Thursday, 15 September 2016

Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Sampainya Hadiah Pahala Amalan Untuk Orang Mati

pendapat ibnu taimiyah, pendapat ibnu qayyim
Dalam postingan artikel sebelumnya sudah dibahas tentang Dalil-Dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala Amalan Dan Bacaan Untuk Orang Mati Dan Jaaban atas bantahannya, pada postingan kali ini penulis akan sampaikan Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Amalan Untuk Orang Mati.

Dalam tafsir Jamal jilid IV disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah batil" dengan alasan-alasan berikut : 
1. Seseorang dapat mengambil manfaat dengan doa orang lain dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

2. Nabi Saw. akan memberi syafaat lerhadap orang-orang di padang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk ke dalamnya. ini berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain. 

3. Nabi Saw. akan memberi syafaat terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka dan ini adalah mengambil manfaat dengan usaha orang lain. 

4. Para malaikat akan berdoa dan beristigfar untuk penghuni bumi dan ini adalah bentuk kemanfaatan dengan amal orang lain. 

5. Allah Swt. akan mengeluarkan dari neraka orang-orang yang sedikitpun tidak ada amalnya dengan semata-mata rahmatnya dan ini adalah pengambilan manfaat dengan selain amal mereka. 

6. Anak-anak yang mukmin akan masuk surga dengan amal-amal bapak mereka dan ini adalah mengambil manfaat dengan semata-mata amal orang lain. 

7. Allah Swt. berfirman dalam kisah dua anak yatim di surat Al-Kahfi dimana bapaknya adalah orang saleh lalu kedua anak yatim itu mengambil manfaat dengan kesalehan bapaknya dan bukan dari usaha kedua anak yatim tersebut. 

8. Orang yang meninggal dapat mengambil manfaat dengan sedekah orang lain untuknya dan juga dengan pembebasan budaknya berdasarkan sunnah dan ijma’ dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

9. Haji yang fardhu dapat gugur dan orang yang sudah meninggal dengan sebabdihajikan oleh walinya berdasarkan hadits dan ini adalah pengambilan rnanfaat. dengan ama! orang lain. 

10. Haji dan puasa yang dinazarkan dapat gugur dari orang yang sudah meninggal dengan sebab dilakukan oleh orang lain, dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

11. Seseorang yang masih punya hutang tidak mau dishalatkan oleh Rasululloh Saw. sehinggga hutangnya dibayarkan oleh Abu Qatadah dan hutang orang yang selainnya dibayarkan oleh Ali bin Abi Thalib dan akhirnya kedua orang itu dapat mengambil manfaat dengan shalat Rasululloh atasnya dan ini adalah dari amal orang lain. 

12. Nabi Saw. pernah berkata kepada orang yang shalat sendiri :
“Adakah yang mau bersedekah untuk orang ini..?”, maka shalatlah seseorang bersamanya dan diapun mendapatkan fadhilah berjamaah dengan perbuatan orang lain. 

13. Seseorang bisa bebas dari tanggungan hutang apabila ada orang lain yang sudah membayarkannya dan ini adalah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

14. Barangsiapa melakukan kejahatan terhadap orang lain lalu orang lain itu menghalalkannya, maka gugurlah kejahatan itu daripadanya dan ini adalah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

15. Tetangga yang saleh dapat memberi manfaat baik dalam kehidupan ini maupun sesudah mati sebagaimana tersebut dalam hadits dan ini adalah pengambilan manfaat dengan amalan orang lain. 

16. Orang yang duduk dengan ahli zikir akan diberi rahmat dengan berkah ahli zikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk zikir melainkan untuk keperluan tertentu dan sudah jelas lagi bahwa segala amalan tergantung niat, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

17. Shalat untu.k mayyit dan berdoa untuknya di dalam shalat adalah pemberian untuk mayyit dengan shalatnya orang yang hidup dan itu adalah amalan orang lain. 

18. Shalat jumat terjadi dengan berkumpulnya beberapa orang begitu juga halnya shalat berjamaah, semakin banyak orang yang berkumpul semakin besar fadhilahnya. Ini adalah pengambilan manfaat dan sebagian orang terhadap sebagian yang lain. 

19. Allah Swt. berfirman kepada Nabi Muhammad Saw.:
“Tidaklah Allah akan mengazab mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka”.
“Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukinin dan perempuan-perempuan yang mukmin”. (Al-Fath : 25) 

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini. (Al-Baqarah : 25). 

Dalam ayat-ayat tadi Allah Swt. mengangkat azab terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini adalah pengambilan manfaat dengan amalan orang lain. 

20. Zakat fitrah wajib atas anak kecil dan orang lain yang masih ditanggung biaya hidupnya, maka dia mengambil manfaat untuk yang demikian itu dan orang yang mengeluarkan zakat fitrah tersebut untuknya sedangkan dia tidak ada usaha di dalamnya. 

21. Zakat mal wajib pada harta anak kecil dan harta orang gila dan dia diberi pahala atas yang demikian padahal dia tidak ada usaha padanya.

Kesimpulan Syaikh Ibnul Qayyim
Berikut ini kami sampaikan kesimpulan dan pernyataan Syaikh Ibnul Qayyim dalam masalah ini sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal. 36-37: 

“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasululloh Saw. menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak, makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah terlebih utama”. 

Artikel lanjutan dari pembahasan ini dapat dilihat di :
Amalan-Amalan Lain Yang Juga Bermanfaat Untuk Orang Mati

Dalil-Dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala Amalan Dan Bacaan Untuk Orang Mati

bilik islam
Pada kesempatan sebelumnya, penulis sudah posting pembahasan tentang Contoh-Contoh Fatwa Imam Syafi’i Yang Dikritisi Kembali Oleh Ulama Syafi'iyyah, dan sekarang penulis akan ketengahkan tulisan lanjutan tentang Dalil-dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala dan amalan bacaan Al-Quran untuk orang mati.

1. Hadits riwayat muslim :
“Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak soleh yang selalu mendoakan orang tuanya” 

Mereka berkata : Kata-kata inqata’a amaluhu (putus amalnya) dalam hadist tersebut menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit. 

Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadits tersebut untuk menolak sampainya hadiah pahala kepada orang yang sudah meninggal karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “terputus amalnya”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik dari amil yakni orang yang mengamalkannya. Jika dia menghadiahkannya kepada si mayyit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala “amil” (orang yang berbuat atau mengamalkan) bukan pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarnya hutang itu bukan oleh dia melainkan oleh orang lain. Ini menunjukkan bahwa dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dan amal orang lain. 

2. Firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39 :
“Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan“.
Mereka berkata : Bukankah ini menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang sudah mati karena itu bukan usahanya. Dengan demikian dalam islam tidak ada yang dinamakan hadiah pahala.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban tersebut adalah sebagai berikut : 

a. Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri,, melakukan hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka kepadanya. Maka banyaklah diantara orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan menghadiahkan pula pahala dan ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dan usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain di dalam ikatan Islam adalah merupakan sebab yang paling besar daiam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik di dalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin akan meliputi kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT. menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian apabila ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukminin adalah sebenamya bagian dari usahanya sendiri). 

2. Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat A-Quran itu hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah SWT hanya mengkhabarkan bahwa itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendri. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh menetapkannya kepada orang lain dan pula jika dia mau dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi lam pada lil insane itu adalah lil-istihqaq, yakni menunjukkan arti “milik”)

Demikianlah dua buah jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah. 

b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun ummat Islam, maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”. 

Jadi ayat Al-Qur’an diatas menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammad Saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan Nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya”. 

c. Sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas ra. berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“Ayat ini telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah Taala : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukkanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya.” (tafsir Khazin juz IV/223) 

Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagai penasakh surat an-Najm ayat 39 itu adalah surat at-Thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. 

Jadi menurut Ibnu Abbas, surat an-Najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil. 

d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV/102 bahwa kata-kata “Tidak ada bagi seseorang itu“ Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (mim thariqil adli), adapun dari segi karunia (mim thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

Demikianlah beberapa penafsiran terhadap ayat :


Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil lain baik dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih yang akan ditentang oleh ayat tersebut sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai. 

3. Dalil mereka yang ketiga adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejaha tan) “.  

Mereka berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya. 

Jawab : Kata-kata : “Lahaa ma kasabat” menurut ilmu Balagah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang dia usahakan”. Kalau artinya seperti ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan hahwa seseorang akan memperoleh harta bukan dari usahanya karena bisa saja dia memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak famili dan para sahabatnya. Lain hal kalau susunan ayat itu mengandung hasr seperti : “Laisa lahaa illa maa kasabat”

Artinya : “Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang dia usahakan“. 

4. Dalil mereka yang keempat adalah firman Allah dalam surat Yaasin ayat 54 :
“Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “. 

Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
Yang artinya : “Pada hari dimana seseorang tidak akan dizalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “. 

Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahaini bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang dengan sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat Syarah Thahawiyah hal. 456).

5. Dalil mereka yang kelima adalah
“Bahwa membaca Al-Quran untuk mayyit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh ulama-ulama salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi Saw., lalu kenapakah hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? 

Jawab : Kalau orang yang membantah itu mengakui sampainya pahala haji, puasa dan doa, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Adapun keadaan orang-orang salaf yang tidak melakukannya, maka itu bukanlah sebagai satu hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka berkata “Rasululloh Saw.. ada memberi petunjuk tentang hadiah pahala puasa, haji dan sedekah sedangkan mengenai hadiah pahala membaca Al-Quran tidak ada petunjuknya dari beliau”, maka dijawab bahwa Nabi mengatakan yang demikian adalah sebagai satu jawaban. Ada yang bertanya tentang haji untuk orang yang mati, maka beliau mengizinkan, begitu juga ada yang bertanya tentang puasa untuk orang yang mati lalu beliaupun mengizinkan dan Nabi tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan zikir ? (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457). 

6. Dalil mereka yang keenam :
“Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdoa untuk mayyit. Kenapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir terlebih dahulu.

Jawab : Sudah pula dijelaskan bahwa bagi yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir, maka pahalanya itu adalah untuk yang membaca, kemudian dia berdoa kepada Allah agar pahalanya membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir itu disampaikan kepada orang yang sudah meninggal. Disini apanya yang tidak boleh ? Dia minta kepada Allah di dalam doanya agar pahala yang sudah menjadi haknya itu diberikan kepada almarhum orang tuanya atau sanak kerabatnya. Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid IV/101 mengatakan :
“Kalau boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendoa, maka tentu kebolehan herdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendoa adalah terlebih utama“. 

Dalam hal ini orang yang berdoa telah memiliki sesuatu di dalam doanya itu yakni pahala membaca Al-Qur’an, tahlil, zikir dan lain sebagainya, maka tentu doa dalam keadaan seperti itu lebih utama. Bukankah kita sering berdoa :“Ya, Allah, berikan rezeki kepada anak-anakku..” atau “Ya Allah berikan kesuksesan kepada anak-anakku” sedangkan pendoa tersebut sama sekali tidak memiliki rezeki dan tidak punya kesuksesan sebagaimana yang disebut dalam doanya itu. Tetapi toh doa seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Lalu kenapa orang yang berdoa untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dia miliki yaitu “pahala” tersebut malah justru dilarang ? Sungguh ironis dan tidak masuk akal.

Wednesday, 14 September 2016

Contoh-Contoh Fatwa Imam Syafi’i Yang Dikritisi Kembali Oleh Ulama Syafi'iyyah

taklid pendapat imam syafi'i, pendapat imam syafi'i dikritisi kembali
Seperti yang sudah dipostingkan sebelumnya mengenai Pendapat Ulama Madzhab Syafi’ i Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran, namun ada perbedaan pendapat dengan Imam Syafi'i sendiri. Ada beberapa masalah yang, sudah diputuskan oleh imam Syafi’i tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dikritisi (ditahqiq kembali oleh tokoh-tokoh madzhab Syafi’i yang belakangan dari basil pentahqiqan mereka itulalh yang berlaku dan diamalkan di dalam madzhab. Diantara masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hukum shalat idul fitri dan idul adha yang menurut imam Syafi’i adalah wajib atas orang-orang yang berkewajiban menghadiri shalat jum’at. Beliau mengatakan di dalam Al-Mukhtasar :
 “Barangsiapa wajib atasnya menghadiri jumat, maka wajib atasnya menghadiri idul fitri dan idul adha”. 

Pendapat beliau ini dibawa kepada pengertian yang tidak seperti zohirnya oleh para ashab Syafi’i karena menimbulkan hukum bahwa shalat dua hari raya itu adalah fardlu ain atas setiap orang yang wajib jum’at dan ini menyalahi ijma kaum muslimin. Oleh karena itulah beberapa tokoh madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq dan At-lstakhri rnetrnberi komentar sebagai berikut : 

a. Menurut Abu lshaq, makna ucapan imam Syafi;i itu adalah : “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara wajib, maka dia dituntut shalat id secara sunnah”. 

b. Menurut AI-Istakhry, maknanya adalah : “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara fardhu, maka dia dituntut shalat id secara kifayah”. 

Dan ternyata yang terpakai dalam madzhab Syafi’i ini adalah bahwa hukum shalat dua hari raya itu bukan waib melainkan sunnat muakkadah. 

2. Adanya dua qaul dari imam Syafi’i yakni qaul jadid dan qaul qadim.
Tujuan beliau dengan qaul jadid adalah agar dialah yang dipakai dan diamalkan sedangkan qaul qadimnya ditinggalkan. Namun oleh para ulama madzhab Syafi’i dengan peitimbangan yang mendalam mengecualikan sekitar 20 masalah. Artinya dalam 20 masalah itu yang dipakai adalah qaul qadim sedangkan qaul jadidnya ditinggalkan.

3. Masalah hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Kalaupun betul imam Syafi’i mengatakan tidak sampai tetapi dengan pertimbangan beberapa dalil para ulama Syafi’iyah : 

a. Memfatwakan “sampai” dan fatwa inilah yang berlaku dan diamalkan serta dipakai dalam madzhab Syafri. Tersbut dalam Bujaimi minhaj jilid III/286:
“Perkataan : “Sesungguhnya tidak sampai pahala bacaan” adalah dhaif, sedangkan perkataan : “Dan sebagian ashab Syafi’i mengatakan sampai” adalah muktamad (terpegang)”. 

b. Memahamii bahwa pernyataan Imam Syafi’i itu mengandung pengeartian jika Al-Qur’an tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan itu intuknya. Pengertian seperti ini tersebut dalam kitab Fathul Wahhab karangan Syaikh Zakaria al-Anshari jilid II/19 

Dan juga meski Imam Syafi’i mengatakan tidak sampai pahalanya tetapi beliau tetap mengakui adanya segi positif bacaan Al-Qur’an terhadap orang mati. Hal ini karena terbukti beliau menyukai dilakukannya hal tersebut. Imam Nawawi menyebukan dalam Al-Azkar hal. 137:
“Berkata imam Syafi’i dan para ashab : Disunnatkan seseorang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk orang yang mati. Para sahabat beliau berkata, Jika dia menamatkan seluruh Al-Qur’an niscaya akan baik sekali” 

Dan dalam kitab Tuhfah jilid VII/71 Imam lbnu Hajar al-Haitami mengatakan :
“Imam Syafi’i dan Ashab menashkan bahwa sunnat membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang gampang disamping mayyit dan berdoa sesudahnya karena doa disitu lebih bisa diharapkan pengabulannya dan karena mayyit akan mendapatkan berkah bacaan Al-Qur’an seperti halnya orang yang hadir."

Bahkan dalam Ar-Ruh karangan Ibnul Qayyim hal. l3 disebutkan :
“Berkata Hasan bin Shalih Az-Za’farani : “Aku pernah bertanya kepada Imam Syafi’i tentang membaca Al-Qur’an disamping kubur. Beliau menjawab: “Tidak mengapa…”

Pendapat Ulama Madzhab Syafi’ i Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran

pandangan ulama syafi'i
Artikel sebelumnya penulis membahas tentang Sanggahan Orang Yang Tidak Setuju Hadiah Pahala Bacaan Sampai Pada Mayit, kali ini penulis mengetengahkan pendapat para ulama syafi'iyyah terkait hadiah pahala bacaan Al-Quran. Untuk menjelaskan hal ini marilah kita simak penuturan imam Nawawi dalam Al-Azkar hal.1 40 : “Dalam hal sampainya bacaan Al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama bahwa pahalanya tidak sampai. Namun Ahmad bin Hambal beserta sekelompok ulama dan juga sekelompok Ashab Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah pahala ayat yang aku baca ini kepada si fulan..”

Tersebut dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 : “Berkara Ibnu Nahwi dalam syarah minhaj: “Dalam madzhab Syafi’i menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang mukhtar, sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogianya memantapkan perdapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa utuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang diiniliki oleh sipendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Syafi’i terdapat dua qauI dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang mashur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai
Dan mernanggapi qaul yang masyhur tersebut pengarang kitab Fathul Wahhab yakni Syaikh Zakaria al-Anshari mengatakan di dalam kitabnya jilid 11/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam nuzdzhab Syafi’i itu dibawa atas satu pergertian : “Jika A1-Qur’an itu tidak dibaca dihadapan mayit dan tidakpula meniatkan pahala bacaan itu untuknya”
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-Jamal mengatakan di dalam kitabnya Hasiyatul Jamal jilid IV/67 :
“Berkata Syaikh Muhammad Ramli, Sampai pahala bacaan jika terdapat dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah membaca Al-Quran, yakni ohon agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya “.
 
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubbadi dalam Hasiyah Tuhfatul Muhtaj jilid VI 1/74 :
“Kesimpulannya bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-Qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membaca”. 

Namun demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika :
  1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
  2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkannya untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca. 
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti tersebut dalam kitab Tuhfah dan Syarah Minhaj. (Lihat I’anatut Thalibin jilid III/24)

Sanggahan Orang Yang Tidak Setuju Hadiah Pahala Bacaan Sampai Pada Mayit

Pahala hadiah bacaan
Pada postingan sebelumnya dibbahas tentang Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati. Sekarang penulis akan membahas tentang sanggahan orang-orang yang tidak setuju dengan hadiah pahala baccaan Al-Quran untuk orang yang sudah meninggal. Dalam hal menghadiahkan pahala bacaan ini, orang-orang yang tidak setuju sering kali berlaku tidak simpatik bahkan cenderung mengecam dan mencela. Yang paling dirasa ampuh sebagai senjata penolakan mereka adalah ucapan mereka: “Kan Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit walaupun didoakan kepada Allah agar disampaikan ?“. 

Menanggapi hal tersebut perlu dikemukakan bahwa kalaupun betul, sekali lagi kalaupun betul Imam Syafi’i mengatakan pahala bacaan tidak sampai kepada mayyit tetapi beliau tidak mengatakannya sebagai bid’ah dan beliau tidak melarang apalagi mencela orang-orang yang melakukannya, karena beliau jelas mengetahui bahwa tokoh-tokoh madzhab Hanafi dan juga tokoh- tokoh madzhab Maliki serta Imam Ahmad bin Hambal sendiri berpendapat bahwa bacaan itu sampai kepada mayyit. Kalau Imam Syafi’i sampai mengecam apalagi menuduh sebagai amalan yang bid’ah, maka sama saja dengan beliau menuduh imam-imam yang ada dalam tiga madzhab lainnya sebagai ahli-ahh bid’ah yang akan masuk dalam neraka.

Harus dibedakan antara “pendapat Madzhab Syafi’i” dan “pendapat Imam Syafi’i”. Tidak semua produk hukum yang ada dan berlaku dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan pendapat Imam Syafi’i karena terdapat kemungkinan dan kebolehan untuk mentahqiq kembali pendapat sang imam. Tidak ada satu huruf pun ucapan imam Syafi’i yang mengatakan bahwa pendapat yang sudah beliau kemukakan harus diamalkan dan tidak boleh diganggu gugat oleh pengikut-pengikut beliau yang sesudahnya. Justru beliau mengatakan yang sebaliknya yaitu :
“Jika kamu dapatkan di dalam kitabku sesuatu yang menyalahi sunnah Rasululloh Saw., maka ambillah sunnah Rasululloh Saw. itu dan tinggalkan ucapanku” 

Ucapan beliau ini walaupun merupakan pertanda ketawadhu’an namun dengan penuh pertimbangan dan semangat kehati-hatian telah dilaksanakan oleh para ulama pengikut beliu. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa ulama-ulama Syafi’iyah mengikuti saja secara membabi buta ucapan-ucapan imam Syafi’i karena kalau itu dilakukan berarti menentang perintah imam Syafi’i sendri.

Baca juga arikel lanjutannya mengenai pembahasan ini :
Pendapat Ulama Madzhab Syafi’ i Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran

Tuesday, 13 September 2016

Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati

fatwa ulama tentang pahala bacaan al-quran
Kali ini penulis ketengahkan lanjutan tulisan dari artikel sebelumnya (baca : Dalil-Dalil Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati). Dan berikut penulis sampaikan Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati : 

1. Berkata Muhammad bin Ahmad al-Marwazi : “Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata : Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-lkhlas, al-Falaq dan an-Nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan : Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan “. (Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jamaah hal. 15) 

2. Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : 
“Adapun memaca Al-Quran dan menghadiahkan pahalanya kepada orang mati secara sukarela dengan tanpa upah, maka pahalanya akan Sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457) 

3. Berkata Dr. Ahmad Syarbasi : “Sesungguhnya jumhur ulama telah menyebutkan bahwa bacaan Al-Qur’anul Karim dapat memberi manfaat kepada mayyit atau sampai pahala bacaan itu kepadanya. Dan terhadap yang demikian sekelompok ulama yang lain tidak menyetujui. Dan menurut mereka yang menyukai hal tersebut, akan menjadi bagus jika si pembaca berdoa sesudah selesai dengan : “Ya Allah, sampaikanlah seumpama pahala ayat yang telah aku baca kepada Si fulan atau fulanah”. (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 111/413) 

4. Berkata Ibnu Taimiyah : “Sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan bacaan Al-Qur’an sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan yang seumpamanya”. (Yasaluunaka fid din wal-bayat jilid 1/442). 

5. Berkata Imam Ibnul Qayyim AI-Jauziyyah : “Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istigfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca Al-Quran dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayyit dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya”. (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) 

Imam Ibnul Qayyim juga berkata dalam kitabnya Ar-Ruh :
“Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jaini’ sewaktu membahas “Bacaan disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad Ad-Dauri, menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-Halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin AL-Lajlaj dari bapaknya dia berkata : Berkata bapakku : “Jika aku telah mati, maka letakkanlah aku di liang lahat dan ucapkan bismillah Wa ala sunnati rasulillah dan ratakanlah tanah atasku dan baca permulaan al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar Abdulloh bin Umar mengatakan yang demikian.
Ibnu Qayyirn ini di dalam kitab dan halaman yang sama juga mengutip ucapan Al-Khallal : “Mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceritakan kepadaku Ali bin Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Qudomah al-Jauhari menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk disamping kubur (sambil membaca Al-Qur’an). Melihat itu berkatalah Imam Ahmad kepadanya : “Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah Muhammad bin Qudomah kepada Ahmad bin Hambal : “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: Beliau orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau ada meriwayatkan sesuatu darinya? Muhammad bin Qudomah berkata : Ya, mengkhabarkan kepadaku Mubassyar dan Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya dari dia berkata : ‘Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam Ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar diteruskan bacaan Al-Qur’annya”. 

6. Berkata Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf , mantan mufti negeri Mesir : “Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membca Al-Qur’an atau selain yang demikian daripada bermacam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya”. 

7. Berkata Syaikh All Ma’shum : “Dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Yang ada khilafnya adalah masalah boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk mayyit. Menurut dasar madzhab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutaakhkhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan Ibnu Farhun menukil bahwa pendapat inilah yang rojih (kuat)”. (Hujjatu Ahlis Sunnah wal-jamaah halaman 13) 

8. Berkata Allamah Muhammad al-Arobi: “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dan sampai pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha Islam Ahlus Sunnah Wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq”. (Majmu’ Tsalatsi rosaail) 

9. Berkata Imam Qurtubi : “Telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang-orang yang sudah meninggal, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan Al-Qur”an, doa dan istigfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits: “Setiap kebaikan adalah sedekah”. Disini tidak dikhususkan sedekah itu dengan harta”. (Tazkirah Al-Qurtubi halaman 26). 

10. Berkata Imam Sya’bi : “Orang-orang Anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya”. (Ucapan Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh hal. 13). 

11. Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayyit dan juga tentang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir jika dihadiahkan kepada mayyit, sampaikah pahalanya atau tidak? Maka beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fataawa jilid 24 hal. 324 : 
“Sampai kepada mayyit pahala bacaan Al-Qur’an dari keluarganya. Dan tasbih, takbir serta seluruh zikir mereka kepada Allah Taala apabila mereka menghadiahkan pahalanya kepada mayyit akan sampai pula kepadanya”. 

Dari apa yang telah disampaikan dapatlah diketahui bahwa diantara ulama-ulama yang menyetujui hadiah pahala bacaan Al-Quan adalah : 

1. Imam Ahmad bin Hambal
2. Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz
3. Dr. Ahmad Syarbasi
4. Ibnu Taimiyah
5. Ibnul Qayyim
6. Tokob-tokoh madzhab Hanafi
7. Tokoh-tokoh madzhab Maliki
8. Muhammad al-Arabi
9. Imam Qurtubi
10. As-Sya’b

Baca juga tulisan lanjutan dari penjelasan masalah ini :
Sanggahan Orang Yang Tidak Setuju Hadiah Pahala Bacaan Sampai Pada Mayit

Dalil-Dalil Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati

bilik islam
Pada tulisan sebelumnya (baca : Amalan (Hadiah Pahala) Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati) yang membahas tentang ada sebagian orang yang melarang dan mengatakan bahwa pahala membaca Al-Quran untuk orang yang sudah meninggal tidak akan sampai bahkan menghukuminya dengan bid'ah, dan dalam lanjutan tulisan ini akan diulas Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran untuk orang yang sudah meninggal : 

1. Hadits tentang wasiat Ibnu Umar yang tersebut dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal : 458 :
“Dari Ibnu Umar ra. : Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat Al-Baqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian Muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat Al-Baqarah”. 

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hambal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang yang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Urnar tersebut beliaupun mencabut pengingkarannya itu. (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25). 

Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal bahwa beliau berkata : “Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebaikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin pada berkumpul disetiap negeri, mereka meinbaca Al-Quran dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal. Hal ini terjadi tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah dia ijma”. (Yasaluunaka Fid Din Wal Hayat oleh Dr. Ahmad Syarbasi jilid III/423). 

2. Hadits dalam sunah Baihaqi dengan isnad hasan :
“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”. 

Hadits ini agak semakna dengan yang pertama, cuma yang pertama itu adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut. 

3. Hadits riwayat Daraqutni
“Barangsiapa masuk ke pekuburan lalu membaca Qulhuallohu Ahad 11 kali kemudian dia menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (di kuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”. 

4. Hadits marfu’ riwayat Hafiz As-Salafi:
“Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca Qulhuallohu Ahad 11 kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang sudah mati (di kuburan itu) niscaya dia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”. (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26) 

5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasululloh Saw. bersabda: “Jika mati salah seorang kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya“. 

6. Hadits riwayat Abu Daud, Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Hibban :
“Dari Maqil bin Yasar ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda “Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang mati diantara kamu “.

Amalan (Hadiah Pahala) Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati

pahala untuk orang mati, sampaikah pahala untuk orang mati
Tulisan ini dimaksudkan sebagai satu upaya untuk mengungkap bagai mana sebenarnya validitas (keabsahan) dan fatwa tentang “Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati” yang dikalangan Syafi’iyah pengamalannya sudah sedemikian rutin dan boleh dikatakan telah membudaya. Apakah fatwa yang membolehkan itu didukung oleh dalil-dalil yang kuat ? Ataukah sebaliknya hanya merupakan warisan orang-orang tua yang tidak ada dalilnya sama sekali sebagaimana sering dituduhkan oleh mereka yang tidak menyetujui ? Tulisan ini -insya Allah- akan membahasnya disertai dengan bentuk-bentuk sanggahan yang sering dilontarkan orang dan bagaimana sebenarnya menjawab sanggahan-sanggahan tersebut. 

Tulisan ini tidak hanya memuat pendapat-pendapat yang mendukung dari kalangan Syafi’iyah tapi juga dan tokoh-tokoh madzhab yang lain bahkan dari tokoh-tokoh garis keras seperti Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Hal ini kiranya patut diperhatikan karena kecenderungan menolak dan mengkritisi dengan cara yang tidak santun biasanya justru bermunculan dari mereka yang mengaku pengikut setia dari dua tokoh yang disebut terakhir ini. 

Tujuan kami membahas masalah ini tidak hanya untuk menambah keyakinan para pengikut Syafi’iyah tentang kebenaran fatwa tersebut, tetap lebih jauh dari itu yakni mengharapkan tumbuhnya sedikit kesadaran dari mereka yang tidak menetujui bahwa dalil-dalil ternyata tidak hanya ada pada mereka tetapi juga pada penganut dan pengamal fatwa ini shingga kebiasaan mengkritik dengan cara yang tidak santun kiranya dapat segera ditinggalkan. Apalagi kalau cara-cara seperti itu telah nengarah kepada rusak dan retaknya ukhuwwah islamiyah. 

Oleh karena itu marilah tulisan yang membahas tentang “Membaca Al-Qur’an untuk Orang Mati” ini kita jadikan sebagai batu loncatan untuk meningkatkan sikap tasamuh atau toleransi. Biarkanlah mereka yang setuju terhadap fatwa ini mengamalkannya dengan tenang karena dalil-dalil yang mendukung amalan mereka tidak bisa dinafikan begitu saja. Marilah perbedaan dalam masalah ini tidak kita pertajam karena taruhannya sangatlah besar, yakni keretakan ukhuwwah Islamiyah. Marilah pula persamaan-persamaan di dalam masalah lain yang justru jauh lebih banyak kita tampilkan dengan lebih maximal lagi dalam pentas kehidupan ditengah-tengah masyarakat umum, satu masyarakat yang selalu dianjurkan untuk menebar salam kerukunan dan perdamaian. 

Akhirnya semoga tulisan ini membawa manfaat bagi kita semua, aamin yaa robbal aalamin....
Fakta di Lapangan dan Bagaimana Menyikapinya
Membaca Al-Qur’an untuk orang yang sudah meninggal adalah satu kegiatan yang hampir tidak pernah dilupakan olehh mayoritas kaum muslimin khususnya di indonesia. Ada yang melakukannya diatas pekuburan tatkala pemakaman sang mayit sedang berlangsung. Disini yang biasa dibaca adalah surat Al-Ikhlas, Al-FaIaq, An-Nas, Al-Fatihah dan Al-Baqarah. Ada juga yang melakukannya diattas pekuburan tatkala melakukan ziarah dan ada pula yang melakukannya di rumah-rumah pun di mushalla dan masjid baik secara sendirian maupun berkelompok. Pembacaan Al-Qur’an trsebut diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal itu dan diiringi dengan doa agar Allah berkenan menyampaikan pahala bacaan Al-Qur’an tersebut kepada orang yang dimksudkan. 

Dkalangan ummat Islam amalan seperti ini termasuk “Masalah Khilafiah” dalam arti ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, ada yang mengatakan baik sekali kalau dilakukan dan ada yang mengatakan tidak baik bahkan dihukumkan dengan bidah, ada yang mengatakan pahala bacaan itu sampai kepada mayyit dan ada pula yang mengatakan tidak sampai. 

Dalam kitab Al-Mizanul Kubro jilid 1/228, Imam Sya’rani mengatakan :

“Khilafah dalam hal sampai atau tidaknya pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal adalah masyhur dan masing-masing dari dua pendapat itu memiliki alasan tersendiri. Adapun menurut madzhab Ahlus Sunnah, boleh bagi seseorang menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain. Hal ini dikatakan juga oleh Ahmad bin Hambal”. 

Dengan demikian tidaklah perlu hagi orang yang tidak menyetujui amalan ini melakukan ejekan dan cemoohan terhadap orang-orang yang mengamalkannya karena mereka juga memiliki alasan.
Dalam kitab Hujjatu Ahlus Sunnah Wal-Jamaah hal. 8 disebutkan : 

“Tidak sepantasnya terjadi diantara dua yang berbeda pendapa tersebut sesuatu yang tidak layak terjadi antara dua muslim yang bersaudara karena jika pihak yang menentang punya sandaran, maka pihak yang mengamalkannya juga punya sandaran“. 

Bagi pihak yang mengamalkan, jelas mereka itu berkeyakinan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an akan sampai kepada mayyit yang dimaksudkan dan akan membawa manfaat baik di dalam kuburnya maupun di akhirat nanti. Keyakinan mereka itu didukung oleh beberapa dalil dan fatwa-fatwa ulama yang terkenal.

Baca juga postingan lanjutan dari pembahasan ini :
  1. Dalil-Dalil Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati
  2. Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Orang Mati
  3. Sanggahan Orang Yang Tidak Setuju Hadiah Pahala Bacaan Sampai Pada Mayit
  4. Pendapat Ulama Madzhab Syafi’ i Tentang Hadiah Pahala Bacaan Al-Quran
  5. Contoh-Contoh Fatwa Imam Syafi’i Yang Dikritisi Kembali Oleh Ulama Syafi'iyyah
  6. Dalil-Dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala Amalan Dan Bacaan Untuk Orang Mati
  7. Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Sampainya Hadiah Pahala Amalan Untuk Orang Mati
  8. Amalan-Amalan Lain Yang Juga Bermanfaat Untuk Orang Mati
  9. Pahala Bersedekah Untuk Orang Meninggal (Mayit) 
  10. Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit)
  11. Apa Hukum Fidyah Atau Berpuasa Untuk Orang Meninggal (Mayit)
  12. Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

Tabir Wanita