Friday, 2 September 2016

Apa Hukum Bunga Investasi Modal Usaha ?

hukum investasi, hukum bunga investasi
Tanya : Saya menanam modal (uang) di koperasi simpan pinjam dan serba usaha milik pengusaha kecil. Tiap bulan saya mendapat bunga uang. Apakah bunga uang yang saya terima tiap bulan itu haram? (Antok, Semarang)

Jawab : Allah membagikan karunia dan menentukan nasib manusia itu sesuai dengan kadar dan hikmah yang sudah ditentukan. Ada sebagian manusia yang dikaruniai hanya pas-pasan dalam materi, bahkan ada yang sampai tidak memiliki harta sama-sekali, tetapi memiliki pengetahuan dan skill dalam dunia usaha. Sementara sebagian yang lain memiliki harta melimpah tetapi sedikit pengetahuan dan skill bahkan tidak punya skill. Atau karena faktor waktu, sebagian orang yang memiliki kelebihan harta terkadang tidak memiliki cukup waktu dan kemampuan untuk mengembangkannya. Sementara sebagian yang lain memiiki kelapangan waktu dan skill tapi tidak memiliki cukup harta untuk modal. Mengapa manusia tidak berpikir untuk menanamkan atau menginvestasikan hartanya pada pengusaha-pengusaha yang mengoperasikan harta secara profesional dan perhitungan manajemen yang bagus? Bagaimana orang yang berharta tidak memberikan hartanya kepada orang yang memiliki skill dan pengetahuan untuk dapat menjalankan hartanya sebagai modal yang kemudian berkembang dan membuahkan hasil (laba)? Apakah tidak lebih baik bekerja sama untuk saling melengkapi kekurangan dan saling membantu. Karena dengan demikian orang yang memiliki kemampuan skill dan pengetahuan dapat mengambil manfaat dari harta si kaya tanpa mengurangi jumlah nominalnya, dan begitu pula sebaliknya si kaya mendapatkan manfaat dari orang yang memiliki skill dan pengetahuan. Terlebih lagi pada unit-unit usaha yang membutuhkan penanaman modal besar dari harta mereka untuk pengembangannya seperti PT, CV, dan usaha kerakyatan yang dikenal dengan koperasi.

Koperasi seperti yang telah kita ketahui adalah sebuah badan usaha yang mengelola unit-unit usaha tertentu. Ia menyediakan perangkat-perangkat usaha seperti tenaga pengelola pada bidangnya dan sistem manajemen usaha. Sebagai badan usaha koperasi tidak cukup hanya didukung tenaga pengelola atau sistem manajeman saja, tapi membutuhkan materi sebagai modal usaha dan pengembangan usahanya.

Di sinilah kemudian timbul simbiosis mutualis di antara pemilik modal yang membutuhkan tenaga pengelola dan koperasi yang bertindak sebagai pengelola modalnya.

Bentuk muarnalah semacam itu oleh fuqaha dinamakan dengan aqdu al-mudharabah yaitu transaksi di antara dua orang dimana yang satu memberikan hartanya pada yang lain untuk dikelola dengan perjanjian pembagian laba yang jelas dan disepakati bersama. (al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba‘ah III, 34). 

Ada beberapa unsur yang harus tercakup dalam akad mudharabah yang disebut dengan arkanu al-mudharabah. Pertama, sighat, yaitu ucapan yang menunjukkan keduanya sedang melakukan transaksi. Sighatini mencakup 2 (dua) unsur, yakni ijab (penetapan) dari pihak pengelola modal, dan qabul (penerimaan) dari pihak penanam modal. Dalam dunia usaha sekarang ini praktik ijab qabul tidak semua dengan lisan tetapi terkadang dalam bentuk tertulis termasuk koperasi yang dalam praktiknya cukup menawarkan prosentase bagi hasil dan penanaman modal sebagai ijabnya yang kemudian disetujui oleh pemilik modal dengan mempercayakan modalnya untuk dikelola koperasi tersebut sebagai tanda qabulnya. Kedua, al-aqidaan (dua orang yang terlibat transaksi) yaitu shahibu al- mal (pemilik harta baca, modal) dan amil (pengelola modal) baik individual maupun kelembagaan (badan usaha). Dan yang ketiga, ra’su al mal atau modal itu sendiri yaitu harta dalam wujud naqdain atau emas maupun perak atau uang yang kadarnya diketahui. (Madzahib Al-Arba‘ah III, 36, Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 232-233). 

Kerjasama semacam itu tentu saja harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan cara-cara yang dibenarkan syariat. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan syarat-syarat tertentu pada akad mudharabah. Syarat itu adalah pertama, al-ithlaq atau adamu at-taqyid artinya modal yang sudah ditanamkan diserahkan sepenuhnya pada pengelola untuk dioperasikan. Tidak dibenarkan pemilik modal menentukan usaha yang akan dijalankan oleh pengelola. Kedua, keuntungan adalah milik bersama, harus ada kesepakatan di antara pemilik dan pengelola dalam hal untung atau laba. Jadi, harus ada komitmen bersama dalam hal ini. Apabila ada laba, maka laba itu dibagi dengan persetujuan yang telah disepakati atau disesuaikan dengan prosentase dan besarnya modal yang telah ditanamkan. Ini sesuai dengan kontribusinya masingm asing pada usaha bersama itu. Yang satu mendapatkan untung dari harta modal yang ditanamkan, dan yang lain mendapatkan untung dari jerih payahnya mengelola modal. Dan yang ketiga, istiqlalu al-amil bi at-tasharruf wa al-ama artinya dalam hal tasharruf atau pengelolaan modal sepenuhnya oleh amil atau pengelola, tidak bekerjasama dengan pemilik modal. (Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 233-235). 

Walhasil, kedudukan bunga (uang bagi hasil) dari penanam modal untuk usaha adalah tidak haram, sepanjang praktiknya sesuai dengan syarat dan rukun sebagaimana diuraikan di atas. Karena transaksi itu termasuk aqdu al-mudharabah yang secara hukum sah dan syariat membolehkannya sesuai dengan ijma‘u ash-shahabah. (Qulyubi III, 51). 

Namun ada pengecualian dalam hukum usaha simpan pinjam. Penyimpanan harta pada badan usaha semacam itu masih ada khilaf sesuai dengan niatan awalnya. Apabila penyimpanan uang itu karena keamanan dan tidak yakin uangnya digunakan untuk larangan agama, maka hukumnya makruh. Adapun hukum pinjam meminjam apabila dijanjikan mendapatkan bunga, maka hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan perjanjian atau bunga itu telah menjadi kebiasaan walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua, haram dan boleh. (Ahkamu Al-Fuqaha, 146 dan 178).

Thursday, 1 September 2016

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Kurang lebih 3 tahun lamanya Rasulullah saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Mulailah pada tahun ke-4 kerasulan Muhammad saw., beliau berdakwah secara terang-terangan. Adapun yang menjadi dasar hukum daripada pelaksanaan dakwah secara terang-terangan adalah firman Allah :


“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Al-Hijr [15]: 94)
 
Adapun dakwah yang disampaikan Muhammad pada waktu itu meliputi :
  1. Allah itu Tuhan yang Maha Esa. Dialah yang menjadikan dan berkuasa selama-lamanya atas alam semesta beserta segala isinya;
  2. Allah-lah Tuhan yang wajib disembah. Setiap orang wajib bersyukur dan menyembah-Nya. Dia-lah yang menjadikan segala kehidupan di dunia ini;
  3. Sesungguhnya, kemuliaan ada di mata Allah. Derajat manusia tidak diukur dengan keturunan, kekuasaan, kekayaan, dan pangkat, melainkan semata-mata atas dasar ketakwaan dan jasanya, sedangkan perbudakan dikutuk oleh Allah;
  4. Setiap yang kaya menolong yang miskin; yang mampu harus menolong yang tidak mampu;
  5. Hidup manusia tidak berhenti dengan kematian. Setelah mati, masih ada kehidupan di akhirat. Tempat setiap orang mempertanggungjawabkan segala amalnya selama hidup di dunia ini. 

Dakwah tentang nilai-nilai hidup yang disampaikan Muhammad bertentangan dengan tradisi Arab yang feodal dan materialistis pada waktu itu. Oleh karenanya, di antara hadirin ada yang nenanggapi pemhicaraan Nabi dengan lemah-lembut, tetapi Abu Lahab menentang dengan kerasnya seraya berkata kepada Abu Thalib, “Tangkap Muhammad sebelum kamu dikeroyok oleh semua orang Arab! Kalau semua orang Arab sudah menentang kamu gara-gara Muhammad, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Kalau kamu serahkan dia kepada mereka, berarti kamu menghinakan dirimu dan kaummu. Kalau mereka ditentang, berarti kamu berperang dengan semua orang Arab.” 

Mendengar agitasi saudaranya itu, Abu Thalib merasa panas. Dengan semangat ia berkata, “Demi Allah, selama kami masih hidup, Muhammad akan kami bela.” 

Abu Lahab semakin marah. Namun demikian, kemarahan serta sikap permusuhan kaum Quraisy tersebut tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah. Setiap hari, ada saja orang yang masuk Islam menyerahkan diri kepada Allah. Kebanyakan mereka terdiri dari kaum wanita, para budak, pekerja, dan orang-orang miskin, namun mereka adalah orang-orang yang menginginkan agama yang benar sebagai pedoman hidup. 

Sifat dan akhlak serta semangat hidup orang yang menggabungkan diri ke dalam agama ini sungguh menakjubkan. Terlebih, mereka tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekadar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang sudah berkecukupan, baik dari harta Khadijah maupun hartanya sendiri. Harta itu tidak mereka pedulikan. Juga tidak akan membahayakan mereka. Ia mengajak orang hidup dalam kasih sayang, lemah-lembut, kemesraan, dan lapang dada. Bahkan, beliau yang menerima wahyu menyebutkan bahwa menumpuk-numpuk kekayaan adalah kutukan terhadap jiwa. 

Sebenarnya, kaum Quraisy yang menentang ajaran yang dibawa Muhammad saw. hanya berpura-pura. Mereka berbicara atas nama agama atau Tuhan, sedangkan pada hakikatnya, mereka hanya khawatir akan kehilangan pengaruh, baik pengaruh materi maupun pengaruh politik. Sebab, mereka yang paling keras menentang ajaran Muhammad adalah para penguasa. Para penguasa kota Mekah yang ingin mempertahankan tradisi lamanya.

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Beberapa bulan kemudian, Jibril datang kembali menyampaikan wahyu berikutnya, yang antara lain menyuruh Muhammad untuk memulai memimpin hamba Allah ke jalan yang benar. Jalan yang diridhai oleh Allah swt. Wahyu tersebut berbunyi :  


“Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah lalu berilah peringatan!” (A1-Muddatstsir [74]: 1-2) 

Turunnya wahyu tersebut membuat Nabi lebih tenang. Kini, ia siap untuk menyampaikan hakikat kebenaran kepada manusia. Rasulullah memulai tugasnya menegakkan kebenaran secara sembunyi-sembunyi di lingkungan rumah sendiri. Khadijah, istrinya yang setia itulah yang pertama kali beriman kepadanya. Dengan pengetahuannya yang luas dan sempurna tentang keindahan budi pekerti dan kebenaran semua perkataan dan pekerjaan Nabi Muhammad, ia yakin bahwa hanya Nabi Muhammadlah orang yang pantas menerima perintah Tuhan memimpin umat manusia. 

Setelah Khadijah, Zaid bin Haritsah ra., anak angkat Nabi sendiri, seorang hamba yang dimerdekakan oleh Nabi, memeluk Islam. Kasih sayang Rasulullah saw. kepadanya lebih dari ayahnya sendiri. Sewaktu ayahnya datang hendak membawa Zaid pulang ke kampung setelah ia merdeka, ia menyatakan lebih suka tinggal dengan Nabi. Cintanya kepada Nabi yang semata-mata dari kebenaran dan kesucian Nabi, menyebabkan dengan mudah ia menjadi manusia yang pertama memeluk Islam. 

Setelah mereka, menyusul Ali bin Abu Thalib. Ia mengetahui benar kejujuran serta kebenaran Nabi saw. karena sejak kanak-kanak, ia hidup bersama Nabi. Ketika Nabi mengaku menjadi utusan Allah, ia berkata, “Pantaslah orang sesuci ia dipilih menjadi Rasul Allah swt.” 

Selain ketiga orang tersebut, di antara penduduk Mekah yang pertama masuk Islam adalah Abu Bakar, teman akrab Nabi sejak kecil. Ia senang sekali kepada Nabi, karena sudah diketahuinya benar bahwa ia seorang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Karena itu, orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah swt. dan meninggalkan penyembahan berhala adalah Abu Bakar. Ia juga laki-laki pertama tempat mengemukaka isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan juga beriman pada ajakannya itu. 

Mereka berempat itulah orang-orang pertama yang beriman pada kenabian serta kerasulan Muhammad saw. Karena alasan tersebut, mereka disebut sebagai “Assaabiquunal Awwaluun.” Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar. Keempat orang ditambah Muhammad saw. itulah yang memiliki tekad kuat dan semangat yang membaja untuk memperkenalkan dan menyiarkan ajaran agama Islam kepada seluruh umat manusia. 

Keempat orang tersebut juga mencerminkan perwakilan masyarakat. Khadijah dan Abu Bakar mewakili golongan dewasa, wanita dan pria, yang dipandang terhormat dan berpengaruh. Zaid, mewakili pria dari kelompok yang dipandang lemah karena dia mantan budak. Sedangkan Ali bin Abu Thalib mewakili anak muda sebagai kader. 

Abu Bakar sendiri sebagai seorang pedagang yang berpegaruh, berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya di antaranya adalah Utsman bin Affan, Az Zubair bin Al Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Abu Bakar mengajak mereka menemui Nabi dan langsung masuk Islam di hadapan Nabi. Mereka yang jumlahnya masih sedikit itu secara sembunyi-sembunyi berkumpul di rumah Rasulullah saw. untuk mempelajari ajaran yang beliau bawa.

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama
Sejak masa kanak-kanak, Muhammad senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia. Sekalipun ia tidak pernah melakukan pekerjaan keji yang umum dilakukan oleh bangsanya, khususnya dalam masalah ibadah kepada Tuhan. Mereka membuat berhala dari batu lalu mereka sembah dengan cara mereka sendiri. 

Mereka membuat tidak kurang dari 360 buah berhala. Setiap suku memiliki berhala masing-masing. Mereka memberi nama berhala-berhala itu dengan nama macam-macam, seperti Hubal, Latta, ‘Uzza, dan sebagainya. 

Melihat kerusakan yang menimpa umat manusia, dalam hati Muhammad timbul perasaan sedih sehingga tertanamlah dalam kalbunya cita-cita yang teguh, hendak membersihkan alam ini dari kebusukan-kebusukan itu. Dengan semakin bertambahnya usia, maka bertambah kuatlah cita-citanya. Saat usia beliau mendekati 40 tahun, timbullah dalam dirinya keinginan untuk berkhalwat (menyepi). 

Seringkali dan terkadang sampai berhari-hari, beliau mengasingkan diri dari kekalutan yang memenuhi negeri, berpisah ke suatu tempat yang sepi dalam sebuah gua batu yang bernama gua Hira. Gua yang terletak beberapa kilometer di utara Mekah. Gua tersebut gelap dan sempit, terletak di lereng gunung, kurang lebih 20 meter dari puncak. Orang yang tidak memiliki keberanian dan keteguhan hati seperti Muhammad tidak akan sanggup memasuki gua itu karena keadaannya yang mengerikan. 

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu, beliau bangun tengah malam. Kalbu dan kesadarannya dihidupkan. Beliau berpuasa lama sekali. Dengan demikian, beliau hidupkan renungan dalam benak beliau. Kemudian, beliau turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di padang sahara. Beliau kembali ke tempat beliau berkhalwat, hendak menguji, apakah yang berkecamuk dalam perasaannya? Apakah yang terlihat dalam mimpinya ?

Hal tersebut berjalan kurang lebih selama 6 bulan, sampai beliau merasa khawatir akan membawa dampak negatif terhadap diri heliau. Oleh karena itu, beliau nyatakan rasa kekhawatiran itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Beliau khawatir kalau itu adalah gangguan jin. 

Tiba-tiba, pada suatu malam, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahirannya, gua yang di tempatinya itu menjadi terang-benderang memancarkan seberkas cahaya yang kemudian menerangi seluruh ruangan dalam gua itu. Pada saat seperti itu, turunlah makhluk dari langit yang berbentuk manusia dengan kecepatan yang luar biasa, lalu menghampiri Muhammad seraya berkata, “Iqra’. (Bacalah)!”
Dengan perasaan kaget Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari‘in (Aku tidak dapat membaca).”
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian melepasnya lagi seraya berkata, 

“Iqra (Bacalah)! “. Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari’in (Aku tidak dapat membaca).” 

Selanjutnya, malaikat itu memeluk Muhammad hingga Muhammad sulit bernapas, lalu malaikat itu melepaskannya seraya berkata : 


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, (Tuhan) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-’Alaq [96]: 1-5) 

Setelah tersadar dari kekagetan itu, Muhammad lalu keluar gua dan melihat ke arah langit. Tampaklah di depan pandangannya suatu bentuk manusia yang sangat besar. Kedua kakinya saja mencapai ufuk penglihatannya. Orang besar itu berseru kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, kamu adalah Rasul Allah dan aku adalah Jibril.” 

Setelah rupa malaikat itu menghilang, Muhammad pulang dengan wahyu yang disampaikan kepadanya. Hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah seraya berkata, “Selimuti aku.” 

Ia segera diselimuti, tubuhnya menggigil seperti sedang demam. Setelah rasa ketakutannya itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. Muhammad berkata, “Mengapa aku ini Khadijah?”. Diceritakannya peristiwa yang telah dialaminya, dan dinyatakan rasa kekhawatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau ia akan.menjadi ahli nujum. 

Untuk lebih menenteramkan diri suaminya, pagi-pagi Khadijah pergi ke rumah seorang pendeta Kristen, Waraqah bin Naufal. Setelah mendengar peristiwa yang diceritakan Khadijah, ia berkata, “Saudaraku, jangan khawatir! Suamimu telah terpilih sebagai Rasul Allah. Allah telah berbicara dengan dia, sebagaimana Dia telah berbicara dengan Musa di gunung Tursina.” 

Dengan nada sedih Waraqah bin Naufal berkata lagi kepada Nabi. “Sekiranya umurku panjang, aku akan membelamu sekuat tenagaku pada saat engkau diusir oleh kaummu.”

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat
Interaksi Muhammad saw. dengan penduduk kota Mekah tidak pernah terputus. Juga partisipasi beliau dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada saat itu, masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, menimpa dan meratakan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sehab, dinding-dinding itu unumnya sudah tua, hampir mencapai 6.000 tahun; dibangun oleh Nabi Ibrahim as. semasa hidupnya. 

Perbaikan Ka’bah dilakukan secara gotong-royong. Dengan sukarela, penduduk Mekah membantu pekerjaan itu. Tetapi, pada saat yang terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad atau batu hitam ditempat semula, dengan tidak disangka-sangka timbullah perselisihan. Setiap orang berkeinginan untuk dapat mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Setiap orang ingin memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula dengan tangannya sendiri. Demikian pula yang lainnya, berkeinginan yang sama, sehingga Hajar aswad menjadi rebutan.

Karena semuanya menginginkan hal yang sama dan setiap orang mengemukakan argumentasi- argumentasinya, akhirnya terjadilah pertengkaran mulut. Selang beberapa waktu, datanglah Ahu Umayyah bin Mughirab dari Bani Makhzum. Ia adalah orang tertua di antara mereka. Ia dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan seperti itu, ia berkata kepada mereka, “Serahkanlah putusan kalian ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa ini.” 

Semua yang datang setuju dengan usul itu. Tetapi, belum disepakati bahwa mereka wajib mematuhi keputusan hakim yang akan datang itu. Demikianlah, akhirnya, semua menaati orang yang pertama kali masuk melalui pintu Shafa. 

Ketika mereka melihat Muhammad adalah orang yang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru, “Inilah Al-Amin. Kami dapat menerima keputusannya.” Pada awalnya, mereka menceritakan permasalahan yang mereka hadapi kepada Muhammad. Mereka meminta agar Muhammad bersedia menjadi hakim.
 
Muhammad menerima pengangkatan itu karena berbagai pertimbangan antara lain :
  1. Permasalahannya adalah memperbaiki Baitullah “Rumah Allah” yang telah menjadi kewajiban suci bagi setiap orang Quraisy;
  2. Beliau sendiri dengan paman-pamannya telah ikut mengangkat batu-hatu dan gunung untuk perhaikan itu;
  3. Orang-orang telah menaruh kepercayaan atas kemampuannya serta mengharapkan bantuannya; dan
  4. Untuk mencegah pertikaian yang tidak berguna, yang hanya menghambat pembangunan. 
Lalu, dimulailah pekerjaan memindahkan Hajar Aswad. Muhammad meminta kepada setiap kepala suku agar ikut serta merasakan mengangkat dan memindahkan Hajar Aswad pada tempat sernula. Beliau menghamparkan sorban dan Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengahnya seraya berkata, “Aku minta, setiap kepala suku memegang tepi kain ini dan mengangkatnya secara bersama-sama.” 

Mereka menerima dan menyambut ajakan Muhammad dengan perasaan senang, Mereka bersama-sama mengangkat tepi ijung sorbannya dan bersama-sama mengangkatnya sampai ke tempat semula. Setelah sampai di tempat semula, Muhammad memegang Hajar Aswad dengan dua tangannya, lalu mengangkat dan meletakkannya sendiri pada tempatnya semula.

Hukum Memanjangkan Kuku Bagi Wanita Muslim (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Memanjangkan Kuku Bagi Wanita Muslim (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : apakah hukumnya seorang wanita memlihara kuku sampai panjang?
Islam menjawab :  sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Saw. Yang berbung :”lima sunnah fitrah yang harus dikerjakan , yakni : khitan, mencukur rambut (bawah), menggunting(merapikan) kumis, memotong kuku dan mencabut rambut ketiak” (hadits riwayat muslim,abu daud dan ahmad).

Dijelaskan juga dalam sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim,abu daud , an nasai dan tumudzi yang berbunyi : “ waktu pelaksanaannya tidak lebih dari 40 hari dalam menggunting kumis,memotong kuku, mencabut rambut ketiak, dan mencukur rambut bawah.” 

Memang kalo binatang buas membutuhkan kuku yang panjang untuk menerkam mangsanya, berbeda dengan manusia yang diciptakan sebagai mahluk yang mulia. Oleh sebab itu wanita tidak diperbolehkan memanjangkan kukunya. Selain itu kuku yang panjang aka menghalangi air ketika kita berwudhu (bersuci) sehingga akan mengurangi keabsahan ibadah yang kita lakukan.

Wednesday, 31 August 2016

Apakah Menurut Fikih Islam Menyusui Saat Junub Dilarang ?

Tanya : Saya pernah mendengar dari beberapa orang bahwa perempuan tidak dibolehkan menyusui bayinya dalam keadaan junub. Alasannya hal itu dapat mengurangi kecerdasan anak Katanya, pendapat ini diperkuat oleh para ulama. Sebenarnya bagaimanakah hukum menyusui anak dalam keadaan junub? (Zuhria, Malang) 

Jawab : Junub adalah orang yang menyandang janabah. Janabah merupakan hadas pertengahan. Sebagian ulama fikih mengklasifikasikan hadas menjadi 3 (tiga): hadas kecil, sedang dan besar. Ketiganya mempunyai sebab dan dampak yang berbeda. Penyebab hadas kecil ada 4 (empat) : kentut, tidur, menyentuh kulit perempuan bukan mahram secara langsung, dan menyentuh kemaluan atau dubur dengan telapak tangan bagian dalam. Janabah terjadi akibat melahirkan, mengeluarkan air mani atau jimak. Sedangkan penyebab hadas besar adalah haid dan nifas. (Nihayah Az-Zain, 31). 

Penyandang hadas kecil dilarang menyentuh dan membawa mushaf serta ibadah-ibadah yang mensyaratkan kesucian, seperti shalat dan thawaf. Larangan bagi penyandang hadas kecil juga berlaku bagi penyandang janabah. Di samping itu orang junub dilarang membaca Al-Quran dan berdiam di masjid. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak boleh melakukan apa yang dilarang bagi orang junub. Haid dan nifas juga menghalangi keabsahan puasa, jimak, bahkan menyentuh bagian tubuh antara pusat dan tengkuk. Semua ini menurut kebanyakan pendapat ulama. 

Selain penyebab dan akibatnya berbeda, cara menghilangkan ketiga hadas tersebut juga tidak sama. Sesuai dengan namanya, cara menghilangkan hadas kecil lebih mudah, yaitu dengan berwudhu. Sementara hadas sedang dan besar dapat dihilangkan dengan mandi. Jika wudhu dan mandi tidak mungkin dilakukan, semua hadas dihilangkan dengan tayamum. 

Berdasarkan beberapa referensi yang sempat saya baca, tidak ada dalil yang mengharamkan orang junub menyusui anak. Memang, terdapat keterangan, misalnya dalam kitab Tuhfah Ath-Thullab, orang junub disunahkan berwudhu apabila mau makan, minum atau tidur. Sebagaimana terdapat sebuah hadis yang menceritakan Rasulullah ketika sedang junub tidak makan dan tidur sebelum berwudhu lebih dahulu. 

Sementara hadis yang melarang perempuan junub menyusui saya belum pemah menemukan. Menganalogikan makan dengan menyusui juga masih perlu dipertanyakan dan membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam. 

Meskipun demikian, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pendapat susu perempuan junub mempengaruhi kecerdasan anak yang disusui. Sebab sebagai orang beragama, kita juga mempercayai hal-hal yang bersifat rohani. Menurut sebuah hadis, ketika melakukan hubungan suami istri, dianjurkan membaca doa tertentu dan senantiasa berdzikir atau ingat kepada Allah. Hadis ini menunjukkan bahwa, kondisi psikologis bapak dan ibu pada saat berjimak berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan. 

Oleh sebab itu, ada baiknya berkonsultasi kepada dokter ahli untuk mencari kejelasan adanya korelasi antara kondisi janabah dengan kurangnya kecerdasan anak. Karena kebenaran di samping diperoleh lewat dalil naqli, dapat pula dicapai dengan dalil aqli lewat serangkaian penelitian dan eksperimen secara ilmiah. 

Namun yang jelas, menyusui pada waktu janabah tidak dtharamkan. Kalaupun dilarang, paling jauh bersifat makruh. 

Di samping tidak adanya -sejauh yang saya tahu- dalil-dalil agama yang melarang, semua orang tahu bahwa ASI sangat penting bagi proses pertumbuhan anak. Sampai-sampai Al Quran perlu menyinggung masalah menyusui. Padahal Al Quran hanya membicarakan perkara-perkara yang sangat penting. Kita pun memaklumi, janabah haid dan nifas dapat terjadi kapan saja. Begitupun kebutuhan anak terhadap ASI bisa datang setiap waktu. Oleh sebab itu, sangat tidak wajar jika melarang orang junub menyusui anaknya. Bukankah Islam itu mudah dipahami dan diamalkan ?

Bolehkah Menebus Dosa Suami Terhadap Istri ?

Bolehkah Menebus Dosa Suami Terhadap Istri ?
Tanya : Saya mempunyai seorang kakak yang melakukan dosa besar terhadap seorang perempuan (istri) di luar nikah. Doa apa yang bisa menebus dosa sangat besar itu karena sebagai adik saya ingin menghilangkan dosa-dosa dari perbuatannya. (Ony, Baja) 

Jawab : Allah Swt. telah memberikan rasa kasih sayang (ar-rahmah) kepada makhluk-Nya. Rasa kasih sayang ini di antaranya termanifestasi dalam pelbagai bentuk hubungan antar manusia, orang tua dengan anak, kakak dengan adik, suami-istri dan lain-lain.

Perasaan tersebut dengan sendirinya menimbulkan keinginan agar orang yang dikasihi terhindar dari hal-hal negatif, walaupun berupa hukuman atas kesalahan yang sudah sewajamya dikenakan padanya. 

Jadi, sangat wajar apabila penanya bermaksud menyelamatkan kakaknya dari sanksi atas kesalahan yang telah dilakukan, dan terdorong untuk melakukan upaya penebusan dosa. 

Dosa atau adz-dzanb adalah ma‘asha aflaaha bih, segala sesuatu yang dengannya seseorang berbuat maksiat dan durhaka kepada Allah. Atau dengan kata lain segala bentuk pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam bentuk perintah maupun larangan (al-awamir wa an-na wahi). 

Pelaku dosa pasti mendapatkan balasan. Balasan tidak hanya terjadi di akhirat saja, sebagaimana anggapan sebagian masyarakat. Akibat dosa tidak jarang sudah dirasakan di dunia ini. Itu pun bermacam-macam jangka waktunya. Bisa seketika sebulan atau setahun, bahkan puluhan tahun lagi. Oleh karena itu, seringkali kita tidak menyadari bahwa pelbagai kegagalan dan kesusahan yang kita alami pada hakikatnya adalah buah dosa yang kita kerjakan sebelumnya. 

Dalam kitab Ad-Da’wa Ad-Dawa’ disebutkan bermacam-macam dampak negatif perbuatan dosa dan maksiat. Antara lain, merusak akal pikiran, mengeraskan hati (qaswah al-qalb) sehingga sulit menerima wejangan-wejangan atau saran-saran, menghilangkan nikmat, menghalangi rezeki, mendapat laknat dari Allah dan Rasul-Nya dan lain-lain. 

Banyak ayat Al-Quran dan hadis yang menunjukkan hal tersebut. Allah berfirman :
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. “(QS. An Nisa’: 123) 

Rasulullah Saw. juga pernah berkata kepada sahabat Abu Bakar RA, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya musibah adalah pembalasan atas kejahatan itu.” 

Permasalahannya sekarang adalah bisakah seseorang terbebas dari hukuman atas dosa yang telah dilakukan ? Apakah yang bisa dia lakukan untuk menghilangkan dosa ?

Allah Itu Maha Adil. Karena keadilan-Nya, manusia menerima balasan sesuai perbuatannya. Di samping itu Allah Maha Pengasih dan Penyayang terhadap hamba-Nya. Berkat kasih saying-Nya, Dia menerima tobat dan memberikan ampunan atas dosa dan kesalahan hamba-Nya, asal mau menyesali dan memperbaiki diri, yang dalam istilah agama disebut tobat (at-taubah). Allah berfirman :
Artinya : ‘Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dijalan yang benar.” (QS. Thaha: 82) 

Banyak ayat yang menjelaskan bahwa Allah itu “At-Ta wwab’ atau Dzat penenma tobat. At-Ta wwab dan At-Taib termasuk salah satu asma Allah yang mulia (al-asma’ al-husna). 

Arti tobat jika dilihat dari segi bahasa adalah al-ruju’ ‘an al syai’i, meningalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah meninggalkan sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, untuk selanjutnya mengerjakan sesuatu yang diridhai-Nya. (Is’adu ArRafiq, 141). 

Tobat mempunyai beberapa. persyaratan yaitu, pertama al nadm, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, kedua al iqla meninggalkan dosa tersebut dengan seketika, ketiga al‘azm ‘ala ‘an la ya‘ud ilaiha, niat tidak akan mengulangi lagi perbuatan serupa pada masa yang akan datang, keempat al-istighfar, memohon ampunan kepada Allah, misalnya dengan membaca “rabbighfir lii khathiiatii”atau “Allahumma ighfir lii min dzanbi”dan lain-lain. Kalau dosanya berupa meninggalkan kewajiban maka harus diqadha’ Dan jika berhubungan dengan hak-hak sesama manusia maka harus diselesaikan dengan cara melunasi atau meminta maaf sesuai dengan aturan yang diatur oleh syara’.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka yang mesti penanya lakukan adalah menasehati sang kakak supaya lekas bertobat. Dosa besar tidak cukup dihilangkan dengan sekedar berdoa. Tetapi dengan bertobat oleh yang bersangkutan, dalam hal ini kakak penanya sendiri.

Tabir Wanita