Betapapun kejam dan kerasnya aniaya yang dilakukan kaum Quraisy, selama masih mengenai diri Nabi sendiri, beliau tidak menghiraukannya. Beliau tetap sabar dan semua itu disambutnya dengan balasan kebaikan dan doa kepada Tuhan agar kaumnya ditunjukkan jalan yang lurus. Beliau tetap menyiarkan Islam. Tidak sedikitpun kemurkaan musuh menggetarkan hatinya.
Namun demikian, melihat para sahabatnya yang tidak bersalah itu dianiaya, hancurlah hati dan bercucuranlah air matanya. Nabi tidak tahan melihat pengikut-pengikutnya menderita karena penganiayaan yang dilakukan kaum Quraisy. Lebih baik melawan musuh seorang diri daripada tidak dapat melindungi para sahabatnya. Untuk itu, Nabi menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berhijrah ke sebuah negeri di benua Afrika, di mana penduduk dan semua golongan mendapat perlindungan di sana. Nabi mengetahui hahwa Negus (Najasi) atau raja di negeri itu adalah seorang yang adil. Tidak pernah ada orang yang teraniaya di sana. Negeri itu adalah Abessinia atau Hahasyah.
Sebagian kaum muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abessinia untuk menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 dari kerasulan Muhammad saw. Rombongan pertama berangkat sejumlah 10 orang pria dan 4 orang wanita, di antaranya Utsman bin ‘Affan beserta istrinya Ruqayyah binti Rasulullah; Abu Huzai’ah bin Utbah bin Rabi’ah beserta istrinya; Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf.
Mendengar bahwa sebagian kaum muslimin dalam perjalanan hijrah, kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk menangkap orang-orang itu. Namun demikian, kaum muslimin itu telah berlayar lebih dahulu dan akhirnya utusan itu pun kembali dengan perasaan kecewa.
Sekembalinya mereka ke Mekah, kaum Quraisy kembali mengutus dua orang pahlawan mereka, yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amru bin Ash ke Abessinia untuk memohon kepada raja negeri itu agar orang-orang Islam diusir kembali ke tanah airnya.
Sesampainya kedua orang utusan itu di Abessinia, mereka memberikan berbagai hadiah kepada Raja Negus (Najasi). Setelah itu, mereka mengemukakan permohonan agar orang-orang Islam yang ada di Abessinia dipulangkan kembali atas tuduhan mereka telah mengadakan agama baru yang bertentangan dengan agama bangsa Arab dan agama Nasrani.
Rupanya Negus tidak mau menerima laporan begitu saja secara sepihak. Sebagai seorang raja yang terkenal adil lagi bijaksana, ia memanggil wakil dari orang-orang Islam untuk didengar keterangannya. Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara dari orang-orang Islam tampil menyampaikan keterangannya secara panjang lebar.
Penjelasan yang disampaikan oleh Ja’far bin Abu Thalib adalah sebagai berikut. “Paduka Raja, dahulu kami adalah masyarakat yang bodoh; kami menyembah berhala; memakan bangkai; melakukan segala kejahatan; memutuskan hubungan silaturahim; saling bermusuhan; dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah.
Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang kami ketahui asal-usulnya. Ia adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya serta bersih. Ia mengajak kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa dan meninggalkan batu-batu serta berhala-berhala yang selama ini kami dan nenek moyang kami sembah.
Ia mengajarkan kami untuk tidak berdusta; untuk berkata jujur; serta menyambung hubungan silaturahmi serta saling bertetangga dengan baik. Beliau juga meminta kami menyudahi pertumpahan darah dan meninggalkan perbuatan terlarang lainnya.
Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan melarang kami berdusta; melarang kami memakan harta anak yatim; atau memfitnah wanita-wanita yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Ia memerintahkan kami melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa, lalu Ja’far menyebutkan beberapa ketentuan Islam.
Kami pun membenarkannya. Kami taati segala yang diperintahkan Allah. Kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa; tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapapun. Segala yang diharamkan kami jauhi dan segala yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasud supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; agar kami membenarkan keburukan yang pernah kami lakukan dulu.
"Karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami; menghalang-halangi kami dan agama kami, maka kami pun keluar, pergi ke negeri Tuan ini, Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat Tuan. Dengan harapan, di sini tidak ada penganiayaan.”
Raja kembali bertanya, “Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat dijadikan bukti untuk memperkuat keterangan saudara?”
“Ada Paduka Raja,” jawab Ja’far. Kemudian Ja’far membacakan beberapa ayat suci Al Qur’an. Alunan suara ja’far yang khusyu’ dan merdu menggema menggetarkan hati Negus (Najasyi), membuatnya terharu. Setelah mendengar semua itu, Negus dengan tegas menolak permohonan utusan Quraisy. Mereka yang telah meninggalkan tanah airnya demi mempertahankan kepercayaan agamanya diperkenankan menetap di sana dengan aman dan kebebasan menjalankan agamanya.
Dengan hati kecewa, pulanglah utusan Quraisy itu. Keesokan harinya, datang kembali utusan dari Quraisy menghadap Raja. Mereka mengadukan kepada Raja bahwa orang-oran Islam itu tidak mengakui kesucian Nabi Isa.
Mendengar laporan itu, Raja bertanya kepada Ja’far. Ja’far menjawab bahwa mereka mengakui bahwa Nabi Isa adalah utusan Tuhan yang termulia, hanya mereka tidak memandangnya sebagai tuhan dan anak Tuhan.
Jawaban Ja’far sesuai dengan kayakinan Negus (Najasyi) dan ia menolak permohonan utusan Quraisy itu. Dua kali sudah mereka merasakan kekecewaan.
Selama di Abessinia (Habasyah) kaum muslimin merasa aman. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa permusuhan kaum Quraisy sudah berangsur reda, mereka kembali ke Mekah untuk yang pertama kalinya dan Muhammad pun masih di Mekah. Akan tetapi, setelah itu, penduduk Mekah (kaum Quraisy) kembali mengganggu. Maka, pada tahun ke-6 sesudah wahyu pertama turun, mereka kembali lagi ke Abessinia. Kali ini mereka berjumlah 80 orang tanpa wanita dan anak-anak.
0 komentar:
Post a Comment