Tanya : Beberapa edisi lalu, ada keterangan Kiai yang memuat penjelasan manfaat air kencing untuk pengobatan. Pada sisi lain, air kencing tidak boleh diminum. Pertanyaan saya, bolehkah meminum urine (air kencing) untuk berobat ?
Jawab : Dari pemahaman dan penelitian terhadap Al-Quran dan Hadis, para ulama fikth telah mengadakan pengelompokan mengenai apa yang boleh dimakan (minum) dan tidak. Secara garis besar sesuatu diharamkan karena 6 (enam) factor : 1). diperoleh secara illegal menurut syara’; 2). najis (an-najasah); 3). memabukkan (al-iskar); 4). membahayakan bagi tubuh manusia (adh-dharar); 5). buas (al-iftiras); 6). menjijikkan (al-istiqdzar). Oleh karena itu, tidak diperkenankan memakan barang hasil curian, bangkai, batu, harimau, sperma, serangga dan lain sebagainya. (Ahkam Al-Hikmah fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah; 113- 116).
(Baca juga : Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?)
Pelarangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan maupun minuman tidak lain kecuali untuk kemaslahatan manusia sendiri. Apa yang disyariatkan oleh Allah Swt. pasti mengandung hikmah. Dalam hal ini Islam mengambil jalan tengah, hanya melarang perkara yang perlu dilarang dan memperbolehkan apa-apa yang semestinya diperbolehkan. Apa yang membawa dampak positif dipersilahkan. Sebaliknya apa yang berdampak negatif dicegah. Jadi, Islam tidak membolehkan semua, tidak pula melarang semua. Tidak terlalu longgar dan terlalu sempit.
Pada sisi lain, manusia tidak diciptakan di dunia ini melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt. dan memakmurkan bumi (imarah al-ardh). Untuk itu dia perlu mempertahankan hidupnya. Karenanya manusia membutuhkan makanan dan juga minuman sebagai sumber energi serta kesehatan. Tanpa makanan dan minuman, manusia akan kekurangan gizi sehingga membuatnya lemah dan rawan penyakit. Padahal penyakit adalah awal dari kematian jika sudah sangat parah dan tidak segera diobati.
Penyakit merupakan kematian kecil. Akibat sakit, orang tidak mampu beraktivitas. Seperti halnya orang yang telah mati, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian, makanan dan minuman serta obat, sama pentingnya dalam mempertahankan hidup.
Menurut ajaran Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendirl ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.“ (QS. Al Baqarah: 195)
Hidup adalah karunia sekaligus amanat Allah Swt. yang harus dijaga, dilestarikan dan dipertahankan. Sebagai amanat, manusia akan dimintai pertanggungjawaban.
Untuk kepentingan mempertahankan hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang diperkenankan bahkan diwajibkan memakan benda yang diharamkan dalam keadaan normal (dalam keadaan terpaksa perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan). Hal ini sejalan dengan kaidah lain dalam fikih yaitu adh-dharar yuzal (kemelaratan atau perkara yang negatif dihilangkan). Keduanya bersumber dari sabda Rasulullah Saw. :
“Laa dharara wala dhirara.” (al-Asybah wa An-Nazhair. 56-57).
Jika dalam kondisi darurat, kita diperbolehkan mengkonsumsi makanan maupun minuman yang semula diharamkan. Bagaimanakah jika untuk keperluan pengobatan ? Seperti telah diterangkan di atas, bahwa menghilangkan penyakit tidak kalah penting daripada menghilangkan lapar dan dahaga. Ketiganya: lapar, dahaga, penyakit, membawa konsekuensi yang sama.
Oleh karena itu, sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaan darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram, diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk keperluan pengobatan. (AI-Majmu. IX; 50).
Dengan begitu, meminum air kencing (urine) dapat dijadikan sebagai pengobatan alternatif. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah (dispensasi), maka harus memenuhi dua persyaratan : 1). Tidak ada alternatif lain yang halal, 2). Menurut dokter yang berkompeten, urine efektif menyembuhkan penyakit yang diderita. (Al-Majmu IX; 51).
Pengobatan dengan air kencing sebenarnya bukan fenomena baru abad modern. Rasulullah Saw. pada 14 (empat belas) abad yang lampau, pernah menyarankan sekelompok orang meminum susu dan air kencing onta untuk menyembuhkan penyakit. (HR Bukhari dan Muslim).
Berangkat dari hadis inilah, banyak fuqaha‘ menyimpulkan : berobat dengan barang haram -selain minuman keras- diperbolehkan. Hal ini tentunya tidak terbatas pada air kencing saja. Tetapi dengan jalan qiyas (analogi), hukum ini juga berlaku untuk benda-benda haram selain urine. (Al-Majmu IX; 50).
Memang ada juga ulama yang tidak memperbolehkan berobat dengan urine. Mereka berpegang pada sebuah hadis, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan pada sesuatu yang dtharamkan atas kalian.”
Hadis ini secara eksplisit membatasi pengobatan pada hal-hal yang dihalalkan. Barang haram merupakan sumber penyakit, bukan sumber kesehatan. (Al-Majmu IX; 53).
Dua hadis yang nampak bertentangan ini dikompromikan oleh para ulama dengan mengadakan perbedaan antara dalam keadaan terpaksa (adh-dharurah) dan tidak. Kalau terpaksa diperbolehkan, jika tidak terpaksa maka dilarang. Keterpaksaan dalam konteks pengobatan dengan barang haram, berarti tidak ditemukannya obat dan bahan yang halal dalam penyakit tertentu. (Al-Majmu IX; 51)
0 komentar:
Post a Comment