Thursday, 1 September 2016

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama
Sejak masa kanak-kanak, Muhammad senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia. Sekalipun ia tidak pernah melakukan pekerjaan keji yang umum dilakukan oleh bangsanya, khususnya dalam masalah ibadah kepada Tuhan. Mereka membuat berhala dari batu lalu mereka sembah dengan cara mereka sendiri. 

Mereka membuat tidak kurang dari 360 buah berhala. Setiap suku memiliki berhala masing-masing. Mereka memberi nama berhala-berhala itu dengan nama macam-macam, seperti Hubal, Latta, ‘Uzza, dan sebagainya. 

Melihat kerusakan yang menimpa umat manusia, dalam hati Muhammad timbul perasaan sedih sehingga tertanamlah dalam kalbunya cita-cita yang teguh, hendak membersihkan alam ini dari kebusukan-kebusukan itu. Dengan semakin bertambahnya usia, maka bertambah kuatlah cita-citanya. Saat usia beliau mendekati 40 tahun, timbullah dalam dirinya keinginan untuk berkhalwat (menyepi). 

Seringkali dan terkadang sampai berhari-hari, beliau mengasingkan diri dari kekalutan yang memenuhi negeri, berpisah ke suatu tempat yang sepi dalam sebuah gua batu yang bernama gua Hira. Gua yang terletak beberapa kilometer di utara Mekah. Gua tersebut gelap dan sempit, terletak di lereng gunung, kurang lebih 20 meter dari puncak. Orang yang tidak memiliki keberanian dan keteguhan hati seperti Muhammad tidak akan sanggup memasuki gua itu karena keadaannya yang mengerikan. 

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu, beliau bangun tengah malam. Kalbu dan kesadarannya dihidupkan. Beliau berpuasa lama sekali. Dengan demikian, beliau hidupkan renungan dalam benak beliau. Kemudian, beliau turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di padang sahara. Beliau kembali ke tempat beliau berkhalwat, hendak menguji, apakah yang berkecamuk dalam perasaannya? Apakah yang terlihat dalam mimpinya ?

Hal tersebut berjalan kurang lebih selama 6 bulan, sampai beliau merasa khawatir akan membawa dampak negatif terhadap diri heliau. Oleh karena itu, beliau nyatakan rasa kekhawatiran itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Beliau khawatir kalau itu adalah gangguan jin. 

Tiba-tiba, pada suatu malam, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahirannya, gua yang di tempatinya itu menjadi terang-benderang memancarkan seberkas cahaya yang kemudian menerangi seluruh ruangan dalam gua itu. Pada saat seperti itu, turunlah makhluk dari langit yang berbentuk manusia dengan kecepatan yang luar biasa, lalu menghampiri Muhammad seraya berkata, “Iqra’. (Bacalah)!”
Dengan perasaan kaget Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari‘in (Aku tidak dapat membaca).”
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian melepasnya lagi seraya berkata, 

“Iqra (Bacalah)! “. Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari’in (Aku tidak dapat membaca).” 

Selanjutnya, malaikat itu memeluk Muhammad hingga Muhammad sulit bernapas, lalu malaikat itu melepaskannya seraya berkata : 


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, (Tuhan) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-’Alaq [96]: 1-5) 

Setelah tersadar dari kekagetan itu, Muhammad lalu keluar gua dan melihat ke arah langit. Tampaklah di depan pandangannya suatu bentuk manusia yang sangat besar. Kedua kakinya saja mencapai ufuk penglihatannya. Orang besar itu berseru kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, kamu adalah Rasul Allah dan aku adalah Jibril.” 

Setelah rupa malaikat itu menghilang, Muhammad pulang dengan wahyu yang disampaikan kepadanya. Hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah seraya berkata, “Selimuti aku.” 

Ia segera diselimuti, tubuhnya menggigil seperti sedang demam. Setelah rasa ketakutannya itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. Muhammad berkata, “Mengapa aku ini Khadijah?”. Diceritakannya peristiwa yang telah dialaminya, dan dinyatakan rasa kekhawatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau ia akan.menjadi ahli nujum. 

Untuk lebih menenteramkan diri suaminya, pagi-pagi Khadijah pergi ke rumah seorang pendeta Kristen, Waraqah bin Naufal. Setelah mendengar peristiwa yang diceritakan Khadijah, ia berkata, “Saudaraku, jangan khawatir! Suamimu telah terpilih sebagai Rasul Allah. Allah telah berbicara dengan dia, sebagaimana Dia telah berbicara dengan Musa di gunung Tursina.” 

Dengan nada sedih Waraqah bin Naufal berkata lagi kepada Nabi. “Sekiranya umurku panjang, aku akan membelamu sekuat tenagaku pada saat engkau diusir oleh kaummu.”

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita