Khadijah melihat bahwa kecintaan Zaid kepada Rasulullah saw. merupakan suatu sikap yang tidak dapat tergantikan oleh dunia dan segala isinya yang hanya merupakan kenikmatan semu.
Waktu itu, Zaid kecil bepergian bersama ibunya untuk mengunjungi kaumnya. Di perjalanan, sekelompok perampok berkuda menyerang mereka dan menculik Zaid. Mereka lalu menjualnya di Pasar ‘Ukaz, pasar yang sangat terkenal di Mekah waktu itu, di sana juga terdapat perdagangan budak. Dia dibeli oleh Hakim bin Hazam seharga 400 dirham untuk dihadiahkan kepada bibinya Khadijah.
Ayah Zaid terus berusaha mencari anaknya itu ke seluruh penjuru namun tidak berhasil menemukannya. Hatinya seakan tercabik-cabik oleh kesedihan atas kehilangan anak yang dicintainya itu. Kesedihan yang amat dalam itu membuatnya mampu untuk menyusun sebuah untaian syair yang amat menyayat hati pendengarnya.
Dia berujar, “Aku menangisi Zaid tanpa aku tahu apa yang dilakukannya sekarang. Apakah aku masih boleh berharap dia hidup atau ajal tetah lebih dulu menjemput…Demi Allah aku sungguh tidak tahu Apakah dia diculik oleh lautan atau pegunungan… Matahari selalu mengingatkanku padanya setiap kali dia terbit…Namun ingatan itu sirna seiring dengan terbenamnya…Aku akan terus berjalan di muka bumi sampai menemukannya…Aku takkan pernah bosan hingga unta-lah yang merasa bosan…Itu kalau aku masih hidup. Kalau ajal lebih dulu menjemput, maka setiap orang memang akan binasa meski penuh dengan cita-cita”
Pada saat musim haji tiba, beberapa penyair dari suku Zaid melantunnkan untaian syair tersebut seraya melakukan thaaf di sekeliling Baitul Atiq (Ka’bah). Takk disangka mereka berpapasan dengan Zaid. Mereka langsung mengenalinya dan begitu juga halnya dengan Zaid. Mereka lantas saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Sctelah selesai dari manasik haji, mereka pun kembali ke rurnah masing-masing. Mereka lalu memberitahu Haritsah tentang apa yang mereka lihat dan dengar.
Mendengar berita tersebut Haritsah langsung bersiap melakukan perjalanan untuk menjemput sang putra. Dia juga menyiapkan sejumlah harta untuk digunakan sebagai penebus anak yang amat disayanginya itu. Bersama saudaranya yang bernama Ka’ab, dia bergegas melakukan perjalanan menuju Mekah.
Sesampainya di Mekah, mereka bertanya tentang keberadaan Nabi saw. Mereka diberitahu oleh orang-orang yang mereka temui bahwa beliau berada di masjid. Keduanya lalu masuk ke dalam masjid untuk menemui beliau dan berkata, “Wahai putra Hasyim, wahai putra sang pemimpin kaumnya, kalian adalah pemilik Tanah Haram dan tetangganya. Kalian membantu orang yang mengalami kesulitan dan memberi makan para tawanan. Kami datang untuk menjemput anak kami yang berada di tanganmu. Maka kasihanilah kami dan berbaik hatilah kepada kami agar kami dapat rnenebusnya sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.”
Rasulullah saw. bertanya: “Siapa yang kalian maksud?”
Jawab mereka, “Zaid bin Haritsah.”
Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apa mungkin dengan cara lain?”
Mereka bertanya, “Cara yang bagaimana?”
Beliau berkata, “Panggilah dia dan suruh dia untuk memilih. Jika dia memilih kalian, maka dia menjadi milik kalian tanpa tebusan sepeser pun. Jika dia memilih aku, demi Allah bukan aku yang memilihkan untuknya, melainkan itu adalah pilihannya sendiri.”
Mereka berkata, “Sungguh, engkau telah berbaik hati kepada kami.”
Rasulullah saw. lalu memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Apa kamu mengenali mereka Zaid ?”
J awab Zaid, “Ya, ini ayahku dan pamanku.”
Rasulullah saw. berkata lagi padanya, “Kamu pun tentu telah mengenal siapa aku dan bagaimana sayangnya aku kepadamu, maka silakan kamu memilih antara aku dan mereka.”
Zaid lalu berkata, “Aku tidak mungkin mernilih orang selain engkau. Engkau adalah ayah sekaligus pamanku.”
Keduanya lalu berkata, “Celakalah engkau hai Zaid, kamu lebih memilih menjadi budak daripada hidup bebas bersama ayah, paman, dan seluruh keluargamu?”
Zaid menjawab, “Ya, Ayah! Aku telah menemukan pada diri orang ini sesuatu yang membuatku tidak mungkin memilih orang lain selain dia selamanya.
Ketika Rasulullah saw menyaksikan hal tersebut, beliau lantas keluar menemui khalayak dan berkata, “Wahai semua yang hadir, saksikanlah, sesungguhnya, Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi pewirisku dan aku menjadi pewarisnya.”
Setelah melihat yang demikian, ayah dan paman Zaid pun merelakan sang anak lalu mereka kembali ke kaumnya.
Sejak saat itu, Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad hingga Islam datang. Rasulullah saw. lalu menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy. Ketika Zaid menceraikannya, Rasulullah saw. lalu menikahinya.
Orang-orang munafik menyebarkan isu negatif, mereka mengatakan, “Muhammad menikahi istri anaknya sendiri.” Maka turunlah ayat, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (A1-Ahzab [33]: 40) Lalu Rasulullah membaca ayat sebelumnya, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka....” (A1-Ahzab [33]: 5) Maka Zaid pun kembali dipanggil Zaid bin Haritsah.
Biografi selanjutnya bisa dibaca pada potingan yang berjudul : Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)