Tanya : Saya menanam modal (uang) di koperasi simpan pinjam dan serba usaha milik pengusaha kecil. Tiap bulan saya mendapat bunga uang. Apakah bunga uang yang saya terima tiap bulan itu haram? (Antok, Semarang)
Jawab : Allah membagikan karunia dan menentukan nasib manusia itu sesuai dengan kadar dan hikmah yang sudah ditentukan. Ada sebagian manusia yang dikaruniai hanya pas-pasan dalam materi, bahkan ada yang sampai tidak memiliki harta sama-sekali, tetapi memiliki pengetahuan dan skill dalam dunia usaha. Sementara sebagian yang lain memiliki harta melimpah tetapi sedikit pengetahuan dan skill bahkan tidak punya skill. Atau karena faktor waktu, sebagian orang yang memiliki kelebihan harta terkadang tidak memiliki cukup waktu dan kemampuan untuk mengembangkannya. Sementara sebagian yang lain memiiki kelapangan waktu dan skill tapi tidak memiliki cukup harta untuk modal. Mengapa manusia tidak berpikir untuk menanamkan atau menginvestasikan hartanya pada pengusaha-pengusaha yang mengoperasikan harta secara profesional dan perhitungan manajemen yang bagus? Bagaimana orang yang berharta tidak memberikan hartanya kepada orang yang memiliki skill dan pengetahuan untuk dapat menjalankan hartanya sebagai modal yang kemudian berkembang dan membuahkan hasil (laba)? Apakah tidak lebih baik bekerja sama untuk saling melengkapi kekurangan dan saling membantu. Karena dengan demikian orang yang memiliki kemampuan skill dan pengetahuan dapat mengambil manfaat dari harta si kaya tanpa mengurangi jumlah nominalnya, dan begitu pula sebaliknya si kaya mendapatkan manfaat dari orang yang memiliki skill dan pengetahuan. Terlebih lagi pada unit-unit usaha yang membutuhkan penanaman modal besar dari harta mereka untuk pengembangannya seperti PT, CV, dan usaha kerakyatan yang dikenal dengan koperasi.
Koperasi seperti yang telah kita ketahui adalah sebuah badan usaha yang mengelola unit-unit usaha tertentu. Ia menyediakan perangkat-perangkat usaha seperti tenaga pengelola pada bidangnya dan sistem manajemen usaha. Sebagai badan usaha koperasi tidak cukup hanya didukung tenaga pengelola atau sistem manajeman saja, tapi membutuhkan materi sebagai modal usaha dan pengembangan usahanya.
Di sinilah kemudian timbul simbiosis mutualis di antara pemilik modal yang membutuhkan tenaga pengelola dan koperasi yang bertindak sebagai pengelola modalnya.
Bentuk muarnalah semacam itu oleh fuqaha dinamakan dengan aqdu al-mudharabah yaitu transaksi di antara dua orang dimana yang satu memberikan hartanya pada yang lain untuk dikelola dengan perjanjian pembagian laba yang jelas dan disepakati bersama. (al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba‘ah III, 34).
Ada beberapa unsur yang harus tercakup dalam akad mudharabah yang disebut dengan arkanu al-mudharabah. Pertama, sighat, yaitu ucapan yang menunjukkan keduanya sedang melakukan transaksi. Sighatini mencakup 2 (dua) unsur, yakni ijab (penetapan) dari pihak pengelola modal, dan qabul (penerimaan) dari pihak penanam modal. Dalam dunia usaha sekarang ini praktik ijab qabul tidak semua dengan lisan tetapi terkadang dalam bentuk tertulis termasuk koperasi yang dalam praktiknya cukup menawarkan prosentase bagi hasil dan penanaman modal sebagai ijabnya yang kemudian disetujui oleh pemilik modal dengan mempercayakan modalnya untuk dikelola koperasi tersebut sebagai tanda qabulnya. Kedua, al-aqidaan (dua orang yang terlibat transaksi) yaitu shahibu al- mal (pemilik harta baca, modal) dan amil (pengelola modal) baik individual maupun kelembagaan (badan usaha). Dan yang ketiga, ra’su al mal atau modal itu sendiri yaitu harta dalam wujud naqdain atau emas maupun perak atau uang yang kadarnya diketahui. (Madzahib Al-Arba‘ah III, 36, Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 232-233).
Kerjasama semacam itu tentu saja harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan cara-cara yang dibenarkan syariat. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan syarat-syarat tertentu pada akad mudharabah. Syarat itu adalah pertama, al-ithlaq atau adamu at-taqyid artinya modal yang sudah ditanamkan diserahkan sepenuhnya pada pengelola untuk dioperasikan. Tidak dibenarkan pemilik modal menentukan usaha yang akan dijalankan oleh pengelola. Kedua, keuntungan adalah milik bersama, harus ada kesepakatan di antara pemilik dan pengelola dalam hal untung atau laba. Jadi, harus ada komitmen bersama dalam hal ini. Apabila ada laba, maka laba itu dibagi dengan persetujuan yang telah disepakati atau disesuaikan dengan prosentase dan besarnya modal yang telah ditanamkan. Ini sesuai dengan kontribusinya masingm asing pada usaha bersama itu. Yang satu mendapatkan untung dari harta modal yang ditanamkan, dan yang lain mendapatkan untung dari jerih payahnya mengelola modal. Dan yang ketiga, istiqlalu al-amil bi at-tasharruf wa al-ama artinya dalam hal tasharruf atau pengelolaan modal sepenuhnya oleh amil atau pengelola, tidak bekerjasama dengan pemilik modal. (Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 233-235).
Walhasil, kedudukan bunga (uang bagi hasil) dari penanam modal untuk usaha adalah tidak haram, sepanjang praktiknya sesuai dengan syarat dan rukun sebagaimana diuraikan di atas. Karena transaksi itu termasuk aqdu al-mudharabah yang secara hukum sah dan syariat membolehkannya sesuai dengan ijma‘u ash-shahabah. (Qulyubi III, 51).
Namun ada pengecualian dalam hukum usaha simpan pinjam. Penyimpanan harta pada badan usaha semacam itu masih ada khilaf sesuai dengan niatan awalnya. Apabila penyimpanan uang itu karena keamanan dan tidak yakin uangnya digunakan untuk larangan agama, maka hukumnya makruh. Adapun hukum pinjam meminjam apabila dijanjikan mendapatkan bunga, maka hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan perjanjian atau bunga itu telah menjadi kebiasaan walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua, haram dan boleh. (Ahkamu Al-Fuqaha, 146 dan 178).