Tanya : Perempuan istihadhah, apakah boleh dikumpuli suami? (Tn S. Malang)
Jawab : Seperti telah saya bahas pada edisi yang lalu bahwa dari rahim perempuan keluar tiga jenis darah, yaitu : haid, nifas dan istihadhah.
Jawab : Seperti telah saya bahas pada edisi yang lalu bahwa dari rahim perempuan keluar tiga jenis darah, yaitu : haid, nifas dan istihadhah.
Nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran anak. Sedangkan haid merupakan darah yang keluar dari rahim perempuan ketika seorang perempuan mencapai usia sembilan tahun hingga menopouse, yang terjadi secara alamiah dalam keadaan sehat dan bukan mengiringi kelahiran. Keduanya memiliki batas maksimal dan minimal. Nifas paling tidak satu tetes, maksimal 60 (enam puluh) hari. Haid paling tidak sehari semalam, máksimal 15 (lima belas) hari.
Selain darah nifas dan haid dinamakan istihadhah. Istihadhah menurut defnisi fuqaha adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim pada saat seseorang tidak sedang mengalami haid atau nifas. (A1-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 633).
Dengan demikian, istihadhah bukan sesuatu yang alamiah pada perempuan, tetapi sebuah kelainan, sebuah keadaaan tidak wajar yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Oleh karenanya, penderita istihadhah relatif kecil, sebagaimana perbandingan jumlah orang sehat dan sakit.
Mengetahui perbedaan antara ketiga jenis darah di atas hukumnya wajib. Karena masing-masing menimbulkan akibat hukum yang berbeda, yang berkaitan dengan larangan dan dispensasi. Salah satu kaidah fikih mengatakan “ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sebuah kewajiban yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa suatu hal, maka hal itu menjadi wajib juga). Menjalankan syariat adalah wajib. Kita tidak bisa melakukannya secara sempurna tanpa mengetahui perbedaan haid dan nifas pada satu sisi, dan istihadhah pada sisi lain. Konklusinya, memahami perbedaaan itu adalah wajib juga.
Penderita haid dan nifas secara hukum dalam banyak hal disamakan. Keduanya diharamkan shalat, thawaf, membaca Al-Quran, menyentuh dan membawa mushat, puasa, berdiam di masjid dan disetubuhi. Akibat kelemahan fisik dan gangguan psikis, maka perempuan yang tengah mengalami haid dan nifas dibebaskan dari kewajiban shalat tanpa harus mengqadha. Mereka juga mendapat dispensasi berbuka pada bulan Ramadhan, tetapi harus mengqadha’ pada bulan yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 624).
Penderita istihadhah disamakan dengan perempuan yang suci (ath-thahir), tidak mengeluarkan darah. Larangan dan dispensasi akibat haid dan nifas tidak berlaku untuk perempuan yang menderita istihadhah. Ia diwajibkan shalat, puasa, diperkenankan membaca Al-Quran dan lain-lain. Tidak dilarang pula melakukan hubungan suami-istri. (Mausu’ah Al-Fiqh A1 Islami V, 323).
Dalam sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. memerintahkan perempuan penderita istihadhah menjalankan shalat ketika berkonsultasi kepada beliau. Rasulullah juga memerintahkan Hamnah binti Jahsy melakukan shalat dan puasa ketika menyandang istihadhah. Shahabat Abdurrahman bin Auf berkumpul (Jima’) dengan istrinya Ummu Habibah dalam keadaaan istihadhah. (Nail Al-Authar I, 268, 272, Sublu As-Salam: I, 103)
0 komentar:
Post a Comment