanya siapakah yang menciptakan alam semesta ini. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan dan mengajarkan kebenaran kepadanya.
Pada malam hari, Ibrahim sering melihat bintang-bintang, lalu dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Kemudian, dia melihat bintang-bintang itu menghilang di balik awan hitam. Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak akan menyembah kepada sesuatu yang tidak kekal.”
Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar cemerlang. “Inikah Tuhanku?” Namun, beberapa saat kemudian. bulan purnama itu lenyap. “Kalau Tuhanku tidak selalu dapat memberiku petunjuk, tentu aku akan tersesat.”
Pada waktu siang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar dan lebih bercahaya dibanding semua yang pernah dia lihat sebelumnya. “Oh, mungkin inilah Tuhanku yang sebenarnya karena ia paling besar.” Tetapi kemudian, matahari itu terbenam. Ibrahim pun berkata, “Aku tidak akan bertuhan kepada matahari yang dapat terbenam.”
“Aku hanya akan menyembah kepada sesuatu yang menjadikan langit dan bumi dengan sebenarnya. Dan aku tidak akan pernah menduakan-Nya.”
0 komentar:
Post a Comment