Saturday, 29 October 2016

Awal Mula Munculnya Paham Qadariyah (Aliran Qadariyah)

paham qadariyah, bilik islam
AWAL MUNCULNYA QADARIYAH
Golongan Qadariyah pertama kali muncul kira-kira pada tahun 70 H di Iraq pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan yang hidup antara tahun 685-705 M. Kelompok Qadariyah dimotori oleh Ma’bad bin Juhani Al-Bisry (w.699 M) dan A1-Ja’du bin Dirhani.

Pada awal munculnya kelompok Qadariyah ini diduga sebagai protes atas kedhaliman politik Bani Umayah. Qadariyah sangat bertolak belakang dengan faham kelompok Jabariyah, dimana Jabariyah mempunyai kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang manusia sudah terkait dengan ketentuan Allah, sementara Qadariyah mengatakan bahwa manusia tidak selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus disertai dengan upaya dan usaha untuk menentukan nasibnya.
 
CIRI-CIRI FAHAM QADAR1YAH
Diantara ciri-ciri faham Qadariyah adalah :
  1. Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan nasib manusia dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa campur tangan Allah.
  2. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi Iman. Artinya orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
  3. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya. 
PERKEMBANGAN QADARIYAH
Aliran Qadariyah termasuk aliran yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya pemimpinnya Ma’bad dan beberapa tokohnya berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun 80 H/699 M, karena menyebarkan ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah, aliran Qadariyah mulai pudar, hingga akhirnya sirna dimakan zaman, kini tinggal sebuah nama yang tertulis di dalam buku, namun sebagian fahamnya masih dianut oleh sebagian orang.

Tabiat Dan Kebiasaan Para Malaikat

tabiat malaikat, kebiasaan malaikat, bilik islam
Malaikat bertabi’at untuk selalu taat kepada Allah Ta’ala. Malaikat tidak memiliki kemampuan untuk bermaksiat kepada Allah. Mereka selalu menjahui maksiat kepada Allah dan selalu bersikap taat karena Allah Ta’ala menciptakan mereka demikian. Para Malaikat sedikitpun tidak dibebani kemampuan untuk bermaksiat, karena tidak ada syahwat atau hawa nafsu pada diri mereka. 

Secara mutlak para Malaikat adalah makhluk yang diperintahkan untuk selalu beribadah dan melakukan ketaatan. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :
Artinya: “Mereka takut kepada Rabb Yang (berkuasa) di atas mereka dan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl: 50)

Dalam ayat ini, mereka -para Malaikat-  juga merasa takut kepada Allah SWT, adapun al-khauf (rasa takut) adalah salah satu bentuk takliif(pembebanan) syari’at. Bahkan, ini (al-khauf) adalah termasuk jenis ibadah yang paling tinggi. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala kepada mereka :
Artinya : “Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (Malaikat) dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak member syafa‘at melainkan kepada orang yang diridhai (Allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiyaa’ : 28) 

Allah Ta’ala juga berfirman :
Artinya: “Dan syafa’at (pertolongan) di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah di idzinkan-Nya (memperoleh syafa‘at itu). Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka (para malaikat itu), mereka berkata: “Apakah yang telah di imankan oleh Rabb kalian.. ?“  mereka menjawab; “(Perkataan) yang benar, ‘dan Dia-Iah Yang Maha Tinggi, Maha Besar.”(QS. Saba’: 23)

Pengertian Beriman Kepada Kitab Allah

biliki islam
Beriman Kepada Kitab Allah
“Al-Kutub” adalah bentuk jama’ dari “kitab” (penulisan) dengan arti “maktuub” (yang tertulis). Maksudnya pemakaian kata itu di sini ialah : Kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya sebagai rahmat dan petunjuk bagi makhluk, agar mereka mencapai dengannya kebahagian dunia akhirat. 

Iman kepada kitab-kitab Allah termasuk salah satu rukun Iman dari enam Rukun Iman yang harus kita yakini. Arti iman pada kitab-kitab Allah adalah berkeyakinan penuh bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang dia turunkan atas rasul-rasul-Nya untuk hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran yang nyata dan bahwa kitab-kitab itu adalah Kalam (kalimat) Allah yang Dia berbicara dengan itu menurut hakekatnya sebagaimana yang Dia kehendaki dan dengan cara yang Dia inginkan. 

Baca juga : Cara Mengimani Kitab Al-Quran

Al-Our’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang dibawa al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema tersebut kapan dan di manapun mereka berada. Oleh sebab itu, al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar dan sekaligus melengkapi Kitab-kitab sebelumnya, yakni Zabur, Taurat dan injil.

Pengertian Beriman Kepada Kitab Allah

Pengertian beriman kepada kitab-kitab Allah yaitu mempencayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT. telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para rasul yang berisi wahyu Allah supaya disampaikan isi dan kandungannya kepada umat manusia. Kumpulan wahyu itu ada yang disebut suhuf. 

Sebagai orang Islam kita wajib mempercayai semua kitab dan suhuf yang telah diturunkan Allah kepada para rasul-Nya. 

Allah berfirman dalam surah an-Nisa ayat 136 yang artinya sebagai benikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang diiturunkan sebelumnya, Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh” (QS. An-Nisa ayat 136) 

Pada ayat di atas, dengan tegas Allah mengingatkan kepada orang yang beriman agar tetap menjaga keimananNya, jangan sampai menjadi orang yang kufur (kafir), Allah juga mengisyaratkan jika tidak mengimani kitab-kitab-Nya maka seseorang akan jauh bersesat. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang Islam agar tidak tersesat. 

Beriman berarti percaya dengan sungguh-sungguh kepada sesuatu. Beriman kepada Kitab Allah berarti percaya bahwa Allah SWT telah menurunkan beberapa Kitab kepada para Nabi dan Rasul untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia sebagai pedoman hidup untuk meraih kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 

Umat Islam yang rajin membaca al-Qur’an berarti telah beriman kepada Allah. Karena dengan membaca al-Qur’an berarti kita percaya pada kitab-kitab Allah. Sedangkan percaya kepada kitab-kitab Allah termasuk salah satu rukun iman yang ketiga. Sebagai seorang muslim kita harus membiasakan diri untuk selalu membaca dan mengamalkan ajaran al-Qur’an. Sudahkah kamu mengamalkan ajaran al-Qur’an?

Thursday, 27 October 2016

Khalifah Pertama (Biografi Abu Bakar Ash Siddiq ra.)

Biografi Abu Bakar Ash Siddiq ra., bilik islam
Pada permulaan bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H, Rasulullah saw. mulai sakit. Akan tetapi, pada saat fajar menyingsing hari Senin tanggal 12 Rabi’uI Awwal Rasulullah saw. merasa bahwa kesehatannya membaik, kendati belum pulih seluruhnya. Beliau keluar dari kamar Aisyah untuk menemui kaum muslimin di masjid. Beliau ingin mengutarakan sesuatu kepada mereka.

Dipanggillah Usamah bin Zaid. Beliau memberikan perintah kepadanya untuk memimpin pasukan berangkat ke Negeri Romawi. Abu Bakar Ash-Shiddiq juga diminta untuk menggantikannya mengimami shalat berjamaah. 

Selepas itu, beliau kembali memasuki kamar Aisyah untuk istirahat kembali, Jamaah shalat telah selesai, Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian datang untuk menjenguk Rasulullah saw. Melihat keadaan Rasulullah saw. yang sudah tidak separah kemarin, Abu Bakar AshS hiddiq merasa tenang. Dia pun kembali ke rumahnya di daerah As-Sakh, di luar kota Madinah. 

Pada hari itu juga Rasulullah saw. wafat. Sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq berada jauh darinya. Datanglah utusan yang mengabarinya bahwa Rasulullah saw. telah kembali ke sisi Allah. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq datang ke Madinah. Dia menyaksikan para sahabat di masjid sedang menundukkan kepala karena berduka. Sedangkan Umar bin Khaththab menyampaikan khutbah kepada mereka dan mencela siapa saja yang berkeyakinan bahwa Rasulullah saw. telah meninggal dunia. 


Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk ke dalam kamar putrinya, Aisyah, Rasulullah saw. sudah dikafani dan masih terbujur di sana. Dia menyingkap tirai kain kafan itu dan menatapnya dalam-dalam. Tidak terasa air matanya menetes. Dia bergumam lirih, “Alangkah indahnya engkau di waktu masih hidup dan alangkah indahnya engkau di waktu wafat.”

Kemudian, dia keluar dari kamar untuk menemui semua orang yang sedang tenggelam dalam duka. Dia berdiri di hadapan mereka. Dengan ketabahan hati yang mendalam. dia berkata kepada mereka, “Wahai manusia, dengarkanlah! Siapa saja yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah hahwa Muhammad telah wafat. Tetapi, siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah masih hidup dan tidak akan pernah mati.” 

Kemudian dia membaca ayat A1-Qur’an :
Artinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh, telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran 31: 144) 

Dalam pernyataan yang mantap dan tegas itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil menguasai dan menarik kembali jiwa para sahabat yang telah melayang-layang. Sedikit demi sedikit, para sahabat tergugah kesadarannya untuk menghadapi kenyataan yang terjadi. Kemudian, Abu Bakar memasuki kamar Aisyah bersama Ali bin Abu Thalib untuk mempersiapkan prosesi pemakaman jenazah Rasulullah saw. 

Prosesi pemakaman selesai. Abu Ubaidah bin Jarrah bersama kaum muslirnin masih mengobrol tentang wafamya Rasulullah saw., sementara Umar bin Khaththab masih berdiam dan larut dalarn lamunannya sendiri. 

“Siapa yang akan menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah saw.?” tanyanya dalam hati. 

Pada saat itu, kaum Anshar menyerukan kaum muslimin untuk berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Di antara mereka, ada Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj. Dia hadir dalam pertemuan itu untuk dilantik sebagai khalifah oleh kaumnya sendiri. Dia berpidato di hadapan kaum Anshar.

“Wahai kaum Anshar, sesungguhnya, sebelum kalian sudah ada yang telah masuk agama ini. Mereka sangat mulia keislamannya. Tidak ada satu pun kabilah Arab yang seperti mereka ini. Muhammad telah menghabiskan waktu sepuluh tahun lebih di tengah-tengah kaumnya untuk men yerukan mereka guna menyembah Allah dan menjauhi perilaku syirik. 

Hanya saja, sedikit sekali kaumnya yang mau mengimaninya. Mereka pun tidak mampu melindungi Rasulullah saw. Mereka tidak sanggup membela agamanya. Mereka tidak berdaya tuk menangkis segala macam penganiayaan yang menimpa. 

Ketika Allah sudah menginginkan keutamaan bagi kalian, maka Ia mencurahkan kemuliaan bagi kalian. Dia telah melimpahkan nikmat kepada kalian. Allah telah mengucurkan nikmat berupa iman kepada kaum dan rasul-Nya. Kalian mampu melindungi beliau dan para sahabatnya. Kalian juga sanggup membela agama Allah dan berjihad memerangi musuh-musuh Allah. 

Kalian adalah manusia yang paling keras kepada musuh Allah daripada golongan lainnya. Selanjutnya, bangsa Arab pun sudah mulai matang untuk mematuhi perintah Allah dengan penuh ketaatan. Banyak sudah bangsa- bangsa jauh lainnya yang telah tertaklukkan. 

Melalui Rasulullah saw., Allah telah menganugerahi kalian bimi ini. Dengan pedang, kilian hampir menguasai segenap bangsa Arab. Allah telah mewafatkan Muhammad dan beliau telah ridha kepada kalian dan kalian pun bersukacita mendapatkan keridhaan itu. Mengingat itu semua, maka genggamlah kekuasaan ini untuk memerintah semua orang. Karena sesungguhnya, kekuasaan itu berada di tangan, kalian bukan orang lain.” 

Demikianlah pidato panjang dari Sa’ad bin Ubadah untuk membakar semangat kaum Anshar. Dia berkeinginan agar kaum Ansharlah yang menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah saw. 

Kemudian, datanglah seseorang menemui Umar bin Khaththab dan mengabarkan tentang kejadian di Saqifah Bani Sa’idah. Umar bin Khaththab memerintahkan orang itu untuk pergi ke kamar Aisyah dan memanggil Abu Bakar Ash-Shiddiq agar keluar karena ada urusan penting. 

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah keluar, Umar bin Khaththab mengabarinya tentang peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah. Umar berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu? Kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka ingin menyerahkan tampuk kekhalifahan ini ke tangan Sa’ad bin Ubadah. Hal yang paling perlu dicermati adalah ucapan mereka, ‘Kami punya pemimpin, kalian juga berhak punya pemimpin.’ ini sangat berbahaya, karena bisa memecah persatuan kaum muslimin. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak menjawab. Dia hanya bersiap-siap untuk berangkat ke tempat perkumpulan itu. 

Akhinya, tiga orang sahabat senior: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat ke Saqifah. Di sana, mereka menenangkan massa supaya menangguhkan bai’at (sumpah setia atau pelantikan) yang mereka berikan kepada Sa’ad bin Ubadah. Mereka diminta agar tidak terpengaruh dengan pidato Sa’ad. 

Untung saja, mereka bersedia menuruti permintaan tiga sahabat senior itu. Padahal, sebelumnya mereka sudah bertekad bulat untuk merebut kursi kekhalifahan sebagai milik mereka dan menjadi penguasa atas seluruh bangsa Arab. Mereka bakal mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai calon khalifahnya.

Setelah semua anggota persidangan tenang, tiga orang sahabat itu duduk di majelis Saqifah Bani Sa’idah dengan dikelilingi kaum Anshar. Hanya tiga orang itulah yang berasal dan kaum Muhajirin. Abu Bakar Ash-Shiddiq segera berpidato kepada kaum Anshar dengan bahasa yang penuh kelembutan dan sarat intisari keagamaan karena persoalan itu sangat penting. 

“Memang, sangat berat bagi bangsa Arab untuk bisa meninggalkan agama nenek moyang mereka yang sudah mendarah daging. Dengan inilah, maka Allah memberikan keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang pertama kali masuk Islam. Mereka adalah kaum Rasululkth saw. yang membenarkan ajaran beliau. Mereka menanggung segala penderitaan bersama beliau dan tetap bersabar walaupun siksaan datang bertubi-tubi menghempas mereka. 

Mereka juga tetap gigih walaupun pihak lawan mendustakan. Setiap lawan Islam pasti akan melecehkan kaum muslimin Muhajirin ini. Tetapi kaum Muhajirin tidak pernah merasa gentar dan surut ke belakang walaupun jumlahnya sedikit. Padahal, semua orang sudah gusar dan marah kepada mereka. 

Kaum Muhajirin inilah yang pertama kali menyembah Allah di muka bumi dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka adalah sahabat Rasulullah saw. dan kerabatnya. 

Mereka pastinya lebih berhak menduduki kursi kekhalifalian ini sepeninggal Rasulullah saw. Tidak ada seorang pun yang berhak melawan mereka kecuali orang-orang yang zalim. Sedangkan kalian, wahai orang-orang Anshar. Tidak ada seorang pun yang bisa membantah keagungan kalian. Tidak pula kaum Muhajirin yang telah lebih dahulu masuk Islam. Allah telah meridhai kalian untuk menjadi penolong agama Allah dan Rasulullah saw. Menuju kampung halaman kalianlah Rasulullah saw. berhijrah. Di antara kalian, terdapat istri Rasulullah saw. dan sahabat beliau. Tidak ada yang lebih berhak setelah kami, kaum Muhajirin yang lebih dahulu masuk Islam, kecuali kalian, wahai kaum Anshar. Kami adalah pemimpin dan kalian menterinya. 

Janganlah kalian menyelesaikan persoalan ini sendiri tanpa musyawarah. Kedudukan khalifah ini bukan menjadi hak kalian.” 

Ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq itu menyisakan kebingungan dan kebimbangan di hati kaum Anshar. Mereka mulai berbisik-bisik untuk meninjau kembali urusan itu dengan jernih, karena ucapan dari Abu Bakar Ash Shiddiq benar adanya. 

Hanya saja, ada sebagian kaum Anshar yang sudah memiliki hasrat terhadap jabatan khalifah. Mereka kasak-kusuk di belakang untuk membahas masalah itu. Kemudian mereka menunjuk seseorang untuk menjadi juru bicara untuk mematahkan argumentasi Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Dengan lantang dia bersuara, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya, kami adalah penolong (Anshar) Allah dan pasukan Islam. Sedangkan kalian, wahai kaum Muhajirin, adalah bagian dari kami. Kalian telah berhijrah dari kampung halaman dengan meninggalkan kaum kalian. Dan kemudian apakah dengan begitu enaknya kalian (kaum Muhajirin) mau mencabut akar kami dan merampas hak kami untuk menduduki khalifah ini.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq segera angkat bicara untuk meruntuhkan pendapat kalangan Anshar itu. Sambil berdiri dia berseru lantang, “Para hadirin sekalian yang terhormat, sesungguhnya, kami kaum Muhajirin adalah orang yang pertama kali masuk Islam. Kaum Muhajirin mempunyai kedudukan yang begitu mulia, wajah yang rupawan dan keturunan yang paling banyak di antara bangsa Arab. Mereka juga kelompok yang paling sayang kepada Rasulullah saw. Kami telah masuk Islam sebeluni kalian. Kalau kalian tidak percaya, silakan baca Al-Qur’an. :
Artinya :“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. ltulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah [9]: 100) 

Kami adalah kaum Muhajinn, sedangkan kalian adalah Anshar yang merupakan saudara seagama kami. Kalian adalah sekutu kami dalam mendapatkan harta rampasan perang. Kalian adalah penolong kami melawan musuh. Semua kelebihan yang kalian klaim tersebut memang sudah semestinya seperti itu. Kalian adalah kelompok orang yang paling berhak mendapatkan pujian di antara semua orang di dunia ini. Bangsa Arab tidak mengenal orang yang memegang tampuk kekhalifahan ini kecuali dari kalangan Quraisy. Baiklah kami menjadi pemimpinnya dan kalian menjadi menterinya.”
Al-Habbab bin Mundzir bin A1-Jamuh Al Anshari panas mendengar ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut. Dia marah besar dan mencaci-maki Abu Bakar Ash-Shiddiq. Umar bin Khaththab memperingatkannya agar tidak mengeluarkan kata-kata ancaman dan ucapan kotor kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Namun, Al-Habbab tidak mau menerima peringatan tersebut, sehingga nyaris saja antara Al-Habbab dan Umar bin Khaththab terjadi baku hantam. Untung saja, Abu Ubaidah bin Jarrah dengan sigap berdiri dan menengahi pertikaian itu. 

Dia berkata kepada kaum Anshar, “Wahai kaum Anshar, kalianlah pihak yang pertama kali mengulurkan tangan untuk menolong. Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali mengubah hal itu menjadi permusuhan.” 

Ucapan Abu Ubaidah tersebut berpengaruh kuat di hati para pendengar, terutama kaum Anshar. Basyir bin Sa’ad akhirnya berdiri dan berpidato di hadapan kaumnya, “Demi Allah, memang harus diakui bahwa kita termasuk golongan yang memiliki banyak kelebihan dalam niemerangi orang-orang musyrik dan kita masuk pertama kali ke dalam agama ini. Namun, sama sekali tidak ada keinginan di benak kita kecuali mengharapkan ridha Allah dan ketaatan kepada Rasulullah saw. serta jalan hidup yang lurus. Hendaknya kita tidak memperpanjang urusan ini.

Kita sama sekali tidak mengejar pamrih duniawi. Karena sesungguhnya, hanya Allah-lah yang mempunyai karunia dan nikmat. Ingatlah, sesungguhnya, Muhammad berasal dari Quraisy. Sudah selayaknya kaumnya itu yang menduduki jabatan khalifah. Demi Allah, aku tidak akan melawan me’reka dalam masalah ini, selamanya. Takutlah kepada Allah. Janganlah kalian menentang dan bermusuhan dengan mereka.” 

Abu Bakar Ash-Shiddiq pun hendak menyudahi perebutan kekuasaan itu. Dia menunggu sampai Basyir bin Sa’ad menyelesaikan ucapannya. Dia kemudian berdiri dan mengangkat tangan Umar bin Khaththab, sementara tangan lainnya mengangkat tangan Abu Ubaidah. Dia meminta kepada semua orang untuk membal’at salah satu dan dua sahabat itu. 

Tetapi, dengan sigap Umar bin Khaththab melepaskan pegangan tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada tangannya dan tangan Abu Ubaidah. Dia justru mengangkat tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan membai’atnya di hadapan hadirin. Para hadirin pun diminta untuk memberikan bai’atnya. 

Dari kalangan Anshar yang pertama kali menyatakan bai’atnya adalah Basyir bin Sa’ad. Dia menepukkan tangannya ke tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai tanda bai’at. Langkah itu diikuti oleh Usaid bin Hadhir, pemimpin suku Aus, yang mewakili sukunya. Semua hadirin lalu memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah Rasulullah saw., kecuali Sa’ad bin Ubadah. 

Selesai pembai’atan di Saqifah, harus ada pembai’atan selanjutnya dari kaum muslimin. Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para sahabatnya kemudian bertolak ke masjid di mana kaum muslimin masih berkumpul di sana. Mereka semuanya membai’atnya menjadi khalifah. 

Kemudian dia berdiri dan menatap mereka. Dia menyampaikan khutbah pertamanya yang sarat kebijaksanaan dan penuh dengan agenda kerja untuk kepentingan kaum muslimin. 

“Wahai umat Islam, dengarkanlah! Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Kalau aku berbuat kebaikan, maka dukunglah aku. Akan tetapi, kalau aku melenceng, maka luruskanlah jalan dan tindakanku, karena kejujuran merupakan sebuah amanah. Kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat bagiku sehingga aku harus memberikan haknya, Insya Allah. Orang yang kuat di antara kalian adalah lemah bagiku. Aku akan mengambil hak darinya, Insya Allah. Jika ada kaum yang tidak melaksanakan jihad, maka hanya kenistaan yang akan menimpa mereka. Sebuah kaum yang gemar melakukan perbuatan keji di mana-mana, maka malapetaka akan menerpa mereka. Taatlah kepadaku sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasulullah saw. Kalau aku bermaksiat kepada Allah dan Rasulullah saw., maka tidak ada kewajiban taat atas kalian. Marilah mendirikan shalat, mudah-mudahan kalian diranmati Allah.

Biografi Abu Bakar berikutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Peperangan Melawan Kaum Murtad (Biografi Abu Bakar Ash Siddiq ra.)

Perang Khaibar (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Biografi Lengkap Rasulullah SAW, bilik islam
Sejak kaum Yahudi diusir dari Madinah, mereka tinggal di Khaibar, kurang lebih 200 mil sebelah utara Madinah. Di sini, mereka hidup merdeka dan tempat itu juga telah dipenuhinya dengan benteng-benteng yang kokoh sehingga pada setiap kesempatan mereka dapat melakukan serangan terhadap umat Islam.

Tidak henti-hentinya kaum Yahudi berupaya hendak menghancurkan Islam; Mereka memandang Perjanjian Hudaibiyah yang secara lahiriah merugikan kaum muslimin itu sebagai kelemahan Islam. Melihat hal itu, timbullah kembali harapan mereka untuk menghancurkan Islam, kemudian mereka bersekutu dengan kaum Ghathafan untuk bersama-sama menyerang Madinah.

Mendengar berita tentang rencana penyerangan tersebut, Nabi segera menyuruh para sahabatnya supaya bersiap-siap untuk menyerbu Khaibar. Orang-orang yang diperbolehkan ikut menyerang adalah orang-orang yang ikut ke Hudaihiyah. Mereka barus rela tidak mendapatkan harta pampasan perang. 


Kurang lebih 1.600 orang dengan 100 pasukan herkuda kaum muslimin itu berangkat menuju Khaibar. Mereka semua merasa optimis akan pertolongan Allah. Mereka masih ingat akan firman Allah yang turun ketika di Hudaibiyah. 

Dengan persiapan persenjataan yang cukup, kaum muslimin sudah berada di depan benteng-benteng Khaibar: Sementara itu, pasukan Yahudi dipimpin oleh Sallam bin Misykam. Kini kedua pasukan tersebut sudah saling berhadapan. Peperangan pun tak dapat dielakkan lagi. Kedua pasukan bertempur mati-matian, hingga Sallam bin Misykam, pimpinan Yahudi pun, berhasil dibunuh ketika itu. 

Selanjutnya, pimpinan. pasukan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im dengan maksud hendak menggempur pasukan muslim. 

Akan tetapi, kaum muslimin memperketat pengepungan atas benteng-benteng Khaibar dengan keyakinan bahwa kekalahan Yahudi menghadapi Muhammad berarti penumpasan terakhir yang mereka lakukan terhadap Bani Israil di negeri-negeri Arab. 

Tak lama kemudian, benteng-benteng musuh jatuh ke tangan kaum muslimin dan hanya tinggal dua buah benteng yang masih berdiri kokoh dan kuat, yaitu benteng Watih dan Sulalim yang termasuk dalam kelompok benteng-benteng Khaibar. 

Sejak saat itu, perasaan putus asa mulai merayap ke dalam hati orang-orang Yahudi. Mereka meminta berdamai. Semua harta benda mereka yang ada di dalam benteng diserahkan kepada Nabi. Nabi mengambil alih seluruh daerah kekuasaan dan harta kekayaan mereka dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan agama mereka serta menarik jizyah (pajak) kepada mereka. 

Beberapa waktu setelah keadaan menjadi aman dan setelah perjanjian perdamaian dibuat, Zainab bin Harits istri Sallam bin Misykam menyampaikan hadiah daging domba beracun kepada Muhammad. Ketika ia bersama para sahabat memakan daging itu, tiba-tiba Nabi mernuntahkannya kembali. Tetapi Basyir bin Bara’ salah seorang sahabat Nabi meninggal saat itu juga. Lalu, Zainab dipanggil dan ia pun mengaku. 

Sebenarnya, kesalahan ini cukup menjadi alasan untuk menghukum kaum itu. Tetapi, Nabi masih memiliki harapan mereka dapat berlaku baik terhadap Islam sehingga hanya Zainab sajalah yang dikenakan hukuman mati.

Demikianlah peperangan yang sangat sengit, yang terjadi antara kaum muslimin dengan Yahudi di daerah pertahanan benteng-benteng Yahudi yang sangat kuat dan kokoh. Peperangan ini terjadi pada permulaan tahun ke-7 Hijriah. Pada akhir tahun tersebut, berangkatlah Nabi bersama kaum muslimin ke Mekah untuk melakukan ibadah haji sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Perang Mu’tah (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Bendahara Negeri Mesir (Kisah Dalam Al-Quran)


Bendahara Negeri Mesir
QS. Yusuf: 54-57

Raja Mesir yang telah mendengar banyak hal tentang Nabi Yusuf merasa kagum kepada beliau. ia melihat Nabi Yusuf sebagai orang yang cerdas, sabar, berbudi pekerti baik nan jujur. Menurut raja. Nabi Yusuf sangat pantas bila diserahi tugas sebagai pemimpin. Raja Mesir pun menawarkan kepada Nabi Yusuf untuk tinggal di istana. Raja memberi tugas kepada Nabi Yusuf untuk mewakilinya dalam memerintah dan mengurus negara. Raja juga memberi tugas kepada Nabi Yusuf untuk memimpin rakyat Mesir menghadapi saat-saat paceklik yang sulit. 

Nabi Yusuf pun tidak menolak tawaran tersebut. Beliau menerima tugas itu dengan syarat ia harus diberi kekuasaan penuh dalam bidang keuangan dan distribusi bahan makanan. Menurut perkiraan Nabi Yusuf, kedua hal tersebut berkaitan satu sama lain dalam hal kesejahteraan rakyat dan kestabilan negara. 


Sang raja yang sudah memercayai Nabi Yusuf segera menyanggupi persyaratan tersebut. Raja mengadakan upacara penobatan untuk mengangkat Nabi Yusuf sebagal wakilnya. Pada hari penobatan tersebut, Nabi Yusuf dinobatkan sebagai wakil raja dengan mengenakan pakaian kerajaan. 

Lehernya dikalungi sebuah kalung emas. Di hadapan para hadirin, raja melepaskan cincin dari jari tangannya dan memasangkannya ke jari tangan Nabi Yusuf, sebagai tanda penyerahan kekuasaan kerajaan. 

Setelah acara penobatan tersebut, Raja Mesir menikahkan Nabi Yusuf dengan Zulaikha yang telah menjadi janda. Futhifar sudab lama meninggal ketika Nabi Yusuf di dalam penjara. 

Zulaikha bahagia karena akhirnya dapat menikah dengan Nabi Yusuf yang sudah lama dicintainya. Nabi Yusuf juga bahagia mendapatkan istri yang cantik dan keluarga terhormat.

“Tidakkah ini lebih baik daripada yang engkau kehendaki dulu?” ucap Nabi Yusuf sambil tersenyum simpul kepada istrinya. 

Nabi Yusuf pun memperoleh dua putra dari pernikahannya tersebut. Putra-putranya itu diberi nama Ifratsim dan Minsya bin Yusuf. 

Sebagai pemimpin yang bijaksana, Nabi Yusuf memulai tugasnya dengan mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang termasuk wilayah kekuasaannya. Dia mempelajari setiap daerah sehingga dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan daerah-daerah tersebut. 

Pada tujuh tahun pertama pemenintahannya di Mesir, rakyat hidup dengan tenteram, aman, dan sejahtera. Bahan pangan terbagi dengan merata dan dapat dijangkau oleh seluruh rakyat. 

Tidak lupa, Nabi Yusuf menyimpan sebagian basil panen rakyatnya untuk persediaan pada masa paceklik. Berkat kecakapan Nabi Yusuf dalam memerintah. di masa paceklik rakyat tidak menderita kelaparan. Bahkan, persediaan kerajaannya dapat menolong negara tetangga yang sedang mengalami kesulitan.

Kisah dalam quran berikutnya bisa dibaca pada postingan berjudul : Bertemu Saudara (Kisah Dalam Al-Quran)

Sayap Malaikat Dan Keindahan Malaikat

sayapsayap malaikat, bilik islam
Sayap-sayap Malaikat
Malaikat memiliki sayap-sayap sebagaimana yang telah Allah Ta’ala kabarkan kepada kita. Diantara mereka ada yang memiliki dua pasang sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak lagi dari itu. Firman Allah :
Artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. “ (QS. aathir: 1) 

Makna dan, “Allah menjadikan mereka sebagai sosok yang bersayap,” yaitu sebagian mereka (Malaikat) memiliki dua pasang sayap, ada yang lebih banyak lagi.

Indahnya Malaikat
Allah Ta’ala menciptakan Malaikat dalam penampakan yang indah dan mulia. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang Jibril,
Artinya: “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai keteguhan maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa).” (QS.An-Najm:5-6).

Ibnu ‘Abbas RA, berkata (Dzu Marratin) dalam ayat QS. An-Najm tersebut, yaitu “indah untuk dilihat.” Qatadah RA berkata, “yaitu memiliki postur yang tinggi lebih indah.” Ada pula yang mengatakan (Dzu Marratin), yaitu “yang memiliki kekuatan.” Tidak ada pertentangan di antara pendapat-pendapat tersebut, yaitu lafadz tersebut artinya kuat dan indah untuk dilihat. 

Sesungguhnya manusia juga telah menetapkan bahwa Malaikat itu memliki penampakan yang indah, sebagaimana mereka menetapkan bahwa setan itu memiliki penampakan yang buruk. Oleh karena itu, dapat anda sekalian saksikan bahwa mereka menyerupakan orang yang tampan dengan Malaikat. 

Perhatikan apa yang dikatakan para wanita mengenai Yusuf AS, tatkalah mereka melihatnya.
Allah SWT berfirman :
Artinya: “Maka ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, Ia pun mengundang perempuan-perempuan lain dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Ia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka “Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri. Seraya berkata,” Maha sempurna Allah ini bukan manusia. ini benar-benar malaikat yang mulia.”(QS. Yusuf:31).

Adakah Keserupaan Bentuk dan Rupa antara Malaikat dan Manusia?

Imam Muslim RA meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, demikian juga Imam At-Tirmidzi RA dalam kitab Sunahnya, dan sahabat Jabir Ia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda. “Telah diperlihatkan kepadaku para Nabi. Ternyata diantara mereka ada Musa, seolah-olah ia bagian dari orang-orang Kabilah Syam-ah.Dan aku melihat ‘isa bin Maryam, aku melihat ternyata orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas‘ud. Beliau melanjutkan sabdanya:
Artinya: “Dan aku juga melihat Ibrahim, aku lihat ternyata orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (yaitu beliau sendiri). Dan aku juga melihat Jibril, dan aku lihat ternyata orang yang paling mirip dengannya adalah Dihyah. 

Apakah keserupaan ini benar-benar terjadi (secara hakiki) antara rupa Jibril yang sesungguhnya dengan rupa Dihyah al-Kalbi ? Ataukah keserupaan tersebut terjadi disaat malaikat Jibril menampakan diri dengan rupa manusia ? Yang benar adalah yang terakhir (yaitu terjadi disaat Jibril menampakan diri dengan rupa manusia).

Sebab Turunnya Surat Al Baqarah Ayat 112 (Agama Di Sisi Allah)

asbabun nuzul, bilik islam


bilik islam


"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. A1-Baqarah : 112) 


Sabab Al-Nuzul
Saat utusan Nasrani Najran datang ke Madinah, ia bertemu dengan seorang Yahudi di majlis Rasulullah Saw., kemudian orang Yahudi berkata bahwa surga hanyalah milik orang Yahudi. Orang Nasrani itu lantas berkata bahwa surga hanyalah milik orang Nasrani. Allah kemudian menurunkan ayat di atas. 

Hadits
“Dari Abu Sufyan Ra. dalam kisahnya dengan Hiraklius. Hiraklius Berkata: ‘Aku bertanya kepadamu, Apa yang dia perintahkan kepadamu?’ Kamu menjawab bahwa dia memerintahkanmu menyembah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan melarang kalian menyembah berhala, memerintahkan kamu sekalian mengerjakan shalat, jujur, dan menjaga diri. Bila apa yang kamu katakan ini benar, maka Ia akan menguasai tempat pijakan dua kakiku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Penjelasan
Allah Swt. tidak membenarkan anggapan masing-masing golongan dari Ahli Kitab serta menolak anggapan mereka yang batil itu, karena rahmat Allah tidak hanya dimonopoli oleh satu bangsa atau satu golongan. Rahmat Allah akan didapat oleh siapa saja yang berusaha mendapatkannya dengan ketentuan ia harus beriman dan beramal shaleh. Sebagai ketegasan, Allah Swt. memberikan pernyataan bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan membuktikan imannya itu dengan amal yang ikhlas, maka ia akan memperoleh pahala. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik seorang hamba.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa iman semata tidak cukup untuk menjamin tercapainya kebahagiaan seseorang, akan tetapi hendaknya disertai amal shaleh. Allah Swt. telah menetapkan dalam Al-Qur’an bahwa apabila disebut kata-kata iman selalu diiringi oleh amal baik, seperti tampak dalam firman-Nya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupun hanya sedikit. (QS. An-Nisa’: 124).
 

Dan firman-Nya lagi :
“Maka barangsiapa yang mengerjakan (barang sedikit pun) dari amalan-amalan yang saleh sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu.” (QS. A1-Anbiya’: 94)

Apabila mereka itu telah berserah diri kepada Allah dan beramal, maka mereka tidak perlu merasa khawatir dan merasa sedih. Lain halnya dengan orang-orang yang tersesat oleh berhala dan tersesat dari petunjuk Allah. Di antara tabiat orang-orang mukmin ialah apabila mereka ditimpa oleh sesuatu yang tidak disenangi, mereka akan menyelidiki sebab-sebabnya dan berusaha keras untuk mengatasinya. Kalau belum teratasi, mereka menyerahkan persoalan itu kepada kekuasaan Allah. Niat mereka sedikit pun tidak kendor dan hati mereka pun menyadari bahwa untuk mengatasi semua kesulitan itu ia harus menyerahkan diri kepada kekuatan yang hakiki, yaitu Allah Swt. Sedang tabiat orang-orang yang tidak beriman ialah takut menghadapi masa depan mereka dan selalu resah hati dalam menghadapi segala sesuatu yang akan menimpa. Maka, apabila mereka ditimpa malapetaka, mereka kebingungan tak tahan menghadapi kesusahan itu, dan tak dapat mencari jalan keluar.

Penjelasan tema di atas juga dapat ditelususri dalam ayat-ayat berikut: QS. Ali Imran: 19, 83, 85, QS. Al-Maidah: 3, QS. Al-An’am: 14.

Tabir Wanita