Friday, 23 September 2016

Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum obat air seni
Tanya : Apa hukumnya berobat dengan air seni, seperti di perkenalkan seorang ahli pengobatan alternatif akhir-akhir ini ? Kalau tidak boleh, seberapa jauh tidak bolehnya ? Bagaimana jika obat yang lain sudah dicoba dan penyakit tidak sembuh-sembuh, bolehkah kita mencoba air seni untuk obat ? (Husni, Sidoarjo).
Jawab : Manusia diciptakan Allah untuk menyembah-Nya, ini berarti secara fungsional manusia mengemban taklif untuk beribadah baik yang menyangkut ibadah muthlaqah (ibadah yang tidak diatur dengan syarat-rukun) maupun ibadah muqayyadah (ibadah yang diatur dengan syarat rukun). Dalam rangka menjalankan taklif itu, kesehatan dipandang sangat penting, sebagai prasyarat yang harus dimiliki. Oleh karena itu, orang tidak bisa tidak harus selalu mengusahakan dirinya dalam keadaan sehat agar tidak mengganggu fungsi itu.

(Baca juga : Bolehkah Air Seni (Urine) Digunakan Untuk Obat ?)

Sebagian masyarakat seringkali memandang kesehatan secara sempit. Seseorang dianggap sehat jika ia berada dalam keadaan tidak sakit atau tidak cacat. Kesehatan dipandang sebagai sesuatu yang alami sehingga tidak perlu dipermasalahkan lagi. Orang baru sadar akan pentingnya kesehatan bila dirinya atau keluarganya menderita sakit. Dengan demikian yang terjadi di sebagian masyarakat barulah kesadaran sakit dan kesadaran berobat bukannya kesadaran untuk menangkal penyakit atau melestarikan dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan pada saat orang berada dalam keadaan sehat. 

Oleh karena itu, dalam ajaran Islam ada 4 (empat) pokok untuk menjaga kesehatan. pertama, an-nazhafah (kebersihan) yang tercermin dari syariat wudhu, mandi, siwak (gosok gigi), kebersihan pakaian, tempat dan lain-lain. Kedua, makan-minum yang tercermin dari adanya makanan dan minuman yang terlarang. Ketiga, kesehatan umum, artinya karantina demi kesehatan umum. Rasulullah pernah bersabda dalam riwayat Ashabu As-Sunan sebagai berikut :
Artinya : “Apabila kamu mendengar di satu daerah terjadi wabah berjangkit, janganlah kalian masuk di dalamnya.” (HR. Muslim) 

Jadi, istilah karantina untuk penyakit menular bukanlah hal yang baru, karena ternyata jauh sebelumnya sudah dianjurkan oleh Rasulullah. Yang keempat, riyadhah (olahraga) dimana tercermin dalam perilaku shalat dan puasa dari menggunakan tenaga fisik yang melebihi batas. 

Namun demikian, betapapun kita telah berusaha maksimal untuk sehat terkadang masih juga terjangkit oleh sejenis penyakit sehingga berbagai langkah pengobatanpun ditempuh. Karena pada dasarnya, setiap penyakit itu ada obatnya sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Maka bila obat itu menyentuh penyakit akan menjadi sembuh dengan izin Allah. 

Masalahnya kemudian muncul manakala sejenis penyakit harus diobati dengan sesuatu yang najis atau dilarang seperti seni atau air kencing. Karena pada prinsipnya ajaran Islam tidak membenarkan pengobatan dengan sesuatu yang diharamkan sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan untuk setiap penyakit obatnya, maka ambilah itu sebagai obat, janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.", (Al-Fiqhu ‘ala Madzahib Al-A rba‘ah. V. 33) 

Dalam hal ini Syafi’iyah, Hanafiyah memberikan batasan boleh apabila tahu betul (alima yaqinan) bahwa obat najis itu memang satu-satunya obat dan sudah tidak ditemukan lagi obat atau ramuan yang suci berdasarkan keterangan ahli medis Muslim yang adil. Dengan kata lain, keadaannya darurat dimana apabila tidak diobati dengan obat najis itu penyakit akan terus berjangkit dan dikhawatirkan merusak sebagian anggota badannya atau bahkan merenggut nyawanya. Bukankah menjaga diri (hifzhu an-nafsi), harta dan kehormatan adalah wajib. Dalam kaidah fikih disebutkan adh-dharurah tubihu al mahdhurah dan dalam Al-Quran juga dinyatakan :
Artinya : “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.“ (QS. Al aqarah: 173) 

Waihasil, berobat dengan air seni itu boleh dengan syarat tidak ada obat lain yang suci, dan tahu betul bahwa di situ mengandung unsur obat bukan dalam konteks mencoba atau ragu-ragu.

Tabir Wanita