Thursday, 25 August 2016

Pengertian Dan Sebab Sujud Sahwi

pengertian sujud sahwi, sebab sujud sahwi, tata cara sujud sahwi, bacaan sujud sahwi,
Sujud sahwi adalah sujud tambahan dalam sholat yang dilakukan ketika ada kelupaan dalam gerakan sholat.

Sebab-sebab sujud sahwi adalah : 

1. Ketinggalan tasyahud pertama atau ketinggalan qunut, menurut pendapat-.pendapat yang telah dijelaskan terdahulu dalam pembahasan sunat yang lebih penting. 

Sabda Rasulullah Saw. :
“Dari Al-Mugirah. Rasulullah Saw. telah berkata, “Apabila salah seorung dari kamu berdiri sesudah dua rakaat tetapi ia belurn sampai sempurna berdiri, hendaklah ia duduk kembali (untuk tasyahud pertama); dan, jika Ia sudah berdiri betul, maka ia jangan duduk kembali, dan hendaklah ia sujud dua kali (sujud sahwi)” (RIWAYAT AHMAD)


2. Kelebihan rakaat, rukuk, atau sujud karena lupa. 

Sabda Rasulullah Saw. :
“Dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah salat Lohor lima rakaat. Maka orang bertanya kepada beliau. Jawab beliau, ‘Tidak. Mereka yang melihat beliau salat berkata, ‘Engkau telah salat limu rakaat.’ Mendengar keterangan mereka demikian, maka beliau terus sujud dua kali.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

3. Karena syak (ragu) tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan. Umpamanya ragu apakah rakaat yang sudah dikerjakan itu tiga atau empat, maka hendaklah Ia tetapkan bilangan yang diyakininya, yaitu tiga rakaat, maka Ia tambah satu rakaat lagi, kemudian sujud sahwi sebelum memberi salam. 

Sabda Rasulullah Saw. :
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri. Nabi Saw. berkata, “Apabila salah satu dari kamu ragu dalarn salat, apakah ia sudah mengerjakan tiga atau empat, maka hendaklah dihilangkannya keraguan itu, dan diteruskan salatnya menurut yang diyakini, kemudian hendaklah sujud dua kali sebelum salam.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

4. Apabila kurang rakaat salat karena lupa. 

Sabda Rasulullah Saw. :

“Abu Hurairah r.a. telah rnenceritakan hadis berikut: Nabi Saw melakukan salah satu dari dua salat sore hari hanya dua rakaat, lalu memberi salam kemudian beliau berdiri menuju ke sebuah tonggak kayu di depan rnasjid, lalu meletakkan tangan di atasnya, sedangkan diantara kaum (yang bermakmum) terdapat Abu Bakar dan Umar, tetapi keduanya merasa segan berbicara kepadanya Kemudian keluarlah (dari masjid) orang-orang yang tergesa-gesa seraya mengatakan “shalat telah dipersingkat”, diantara kaum itu terdapat seorang laki-laki yang dipanggil oleh Nabi Saw dengan nama julukan zu1 Yadain. Lalu laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah apakah engkau lupa, ataukah salat telah diperpendek?’ Nabi Saw menjawab’ “Aku tidak lupa dan salat tidak diperpendek.” Lelaki itu berkata “Memang benar, engkau telah lupa.” Maka Nabi Saw. salat (lagi) dua rakaat, lalu bersalam. Kemudian Nabi Saw. bertakbir dan melakukan sujud seperti sujud sebelumnya atau lebih lama (daripadanya), lalu beliau mengangkat kepalanya seraya hertakbir dan melakukan sujud lagi sama dengan sujud sebelumnya atau lebih lama lagi, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bertakbir. (MUTTAFAQ ‘ALAIH. LAFAZ HADIS INI MENURUT IMAM BUKHARI)
Yang dimaksud dengan “Salah satu dari dua salat sore hari” ialah, riwayat Imam Muslim menafsirkannya sebagai salat Asar. Al-’asyiyyi ialah waktu antara tergelincir hingga terbenamnya matahani. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa salat yang dimaksud adalah salat Lohor. Perbedaan pendapat ini terjadi mungkin karena kisahnya banyak.

Dengan hadis ini sebagian ulama berpendapat bahwa sujud sahwi itu tempatnya sesudah memberi salam, bukan sebelumnya. Hukum sujud sahwi itu sunat, yang penting ialah untuk imam dan orang yang salat sendiri, sedangkan makmum wajib mengikuti imamnya. Berarti kalau imam sujud, ya wajib pula sujud mengikuti imamnya; dan apabila imam tidak sujud, ia tidak boleh sujud sendiri.

Bacaan sujud sahwi sama dengan bacaan sujud rukun. Begitu juga bacaan duduk antara dua sujud, sama dengan bacaan duduk antara dua sujud yang masuk rukun.

Wednesday, 24 August 2016

Kelahiran Nabi Muhammad SAW

sejarah kelahiran nabi muhammad saw, bilik islam
Beberapa wuktu setelah pernikahannya, Alhamdulillah dengan Aminah tinggal di rumah orang tuanya. Tidak lama kemudian, Abdullah berangkat ke Suriah membawa barang dagangan. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Yatsrib. Karena Abdullah meninggal pada masa yang relatife muda, ia tidak banyak meninggalkan warisan. Ia hanya meninggalkan sebuah rumah, lima ekor unta dan sejumlah kambing serta seorang budak perempuan, Ummu Aiman namanya. 

Mendengar suami yang amat dicintainya itu meninggal, Aminah terkejut dan sedih sekali. Kesedihan ini lebih menekan perasaannya karena ia dalam keadaan hamil. Hatinya meratap bila ia membayangkan nasib anaknya yang masih dalam kandungannya itu yang akan lahir sebagai anak yatim. Dengan sabar, ia menunggu kelahiran anaknya, karena setiduk-tidaknya anak yang akan lahir itu kelak menjadi pelipur lara serta penghibur duka yang selama ini meliputi dirinya. 

Akhirnya, tibalah saat yang dinanti-nanti itu. Lahirlah bayi Muhammad. Aminah sendiri tidak menduga bahwa pada malam menjelang dini hari, Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M, ia akan melahirkan bayi yang dikandungnya itu. 

Abdul Muthalib, begitu mendengar cucunya lahir, langsung berlari-lari mendatangi rumah Aminah. Diangkatlah bayi yang baru lahir itu. Diciuminya. Didekapnya, lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia thawaf setengah berlari mengelilingi Ka’bah menggendong bayi yang baru saja lahir itu. 

Sekembalinya dari Ka’bah, ia berkata kepada menantunya, “Bayi ini akan kuberi nama Muhammad. Aku berharap agar seluruh dunia sampai akhir memuji ia (Muhammad).” Sedangkan ibunya sendiri, juga sudah memberi nama bayinya itu, Ahmad. Nama Ahmad ini sudah disebut dalam Taurat dan Injil lebih dahulu. Kedua nama tersebut, yakni Muhammad dan Ahmad, juga telah disebut di dalam AL- Qur’anul Karim.

Peristiwa Luar Biasa Menjelang Lahirnya Nabi Muhammad SAW

Peristiwa Luar Biasa Menjelang Lahirnya Nabi Muhammad SAW, cerita nabi muhammad lahir, keanehan saat nabi muammad lahir, kejadian saat nabi muhammad lahir, pasukan gajah menyerang ka'bah, serita mabi mhammad lengkap.
Pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW., ada satu pasukan musuh dengan kendaraan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Kerajaan Hahsyim di Yaman. Ia hendak menghancurkan Ka’bah. OIeh karena itu, tahun tersebut dinamakan tahun Gajah. 

Ka’bah, sebagai rumah Tuhan, dalam setiap tahunnya selalu dikunjungi oleh umat manusia dari berbagai negeri untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini menyebabkan negeri Mekah menjadi semakin ramai dan bangsa Quraisy yang menguasai Ka’bah itu makin terhormat dan mendapat penghidupan yang layak pula. Dengan keadaan yang demikian itu, timbul niat buruk di hati Abrahah. Ia berusaha membelokkan umat manusia agar tidak lagi datang ke Mekah setiap tahunnya, tetapi datang ke Yaman untuk menunaikan ibadab haji. Lalu, ia mendirikan gereja besar di Shan’a yang diberi nama Al-Qullais sebagai pengganti Ka’bah di Mekah itu. 

Namin demikian, tak seorang pun di antara manusia bangsa Arab yang mau menunaikan ibadah haji ke gereja itu. Hati Abrahah semakin panas setelah terbukti bahwa tak seorang pun dan bangsa Arab yang mau mengubah Ka’bah mereka ke Yaman. Abrahab hersumpah akan meruntuhkan Ka’bah yang ada di kota Mekah. Ia mengira jika Ka’bah telah dihancurkan, tentu tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk datang ke Mekah. Kemudian Abrahah mernpersiapkan tentara yang besar jumlahnya dengan berkendaraan gajah untuk meruntuhkan Ka’bah. 

Pasukan bergajah itu menuju ke Mekah. Di dekat Mekah, pasukan itu berhenti. Abrahah mengutus kurir untuk menemui Abdul Muthalib dengan pesan bahwa kedatangan mereka semata-mata hanya untuk meruntuhkan Ka’bah, sama sekali tidak untuk memerangi penduduk Mekah, kecuali bila ada perlawanan. Sementara itu, pasukannya telah merampas harta penduduk di sekitar tempat mereka herkemah termasuk seratus ekor unta milik Abdul Muthalib.

Peristiwa yang tidak mengenal adat orang Arab saat itu, menimbulkan kemarahan yang memuncak di kalangan bangsa Quraisy. Di antara mereka, banyak yang ingin membunuh Abrahah. Namun demikian, mengingat tentara Abrahah yang kuat itu, Abdul Muthalib dan rakyat Mekah sadar bahwa dirinya tidak akan mampu melawan. Karena itu, Abdul Muthalib menganjurkan kepada segenap penduduk mengungsi ke luar kota. 

Dengan tidak disangka-sangka, datanglah seorang utusan Abrahah, membawa sepucuk surat. Surat tersebut antara lain berisi bahwa Abrahah ingin bertemu dengan pimpinan kota Mekah. Tak lama kemudian datanglah Ahdul Muthalib dengan hati yang mantap memenuhi panggilan Abrahah. Dalam pertemuan itu, Abdul Muthalib diperlakukan sebagaj tamu terhormat. Abrahah berkenan duduk bersama-sama Abdul Muthalib. Dalam pembicaraan itu, Abdul Muthalib hanya meminta agar semua unta yang telah dirampas Abrahah dikembalikan kepadanya. 

Mendengar perkataan Abdul Muthalib, Abrahah menyahut dengan sinis, “Semula aku sangat segan kepadamu. Namun, setelah mendengar perkataanmu, akhirnya aku tahu hahwa kamu seorang yang berjiwa kerdil. Aku datang untuk meruntuhkan Ka’bah, mengapa unta yang kamu persoalkan, sedangkan agama dan Ka’bah yang kamu miliki itu kamu lupakan?” 

Abdul Muthalib menjawab, “Unta-unta itu adalah milikku. Aku wajib mempertahankan milikku, sedangkan Ka’bah itu adalah milik Tuhan. Tuhan sendirilah yang akan menjaga dan memeliharanya.” 

Lalu, seluruh unta milik Abdul Muthalib dikembalikan. Kemudian, Abdul Muthalib memohon kepada Allah SWT., “Ya Allah, tidak ada yang kami harapkan dari-Mu. Selamatkanlah rumah-Mu ini dari serangan mereka. Musuh rumah-Mu adalah musuh-Mu juga.”

Selesai berdoa, Abdul Muthalib beserta segenap penduduk kota berduyun-duyun mengungsi ke luar kota Mekah. 

Sementara itu, Abrahah merasa senang karena tidak ada perlawanan dari penduduk kota Mekah dan bahkan, Ahrahah menganggap mudah untuk menghancurkan rumah Allah itu. 

Kota Mekah tampak sunyi. Tentara Abraham mulai bergerak untuk memasuki kota Mekah. Sekonyong-konyong, Allah menurunkan balatentara dengan cara mengutus burung Abaabiil. Setiap burung bergerak dengan membawa batu kerikil yang bernama Sijjiil dengan paruhnya. Batu-batu kerikil itu, oleh burung-burung Abaabiil dijatuhkan tepat mengenai kepala setiap pasukan bergajah, hingga tembus ke otaknya lalu tembus ke badan kendaraannya, hingga pasukan-pasukan bergajah itu mati bersama gajah yang ditungganginya. Peristiwa tersebut membuat Abrahah panik lalu melarikan diri kembali ke Yaman. Akan tetapi, dirinya tak luput dari balatentara Allah, burung Abaabiil, hingga menemui ajal. 

Peristiwa pasukan bergajah yang diazab oleh Allah SWT. dengan mengirimkan sejenis burung yang menyerang mereka sampai binasa dapat disimak dalam surat Al-Fiil dari ayat 1 sampai 5 sebagai berikut.

Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tana yang terbakar, lalu Dia jadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)” (Al Fiil {105} 1-5)

Demikianlah kisah peristiwa pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah yang diazab oleh Allah sehingga mereka mengalami kehancuran yang sangat. 

wadi muhassir, tempat pasukan gajah dihancurkan Allah melalui burung ababil

Beberapa bulan setelah peristiwa serbuan pasukan bergajah itu, lahirlah bayi dari kandungan Aminah. Kelahirannya memberi rahmat bagi seluruh alam. Bayi tersebut adalah Muhammad SAW., Nabi serta Rasul penutup.

Menjelang kelahirannya, kakeknya, Abdul Muthalib bermimpi. Dalam mimpinya pada punggung Abdul Muthalib tumbuh sebatang pohon yang cabang atasnya mencapai langit dan cabang sampingnya merentang dari timur ke barat. Selanjutnya, seberkas cahaya yang lebih terang dari matahari bersinar dari pohon itu, baik orang Arab maupun orang Persia mempercayainya. 

Berdasarkan mimpi itu, para ahli tafsir mimpi menafsirkan mimpi tersebut seraya berkata kepada Abdul Muthalib, hahwa seseorang akan dilahirkan dalam keluarga yang akan menerangi timur dan barat, dan yang akan menjadi Nabi bangsa Arab maupun bangsa Persia. 

Demikian juga ibunya, Aminah, mengalami berbagai mimpi sejak pertama kali mengandung. Ia senantiasa mimpi didatangi oleh para Nabi dengan membawa kabar gembira, hahwa bayi yang dikandungnya itu kelak akan menjadi pelita duni yang menerangi seluruh jagat raya ini, dari timur sampai barat. 

Lebih ianjut, menjelang kelahirannya, Aninah juga bermimpi. Dalam mimpinya Ia mclihat seberkas cahaya yang sangat terang menyi1aukan mata, memancar keluar dari tubuhnya. Cahaya itu menebar dan meluas ke seluruli alam, hingga tidak ada satu sudutpun yang tidak disinarinya. Dengan sinar itu, seluruh permukaan bumi menjadi berubah, dari gelap menjadi terang.

Aniinah merasa heran akan mimpi-mimpinya itu. Dia percaya bahwa mimpinya itu ada hubungannya dengan bayi yang sedang dikandungnya, tetapi ia tau maksud dari mimpi-mimpinya itu. Namun demikian, hati Aminah semakin yakin akan bayi yang sedang dikandungnya itu, bukanlah sembarang bayi. 

Dalam suatu riwayat diceritakan hahwa pada suatu malam, ketika Nabi Muhammad SAW. akan lahir, Aminah didatangi orang perempuan muda, cantik sekali parasnya. Mereka memakai pakaian-pakaian yang indah serta memakai wangi-wangian yang harum semerbak memenuhi ruangan rumahnya. Mereka memperkenalkan diri seraya berkata, “Kami adalah Asiyah dan Maryam. Kami sengaja datang ke sini atas perintah Tuhan untuk menyambut kelahiran putramu yang kelak menjadi Nabi akhir zaman.” 

Aminah menyambut kedatangan kedua tamu perempuan itu dengan senang hati. Seorang demi seorang, menjabat tangannya serta memandang dengan senyum mesra dan mendoakannya. Kedua perempuan itulah yang bertindak sebagai bidan mengurusi bayinya dengan dibantu oleh beberapa orang bidadari teman mereka. Sampai akhirnya, selesailah proses kelahiran itu. Mereka menemaninya hingga waktu subuh tiba kemudian mereka pamit meninggalkannya. Inilah beberapa kejidian luar biasa pada saat Nabi masih dalam kandungan ibunya hingga nenjelang kelahirannya.

Keturunan Nabi Muhammad SAW

Keturunan Nabi Muhammad SAW, silsilah nabi muhammad, nenek moyang nabi muhammad, kelahiran nabi muhammad, bulan kelahiran nabi muhammad, tahun kelahiran nabi muhammad, tanggal kelahiran nabi muhammad, kakek nabi muhammad, ayah nabi muhammad, ibu nabi muhammad.
Nabi Isma’il as. adalah putra Ibrahim dari perkawinannya dengan istri keduanya, Hajar. Suku Quraisy adalah cabang yang terkenal dari bangsa Arab keturunan Isma’il. 

Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy. Artinya, saudagar,Ia hidup pada ahad ke-3 Masehi. Ia adalah keturunan Ma’ad anak Adnan, keturunan langsung dari Ismail as.

Qushay, salah seorang keturunan Fihr, pada ahad ke-5 Masehi herhasil mempersatukan semua suku Quraisy dan berangsur-angsur menguasai seluruh Hijaz. Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan membahas hal- hal yang menyangkut kepentingan umurn. Ia juga menarik pajak dan menyediakan makanan serta air untuk jamaah haji pada musim haji. 

Pada tahun 480 M, Qushay meninggal dunia. Sepeninggal Qushay, tanggung jawab kekuasaannya digantikan oleh anaknya, Ahdul-Daar. Setelah Abdul-Daar meninggal, terjadilah sengketa antara kedua belah pihak, yaitu antara cucu-cucu Abdul-Daar dengan anak-anak Abdul Manaf. Setelah peristiwa ini, diadakan pembagian tugas dan diputuskan bahwa Abdul Syam, anak Abdul Manaf bertugas menyediakan air dan mengumpulkan pajak, sedangkan cucu-cucu Abdul Daar bertugas menjaga Ka’bah, istana dan bendera peperangan. 

Narnun demikian, setelah beberapa waktu, Abdul Syam menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Hasyirn yang dipandang pantas untuk memikul tanggung jawab ini. Hasyim adalah seorang tokoh terkenal di negeri Arab karena keberanian dan kejujurannya. Melihat keadaan Hasyim yang demikian itu, timbullah rasa iri dan dengki dalam hati Umayyah, anak Abdul Syam. Ia selalu berusaha hendak merebut dan menjatuhkannya. 

Hasyim meninggal pada tahun 510 M. Ia digantikan oleh saudaranya, Muthalib. Sepeninggal Muthalib tanggung jawab kekuasaannya dipegang oleh Ahdul Muthalib. Abdul Muthalib masih tetap mempunyai tugas sebagaimana tugas kakek-kakeknya di masa lalu, yakni memelihara keamanan dan ketertiban. Juga menyediakan makanan dan minuman hagi para jamaah yang datang, karena air minum pada waktu itu merupakan masalah yang sulit di sana.

Untuk mengatasi kesulitan air tersebut, Abdul Muthalib bercita-cita dan merencanakan menggali kembali sumur yang telah lama tertimbun. Rencana tersebut tampaknya bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan tenaga yang cukup banyak, padahal waktu itu Abdul Muthalib haru mempunyai seorang anak, Harits. Ia berpikir, meminta bantuan orang lain dirasa sulit diharapkan. Oleh karena itu, Abdul Muthalib mernohon kepada Allah SWT. agar diberi anak yang banyak. Ia pun bernazar, apabila di kemudian hari ia dikaruniai anak yang banyak, ia akan menyembelih salah seorang anaknya untuk kurban sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT. 

Tuhan yang Maha Kuasa mengetahui rencana hamba-Nya itu, sehingga dikabulkanlah apa yang menjadi cita-cita Abdul Muthalib. Tiga puluh tahun kemudian, lahirlah beberapa orang anak. Di antaranya adalah Abu Thalib, Abbas, Hamzah, Abu Lahab, Zubair, dan Abdullah. 

Dilaksanakanlah rencana penggalian kembali sumur tersebut. Setelah menggali sumur tersebut, tibalah saatnya hagi Ahdul Muthalib untuk menunaikan nazarnya berupa kurban. Orang beramai-ramai menyaksikan Abdul Muthalib membawa anak-anaknya ke dekat Ka’bah kepada seseorang yang pandai untuk diundi, siapakah di antara mereka yang akan dijadikan sebagai kurban. 

Pada saat yang telah ditentukan, dilakukanlah undian yang kemudian keluarlah nama Abdullah. Abdul Muthalib membawa Abdullah ke tempat penyembelihan di dekat sumur Zamzam. Tanpa ragu, Abdullah pun menuruti kehendak ayahnya itu. Namun, kerumunan orang banyak itu mengajukan keberatan atas rencana penyembelihan 

Abdullah, putra Abdul Muthalib. Masalah ini dibawa kepada seorang dukun wanita di Yatsrib. Dukun wanita itu menyuruh Abdul Muthalib untuk melakukan undian kembali. Namun, nama Abdullah yang kembali keluar. Ia memerintahkan Abdul Muthalib menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti pembatalan penyembelihan Abdullah. 

Peristiwa tersebut menjadikan Abdul Muthalib dan Abdullah semakin terkenal di seluruh tanah Arab. Sedangkan Abdullah menjadi idola dikalangan gadis-gadis di sana. Setiap gadis mendambakan ingin dipersunting oleh pemuda yang selamat dari penyembelihan itu. Akhirnya, seorang gadis yang paling berbahagia adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah yang menjadi istri Ahdullah bin Abdul Muthalib. Dari pernikahan ini, lahinlah Muhammad SAW., sebagai pembawa rahmat bagi seluru alam.

Mengenai silsilah Nabi Muhammad SAW., penulis buatkan secara sederhana dari Nabi Ibrahim as. Hingga Nabi Muhammad SAW. dengan maksud untuk memudahkan pembaca memahaminya. Silsilah tersehut adalah sehagai berikut. 

silsilah nabi mhammad

Apa Hukum Menikah Dilarang Orang Tua Menurut Fikih Islam

Apa Hukum Menikah Dilarang Orang Tua Menurut Fikih Islam, hukum menikah, hukum menikah dilarang orang tua, pandangan islam tentang pernikahan yang dilarang, pernikahan dilarang orang tua, bilik islam
Tanya : Saya seorangpemuda, ingin menikahi seorang gadis yang saya cintai dan mencintai saya. Kehidupan kami sepadan, saya pun mampu memberikan maskawin dan nafkah, tetapi orang tua gadis menangguhkannya beberapa tahun lagi karena alasan masih kuliah. Padahal kami benar-benar ingin menikah dari pada pacaran terus. Kami takut fitnah dan khawatir terjerumus dalam jurang dosa. Bagaimana baiknya hubungan kami Kiai? (Fadli, Manado) 

Jawab : Manusia oleh Allah dalam hidup dan kehidupannya dibekali nafsu di samping akal dan intuisi atau perasaan. Dengan nafsu manusia punya syahwat, kecenderungan, dorongan, semangat dan kemauan. Salah satu dorongan nafsu yang dimiliki manusia adalah pemenuhan kebutuhan biologis, yang menurut A1-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin disebut sebagai satu satunya nikmat surga yang diturunkan Allah di dunia. Dalam kehidupan manusia, nafsu jugalah yang menimbulkan inspirasi fujur (penyimpangan) dan inspirasi takwa (ketakwaan dan kebenaran). Dan oleh karenanya ia harus dikendalikan oleh syariat, akal dan perasaan, agar dorongan takwanya dapat mengalahkan dorongan fujurnya. Meskipun dalam Al-Quran ditegaskan bahwa sesungguhnya nafsu itu banyak dan sering mengajak kepada kejelekan kecuali yang mendapat rahmat Allah. Dan satu-satunya tuntunan untuk memenuhi kebutuhan biologis adalah pernikahan. 

Dalam pandangan Islam, menikah bukan sekedar cara untuk pemenuhan kebutuhan biologis, tapi lebih dari itu adalah sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu. Begitu juga menyetubuhi istri. Barangkali persetubuhan semacam itulah satu-satunya ibadah yang sesuai dengan tuntutan hawa nafsu manusia, karena selain itu semua ibadah betapapun ringannya selalu berhadapan dengan nafsu. Hal ini perlu dipahami oleh siapa saja yang berhubungan langsung dengan pernikahan terutama calon mempelai dan orang tua sebagai walinya.

Pada dasarnya menikah untuk mencari kenikmatan adalah mubah. Tak bisa menjadi kesunahan apabila diniatkan untuk mendapatkan anak atau mengikuti sunah Rasul. Bahkan menikah menjadi wajib bagi orang yang mampu, yang khawatir terjerembab dalam lubang dosa (perzinaan) karena dorongan nafsu yang tak terkendalikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba‘ah: I 7, Nizham AJ-Usrah)

Dalam sebuah pernikahan tidak bisa tidak harus ada calon mempelai pria dan perempuan yang berlainan mahram, ada akad yang dilakukan wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada maskawin atau mahar.
Namun dalam realitas, tidak semua persyaratan itu saling mendukung. Yang sering terjadi adalah ketidaksesuaian antara anak dan walinya dalam menentukan pilihan pasangan. Kadang wali bersikeras dengan pilihannya, dan sebaliknya pula dengan si anak yang bersikukuh dengan pilihannya sendiri. Atau ketidak sesuaian itu hanya masalah waktu saja, anak ingin cepat-cepat menikah sementara wali ingin lebih lama karena alasan-alasan tertentu.

Wali nikah itu ada dua macam. Pertama, wali mujbir (ayah dan kakek), keduanya berhak memaksa anaknya menikah. Kedua, bukan mujbir, yaitu semua wali selain ayah dan kakek. Mereka tidak berhak memaksakan pernikahan. Baik wali mujbir atau bukan mujbir, menikahkan anak gadis yang sudah cukup umur dan berkeinginan menikah adalah wajib hukumnya. Apabila wali enggan atau menolak tanpa alasan-alasan syari’i untuk menikahkan anak gadisnya, maka wali hakimlah sebagai walinya. Jika ayah dan anak gadis sama-sama memiliki pilihan yang sama-sama sepadan (kufu), maka ayah boleh memaksakan pilihannya pada anaknya dan wali hakim tidak boleh menikahkannya dengan pria pilihan si gadis karena itu bukan termasuk penolakan wali. ( Al-Fiqh Al-Manhajr  II, 64-65, I’anah Ath-Thalibin, 3).

Adapun jika perselisihan itu terjadi dalam hal penentuan waktu seperti yang penanya ajukan, maka perlu diperhatikan bahwa waktu menikah adalah ketika seseorang sudah baligh, berakal dan berkeingman untuk menikah. Dan bagi laki-laki, sudah mampu memberikan nafkah dan maskawin. Saat itu tak ada lagi alasan lain untuk menunda pernikahan termasuk alasan kuliah apalagi dengan sederetan kekhawatiran fitnah dan terjerumus ke lembah dosa. Dalam keadaan seperti ini jika wali menolak, boleh dengan wali hakim. (Al-Fiqh Al-Manhajr II, 64). 

Di satu sisi belajar adalah penting, tapi di sisi yang lain di tengah masa belajar yang panjang, dorongan nafsu semakin kuat, itu tidak bisa kita ingkari. Apalagi di sekitarnya terdapat tampilan yang mengusik nafsu seperti p*rn*grafi, p*rn*aksi dan pengawasan orang tua yang tidak bisa menjangkau pergaulan putra putrinya. OIeh karena itu bagi orang tua yang memandang penting kuliah hendaknya juga tidak menafikan kepentingan anaknya untuk menikah sehingga dapatlah diambil jalan tengah. Bagi orang tua dengan menikahkan anaknya, dan bagi anak kuliah jalan terus. Toh dalam perkuliahan tidak diharuskan lajang. Atau altematif lain si anak ikut orang tua untuk tidak menikah saat kuliah dengan syarat ia mampu mengendalikan nafsunya. Kalau tidak bisa maka masing masing pihak perlu menyadari akan adanya kebutuhan biologis. Pernikahan adalah fitrah manusia sebagaimana Adam dan Hawa.

Bagaimana Cara Menggunakan Harta Menurut Islam

Cara Membelanjakan Harta Menurut Islam, harta dalam islam, dalil zakat, dalil sodakoh, hukum zakat, bilik islam
Tanya : Saya tergolong orang beruntung, dikaruniai rezeki lebih dan cukup. Hanva saja saya bingung bagaimana cara menggunakannya? (Syamsul B, Pati)

Jawab : Bekerja adalah tindakan mulia. Mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga sebagai upaya sehat untuk mempertahankan dan melestarikan hidup. Hal ini wajib hukumnya. Dalam satu hadis, Rasulullah bersabda: 

Artinya: “Mencari pekenjaan nyang halal hukumnya fardhu”

Memperbanyak harta tidaklah dilarang, asalkan dilakukan dengan cara yang benar dan tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban yang lain. Selain itu harus pula disadari, harta benda bukanlah tujuan (al-ghayah), melainkan sekedar sarana atau alat (al-washiiah).

Sebagai alat dan sarana, harta yang kita miliki seharusnya digunakan sesuai dengan fungsinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah sebagai berikut : 

Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.“(QS. At-Taubah: 34) 

Dalam masyarakat, sering kita menjumpai orang pandai sekali mencari uang sehingga menjadi kaya, tetapi tidak mengerti cara menggunakannya. Akibatnya, harta itu sering dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak atau kurang bermanfaat. Bahkan kadang-kadang membawa dampak negatif yang menurut agama tidak dibenarkan. Orang demikian berarti tidak bersyukur. Hakikat syukur adalah tidak menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang justru dibenci-Nya.

Padahal menurut ajaran Islam, seseorang kaitannya dengan harta dituntut untuk benar dalam mencari dan mengunakanny sekaligus. Harta kita sebenarnya titipan dan anugerah dari Allah SWT. sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :

Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar “(QS. Al-Hadid: 7) 

Manusia di sampmg diberikan hak untuk memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, juga dituntut menunaikan kewajiban-kewajiban atas hartanya yang menjadi hak orang lain. Allah mengingatkan manusia akan keberadaan harta yang dimilikinya dalam firman-Nya sebagai herikut : 

Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. A1-Baqarah: 29)


Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. A1-Ma’arij: 24-25)

Pertanyaan selanjutnya, apakah kewajiban-kewajiban harta yang harus kita penuhi itu?
Kewajiban yang pertama adalah mengeluarkan zakatnya. Kebenaran akan eksistensi kewajiban ini sebagaimana ditegaskan Allah sebagai berikut :

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku “(QS. A1Baqarah: 43)
Kita semua telah mengerti dan meyakini bahwasanya zakat adalah termasuk kewajiban yang paling penting bagi kaum muslimin karena manjadi rukun Islam. Tetapi dalam kenyataannya masih banyak yang belum menunaikannya secara konsekuen dan disiplin. 

Barangkali salah satu penyebabnya adalah sempitnya pemahaman mereka tentang zakat. Banyak yang memahami zakat sebatas zakat fitrah pada Idul Fitri. Padahal selain zakat fitrah, masih ada zakat emas/perak/uang, binatang temak, hasil pertanian, dan perdagangan yang secara hukum sama dengan zakat fitrah. (Al-Bajury. I, 261-262).

Tidak tertutup kemungkman ada orang yang ingin berzakat, tetapi tidak tahu bagaimana caranya dan kepada siapa zakat itu diberikan. Hal ini tentunya memerlukan perhatian serius dari kalangan tokoh agama dan lembaga-lembaga pengelola zakat untuk lebih mengintensifkan sosialisasi zakat kepada masyarakat.
 
Kedua, memberikan nafkah kepada istri, anak, maupun orang tua. Lewat perantara orang tua, kita lahir ke dunia ini. Karena jerih payah dan jasa-jasa beliau berdua, agama mewajibkan anak-anak berbakti kepada dua orang tua yang populer dengan sebutan birr al-walidain. Manifestasi dari perintah ini bisa bermacam-macam seperti menghormati, menyayangi dan mencukupi kebutuhan hidup (nafkah) bila memerlukan. Anak yang belum dewasa menjadi tanggungan orang tuanya karena belum mampu menghidupi dirinya sendiri. (Fath Al-Mum, 124).

Ketiga, mencukupi kebutuhan pokok fakir miskin berupa sandang pangan dan papan (SPP) supaya dapat hidup secara manusiawi. Menurut para ulama, hal itu hukumnya fardhu kifayah atas orang-orang kaya (al-aghnya) yang mempunyai kekayaan melebihi jumlah yang mencukupi untuk hidup selama satu tahun beserta seluruh anggota keluarga dan kerabat yang wajib dinafkahi. (Nihayah Al-Muhtaj VII, 194). Demikian pula diterangkan dalam Fiqh Az-Zakah: II, 989). 

Kewajiban ketiga ini dengan asumsi dana dari zakat belum mencukupi kebutuhan mereka. Ini semua sebagai wujud dari solidaritas sosial dan Ukthuwwah Islamiah. Hal ini seperti telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut : 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujarat: 10) 

Pada dasarnya, menurut pandangan Islam, setiap manusia yang kuat dan sehat diwajibkan mencukupi kebutuhannya (al i’timad ‘ala an-nafs), tidak boleh menggantungkan diri kepada pihak lain. Karena itu, dilarang mengemis (as-su’al) kecuali betul-betul terpaksa.

Mengemis adalah alternatif terakhir (as su’alalthfral-Iflakasib). Meski begitu, karena berbagai faktor yang bersifat internal atau eksternal, tidak semua orang mampu bekerja. Tidak sedikit pula yang telah membanting-tulang sekuat tenaga tetapi kebutuhan dasarnya masih belum terpenuhi juga secara minimal dan wajar.

Terhadap kaum dhuafa’ yang kurang beruntung itulah kaum aghniy’ dituntut berbagi rasa. Kalau tidak, terjadi disharmoni dan kerawanan sosial berupa kemerebakan berbagai tindak kriminal yang justru akan merugikan semua pihak. Setiap individu memiliki naluri untuk mempertahankan hidup. Ketika cara-cara yang sehat telah tertutup, pada gilirannya mereka akan menempuh cara-cara ilegal.

Selain ketiga hal di atas, seyogyanya harta yang kita miliki dibelanjakan untuk membiayai kepentingan-kepentingan umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti masjid, madrasah, rumah sakit dan lain-lain sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berkembang.

Dalam perkara yang bersifat fardhu kifayah seperti penyelenggaraan pendidikan, setiap anggota masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi sesuai dengan kemampuan atau potensi masing-masig. Jangan sampai fardhu kifayah kita sikapi dengan menyerahkan suatu urusan kepada orang tertentu, sedangkan kita acuh tak acuh.
Dianjurkan pula memperbanyak sedekah sunnah dengan mengutamakan kerabat, tetangga dan pihak-pihak yang lebih membutuhkan. Karena sikap dermawan sangat dianjurkan dalam Al-Quran sebagaimana termaktub dalam ayat ini :

Artinya : “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr 9)
Dan sebaliknya, kebakhilan merupakan perilaku yang dicela. Perhatikan ayat yang melarang akan perilaku itu :

Artinya : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dan karunia-Nya menyangka hahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “(QS. Ali Imran: 180) 

Semua ini harus dilakukan dengan ikhlas serta didasari keyakinan bahwa perjalanan hidup manusia tidak selesai dengan kedatangan kematian. Justru dengan kedatangan ajal, manusia memulai kehidupan lain yang kekal dan abadi.

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?, cerai karena aids, hukum cerai, alasan cerai, faktor yang diperbolehkan bercerai
Tanya : Apakah AIDS dapat dijadikan alasan perceraian menurut perspektif atau pandangan hukum Islam ? (Putra Semarang)

Jawab : Pada dasamya syariat islamiyah mulai dari shalat, zakat, puasa, haji, muamalat, jinayat, sampai munakayat atau pernikahan bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia baik sebagai makhluk individual, maupun makhluk sosial dalam hubungannya dengan Allah, antara sesama manusia (lingkungan sosial) dan alam yang muara akhirnya adalah sa’adatu ad-daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat). 

Dalam konteks pertanyaan di atas, perlu disinggung terlebih dahulu makna apakah yang terkandung pada syariat penikahan. 

Secara etimologi pernikahan adalah mengumpulkan, sedangkan menutut syara’ mempunyai arti akad yang membolehkan istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis) di antara pasangan suami-istri menurut aturan syara’pula (Al Fiqhu Al-Manhajy).

Kebutuhan bergaul dengan manusia lain dan pemenuhan kebutuhan biologis bagi manusia bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna. Karena manusia hidup secara totalitas sebagai makhluk individu maupun sosial yang diciptakan oleh Allah lebih sempurna dan mulia. Oleh karena itu untuk menjaga kesempurnaan dan kemuliaannya, Islam memberikan jalan salah satunya berupa syariat pernikahan.

Namun demikian, kita sadar bahwa manusia memiliki kelemahan fisik maupun batin yang dalam pernikahan dapat menjadi cacat bagi pasangan suami istri sehingga berakibat tidak dapat melaksanakan dan menjalankan fungsi-fungsi atau kewajibannya masing-masing.

Menurut ajaran Islam (fikih) ada tujuh macam cacat yang diidentifikasj sebagai cacat penikahan (‘uyubu an-nikah) yang dapat membolehkan suami istri membatalkan pernikahannya atau cerai (fasakh), tiga di antaranya terdapat pada suami dan istri yaitu, sakit jiwa atau gila, barash atau penyakit kulit (belang-belang), judzam (lepra), dan empat cacat yang lain masing-masing dua cacat hanya terdapat pada suami yaitu, ‘unnaji (tidak dapat ereksi), majbub (terpotongnya penis) dan dua cacat yang lain sebaliknya hanya terdapat pada istri yaitu, qarn (tertutupnya alat senggama atau v*g*na) oleh tulang dan rataq (tertutupnya alat senggama oleh daging tumbuh). (Al-Majmu XVII, 435)

Kalau dikaji lebih dalam tujuh cacat di atas, dapat disederhanakan menjadi dua sebab, pertama, cacat yang dapat menjadikan orang lain menghindar (tanfir) karena membahayakan (adh-dharar) atau merasa risih sehingga mengganggu eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam terminologi fikih disebutkan tiga cacat (sakit jiwa, barash, judzam) yang kedua, cacat yang dapat menghalangi pemenuhan kebutithan biologis yang menjadi tujuan utama (maqasid al-a’zham) dari perkawinan itu sendini yaitu jima’(istimta) atau hubungan s*ks*al. Ini berarti mengurangi fitrah manusia sebagai mahluk individu yang membutuhkan kepuasan s*ks. Dalam hal ini fikih menyebutkan empat cacat (‘unnah, majbub pada suami, rataq, qarn pada istri). (Kifayah A1-Akhyar II, 59-60, Syarqawi; 235) 

Seirama dengan perubahan zaman, fenomena rumah tanggapun semakin berkembang seperti terjadi pada kasus-kasus yang baru “bagaimana kalau salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit AIDS”. Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu apa dan bagaimanakah sifat-sifat AIDS itu. 

AIDS (Acquired Immujiuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang menurut analisa medis akan menghilangakan sistem kekebalan tubuh penderitanya sehingga sangat memudahkan penyakit-penyakit lain menyerang. 

Penyakit-penyakit lain yang timbul setelah serangan AIDS menjadi susah atau tidak dapat disembuhkan karena dengan hilangnya sistem kekebalan tubuh. Semua injeksi obat-obatan menjadi tidak berarti, sementara AIDS itu sendiri sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Oleh karena itu pada batas tertentu umumnya AIDS akan merenggut nyawa penderitanya. 

Menurut ilmu medis, AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Di antara media penularanya melalui cairan-cairan tubuh yang aktif (transfusi darah, sperma atau hubungan s*ks*al). Berdasarkan analisa medis pula, hubungan s*ks dengan penderita AIDS sangat berbahaya karena dapat terinfeksi virus HIV (AIDS) yang sewaktu-waktu dapat merenggut jiwa. Padahal dalam ajaran agama, menjaga diri, kehormatan dan harta benda adalah kewajiban.

Dengan demikian AIDS telah menghilangkan atau setidaknya mengurangi arti penting sebuah perkawinan yang memiliki nuansa sosial dan individual. Pertama, menghalangi inaqshud al-a‘zham dan perkawinan yaitu Jima’ (istimta’) atau hubungan s*ks*al. Yang kedua, manjadikan orang menghindar (tanfir) karena ada adh-dharar (bahaya) maupun karena risih.

Dalam kondisi semacam itu dimana salah satu pihak dari pasangan suami-istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami-istri, maka agama membolehkan adanya perceraian. (Al Majmu XVII, 435, KHI Pasal 166 E).

Apa Hukum ‘Menyelidiki’ Perselingkuhan Dengan Istikharah ?

Hukum shalat istikharah untuk menyelidiki istri selingkuh
Tanya : Bagaimana hukum shalat istikharah untuk mengetahui istri betul-betul menyeleweng?

Jawab : Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak lepas dari berbagai persoalan yang mendorongnya memmih. Ketepatan memilih sangat penting artinya dalam rangka mencapai tujuan hidup, yakni sa’adah ad-darain, kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Untuk memperoleh pilihan atau keputusan yang tepat, Islam telah mensyariatkan: syura atau musyawarah. Sejauh mana pentingnya prinsip syura dalam Islam nampak jelas pada dijadikannya syura sebagai salah satu nama surat Al-Quran. Sebab musyawarah tidak hanya penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi juga diperlukan untuk menemukan solusi masalah-masalah pribadi, yang tergolong penting dan sensitif, seperti menentukan pasangan hidup.

Selain musyawarah atau konsultasi ada cara lain, yakni shalat lstikharah, kita minta petunjuk langsung dari Allah SWT. Dengan demikian secara terang-terangan, Islam menutup rapat-rapat pintu segala jenis perdukunan. Tidak dibenarkan seorang muslim mendatangi paranormal dan mempercayai ramalan-ramalannya. Pada dasarnya seorang paranormal adalah manusia biasa yang tidak mengetahui perkara gaib. Banyak hadis yang mengecam tindakan demikian.

Sebagaimana termaktub dalam Kamus Lisan Al-Arab, istikharah secara lughawi (bahasa) artinya thalab aI-khiyara, mencari atau meminta pilihan. Selanjutnya dijadikan nama shalat tertentu, yang dirangkai dengan doa tertentu pula untuk meminta pilihan kepada Allah SWT., ketika seseorang akan melakukan suatu pekerjaan. Seperti istisqa‘ yang artinya thalab al-suqya (meminta hujan) yang selanjutnya menjadi nama shalat untuk meminta hujan kepada Allah SWT., dalam kitab Mausu‘ah Al-Fiqh A1-Islami. Ensikiopedi Fikih Islam: VI, 17 diterangkan, shalat istikharah hukumnya sunah. Dalilnya sebuah hadis riwayat dari Jabir Ibn Abdillah ra., beliau berkata “Rasulullah SAW. pernah mengajari kami melakukan istikharah dalam segala hal, sebagimana beliau mengajarkan surat A1-Quran.

Tabir Wanita