1. Hadits riwayat muslim :
“Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak soleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Mereka berkata : Kata-kata inqata’a amaluhu (putus amalnya) dalam hadist tersebut menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit.
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadits tersebut untuk menolak sampainya hadiah pahala kepada orang yang sudah meninggal karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “terputus amalnya”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik dari amil yakni orang yang mengamalkannya. Jika dia menghadiahkannya kepada si mayyit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala “amil” (orang yang berbuat atau mengamalkan) bukan pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarnya hutang itu bukan oleh dia melainkan oleh orang lain. Ini menunjukkan bahwa dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dan amal orang lain.
2. Firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39 :
“Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan“.
Mereka berkata : Bukankah ini menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang sudah mati karena itu bukan usahanya. Dengan demikian dalam islam tidak ada yang dinamakan hadiah pahala.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri,, melakukan hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka kepadanya. Maka banyaklah diantara orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan menghadiahkan pula pahala dan ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dan usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain di dalam ikatan Islam adalah merupakan sebab yang paling besar daiam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik di dalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin akan meliputi kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT. menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian apabila ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukminin adalah sebenamya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat A-Quran itu hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah SWT hanya mengkhabarkan bahwa itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendri. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh menetapkannya kepada orang lain dan pula jika dia mau dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi lam pada lil insane itu adalah lil-istihqaq, yakni menunjukkan arti “milik”)
Demikianlah dua buah jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun ummat Islam, maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat Al-Qur’an diatas menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammad Saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan Nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas ra. berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“Ayat ini telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah Taala : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukkanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya.” (tafsir Khazin juz IV/223)
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagai penasakh surat an-Najm ayat 39 itu adalah surat at-Thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu Abbas, surat an-Najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV/102 bahwa kata-kata “Tidak ada bagi seseorang itu“ Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (mim thariqil adli), adapun dari segi karunia (mim thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah beberapa penafsiran terhadap ayat :
Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil lain baik dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih yang akan ditentang oleh ayat tersebut sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai.
3. Dalil mereka yang ketiga adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejaha tan) “.
Mereka berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.
Jawab : Kata-kata : “Lahaa ma kasabat” menurut ilmu Balagah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang dia usahakan”. Kalau artinya seperti ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan hahwa seseorang akan memperoleh harta bukan dari usahanya karena bisa saja dia memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak famili dan para sahabatnya. Lain hal kalau susunan ayat itu mengandung hasr seperti : “Laisa lahaa illa maa kasabat”
Artinya : “Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang dia usahakan“.
4. Dalil mereka yang keempat adalah firman Allah dalam surat Yaasin ayat 54 :
“Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
Yang artinya : “Pada hari dimana seseorang tidak akan dizalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “.
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahaini bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang dengan sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat Syarah Thahawiyah hal. 456).
5. Dalil mereka yang kelima adalah “Bahwa membaca Al-Quran untuk mayyit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh ulama-ulama salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi Saw., lalu kenapakah hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ?
Jawab : Kalau orang yang membantah itu mengakui sampainya pahala haji, puasa dan doa, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Adapun keadaan orang-orang salaf yang tidak melakukannya, maka itu bukanlah sebagai satu hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka berkata “Rasululloh Saw.. ada memberi petunjuk tentang hadiah pahala puasa, haji dan sedekah sedangkan mengenai hadiah pahala membaca Al-Quran tidak ada petunjuknya dari beliau”, maka dijawab bahwa Nabi mengatakan yang demikian adalah sebagai satu jawaban. Ada yang bertanya tentang haji untuk orang yang mati, maka beliau mengizinkan, begitu juga ada yang bertanya tentang puasa untuk orang yang mati lalu beliaupun mengizinkan dan Nabi tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan zikir ? (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457).
6. Dalil mereka yang keenam : “Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdoa untuk mayyit. Kenapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir terlebih dahulu.
Jawab : Sudah pula dijelaskan bahwa bagi yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir, maka pahalanya itu adalah untuk yang membaca, kemudian dia berdoa kepada Allah agar pahalanya membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir itu disampaikan kepada orang yang sudah meninggal. Disini apanya yang tidak boleh ? Dia minta kepada Allah di dalam doanya agar pahala yang sudah menjadi haknya itu diberikan kepada almarhum orang tuanya atau sanak kerabatnya. Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid IV/101 mengatakan :
“Kalau boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendoa, maka tentu kebolehan herdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendoa adalah terlebih utama“.
Dalam hal ini orang yang berdoa telah memiliki sesuatu di dalam doanya itu yakni pahala membaca Al-Qur’an, tahlil, zikir dan lain sebagainya, maka tentu doa dalam keadaan seperti itu lebih utama. Bukankah kita sering berdoa :“Ya, Allah, berikan rezeki kepada anak-anakku..” atau “Ya Allah berikan kesuksesan kepada anak-anakku” sedangkan pendoa tersebut sama sekali tidak memiliki rezeki dan tidak punya kesuksesan sebagaimana yang disebut dalam doanya itu. Tetapi toh doa seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Lalu kenapa orang yang berdoa untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dia miliki yaitu “pahala” tersebut malah justru dilarang ? Sungguh ironis dan tidak masuk akal.