Sunday, 4 September 2016

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Ulul Azmi

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Ulul Azmi

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA SAYYIDINAA AADAM WA SAYYIDINAA NUUHIN WA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA SAYYIDINAA MUUSAA WA SAYYIDINAA ‘IISAA WA MAA BAINAHUM MINAN NABIYYIINA WAL MURSALIINA SHALAWATULLAHI WA SALAAMUHU’ALAIHIM AJMA’IIN.

Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan keselamatan serta berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., kepada junjungan kita Nabi Adam a.s., kepada junjungan kita Nabi Nuh a.s., kepada junjungan kita Nabi Ibrahim a.s., kepada  jujungan kita Nabi Musa a.s., serta kepada orang diantara mereka, dari pada Nabi, dan semua rasul. Semoga semua rahmat Allah dan salamnya selalu melimpah kepada mereka semuanya.
Khasiatnya :
Barangsiapa mau membaca shalawat ini sebanyak tiga kali, maka sama dengan membaca Dalailul Khoirot.

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Kamaliyah

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Kamaliyah

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA A’LAA AALIHI ‘ADADA KAMAALILLAAHI KAMAAYALIIQU BIKAMAALIHI.
Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat keselamatan dan berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. dan kepada keluarganya, sebanyak bilangan kesempurnaan Allah, sebagai mana yang patut dengan kesernpumaan-Nya.
Khasiatnya :
Barangsiapa yang mau membaca shalawat in, insya Allah Ia akan mendapat pahala yang tak terhingga. Demikian menurut keterangan Ash Shawly.

Siapa Yang Lebih Berhak Nafkahi Anak Usai Cerai ?

nafkah anak usai cerai, hukm islam, bilik islam
Tanya : Begini Kiyai, kami telah cerai dan mempunyai empat orang anak, yang dua di antaranya ikut bersama ayahnya sedang yang dua lagi ikut bersama saya. Yang ingin saya tanyakan, menurut pandangan agama dan hukum, masih berhakkah anak-anak yang ikut saya mendapatkan nafkah dari ayahnya ?Jika berhak sampai kapan batas waktunya ? (Sugorini, Semarang)

Jawab : Pada dasarnya, setiap pasangan suami istri menginginkan hubungan mereka bertahan selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah membina keluarga yang utuh agar tercipta kehidupan yang tenteram serta bahagia. Tetapi, ketika hubungan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi.

Bagaimanapun, perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu.

Karena hal-hal seperti itulah, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah meskipun diperbolehkan (halal). Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian’ (HR. Abu Dawud,Ibnu Majah dan Hakim) 

Halal karena dalam situasi dan kondisi tertentu dibutuhkan. Dibenci karena membawa akibat-akibat buruk.
Perceraian menjadi musibah atau rahmah tergantung pada bagaimana dan kapan kita melakukannya, dengan mempertimb angkan keuntungan dan risiko yang akan muncul. 

Sebagaimana saya katakan di atas bahwa anak adalah pihak yang paling dirugikan akibat perceraian orang tuanya. Maka pertanyaaan yang layak dikedepankan adalah apakah akibat perceraian, anak-anak masih berhak mendapatkan nafkah dan ayahnya? 

Hal ini sangat penting karena pada satu sisi masalah pangan menduduki urutan teratas kebutuhan manusia, sementara anak belum mampu bekerja. Pada sisi lain, kebanyakan laki-laki yang menceraikan istrinya tidak memperhatikan nafkah anaknya lagi. Apalagi jika telah menikah lagi dengan perempuan lain. 

Menurut para ulama, nafkah yang didefinisikan sebagai : “kullu ma yahtajuh al-insan min tha‘am wa syarab wa kiswah wa maskan” (segala sesuatu yang dibutuhkan manusia berupa makanan minuman pakaian dan tempat), tetap wajib diberikan orang tua (bapak) kepada anaknya, meskipun ibunya telah dicerai. 

Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah berikut :
Artinya : “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya “(QS. Ath-Thalaq: 6)

Perceraian hanya memutus tali perkawinan antara suami-istri (az-zaujiyah). Tetapi tidak memutus hubungan nasab orang tua dan anak (al-ubuwwah wa al-bunuwwah). Sampai kapanpun, status anak yang dihasilkan dalam perkawinan yang sah tetap berlaku. Jika kita mengenal ungkapan “bekas istri atau mantan istri” maka tidak dikenal istilah “bekas anak atau mantan anak.” 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 diterangkan : Akibat perceraian, semua biaya hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Pasal ini secara eksplisit membebankan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian. 

Anak adalah amanat Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Barangsiapa menelantarkan anak, maka akan memperoleh balasan yang setimpal di akhirat kelak.
 
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiyanati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhiyanati amanat-amanat ,yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Secara sosiologis, pengabaian nafkah anak pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal sang suami.

Apa Hukum Menikahi Perempuan Akibat Perkosaan ?

menikahi wanita karena perkosaan
Tanya : Saya telah membaca berita. Di situ saya membaca ada paman memperkosa keponakannya. Kalau dilihat itu kan mahramnya atau muhrimnya. Sedangkan paman menurut pengakuannya akan menikahinya. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum pernikahan tersebut beserta penjelasannya. (M. Zuhdi)

Jawab : Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis (s*ks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya.

Pemenuhan kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang dilarang dan sangat dikutuk oleh agama, baik dia dilakukan dengan suka sama suka atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas :
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekti zina, sesungguhnva zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) 

Agama Islam sebenarnya telah mengatur serta menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan. 

Pernikahan adalah : "aqdun yatadammanu istibahata istimtai’ kullin mina azzaujaini bi al-akhar ‘ala al wajhi al masyru’i" sebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat. 

Lebih dari itu pernikahan merupakan sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunnah Rasul tersebut. 

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin). 

Senada dengan pertanyaan di atas bolehkah pernikahan dilakukan dengan mahramnya sendiri (bukan muhrim, karena muhrim adalah orang yang ihram). 

Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). 

Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan Susuan. 

Perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan kekerabatan ada 7 (tujuh), ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dan ayah, dan yang terakhir bibi dan ibu.
Dalam Al-Quran disebutkan :
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dan saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnva Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23) 

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki. Dan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya. 

Selanjutnya, perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri).

Kemudian yang haram dinikahi dengan sebab susuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan (saudara susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri). 

Apabila pernikahan dengan perempuan yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan yang lebih berat.

Apakah Boleh Istri Menikah Lagi Karena Ditinggal Suami ?

hukum istri menikah lagi, bilik islam
Tanya : Saya ditinggal suami selama 3 (tiga) tahun, tidak pernah diberi nafkah. Katanya dia sudah menikah lagi. Apa pernikahan saya bisa rusak. Bolehkan saya cerai ? Bagaimana jika proses perceraian itu dipersulit pihak suami ?

Jawab : Pernikahan adalah akad yang sangat kuat (al-mitsaq al-ghalizh) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai tujuan itu, hubungan suami istri diatur oleh hak dan kewajiban. Keharmonisan sebuah keluarga sangat ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. 

Pengetahuan suami istri akan kewajibannya dengan demikian menjadi hal yang sangat penting. Pemahaman dan kesadaran terhadap kewajiban akan mendorong kepada pengamalan. Apabila kewajiban telah dilaksanakan, dengan sendirinya hak telah terpenuhi. 

Akan tetapi, dalam kenyataannya, kadangkala salah satu pihak dari suami istri tidak menunaikan kewajibannya, sehingga berdampak negatif terhadap pasangannya. Tidak jarang pula, dalam kehidupan rumah tangga karena faktor-faktor tertentu tidak lagi ditemukan perasaan sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Dalam kondisi demikian, perceraian menjadi alternatif pemecahan yang tidak terhindarkan. Perceraian bagaikan obat, rasanya pahit tetapi dibutuhkan. Menurut sebuah hadis, perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pada pasal 116 menetapkan 8 (delapan) alasan perceraian. Di antaranya : 1) bila salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, 2) bila salah satu pihak (suami maupun istri) dipenjara selama 5 (lima) tahun, 3) bila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dan lain-lain. 

Dalam literatur-literatur fikih, misalnya dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami juz 9, diterangkan bahwasanya pengadilan (qadhi) dapat menceraikan sebuah pernikahan karena: suami tidak memberi nafkah (‘adam al-infaq), penyakit atau cacat (al-’uyub wa al-’ila]), perselisthan dan kekerasan (al-syiqaq wa adh-dharar), pergi (al-ghaibah), dan dikenai hukuman penjara (al-habs). Sudah barang tentu, masing-masing sebab memiliki aturan sendiri-sendiri. 

Dalam hal tidak memberi nafkah, mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali memperbolehkan istri menuntut perceraian. Menurut madzhab Hanafi solusinya lain lagi. Jika suami mampu memberi nafkah tetapi tidak mau, maka dia dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. 

Hak menuntut perceraian akibat ditinggalkan salah satu pasangan adalah pendapat ulama Malikiah dan Hanabilah. Malikiah menetapkan masa selama satu tahun. Sedangkan Hanabilah hanya 6 (enam) bulan. Ulama Hanafiah dan Syafi’iah tidak mengakuinya.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia temyata lebih memiliki pendapat Malikiah dan Hanabilah, dengan batasan waktu yang berbeda, yaitu 2 (dua) tahun. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kepergian pasangan hidup dalam waktu yang lama sangat merugikan secara jasmani dan rohani pihak yang ditinggalkan. Padahal menurut salah satu kaidah fikih, adh-dhararu yuzal yang bersumber dari hadis ‘la dharara wa la dhirara”, hal-hal yang merugikan harus dihilangkan. Pemberian hak menuntut perceraian kepada istri yang diperlakukan demikian oleh suami sejalan pula dengan Al Quran, tepatnya surat Al-Baqarah, ayat 232, sebagai berikut :
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali,) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‘ruf itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu iebih baik bagimu dan lebih suci. Alah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. A1-Baqarah: 232) 

Suami hanya diberikan dua pilihan, mempertahkan istri seraya memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan baik pula. 

Oleh karena suami saudari penanya pergi selama 3 (tiga) tahun, apalagi tanpa memberikan nafkah, maka ia berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Selama pengadilan belum memutuskan perceraian, ikatan perkawinan masih utuh. 

Perceraian tidak dengan sendirinya terjadi dengan adanya alasan-alasan tersebut di atas. Tetapi harus lewat putusan pengadilan setelah pihak yang dirugikan menyampaikan gugatan kepada pengadilan. 

Pihak suami tidak boleh mempersulit gugatan perceraian karena hal itu menjadi hak istri. Kita tidak boleh menghalangi seseorang meraih hak-hanya. Adapun lddah dimulai sejak pangadilan memutuskan perceraian.

Apa Hukum Berhubungan Badan Dengan Istri Saat Istihadhah ?

hukum islam, fikih isla, bilik islam
Tanya : Perempuan istihadhah, apakah boleh dikumpuli suami? (Tn S. Malang)

Jawab : Seperti telah saya bahas pada edisi yang lalu bahwa dari rahim perempuan keluar tiga jenis darah, yaitu : haid, nifas dan istihadhah. 

Nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran anak. Sedangkan haid merupakan darah yang keluar dari rahim perempuan ketika seorang perempuan mencapai usia sembilan tahun hingga menopouse, yang terjadi secara alamiah dalam keadaan sehat dan bukan mengiringi kelahiran. Keduanya memiliki batas maksimal dan minimal. Nifas paling tidak satu tetes, maksimal 60 (enam puluh) hari. Haid paling tidak sehari semalam, máksimal 15 (lima belas) hari. 

Selain darah nifas dan haid dinamakan istihadhah. Istihadhah menurut defnisi fuqaha adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim pada saat seseorang tidak sedang mengalami haid atau nifas. (A1-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 633). 

Dengan demikian, istihadhah bukan sesuatu yang alamiah pada perempuan, tetapi sebuah kelainan, sebuah keadaaan tidak wajar yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Oleh karenanya, penderita istihadhah relatif kecil, sebagaimana perbandingan jumlah orang sehat dan sakit. 

Mengetahui perbedaan antara ketiga jenis darah di atas hukumnya wajib. Karena masing-masing menimbulkan akibat hukum yang berbeda, yang berkaitan dengan larangan dan dispensasi. Salah satu kaidah fikih mengatakan “ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sebuah kewajiban yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa suatu hal, maka hal itu menjadi wajib juga). Menjalankan syariat adalah wajib. Kita tidak bisa melakukannya secara sempurna tanpa mengetahui perbedaan haid dan nifas pada satu sisi, dan istihadhah pada sisi lain. Konklusinya, memahami perbedaaan itu adalah wajib juga.

Penderita haid dan nifas secara hukum dalam banyak hal disamakan. Keduanya diharamkan shalat, thawaf, membaca Al-Quran, menyentuh dan membawa mushat, puasa, berdiam di masjid dan disetubuhi. Akibat kelemahan fisik dan gangguan psikis, maka perempuan yang tengah mengalami haid dan nifas dibebaskan dari kewajiban shalat tanpa harus mengqadha. Mereka juga mendapat dispensasi berbuka pada bulan Ramadhan, tetapi harus mengqadha’ pada bulan yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 624). 

Penderita istihadhah disamakan dengan perempuan yang suci (ath-thahir), tidak mengeluarkan darah. Larangan dan dispensasi akibat haid dan nifas tidak berlaku untuk perempuan yang menderita istihadhah. Ia diwajibkan shalat, puasa, diperkenankan membaca Al-Quran dan lain-lain. Tidak dilarang pula melakukan hubungan suami-istri. (Mausu’ah Al-Fiqh A1 Islami V, 323). 

Dalam sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. memerintahkan perempuan penderita istihadhah menjalankan shalat ketika berkonsultasi kepada beliau. Rasulullah juga memerintahkan Hamnah binti Jahsy melakukan shalat dan puasa ketika menyandang istihadhah. Shahabat Abdurrahman bin Auf berkumpul (Jima’) dengan istrinya Ummu Habibah dalam keadaaan istihadhah. (Nail Al-Authar I, 268, 272, Sublu As-Salam: I, 103)

Saturday, 3 September 2016

Apa Hukum Tradisi Memotong Rambut Bayi Menurut Fikih Islam ?

bilik islam, hkum islam, hukum fikih
Tanya : Dalam masyarakat kita, terutama di Jawa terdapat tradisi memotong rambut bayi sekaligus memberi nama bayi tersebut pada hari ke tujuh. Adakah ajaran agama yang mendasarinya dan bolehkah saya mengikuti tradisi itu? (Rohmah, Pasuruan) 

Jawab : Masyarakat Jawa memang terkenal dengan tradisinya yang beragam, mulai dari yang bersifat ritual yang berbau mistis sampai yang bersifat seremonial. Kalau kita cermati, tradisi yang ada sekarang itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Tradisi di samping dipengaruhi oleh pola pikir sekarang, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tradisi generasi pendahulu. Dengan demikian ia selalu menghubungkan pada generasi pendahulu yang pada saat itu memiliki paham dan agama atau kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak semua tradisi sesuai dengan syariat. Oleh karena itu sebagai pewaris tradisi, hendaknya tidak mengadopsinya secara sporadis, tetapi selalu menimbang atau mengukur terlebih dahulu dengan ukuran syariat. 

Begitu pula dengan apa yang dilakukan orang tua untuk sang bayi. Pada hari ke tujuh kelahirannya, ada acara memotong rambutnya dan memberi nama. Tradisi ini sudah mengakar di masyarakat dan tidak semua tahu apa yang menjadi dasar dari tradisi itu. Padahal kalau kita runut, itu adalah bagian dari sunah Rasul. Memberi nama pada hari ke tujuh dan memotong rambutnya adalah sunah. (AI-Fiqh Al-Is1ami IV, 2751). 

Dalam sebuah hadis shahih riwayat Hakim, Rasul pernah mengatakan pada Sayyidah Fathimah setelah lahirnya Sayyidina Hasan “Potonglah rambutnya dan sedekahlah dengan al-wariq (perak) sesuai dengan timbangan rambut itu.”

Kisah Para Sahabat Hijrah Ke Abessinia (Habasyah)

sejarah nabi, bilik islam
Betapapun kejam dan kerasnya aniaya yang dilakukan kaum Quraisy, selama masih mengenai diri Nabi sendiri, beliau tidak menghiraukannya. Beliau tetap sabar dan semua itu disambutnya dengan balasan kebaikan dan doa kepada Tuhan agar kaumnya ditunjukkan jalan yang lurus. Beliau tetap menyiarkan Islam. Tidak sedikitpun kemurkaan musuh menggetarkan hatinya. 

Namun demikian, melihat para sahabatnya yang tidak bersalah itu dianiaya, hancurlah hati dan bercucuranlah air matanya. Nabi tidak tahan melihat pengikut-pengikutnya menderita karena penganiayaan yang dilakukan kaum Quraisy. Lebih baik melawan musuh seorang diri daripada tidak dapat melindungi para sahabatnya. Untuk itu, Nabi menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berhijrah ke sebuah negeri di benua Afrika, di mana penduduk dan semua golongan mendapat perlindungan di sana. Nabi mengetahui hahwa Negus (Najasi) atau raja di negeri itu adalah seorang yang adil. Tidak pernah ada orang yang teraniaya di sana. Negeri itu adalah Abessinia atau Hahasyah. 

Sebagian kaum muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abessinia untuk menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 dari kerasulan Muhammad saw. Rombongan pertama berangkat sejumlah 10 orang pria dan 4 orang wanita, di antaranya Utsman bin ‘Affan beserta istrinya Ruqayyah binti Rasulullah; Abu Huzai’ah bin Utbah bin Rabi’ah beserta istrinya; Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. 

Mendengar bahwa sebagian kaum muslimin dalam perjalanan hijrah, kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk menangkap orang-orang itu. Namun demikian, kaum muslimin itu telah berlayar lebih dahulu dan akhirnya utusan itu pun kembali dengan perasaan kecewa.

Sekembalinya mereka ke Mekah, kaum Quraisy kembali mengutus dua orang pahlawan mereka, yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amru bin Ash ke Abessinia untuk memohon kepada raja negeri itu agar orang-orang Islam diusir kembali ke tanah airnya. 

Sesampainya kedua orang utusan itu di Abessinia, mereka memberikan berbagai hadiah kepada Raja Negus (Najasi). Setelah itu, mereka mengemukakan permohonan agar orang-orang Islam yang ada di Abessinia dipulangkan kembali atas tuduhan mereka telah mengadakan agama baru yang bertentangan dengan agama bangsa Arab dan agama Nasrani. 

Rupanya Negus tidak mau menerima laporan begitu saja secara sepihak. Sebagai seorang raja yang terkenal adil lagi bijaksana, ia memanggil wakil dari orang-orang Islam untuk didengar keterangannya. Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara dari orang-orang Islam tampil menyampaikan keterangannya secara panjang lebar.
Penjelasan yang disampaikan oleh Ja’far bin Abu Thalib adalah sebagai berikut. “Paduka Raja, dahulu kami adalah masyarakat yang bodoh; kami menyembah berhala; memakan bangkai; melakukan segala kejahatan; memutuskan hubungan silaturahim; saling bermusuhan; dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah. 

Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang kami ketahui asal-usulnya. Ia adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya serta bersih. Ia mengajak kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa dan meninggalkan batu-batu serta berhala-berhala yang selama ini kami dan nenek moyang kami sembah. 

Ia mengajarkan kami untuk tidak berdusta; untuk berkata jujur; serta menyambung hubungan silaturahmi serta saling bertetangga dengan baik. Beliau juga meminta kami menyudahi pertumpahan darah dan meninggalkan perbuatan terlarang lainnya. 

Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan melarang kami berdusta; melarang kami memakan harta anak yatim; atau memfitnah wanita-wanita yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Ia memerintahkan kami melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa, lalu Ja’far menyebutkan beberapa ketentuan Islam. 

Kami pun membenarkannya. Kami taati segala yang diperintahkan Allah. Kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa; tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapapun. Segala yang diharamkan kami jauhi dan segala yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasud supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; agar kami membenarkan keburukan yang pernah kami lakukan dulu. 

"Karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami; menghalang-halangi kami dan agama kami, maka kami pun keluar, pergi ke negeri Tuan ini, Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat Tuan. Dengan harapan, di sini tidak ada penganiayaan.” 

Raja kembali bertanya, “Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat dijadikan bukti untuk memperkuat keterangan saudara?” 

“Ada Paduka Raja,” jawab Ja’far. Kemudian Ja’far membacakan beberapa ayat suci Al Qur’an. Alunan suara ja’far yang khusyu’ dan merdu menggema menggetarkan hati Negus (Najasyi), membuatnya terharu. Setelah mendengar semua itu, Negus dengan tegas menolak permohonan utusan Quraisy. Mereka yang telah meninggalkan tanah airnya demi mempertahankan kepercayaan agamanya diperkenankan menetap di sana dengan aman dan kebebasan menjalankan agamanya. 

Dengan hati kecewa, pulanglah utusan Quraisy itu. Keesokan harinya, datang kembali utusan dari Quraisy menghadap Raja. Mereka mengadukan kepada Raja bahwa orang-oran Islam itu tidak mengakui kesucian Nabi Isa. 

Mendengar laporan itu, Raja bertanya kepada Ja’far. Ja’far menjawab bahwa mereka mengakui bahwa Nabi Isa adalah utusan Tuhan yang termulia, hanya mereka tidak memandangnya sebagai tuhan dan anak Tuhan. 

Jawaban Ja’far sesuai dengan kayakinan Negus (Najasyi) dan ia menolak permohonan utusan Quraisy itu. Dua kali sudah mereka merasakan kekecewaan.

Selama di Abessinia (Habasyah) kaum muslimin merasa aman. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa permusuhan kaum Quraisy sudah berangsur reda, mereka kembali ke Mekah untuk yang pertama kalinya dan Muhammad pun masih di Mekah. Akan tetapi, setelah itu, penduduk Mekah (kaum Quraisy) kembali mengganggu. Maka, pada tahun ke-6 sesudah wahyu pertama turun, mereka kembali lagi ke Abessinia. Kali ini mereka berjumlah 80 orang tanpa wanita dan anak-anak.

Tabir Wanita