Tanya : Bagaimana hukumnya mempercepat haid dengan obat-obatan atau ramuan ? Kalau darah yang keluar kurang dari minimal haid, yaitu sehari semalam (24 jam) karena pengaruh obat apakah disebut darah fasad (bukan haid)? Dan apakah orang yang menggunakan obat tersehut dianggap mengubah sunnatullah?
Jawab : Para ulama fikih (fuqaha) telah mengelompokkan darah yang keluar dari kemaluan perempuan menjadi tiga jenis, yaitu darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah atau juga darah fasad (rusak).
Mereka juga telah menerangkan definisi masing-masing jenis beserta dampak hukumnya (fikih). Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah berusia 9 (sembilan) tahun, minimal selama sehari-semalam (24 jam) dan maksimal 15 (lima belas) hari, tidak karena penyakit dan tidak pula akibat melahirkan.
Keluarnya darah itu semata-mata karena sudah menjadi watak atau kodrat. Dalam sejarah, barangkali hanya putri Rasulullth Saw. Sayyidah Fatimah saja yang tidak pernah haid selama hidupnya sehingga dijuluki az-zahra. Selain Fatimah, semua perempuan pernah mengalaminya. Lama haid serta jaraknya antara satu perempuan dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang lama, ada yang sebentar. Ada yang sering, ada pula yang jarang.
Adapun darah nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran bayi. Maksimal darah nifas 60 (enam puluh) hari. Galibnya 40 (empat puluh) hari dan paling sedikit setetes saja.
Selain keduanya termasuk dalam ketegori darah yang ketiga, yaitu istthadhah atau fasad. Sebenarnya, permasalahan tersebut tidak sesederhana itu. Untuk lebih jelasnya, saya sarankan menelaah buku-buku tentang haid yang banyak disusun kalangan pesantren dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia.
Pemahaman pembagian tersebut sangat penting, karena menimbulkan hukum yang berbeda. Haid dan nifas memiliki konsekuensi hukum-hukum tertentu, yang tidak terdapat pada darah istthadhah.
Perempuan yang sedang menstruasi, dilarang menjalankan shalat, puasa, thawaf, menyentuh dan membawa mushaf, membaca Al-Quran, menyentuh anggota badan antara pusat dan lutut, lebih-lebih persetubuhan. Namun hal itu tidak berlaku pada darah istihadhah.
Seperti dimaklumi, keluarnya haid mempengaruhi kondisi psikologis perempuan. Ada semacam rasa sakit, nyeri, dan pusing. Sehingga pikiran terganggu. Intinya kondisi perempuan ketika haid tidak sama dengan ketika dalam keadaan normal.
Sementara itu, ada peristiwa-peristiwa penting dalam hidup kita yang membutuhkan adanya kondisi psikologis dan fisik secara optimal dan konsentrasi penuh dalam menghadapinya. Misalnya saja, menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan sebagainya.
Haji, barangkali hanya sekali seumur hidup, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan memperbanyak ibadah. Begitu juga pernikahan. Adapun tes, jelas membutuhkan kesiapan mental dan konsentrasi pikiran. Dan menstruasi, bisa menghalangi semua itu.
Sehubungan hal tersebut timbul ide memajukan atau mengakhirkannya. Atau dengan kata lain, me-manage haid sesuai dengan kehendak kita. Untuk merealisasikan gagasan itu, sudah tersedia obat dan ramuan-ramuan.
Permasalahannya adalah, apakah haid karena obat-obatan secara hukum sama dengan haid yang terjadi secara normal. Dan bagaimana pula hukum melakukanya ?
Kemungkinan haid dapat dimajukan dan ditunda waktunya, ternyata telah disadari oleh para ulama fikih. Terbukti dengan adanya pembahasan mengenai masalah tersebut, sebagaimana termaktub dalam kitab karangan mereka. Misalnya, Imam Al-Qalyuby, pengarang kitab Al-Qalvubi svarah Al-Mahaji karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli.
Beliau berpendapat, haid yang maju atau mundur karena pengaruh obat-obatan hukumnya disamakan dengan haid yang terjadi secara natural. Demikian juga pendapat Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah.
Artinya, seorang perempuan kalau haid diharamkan melakukan larang-larangan yang ditentukan. Dan jika bersih (dari haid), maka tidak diharamkan melakukan hal-hal tersebut, tanpa memandang sebab-sebab terjadinya.
Patokannya adalah, kenyataannva mengeluarkan darah berarti dia haid. Kalau tidak, berarti tidak. Dan kalau darahnya kurang dari sehari semalam (24 jam), maka dinamakan darah fasad atau istihadhah. Adapun hukumnya memajukan atau menunda haid, selagi tidak membawa dampak negatif, kita berpegang pada kaidah: segala sesuatu yang bermanfaat dalam arti tidak berdampak negatif adalah boleh dan yang membawa mudharat, adalah dilarang. Dan melakukan hal itu, tidak sampai dianggap melanggar sunatuillah. Untuk memahami sejauh mana dampaknya terhadap kesehatan, sebaiknva dikonsultasikan kepada dokter yang berkompeten dalam bidangnya.