Wednesday, 5 October 2016

Keutamaan Dan Manfaat Shalawat Nuuridz Dzati (Faedah Dan fadhilah Shalawat)



ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ALAA SAYYIDINA MUHAMMADININ NUURIDZDZAATI WASSIRRIS SAARII FIl SAA-IRIL ASMAAI WASHSHIFAATI WA’ALAA AALIHI WA SHAH BIHI WA SALLIM. 


Artinya :

Ya Allah limpahkanlah rahmat, kesejahteraan dan berkah kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. yang bercahaya Dzatnya, yang baik perjalanan hidupnya dalam segala nama dan sifat. Dan semoga rahmat melimpah pula kepada segenap keluarga beliau dan sahabat beliau serta berilah keselamatan. 

Khasiatnya :
Bila shalawat tersebut di atas dibaca tiap-tiap hari sebanyak 500 kali sampai berjumlah 100.000 kali, insya Allah apa yang membebani dan segala urusan (dunia) ini akan terusir hilang.

Shalawat Untuk Mendapatkan Kegembiraan Dan Dikabulkan Do’anya

Shalawat Untuk Mendapatkan Kegembiraan, Shalawat Agar Dikabulkan Do’anya

ALLAAHUMMA SHALL! ‘ALAA MUHAMMADIN F’IL AWWAL IINA WA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIN FIL AAKHJRIINA WA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIN FINNABIYYINA WA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIN FIL MURSALIINA WA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADI N FIL MALA-ILA’LAA ILAA YAUMIDDIIN.
 
Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad SAW. terhadap orang-orang dahulu, limpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad saw. terhadap orang-orang akhir, limpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad kepada semua Nabi, dan lmpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad kepada semua rosul, dan limpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad kepada malaikat yang di langit sampai hari kiamat.
 
Hasiatnya :
Barangsiapa mengucap/membaca shalawat ini sebanyak 3 (tiga) kali di waktu pagi dan tiga kali di waktu sore hari maka leburlah dosanya. Dia (pembaca/pengucap) Itu akan selalu riang tak pernah merasa sedih, dan dlkabulkanlah doa’nya, terpenuhi angan-angannya dan dapat melihat siapa-siapa yang memusuhinya, sehingga Ia dapat bersiap-siap sebelum orang yang memusuhinya itu mencelakakannya atau berbuat sesuatu atasnya.

Tuesday, 4 October 2016

Biografi Al-Battani (Pelopor Peradaban Islam)


AL- BATTANI
(244-317 H/ 858-929 M)

Dia adalah Abu Abdullah Muhammad Ibnu Jabir Ibnu Sinan ar-Raqqi al-Harrani, dikenal sebagai al-Battani. Dia dinamai sebagai ar-Raqqi setelah Raqqa, sebuah kota di Eufrat di Irak. Dia dikenal di Barat pada Abad Pertengahan sebagai Albategnus atau Albategni. 

Al-Battani lahir di “Battan” dekat Harran, terletak pada salah satu aliran Sungai Eufrat. Tanggal kelahirannya tidak jelas, tetapi kemungkinan dia lahir pada tahun 235 H/858 M. Mengenai tanggal wafatnya, “semua ahli sejarah menyepakati dia wafat pada 317 H/ 929 M, dekat kota Moussul di Irak. Dia dihormati sebagai salah satu ahli astronomi besar bangsa Arab. Dia mencurahkan seumur hidupnya dari tahun 264 H sampai wafatnya untuk memantau planet-planet dan bintang-bintang. Al-Battani pertama sekali diajari oleh ayahnya, Jabir Ibnu al-Battani, yang juga dikenal baik sebagai ilmuwan. Dia kemudian pindah ke Rakka di mana dia mempelajari karya-karya para pendahulunya terutama karya Ptolomeus. Dia mengabdikan dirinya meneliti dibidang ilmu perbintangan, ilmu trigonometri, ilmu aljabar, ilmu geometri, dan ilmu geografi. Dia menghabiskan pekerjaannya menempuh antara “Ar-aqqah”dan “Antakia” di Syria, di mana dia mengadakan sebuah tempat observasi sesuai dengan namanya (Observatorium al Battani). 

Ensiklopedia Islam mencatat al-Battani sebagai seorang yang terkenal dalam hal pemantauan planet-planet dan salah satu ahli hitung yang terkenal di bidang geometri, letak planet-planet, dan menghitung bintang. Semua sarjana bangsa Eropa mengakui bahwa al-Battani lebih menguasai ilmu pengetahuannya daripada ahli astronorni Yunani Ptolomeus. Ahli astronomi Perancis Lalande mengatakan bahwa al-Battani adalah salah satu diantara 20 ahli astronomi terbaik yang eksis di seluruh dunia.

Kadari Tawkan menyatakan dalam bukunya “Budaya Keilmuan Bangsa Arab dalam Ilmu Matematika dan Ilmu Astronomi bahwa “Kajori” dan “Halle” mempertimbangkan al Battani merupakan salah satu ilmuwan yang menghasilkan karya besar. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai Ptolomeus dari Arab. George Sarton menggambarkannya sebagai ahli astronomi termasyhur pada masanya dan salah satu sarjana Islam terkemuka. 

Kontribusinya terhadap Ilmu Astronomi
Kontribusi terpentingnya dalam ilmu astronomi adalah penemuannya tentang letak bintang, nadir, dan penentuan titik-titik bintang di langit. Dia juga tekun dengan ketelitian yang luar biasa mendalami kecondongan gerhana, lamanya tahun tropis, musim, dan kebenaran serta lingkaran tengah matahari. Dia menentang pandangan Ptolomeus dan menunjukkan bahwa letak matahari berubah-ubah. Kebenaran observasinya tentang bulan dan gerhana matahari digunakan oleh orang-orang Eropa (Dunthorne tahun 1749 M) untuk menentukan percepatan sekuler dan pergerakan bulan sepanjang satu abad penuh.

Dia juga meralat orbit-orbit bulan dan planet-planet yang diperkuat sebuah daftar tentang letak-letak baru mereka. Di samping itu, dia membandingkan letak beberapa bintang termasuk ke dalamnya daftar pergerakan planet-planet yang terkenal yang digunakan para ahli astronomi selama barabad-abad. 

“Nellino” mengakui bahwa dia “menemukan teori baru yang menerangkan keterampilannya dan kemampuannya dalam mencari arti untuk menerangkan tentang bagian bulan yang tampak”.

Kontribusinya terhadap Ilmu Matematika
Al-Battani adalah salah satu sarjana pertama bangsa Arab yang menggunakan sinus sebagai pengganti titik lingkaran. Dia juga menggunakan tangen dan kotangen dalam ilmu ukur yang berbentuk bola. Dia juga menggunakan aljabar dalam memecahkan masalah-masalah yang mana di yunani menggunakan ilmu geometri. Al-Battani adalah penemu ilmu trigonometri dan yang berusaha keras mengembangkan penelitian di bidangnya.

Karya-karya Besarnya
Di antara karya-karya besarnya sebagai berikut:
“zij Assabi” adalah penulisan terpentingnya. Berisikan penemuan-penemuan tentang observasi planet-planet, dia menjalankannya pada tahun 299 H, daftar pergerakan benda-benda angkasa, dia menemukan sejalan dengan beberapa karya astronomi yang ia kerjakan dan tahun 264 sampai 306 H. Pencatatannya yang pertama “Zij” atau ephemeris (“Zij” penunjukan sebuah istilah bahasa Persia terhadap ephemeris yang lama) berisikan kebenaran dan informasi akurat. Buku yang berpengaruh besar dalam perkembangan ilmu astronomi dan matematika sekitar masa kebangkitan bangsa Arab-Islam atau pada saat di luar masa kebangkitan bangsa Eropa. Beberapa ilmuwan Arab menyebutkan dalam perhitungan mereka, beberapa darinya dikutip atau isinya diinterpretasikan beberapa bagian. 

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Tivok Platoof pada abad ke-12 di bawah judul sciencia de Sttellarum, : IImu Perbintangan, dan telah dicetak di Nuremberg tahun 1537 M. Pada abad ke-13, Raja Castile, Alfonso X, meminta penerjemahan buku ini dari bahasa Arab ke bahasa Spanyol. Sebuah naskah terjemahan yang tidak lengkap terdapat di Paris. Penggandaan buku ini tersedia di Vatikan. Carlo Nellino menerbitkan edisi asli bahasa Arab meniru dari salinan El Esconjal dalam tiga volume di Roma tahun 1899-1907 disertai oleh penerjemahan bahasa Latin dan menguraikan beberapa topik. 

“Kitab Ma’rifatal-Bi’ruj fimaa bayna Arba’ al-Falak” dimana al-Battani menghubungkan pemecahan matematika terhadap permasalahan ilmu astrologi untuk orientasi observasi;
 
Risala fi Mikdar al-Ittissalat;
 
Risala fi Tahqiq Akdar al-Ittisalat;
 
Pada dua risalah terakhir, al-Battani menentukan pembahasan kesesuaian dua planet sebagai garis lintang dan garis bujur, apakah mereka berada pada satu orbit yang sama atau keseluruhannya berada di luar bidang. 

“Charch al- Maqalat al- Arba’ Libatlimus” Ptolomeus mengakhiri “Almagest”-nya dengan risalah keempat ini yang mana ia membagi persoalan-persoalan astrologi dan pengaruh bintang pada keadaan sekular. 

Kitab Ta’adil al Kawakib. Al-Battani belajar perbedaan antara pergerakan planet pada orbitnya seperti sebuah nilai konstan dan gerakan nyatanya yang berbeda dari satu posisi dengan lainnya. 

Kesimpulannya, al-Battani adalah satu di antara orang jenius terbesar di dunia yang mengembangkan teori-teori penting dan memperkaya ilmu pengetahuan manusia sesudahnya dengan menambahkan penemuan-penemuan baru di bidang astronomi, aijabar, dan trigonometri. Dia pantas diakui untuk observasi planet- planet dan pergerakan benda-benda angkasa. Beberapa dari temuannya berlanjut menggerakkan kepentingan para sarjana dan kebanggaan mereka.

Apakah Membaca Al-Quran Tanpa Mengerti Makna Dan Artinya Akan Mendapat Pahala ?

membaca al quran tanpa mengerti makna
Tanya : Membaca Al-Quran namun tidak mengerti artinya apalagi maksudnya, apakah bisa mendapatkan pahala sebagai ibadah ? (Kurniawan, Magelang)

Jawab : Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad tidak dinamakan Al-Quran. 

Al-Quran diturunkan dengan maksud menyempumakan ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Di dalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, cerita-cerita sejarah, peraturan-peraturan dan tata cara hidup manusia baik dalam kedudukannya sebagai hamba Allah maupun sebagai makhluk sosial dan lain-lain.

Al-Quran juga diturunkan sebagai pedoman dan pegangan hidup bagi umat manusia yang harus dipatuhi dan dilaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebagai wahyu Allah, maka mengikuti apa yang ada di dalamnya bisa membahagiakan manusia saat hidup di dunia maupun nanti pada kehidupan di akhirat yang menjadi tujuan hidup setiap manusia.

Al-Quran berbeda dengan hadis Qudsi. Meskipun sama-sama diturunkan kepada Nabi Muhammad, namun Al-Quran mempunyai kelebihan. Keistimewaan itu setiap orang yang membacanya akan mendapatkan pahala sebagai ibadah. 

Dalam kitabnya Syaikh Zakaria Al-Anshari menjelaskan, Al-Quran adalah almuta‘abbadu bitilawatihi, artinya membaca Al-Quran termasuk sebagai ibadah, yang tentu saja akan mendapat pahala apabila itu dilakukan, meskipun dia tidak tahu maksud dan artinya.

Apa Hukum Membawa Al-Quran Bagi Anak-anak ?

hukum anak kecil membawa al quran
Tanya : Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ) merebak di mana-mana. Peserta didiknya semuanya anak kecil. Apakah mereka boleh memegang atau membawa mushaf tanpa berwudhu dulu ? Soalnya kalau disuruh wudhu terus-menerus agak memberatkan untuk ukuran anak seumur mereka. Solusinya bagaimana? 

Jawab : Dalam agama Islam, Al-Quran jelas memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Quran mempunyai banyak keistimewaan yang tidak terdapat pada kitab suci lain sebelumnya, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.

Apalagi dibandingkan dengan kitab maupun buku-buku yang tidak bersumber dari wahyu. Di antaranya, kita tidak boleh menyentuh atau membawa mushaf dalam keadaan hadas, artinya harus berwudhu lebih dahulu. Hal itu sebagai ungkapan penghormatan (ihtiram) kita terhadap Al-Quran. Tetapi apakah hal itu berlaku untuk semua orang dan dalam setiap kondisi ? Ternyata tidak. 

Keharusan bersuci terlebih dahulu itu tidak berlaku untuk Semua orang dan dalam setiap waktu. Ada beberapa pengecualian seseorang diperbolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan hadas. Pengecualian itu karena mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Imam Nawawi dalam salah satu karyanya, At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, membicarakan masalah tersebut secara agak panjang lebar. Diterangkan bahwa anak kecil yang sudah mumayiz (pandai), yakni sudah bisa makan-minum dan istinja’ sendiri diperbolehkan menyentuh atau membawa mushaf tanpa wudhu untuk kepentingan belajar. 

Melanggengkan status suci dengan berwudhu secara kontinyu bagi anak kecil dipandang bukan perkara mudah. Malah kalau hal ini diterapkan secara ketat dengan tanpa memperhatikan pelakunya dalam hal ini anak-anak yang hendak belajar Al-Quran, bisa-bisa tidak mau mengaji. Dalam hal itu, para fuqaha sangat bijaksana, membedakan anak kecil dan orang dewasa dalam masalah menyentuh mushaf.

Dengan demikian, dia belum saatnya dibebani kewajiban-kewajiban yang berlaku untuk orang dewasa. Pertimbangan mereka adalah li al-masyaqqah, karena memberatkan. Memang ada kaidah, al-masyaqqah tajlib at-taisir, hal-hal yang memberatkan bisa menimbulkan kemudahan. 

Bisa juga kita kaitkan dengan kaidah yang lain, daf’u al mufasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih, menghindari mafshadah lebih diutamakan atau didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Berwudhu ketika hendak menyentuh mushaf adalah mashlahah. Tidak mau mengaji Al-Quran, merupakan mafsadah. Selain anak kecil untuk keperluan belajar, dalam situasi darurat, orang dewasa (mukallaf) juga diperkenankan menyentuh dan membawa mushaf tanpa berwudhu. Misalnya, khawatir mushafnya terbakar, umpamanya terjadi kebakaran rumah, di dalamnya Anda menemukan mushaf yang nyaris terbakar api. Tidak mungkin Anda mengambil air wudhu terlebih dahulu, karena keburu mushafnya habis dilalap api. 

Dalam situasi darurat seperti itu, Anda diperbolehkan mengambil mushaf tersebut meskipun dalam keadaan berhadas. Begitu juga kalau khawatir mushaf yang ada terkena najis, atau tenggelam ke dalam air.

Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Muhammad saw. setiap tahunnya selalu pergi meninggalkan kota Mekah untuk menghabiskan bulan Ramadhan di Gua Hira yang berjarak sekitar beberapa mil dari daerah yang penuh hiruk-pikuk. Di puncak sebuah gunung di antara pegunungan yang menaungi Mekah; di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan dan hal-hal negatif; di sana hanya ada ketenangan dan kesunyian. Muhammad saw. mempersiapkan bekal untuk malam-malam yang panjang dan menghindar dari kehidupan dunia untuk menghadap kepada Tuhannya dengan hati yang penuh kerinduan. Di gua yang sempit dan tertutup inilah hati Muhammad saw. merenung memikirkan gelombang kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah, kerugian, permusuhan, peperangan dan perpecahan. Namun, beliau hanya bisa pasrah, tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. 


Di gua terpencil ini, sosok yang suka melakukan perenungan ini mencoba merenungi kehidupan para utusan Allah terdahulu. Didapatinya mereka tidak serta-merta dapat melakukan perubahan kecuali setelah berjuang untuk itu. 

Di Gua Hira Muhammad saw. beribadah dan mempertajam hatinya, menjernihkan ruhaninya dan bertaqarrub kepada kebenaran serta menjauh dari kebatilan hingga beliau sampai pada derajat kejernihan hati yang dapat membuka celah hal-hal yang gaib. mimpinya pun begitu jelas sejernih pagi yang cerah. 

Di gua ini, Muhammad saw. berinteraksi dengan penguasa jagat raya ini. Sebelumnya padang pasir telah menjadi saksi atas saudara Muhammad saw., dia meninggalkan Mesir untuk melarikan diri, melewati banyak perkampungan untuk memperoleh keamanan dan ketenangan hati bagi dirinya dan kaumnya hingga dia melihat sebersit cahaya dari sisi Wadi Al-Aiman. Ketika dia mencoba mendekatinya, ternyata dia mendengar sebuah seruan suci memenuhi telinganya dan masuk ke dalam hatinya:
“Sesungguhnya, Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha [20]: 14) 

Semburat cahaya yang keluar dari api itu telah melampaui beberapa abad untuk kembali menyala di sekitar gua tempat seseorang yang sedang bertahannus (memisahkan diri dari keramaian untuk menemukan kebenaran) dan berusaha membersihkan segenap jiwa dan raganya dari kotoran dan keburukan Jahiliah. 

Tapi, cahaya itu bukanlah dalam bentuk api yang menyilaukan orang yang melihatnya, melainkan dalam bentuk sinar wahyu yang penuh berkah, yang langsung menghujam ke dalam hati orang yang pantas menerimanya dalam bentuk ilham dan petunjuk, peneguhan hati dan pertolongan (inayah). 

Tiba- tiba Muhammad saw. terperanjat ketika mendengar suara Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah.” Beliau justru balik bertanya, “Apa yang harus kubaca?” 

Tanya-jawab itu terulang beberapa kali hingga akhirnya turunlah beberapa ayat pertama dari A1-Qur’an, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (A1-A1aq [96]: 1-5

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel :  Tegar Berdiri Menghadapi Badai (Biografi Khadijah ra.)

Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Sesungguhnya, Nabi saw. memiliki segala kebaikan yang pernah dimiliki seseorang pada masa pertumbuhannya. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah ada; selalu berpikir positif, memiliki pandangan yang benar, dikenal cerdas, lugas, dan memiliki visi hidup yang jelas. 

Beliau selalu menggunakan pikirannya untuk menemukan sebuah kebenaran. Akalnya yang jernih dan fitrahnya yang murni selalu dikedepankan ketika menilai kondisi masyarakat yang ada pada waktu itu. Beliau selalu menjauhkan diri dari berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh kaumnya dan berinteraksi dengan mereka secara wajar. Beliau hanya ikut dan tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan yang positif, tapi beliau selalu menghindari berbagai kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat. 


Rasulullah saw. tidak pernah minum khamar; tidak mau makan daging hewan yang disembelih sebagai sesajian bagi berhala; tidak pernah ikut memperingati hari raya atau pesta rakyat dengan menyembah berhala. 

Sejak muda beliau telah menjauhkan diri dari model peribadatan seperti itu, bahkan hal yang demikian merupakan sesuatu yang paling beliau benci sehingga beliau tidak pernah bisa menerima kalau mendengar orang bersumpah atas nama Lata dan Uzza. 

bilik islam
Tentu saja, Allah swt. telah menjaganya dari hal-hal yang demikian. Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., dia herkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Rasulullah saw. dan Abbas ikut mengangkuti bebatuan. Abbas berkata kepada Nabi saw., Angkat kainmu sampai ke atas lutut supaya tidak terkena batu. Beliau pun menunduk, lalu mendongakkan kepalanya menatap langit dengan kedua matanya, kemudian tersadar. Beliau lalu berseru, ‘Kainku, kainku.’ Maka beliau lalu mengencangkan kainnya. Dalam riwayat lain disebutkan, “Sejak saat itu aurat beliau tidak pernah tersingkap.” 

Rasulullah saw. dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan akhlak dan kebaikan budi pekertinya. Beliau adalah orang yang paling muru’ah (memiliki sifat keperwiraan); baik terhadap tetangga, menyayangi sesama, jujur, lembut, terjaga jiwanya, mulia sifatnya, banyak berbuat kebajikan, menepati janji, menjaga amanah sehingga kaumnya menjulukinya Al-Amin. Jadi, segala bentuk kebaikan terhimpun pada diri Rasulullah saw. Sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mu’minin Khadijah ra., beliau menanggung beban, berusaha membantu orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Saturday, 1 October 2016

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab Menurut Fikih Islam ?

hukum berbeda madzhab
Tanya : Dalam hal ibadah saya sering dibuat bingung oleh adanya aturan aturan yang berbeda dan beberapa madzhab. Hal itu terkadang melahirkan keraguan akan keabsahan ibadah saya itu. Katakanlah masalah wudhu, ada yang mengatakan bahwa memegang alat kelamin tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sementara yang lain mengatakan batal apapun alasannya, terus terang saya sering memilih yang ringan. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ? (Tati Nurjannah, Wonokromo) 

Jawab : Dalam kehidupan beragama, masyarakat umumnya memang mengenal dan mengikuti beberapa macam madzhab, setidak-tidaknya 4 (empat) madzhab yang terkenal; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan sebagian besar masyarakat meletakkan salah satu madzhab tersebut sebagai sumber hukum. Hanya kadang-kadang dalam kondisi tertentu untuk tidak melawan budaya konvensional, seseorang harus berpaling ke madzhab lain. Dengan demikian adanya bermacam-macam madzhab itu memungkinkan seseorang untuk beralih madzhab secara total ataupun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan saja.

Dalam konteks ibadah, madzhab-madzhab yang ada itu terkadang mengandung perbedaan hukum atau sering disebut khilafiyah. Hal ini muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap Al-Quran dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kita sebagai orang awam tidak harus tahu semuanya, namun cukup hertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau terbaik daripada yang lain.

Hal mi sebagaimana disampaikan Imarn Zakariya Yahya Al-Anshari dalam kitabnya Lub Al-Ushul. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AI-Mustashfa bahkan mengatakan keharusan bertaqlid bagi orang awam adalah ijma’ sahabat.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, di antaranya tidak diperkenankan tatabu’u ar-rukhash, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda kedalam problema tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat atau qaul bagi dua madzhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudhu; Imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota badan yang dibasuh, sedang Imam Maliki mewajibkannya. Dan dalam hal memegang farji, Imam Syafi’i berpendapat secara mutlak hal itu membatalkan, sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak membatalkan bila tidak dengan syahwat. Nah, bila seseorang berwudhu dan tidak menggosok anggota badan dimaksud karena taqlid Imam Syafi’i, tetapi kemudian meraba farji tanpa syahwat, dilanjutkan melakukan shalat, maka shalat yang dilaksanakan batal dengan kesepakatan kedua Imam. Ini karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- menurut Syafi’i maka wudhunya telah batal. Begitu juga ketika seseorang tidak menggosok anggota badan dimaksud, maka wudhunya juga tidak sah menurut Maliki. 

Jadi sebenamya pertanyaan di atas adalah gambaran adanya khilafah yang sudah diakomodasi oleh madzhah. Bagi mereka yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal sebab memegang alat kelamin tanpa syahwat, sudah benar asalkan anggota badannya yang wajib di basuh harus digosok seluruhnya. Ini adalah cara berwudhu Malikiyah, sedangkan yang mengatakan batal memegang alat kelamin juga tidak salah karena sesuai dengan aturan yang ditetapkan Syafi’i. Dalam hal ini Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota wudhu yang wajib dibasuh. Dengan demikian, seseorang boleh memakai keduanya secara lengkap dan terpisah satu sama lain. Kalau mau pakai cara Syafi’i maka pakai semua aturannya mulai dari syarat rukunnya sampai hal-hal yang membatalkannnya. Begitu pula kalau menginginkan menggunakan madzhab yang 1ain.

Tabir Wanita